Indonesia Raya
di Mata Zaman
Bulan Oktober menjadi ritus sakral
kelahiran lagu Indonesia Raya. Bulan yang menjadi tonggak awal dalam
memperkenalkan lagu kebangsaan itu kepada publik. Namun sayang, Purwa Caraka,
komponis musik ternama Indonesia, pada perayaan kemerdekaan Agustus lalu mengkritik
kebekuan lagu negara kita Indonesia Raya. Menurutnya, lagu itu kini cenderung
sakral dan mistis, hingga tak ada satupun musisi masa kini yang berniat dan
berani mengaransemen ulang. Atau bukannya tak mau, tapi takut karena lagu itu
telah dipagari dengan tembok tempurung yang ketat. Indonesia Raya telah
dikurung dalam semaian undang-undang. Menyanyikan, membawakan dan mengaransemennya
harus sesuai dengan juklak yang ada, tak boleh sembarangan. Batasan yang justru
mengekang. Membuat Indonesia Raya berjalan di tempat, jauh tertinggal dalam
ingar-bingar perkembangan musik dewasa ini.
Lagu yang berdengung kencang di antero
negeri lewat ritual upacara tujuh belasan itu lebih dari sekedar nada dan
lirik, tapi bangunan nalar yang menarasikan rasa patriotis rakyat Indonesia.
Namun di sisi lain juga menjadi ironi. Lagu yang awalnya berdendang dalam
mengafirmasi semangat nasionalis dan kepahlawanan, kini seolah menjadi barang
usang yang membosankan. Rutinitas ruang kemunculannya dapat dihitung dengan
jari. Tertimbun dalam tumpukan jerami lagu-lagu populis masa kini.
Indonesia Raya
Sejarah perjuangan Indonesia tak dapat
dipisahkan dari sejarah dalam mengolah nada dan bunyi. Komponis Wage Rudolf Supratman adalah aktor
penting di balik peristiwa itu. Kebebasan yang sempit, pengawasan dan kontrol kolonial
yang ketat, tak menciutkan niatnya dalam meniti lagu yang menggugah semangat
patriotis. Pria yang lahir pada 9 Maret 1903 itu tak takut dengan senapan
Belanda, apalagi dinginnya jeruji prodeo. Titik kulminasinya terjadi saat
Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Lagu ciptaannya yang kemudian dinamakan
“Indonesia Raya” berkumandang merdu disertai lantunan biola yang dimainkan oleh
Supratman sendiri. Lagu yang mengundang decak kagum, menyemai banjir air mata
para peserta kongres. Tak berselang lama, lagu Indonesia Raya menyebar,
menyelinap dari satu telinga ke telinga yang lain.
Kumandang lagu itu menambah getir nyali
Belanda. Pembredelan bunyi dilakukan lewat bermacam kebijakan yang secara
serentak disiarkan dari berbagai media seperti radio, koran dan majalah. Layaknya
Kitab Kama Sutra di India, dilarang namun kemudian menjadi buku terbajak paling
laris di dunia. Begitupun Indonesia Raya, dilarang namun tetap menggema di
setiap batin masyarakat Indonesia. Lagu itu mengimajinasikan secercah harapan
dan ambisi penuh nafsu untuk menjadi negara merdeka, tak terjajah. Sebagaimana
luapan lirik atau teks dalam lagu itu. Nyanyian Indonesia Raya tak ubahnya
timbunan doa.
Perjuangan yang dilakukan Supratman menggambarkan
makna bahwa bunyi mampu menjadi pedang tajam yang menghunus penguasa saat itu.
Bunyi yang kehadirannya tak semata kumpulan nada dan harmoni, namun seperti
yang diungkapkan Wisnu Mintargo lewat bukunya Musik Revolusi Indonesia (2008), bunyi secara langsung menyerang
nalar pikiran manusia untuk terlibat dan turut larut merasakannya. Sampaian
pesan yang dimunculkan kadang lebih mampu didedengar daripada suara beribu
bunyi senapan. Musik-musik revolusi Indonesia membuktikan akan kekuatan itu. Jejak
sejarah Indonesia Raya hampir sama dengan telisik musik-musik kritik masa orde
baru. Saat di mana lirik Iwan Fals dianggap sebagai pengkafiran dalam musik. Bob
Marley, John Lennon juga senasib sepenanggungan. Berjuang lewat ikhtiar doa dalam
balutan nada.
Indonesia Raya kemudian terkultuskan
sebagai Musik Nasional Indonesia. Secara aklamasi dilagukan dalam peringatan
kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Lagu itu berdiri
sejajar dengan bendera merah putih dan bahasa persatuan. Hingga kini
kehadirannya dianggap penting dalam upaya katalisator, mempertautkan masyarakat
Indonesia dengan benang sejarah masa lalunya. Menyanyikan Indonesia Raya
berarti melihat titian perjuangan dan ritus doa. Tak heran jika banyak air mata
yang tumpah karena lagu ini. Indonesia Raya karya agung dari Wage Rudolf
Supratman. Menjadi bunyi yang menggoreskan kekuatan sebuah negara dengan
berbagai pengharapan dan angan-angannya.
Ironisnya, justru lagu itu kini hanya
menjadi klangenan semata. Begitu sakral
hingga kadang tak mampu menunjukkan jati dirinya secara lebih terbuka. Indonesia
Raya hanya berkumandang nyaring saat perayaan ritus upacara. Selebihnya lenyap,
sayup-sayup dan tak terdengar lewat senandung lagu pilihan generasi masa kini
maupun menu bidikan media elektronik. Dirasa tak menarik dan monoton. Bukan hal
yang mengherankan jika banyak anak Indonesia mutakhir tak mampu menghafal
Indonesia Raya dengan baik dan benar. Indonesia Raya menjadi bahan tawa dan
cerca, tak ada lagi semaian air mata. Generasi yang tak lagi malu karena tak
mampu melagukannya. Indonesia Raya menjadi ironi musik nasionalis masa kini.
Bangkrut eksistensi karena terkungkung dalam batas musikalnya.
Terlupa
Ironi Indonesia Raya tak hanya terjadi
dalam generasi muda masa kini. Sejarah mencatat saat rapat paripurna Dewan
Perwakilan Rakyat (14 Agustus 2009) lagu Indonesia Raya alpa untuk dinyanyikan.
Harusnya mejadi lagu pembuka kemudian berubah menjadi lagu penutup. Atau lihat
pula saat perayaan upacara di Istana Negara, lagu Indonesia Raya menjadi lagu
yang paling miskin aransemen jika dibanding dengan lagu-lagu baru ciptaan
presiden. Indonesia Raya seolah menjadi menu pelengkap, pemanis dari glamournya
lagu-lagu yang kala itu mengalun. Sebuah era baru dalam kisah pembabakan sejarah
lagu Indonesia Raya telah dimulai. Era yang cukup memprihatinkan, nasib yang
tertepikan.
Aransemen musik-musik masa kini kemudian
menjadi teror baru dalam denyut hidup Indonesia Raya. Jika daya tahan lagu
kabangsaan semakin goyah, lalu bagaimana dengan lagu-lagu nasionalis lainnya?
Hal yang tidak banyak diperhatikan. Lagu-lagu nasionalis di era kini telah
dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Kalah bersaing dengan dominasi lagu-lagu
populis yang glamour. Semangat dan rintihan doa yang dibangun Wage Rudolf
Supratman tak lagi mampu bercengkrama dengan masa dan zamannya. Masa di mana
manusia Indonesia lebih dimanjakan dengan kuasa estetika gemerlap bunyi yang
hanya bertema cinta dan asmara semata.
Manusia Indonesia menjadi mayarakat
melankolis. Lebih mampu menghayati syahdunya lirik asmara dari pada semangat
doa dan cita-cita Indonesia Raya. Ritual pembuatan teks Indonesia Raya tak
sepadan dengan ambisi pamrih yang diterimanya. Padahal sejak awal ziarah
penyempurnaan estetika musik dan kata dalam teks musikal Indonesia Raya dapat melaju
dengan kencang menuruti pelbagai tanggapan serta iklim sosial dan politik yang
terjadi. Lagu itu dianggap begitu penting dan krusial hingga pada tahun 1944 dibentuklah
Panitia Lagu Kebangsaan yang tugasnya melakukan beberapa perubahan dalam segi
lirik dan musikal. Di sisi lain juga membuat ketentuan-ketentuan resmi dalam
tata cara penyajiannya. Tak main-main, panitia terdiri dari tokoh-tokoh penting
Indonesia seperti Ir. Soekarno, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, Mr. Ahmad
Subarjo, Mr. Mohammad Yamin, dan lain sebagainya (Sularto, 1982).
Tahun 1958 pemerintah kembali membentuk
Panitia Peninjauan Lagu Indonesia Raya. Akhirnya pada 26 Juni 1958 presiden
menetapkan PP No.44/1958 tentang nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan
lagu. Dengan melihat semangat yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh krusial pendiri
Indonesia terhadap lagu Indonesia Raya, setidaknya menjadi cerminan bagi
masyarakat saat ini tentang bagaimana lagu ini harus didudukkan dan
diperlakukan kembali.
Indonesia Raya yang awalnya menjadi
teror bagi kolonial kini menjadi barang langka musik Indonesia. Kehadirannya
semakin mahal untuk diwujudkan. Indoesia Raya beku aransemen sejak 54 tahun
lalu. Tak berlebihan kiranya jika ada harapan besar untuk mencoba melihat
kembali posisi lagu Indonesia Raya dalam persimpangan lalu-lalang bunyi masa
kini. Tak menutup kemungkinan jika usaha-usaha dalam mengkonstruksi ulang termasuk
mengaranseman dan mengenalkan kembali Indonesia Raya dengan cara dan metode
baru dapat segera digelar sebagaimana satir Purwacaraka di atas.
Aris Setiawan
Pengajar
Etnomusikologi di Institut Seni Indonesia Surakarta