Digitalisasi Gamelan (dimuat di Jawapos edisi 28 Juli 2013)

Digitalisasi Gamelan



Gamelan telah bermetamorfosis.Tak semata menjadi alat musik yang mampu dilihat dan diraba secara fisik (tangible). Gamelan telah bersekutu dengan teknologi. Menemukan bentuknya yang baru menjadi lebih ringkas dan efisien. Ya, beberapa kalangan akademisi telah membuat perangkat gamelan elektronik yang baisa disebut dengan “E-Gamelan”. Salah satu kampus yang begitu berambisi menghadirkan gamelan dalam wujudnya yang baru itu adalah Uni­versitas Dian Nuswantoro (Udinus) Se­marang. Karya e-gamelan dari teman-teman Udinus tersebut telah memenangi Lomba Muhibah Se­ni Ditjen Dikti 2010, serta pernah dimain­kan di Chung Yuan Christian University Taiwan, Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Pekan Indonesia di Orchard Road Si­ngapura. Bahkan berita terbaru, e-gamelan akan dimainkan pada Hari Kebangkitan Tek­nologi Nasional (Harteknas) tanggal 29 Agustus 2013 di Jakarta, di hadapan Presiden SBY. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana e-gamelan yang intagible itu mampu menggantikan kehadiran gamelan secara fisik? Lalu, bagaimana kita harus menyikapinya?

Unikum
Sebelumnya perlu diketahui bahwa gamelan berbeda dengan alat musik lain, terutama alat musik barat. Gamelan sebagai bagian dari musik tradisi nusantara, memiliki keluwesan dalam pemilihan nada-nadanya. Dengan demikian, sangat dimungkinkan antara satu gamelan dengan gamelan yang lain memiliki perbedaan dalam ambitus (tinggi-rendah) nada yang dimiliki, walaupun dalam laras yang sama (selendro, pelog). Gamelan selendro di Surabaya misalnya cenderung memiliki nada yang lebih tinggi di banding dengan gamelan selendro di Solo. Bahkan di Solo sendiri banyak terjadi perbedaan interval antar satu gamelan dengan gamelan yang lain. Sementara di musik barat, nada-nada yang ada telah terbakukan (absolut). Otomatis, nada do di manapun itu pasti memiliki ukuran yang sama. Akibatnya, apabila mendengar nada yang tak sesuai alias berbeda, dengan segera akan disebut falsch atausumbang.
Gamelan memiliki apa yang disebut dengan embat yakni kesan suara yang dmunculkan dalam larasnya. Sri Hastanto lewat tulisannya yang berjudul Konsep Embat dalam Karawitan Jawa (2010) menjelaskan bahwa setiap gamelan memiliki pembawaan warna bunyi yang berbeda, bisa larasati (maskulin) dan sundari (feninin). Gamelan selendro Keraton Kasunan Solo misalnya memiliki kesan larasati dibanding gamelan di Pura Mangkunegaran yang sundari, atau sebaliknya. Kesan ini mampu ditangkap dengan mudah oleh orang-orang yang memiliki bekal tinggi dalam memainkan gamelan, terutama para empu. Di sisi lain, banyak yang tidak mengetahui persoalan ini.
Memainkan gamelan memiliki keunikan tersendiri. Masyarakat karawitan Jawa biasa menyebutnya dengan mad sinamadan yakni tidak saling menonjol, mampu mengerti, mengontrol, memahami, menghargai kualitas bunyi antara satu instrumen dengan yang lain, setara. Pemain instrumen bonang misalnya, walupaun posisi duduknya paling depan, namun tak boleh memiliki volume paling keras dari yang lain, begitupun sebaliknya. Pemain gender, harus mendengarkan permainan rebab, karena akan memberi kode (ater-ater) untuk memasuki ormamentasi musikal lain yang lebih kompleks, begitupun sebaliknya. Tak mengherankan kemudian jika banyak warga asing yang menangis ketika nabuh gamelan. Mereka yang sebelumnya cenderung individual kemudian harus luruh dalam ruang kebersamaan, menghargai dan memahami satu sama lain.
Bermain gamelan mengandalkan kedalaman rasa, bukan sebatas logika. Karenanya dalam sejarah tradisi gamelan tak begitu mengenal partitur (pembacaan notasi) selayaknya musik barat. Ratusan gending (karya musikal) gamelan dapat dihafal di luar kepala. Konsentrasi pemain sepenuhnya hanya pada pencapaian kualitas rasa musikal tertinggi. Tidaklagi disibukkan dengan urusan membaca yang berakibat tak mampu merasakan keberadaan permainan instrumen yang lain. Dengan kata lain, seorang empu penggender wayang mampu menghasilkan permainan yang memukau walaupun sambil terkantuk-kantuk, dibanding dengan sarjana karawitan yang sangat sibuk berkonsentrasi membaca notasi.

Kritik
Masih banyak lagi ‘harta’ yang belum terkuak dalam permainan gamelan. Persoalannya, mampukah teknologi mengakomodasi semua harta tersebut. Oleh kerena itu, membicarakan gamelan, tak selesai dengan hanya memindah nada dan laras semata. Bahkan, perdebatan sengit pernah terjadi kala gamelan dianggap sebagai musik yang mampu mempresentasikan semangat nasionalisme. Ki Hajar Dewantara di tahun 50-an memandang lagu Indonesia Raya tak selayaknya dibawakan dalam dominasi nada-nada diatonis musik barat, namun gamelan. Ia mengimbau pada para empu gamelan mentransformasikan nada-nada diatonis Indonesia Raya menjadi pentatonis dalam gamelan.
Di satu sisi, pada rentang tahun yang sama, sikap dalam memainkan gamelan dianggap terlalu kolot. Revolusi besar-besaran terjadi, pemain gamelan tak lagi memakai baju kejawen (beskap dan blangkon) namun memakai jas berdasi, sepatu kulit dan disediakan music stand atau tempat menaruh partitur layaknya dalam musik klasik. Sementara di sisi lain, ada usaha untuk membakukan nada-nada gamelan dalam ukuran interval serta pitch yang sama di setiap tempat. Endingnya, semua usaha itu gagal. Gamelan tak mampu dicabut dari akar kulturnya. Hingga kini, setiap wilayah memiliki gamelan dengan gaya khas, unik, dan merupakan kekuatan yang tak dimiliki wilayah lain.  Gamelan mampu mempresentasikan wajah kebudayaan.
Dengan munculnya e-gamelan merupakan salah satu usaha dalam menduniakan gamelan yang patut untuk kita berikan apresiasi tinggi. Namun di sisi lain bukannya tak menyisahkan persoalan. Ada beberapa hal yang pantas untuk dicermati. Pertama, ramainya e-gamelan membuat masyarakat dan kaum muda menganggap gamelan yang didengarkan dan dimainkannya lewat perangkat elektronik itu sebagai satu kebenaran tunggal. Karena ukuran nada, pitch telah menjadi sama, baku, seragam dan terukur. Di luar itu dianggap falsch dan sumbang. Sementara dalam gamelan ada yang disebut dengan nada minir, yakni nada yang berada di antara dua nada pokok, antara nada ji (1) dan ro (2) misalnya. Kata “antara” tidak dengan pasti menyebut setengah, namun bisa seperempat, seperdelapan, seperenambelas, sepertujuh dan seterusnya.
Kedua, tidak semua perangkat gamelan mampu di e-gamelankan. Gender misalnya, yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Cara memainkannya dengan dua tangan, terdapat konsep penjarian (pithetan) agar suara yang keluar tak saling tumpang tindih. Bagaimana pula dengan rebab? Alat gesek yang dalam permainanya seringkali berada dalam kisaran nada-nada minir. Belum lagi persoalan rasa dan lain sebagainya. Kiranya, hal tersebut harus menjadi catatan tersendiri terkait perkembangan e-gamelan yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, baik di kalangan masyarakat, pengrawit, pelaku teknologi dan budayawan.
Namun, sekali lagi harus jujur diakui, bagaimanapun juga e-gamelan adalah terobosan baru yang memudahkan generasi masa kini untuk lebih dekat dengan dunia gamelan. Kemunculan e-gamelan juga harus disikapi dengan bijak agar tak menjadi penemuan baru yang seolah mampu meniadakan kehadiran gamelan secara fisik. Kemunculan e-gamelan mendapat penghargaan sebagai sebuah prestasi tersendiri. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan para pembuat gamelan di banyak besalen yang selama ini menghasilkan gamelan dengan kualitas tinggi? Yang mampu membawa harum kebudayaan Indonesia di mata dunia. Bukankah mereka selama ini masih hidup di bawah cukup. Sementara setiap hari harus bertaruh nyawa, bertarung dengan panasnya api demi menyajikan gamelan yang mungkin saat ini anda lihat, main dan dengarkan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut