Digitalisasi Gamelan
Gamelan telah bermetamorfosis.Tak semata menjadi alat musik yang mampu dilihat dan diraba secara fisik (tangible).
 Gamelan telah bersekutu dengan teknologi. Menemukan bentuknya yang baru
 menjadi lebih ringkas dan efisien. Ya, beberapa kalangan akademisi 
telah membuat perangkat gamelan elektronik yang baisa disebut dengan 
“E-Gamelan”. Salah satu kampus yang begitu berambisi menghadirkan 
gamelan dalam wujudnya yang baru itu adalah Universitas 
Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang. Karya e-gamelan dari teman-teman 
Udinus tersebut telah memenangi Lomba Muhibah Seni Ditjen Dikti 2010, 
serta pernah dimainkan di Chung Yuan Christian University Taiwan, 
Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Pekan Indonesia di Orchard Road 
Singapura. Bahkan berita terbaru, e-gamelan akan dimainkan pada Hari 
Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) tanggal 29 Agustus 2013 di 
Jakarta, di hadapan Presiden SBY. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana 
e-gamelan yang intagible itu mampu menggantikan kehadiran gamelan secara fisik? Lalu, bagaimana kita harus menyikapinya?
Unikum
Sebelumnya
 perlu diketahui bahwa gamelan berbeda dengan alat musik lain, terutama 
alat musik barat. Gamelan sebagai bagian dari musik tradisi nusantara, 
memiliki keluwesan dalam pemilihan nada-nadanya. Dengan demikian, sangat
 dimungkinkan antara satu gamelan dengan gamelan yang lain memiliki 
perbedaan dalam ambitus (tinggi-rendah) nada yang dimiliki, walaupun 
dalam laras yang sama (selendro, pelog). Gamelan selendro di Surabaya 
misalnya cenderung memiliki nada yang lebih tinggi di banding dengan 
gamelan selendro di Solo. Bahkan di Solo sendiri banyak terjadi 
perbedaan interval antar satu gamelan dengan gamelan yang lain. 
Sementara di musik barat, nada-nada yang ada telah terbakukan (absolut).
 Otomatis, nada do di manapun itu pasti memiliki ukuran yang sama. 
Akibatnya, apabila mendengar nada yang tak sesuai alias berbeda, dengan 
segera akan disebut falsch atausumbang. 
Gamelan memiliki apa yang disebut dengan embat yakni kesan suara yang dmunculkan dalam larasnya. Sri Hastanto lewat tulisannya yang berjudul Konsep Embat dalam Karawitan Jawa (2010) menjelaskan bahwa setiap gamelan memiliki pembawaan warna bunyi yang berbeda, bisa larasati
 (maskulin) dan sundari (feninin). Gamelan selendro Keraton Kasunan Solo
 misalnya memiliki kesan larasati dibanding gamelan di Pura 
Mangkunegaran yang sundari, atau sebaliknya. Kesan ini mampu ditangkap 
dengan mudah oleh orang-orang yang memiliki bekal tinggi dalam memainkan
 gamelan, terutama para empu. Di sisi lain, banyak yang tidak mengetahui
 persoalan ini. 
Memainkan gamelan memiliki keunikan tersendiri. Masyarakat karawitan Jawa biasa menyebutnya dengan mad sinamadan
 yakni tidak saling menonjol, mampu mengerti, mengontrol, memahami, 
menghargai kualitas bunyi antara satu instrumen dengan yang lain, 
setara. Pemain instrumen bonang misalnya, walupaun posisi duduknya 
paling depan, namun tak boleh memiliki volume paling keras dari yang 
lain, begitupun sebaliknya. Pemain gender, harus mendengarkan permainan 
rebab, karena akan memberi kode (ater-ater) untuk memasuki
 ormamentasi musikal lain yang lebih kompleks, begitupun sebaliknya. Tak
 mengherankan kemudian jika banyak warga asing yang menangis ketika nabuh
 gamelan. Mereka yang sebelumnya cenderung individual kemudian harus 
luruh dalam ruang kebersamaan, menghargai dan memahami satu sama lain. 
Bermain
 gamelan mengandalkan kedalaman rasa, bukan sebatas logika. Karenanya 
dalam sejarah tradisi gamelan tak begitu mengenal partitur (pembacaan 
notasi) selayaknya musik barat. Ratusan gending (karya musikal) gamelan 
dapat dihafal di luar kepala. Konsentrasi pemain sepenuhnya hanya pada 
pencapaian kualitas rasa musikal tertinggi. Tidaklagi disibukkan dengan 
urusan membaca yang berakibat tak mampu merasakan keberadaan permainan 
instrumen yang lain. Dengan kata lain, seorang empu penggender wayang 
mampu menghasilkan permainan yang memukau walaupun sambil 
terkantuk-kantuk, dibanding dengan sarjana karawitan yang sangat sibuk 
berkonsentrasi membaca notasi.
Kritik
Masih
 banyak lagi ‘harta’ yang belum terkuak dalam permainan gamelan. 
Persoalannya, mampukah teknologi mengakomodasi semua harta tersebut. 
Oleh kerena itu, membicarakan gamelan, tak selesai dengan hanya memindah
 nada dan laras semata. Bahkan, perdebatan sengit pernah terjadi kala 
gamelan dianggap sebagai musik yang mampu mempresentasikan semangat 
nasionalisme. Ki Hajar Dewantara di tahun 50-an memandang lagu Indonesia
 Raya tak selayaknya dibawakan dalam dominasi nada-nada diatonis musik 
barat, namun gamelan. Ia mengimbau pada para empu gamelan 
mentransformasikan nada-nada diatonis Indonesia Raya menjadi pentatonis 
dalam gamelan.
Di satu sisi, pada rentang tahun yang sama, 
sikap dalam memainkan gamelan dianggap terlalu kolot. Revolusi 
besar-besaran terjadi, pemain gamelan tak lagi memakai baju kejawen 
(beskap dan blangkon) namun memakai jas berdasi, sepatu kulit dan 
disediakan music stand atau tempat menaruh partitur 
layaknya dalam musik klasik. Sementara di sisi lain, ada usaha untuk 
membakukan nada-nada gamelan dalam ukuran interval serta pitch 
yang sama di setiap tempat. Endingnya, semua usaha itu gagal. Gamelan 
tak mampu dicabut dari akar kulturnya. Hingga kini, setiap wilayah 
memiliki gamelan dengan gaya khas, unik, dan merupakan kekuatan yang tak
 dimiliki wilayah lain.  Gamelan mampu mempresentasikan wajah 
kebudayaan.
Dengan munculnya e-gamelan merupakan 
salah satu usaha dalam menduniakan gamelan yang patut untuk kita berikan
 apresiasi tinggi. Namun di sisi lain bukannya tak menyisahkan 
persoalan. Ada beberapa hal yang pantas untuk dicermati. Pertama, 
ramainya e-gamelan membuat masyarakat dan kaum muda menganggap gamelan 
yang didengarkan dan dimainkannya lewat perangkat elektronik itu sebagai
 satu kebenaran tunggal. Karena ukuran nada, pitch telah menjadi 
sama, baku, seragam dan terukur. Di luar itu dianggap falsch dan 
sumbang. Sementara dalam gamelan ada yang disebut dengan nada minir,
 yakni nada yang berada di antara dua nada pokok, antara nada ji (1) dan
 ro (2) misalnya. Kata “antara” tidak dengan pasti menyebut setengah, 
namun bisa seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertujuh dan 
seterusnya.
Kedua, tidak semua perangkat gamelan 
mampu di e-gamelankan. Gender misalnya, yang memiliki tingkat kesulitan 
tinggi. Cara memainkannya dengan dua tangan, terdapat konsep penjarian (pithetan)
 agar suara yang keluar tak saling tumpang tindih. Bagaimana pula dengan
 rebab? Alat gesek yang dalam permainanya seringkali berada dalam 
kisaran nada-nada minir. Belum lagi persoalan rasa dan lain 
sebagainya. Kiranya, hal tersebut harus menjadi catatan tersendiri 
terkait perkembangan e-gamelan yang akhir-akhir ini ramai 
diperbincangkan, baik di kalangan masyarakat, pengrawit, pelaku 
teknologi dan budayawan.
Namun, sekali lagi 
harus jujur diakui, bagaimanapun juga e-gamelan adalah terobosan baru 
yang memudahkan generasi masa kini untuk lebih dekat dengan dunia 
gamelan. Kemunculan e-gamelan juga harus disikapi dengan bijak agar tak 
menjadi penemuan baru yang seolah mampu meniadakan kehadiran gamelan 
secara fisik. Kemunculan e-gamelan mendapat penghargaan sebagai sebuah 
prestasi tersendiri. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan para pembuat 
gamelan di banyak besalen yang selama ini menghasilkan gamelan 
dengan kualitas tinggi? Yang mampu membawa harum kebudayaan Indonesia di
 mata dunia. Bukankah mereka selama ini masih hidup di bawah cukup. 
Sementara setiap hari harus bertaruh nyawa, bertarung dengan panasnya 
api demi menyajikan gamelan yang mungkin saat ini anda lihat, main dan 
dengarkan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar