Indonesia Raya di Mata Zaman (dimuat di Solopos, 30 Oktober 2012)



Indonesia Raya di Mata Zaman

Bulan Oktober menjadi ritus sakral kelahiran lagu Indonesia Raya. Bulan yang menjadi tonggak awal dalam memperkenalkan lagu kebangsaan itu kepada publik. Namun sayang, Purwa Caraka, komponis musik ternama Indonesia, pada perayaan kemerdekaan Agustus lalu mengkritik kebekuan lagu negara kita Indonesia Raya. Menurutnya, lagu itu kini cenderung sakral dan mistis, hingga tak ada satupun musisi masa kini yang berniat dan berani mengaransemen ulang. Atau bukannya tak mau, tapi takut karena lagu itu telah dipagari dengan tembok tempurung yang ketat. Indonesia Raya telah dikurung dalam semaian undang-undang. Menyanyikan, membawakan dan mengaransemennya harus sesuai dengan juklak yang ada, tak boleh sembarangan. Batasan yang justru mengekang. Membuat Indonesia Raya berjalan di tempat, jauh tertinggal dalam ingar-bingar perkembangan musik dewasa ini.
Lagu yang berdengung kencang di antero negeri lewat ritual upacara tujuh belasan itu lebih dari sekedar nada dan lirik, tapi bangunan nalar yang menarasikan rasa patriotis rakyat Indonesia. Namun di sisi lain juga menjadi ironi. Lagu yang awalnya berdendang dalam mengafirmasi semangat nasionalis dan kepahlawanan, kini seolah menjadi barang usang yang membosankan. Rutinitas ruang kemunculannya dapat dihitung dengan jari. Tertimbun dalam tumpukan jerami lagu-lagu populis masa kini.

Indonesia Raya
Sejarah perjuangan Indonesia tak dapat dipisahkan dari sejarah dalam mengolah nada dan bunyi.  Komponis Wage Rudolf Supratman adalah aktor penting di balik peristiwa itu. Kebebasan yang sempit, pengawasan dan kontrol kolonial yang ketat, tak menciutkan niatnya dalam meniti lagu yang menggugah semangat patriotis. Pria yang lahir pada 9 Maret 1903 itu tak takut dengan senapan Belanda, apalagi dinginnya jeruji prodeo. Titik kulminasinya terjadi saat Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Lagu ciptaannya yang kemudian dinamakan “Indonesia Raya” berkumandang merdu disertai lantunan biola yang dimainkan oleh Supratman sendiri. Lagu yang mengundang decak kagum, menyemai banjir air mata para peserta kongres. Tak berselang lama, lagu Indonesia Raya menyebar, menyelinap dari satu telinga ke telinga yang lain.
Kumandang lagu itu menambah getir nyali Belanda. Pembredelan bunyi dilakukan lewat bermacam kebijakan yang secara serentak disiarkan dari berbagai media seperti radio, koran dan majalah. Layaknya Kitab Kama Sutra di India, dilarang namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Begitupun Indonesia Raya, dilarang namun tetap menggema di setiap batin masyarakat Indonesia. Lagu itu mengimajinasikan secercah harapan dan ambisi penuh nafsu untuk menjadi negara merdeka, tak terjajah. Sebagaimana luapan lirik atau teks dalam lagu itu. Nyanyian Indonesia Raya tak ubahnya timbunan doa.
Perjuangan yang dilakukan Supratman menggambarkan makna bahwa bunyi mampu menjadi pedang tajam yang menghunus penguasa saat itu. Bunyi yang kehadirannya tak semata kumpulan nada dan harmoni, namun seperti yang diungkapkan Wisnu Mintargo lewat bukunya Musik Revolusi Indonesia (2008), bunyi secara langsung menyerang nalar pikiran manusia untuk terlibat dan turut larut merasakannya. Sampaian pesan yang dimunculkan kadang lebih mampu didedengar daripada suara beribu bunyi senapan. Musik-musik revolusi Indonesia membuktikan akan kekuatan itu. Jejak sejarah Indonesia Raya hampir sama dengan telisik musik-musik kritik masa orde baru. Saat di mana lirik Iwan Fals dianggap sebagai pengkafiran dalam musik. Bob Marley, John Lennon juga senasib sepenanggungan. Berjuang lewat ikhtiar doa dalam balutan nada.
Indonesia Raya kemudian terkultuskan sebagai Musik Nasional Indonesia. Secara aklamasi dilagukan dalam peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Lagu itu berdiri sejajar dengan bendera merah putih dan bahasa persatuan. Hingga kini kehadirannya dianggap penting dalam upaya katalisator, mempertautkan masyarakat Indonesia dengan benang sejarah masa lalunya. Menyanyikan Indonesia Raya berarti melihat titian perjuangan dan ritus doa. Tak heran jika banyak air mata yang tumpah karena lagu ini. Indonesia Raya karya agung dari Wage Rudolf Supratman. Menjadi bunyi yang menggoreskan kekuatan sebuah negara dengan berbagai pengharapan dan angan-angannya.
Ironisnya, justru lagu itu kini hanya menjadi klangenan semata. Begitu sakral hingga kadang tak mampu menunjukkan jati dirinya secara lebih terbuka. Indonesia Raya hanya berkumandang nyaring saat perayaan ritus upacara. Selebihnya lenyap, sayup-sayup dan tak terdengar lewat senandung lagu pilihan generasi masa kini maupun menu bidikan media elektronik. Dirasa tak menarik dan monoton. Bukan hal yang mengherankan jika banyak anak Indonesia mutakhir tak mampu menghafal Indonesia Raya dengan baik dan benar. Indonesia Raya menjadi bahan tawa dan cerca, tak ada lagi semaian air mata. Generasi yang tak lagi malu karena tak mampu melagukannya. Indonesia Raya menjadi ironi musik nasionalis masa kini. Bangkrut eksistensi karena terkungkung dalam batas musikalnya.

Terlupa
Ironi Indonesia Raya tak hanya terjadi dalam generasi muda masa kini. Sejarah mencatat saat rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (14 Agustus 2009) lagu Indonesia Raya alpa untuk dinyanyikan. Harusnya mejadi lagu pembuka kemudian berubah menjadi lagu penutup. Atau lihat pula saat perayaan upacara di Istana Negara, lagu Indonesia Raya menjadi lagu yang paling miskin aransemen jika dibanding dengan lagu-lagu baru ciptaan presiden. Indonesia Raya seolah menjadi menu pelengkap, pemanis dari glamournya lagu-lagu yang kala itu mengalun. Sebuah era baru dalam kisah pembabakan sejarah lagu Indonesia Raya telah dimulai. Era yang cukup memprihatinkan, nasib yang tertepikan.
Aransemen musik-musik masa kini kemudian menjadi teror baru dalam denyut hidup Indonesia Raya. Jika daya tahan lagu kabangsaan semakin goyah, lalu bagaimana dengan lagu-lagu nasionalis lainnya? Hal yang tidak banyak diperhatikan. Lagu-lagu nasionalis di era kini telah dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Kalah bersaing dengan dominasi lagu-lagu populis yang glamour. Semangat dan rintihan doa yang dibangun Wage Rudolf Supratman tak lagi mampu bercengkrama dengan masa dan zamannya. Masa di mana manusia Indonesia lebih dimanjakan dengan kuasa estetika gemerlap bunyi yang hanya bertema cinta dan asmara semata.
Manusia Indonesia menjadi mayarakat melankolis. Lebih mampu menghayati syahdunya lirik asmara dari pada semangat doa dan cita-cita Indonesia Raya. Ritual pembuatan teks Indonesia Raya tak sepadan dengan ambisi pamrih yang diterimanya. Padahal sejak awal ziarah penyempurnaan estetika musik dan kata dalam teks musikal Indonesia Raya dapat melaju dengan kencang menuruti pelbagai tanggapan serta iklim sosial dan politik yang terjadi. Lagu itu dianggap begitu penting dan krusial hingga pada tahun 1944 dibentuklah Panitia Lagu Kebangsaan yang tugasnya melakukan beberapa perubahan dalam segi lirik dan musikal. Di sisi lain juga membuat ketentuan-ketentuan resmi dalam tata cara penyajiannya. Tak main-main, panitia terdiri dari tokoh-tokoh penting Indonesia seperti Ir. Soekarno, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. Mohammad Yamin, dan lain sebagainya (Sularto, 1982).
Tahun 1958 pemerintah kembali membentuk Panitia Peninjauan Lagu Indonesia Raya. Akhirnya pada 26 Juni 1958 presiden menetapkan PP No.44/1958 tentang nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan lagu. Dengan melihat semangat yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh krusial pendiri Indonesia terhadap lagu Indonesia Raya, setidaknya menjadi cerminan bagi masyarakat saat ini tentang bagaimana lagu ini harus didudukkan dan diperlakukan kembali.
Indonesia Raya yang awalnya menjadi teror bagi kolonial kini menjadi barang langka musik Indonesia. Kehadirannya semakin mahal untuk diwujudkan. Indoesia Raya beku aransemen sejak 54 tahun lalu. Tak berlebihan kiranya jika ada harapan besar untuk mencoba melihat kembali posisi lagu Indonesia Raya dalam persimpangan lalu-lalang bunyi masa kini. Tak menutup kemungkinan jika usaha-usaha dalam mengkonstruksi ulang termasuk mengaranseman dan mengenalkan kembali Indonesia Raya dengan cara dan metode baru dapat segera digelar sebagaimana satir Purwacaraka di atas.
Aris Setiawan
Pengajar Etnomusikologi di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut