Musik Mengisahkan Rezim
Setiap pembabakan sejarah Indonesia
senantiasa ditandai dengan lahirnya sebuah musik. Lihatlah tragedi Bandung
dengan lahirnya “Bandung Lautan Api”, begitu pula Surabaya dengan lagu “Surabayanya”,
atau masa PKI dengan berdengungnya lagu “Genjer-genjer”.
Namun dewasa ini musik tidak lagi mampu
berbicara lantang tentang fakta dan realitas dalam mengguratkan sejarah zaman untuk
dikenang di masa depan. Musik kini justru menjelma sebagai katalisator dalam
melukiskan supremasi penguasa dan mengisahkan keagungan sebuah rezim. Pelaku musiknya bukan lagi musisi musik ansih layaknya Iwan
Fals, Rhoma Irama, Ebiet G Ade, atau lainnya. Tugas itu justru diemban oleh
sang presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak SBY berkuasa,
setidaknya telah lahir empat album musik karyanya seperti “Rinduku Padamu”
(2007), “Evolusi” (2009), “Ku Yakin Sampai di Sana” (2010) dan yang terakhir “Harmoni Alam, Cinta dan Kedamaian”. Lagu dari album-album itu
senantiasa menggema dalam setiap prosesi acara penting di negeri ini, termasuk
pada hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober kemarin.
Istimewa
Sosok SBY begitu
langka. Karena boleh dikata hanya dialah satu-satunya presiden di dunia ini
yang rajin mencipta lagu saat menjabat. Begitu produktif hingga mampu melahirkan
empat album. Lagu-lagunyapun dibawakan oleh penyanyi-penyanyi kenamaan tanah
air seperti Sandhy Sandoro, Agnes Monica, Afgan, Joy Tobing dan lain
sebagainya. Tentu tema musik yang dibawakannya berbeda dengan tema musik yang
dewasa ini menghiasi televisi kita. Di saat musik-musik kini berlomba-lomba
dalam melukiskan tema cinta-cintaan dan asmara semata, SBY justru bercerita
tentang perjuangan dan semangat hidup, cinta alam dan kasih sayang sesama.
Sebenarnya
lagu-lagu jenis demikian juga banyak lahir dalam khasanah musik tanah air.
Hanya saja, kadang gaungnya tidak terdengar karena media tak mau menjamahnya,
dianggap jauh menyimpang dari pasar. Namun karena yang mencipta adalah orang
nomor satu negeri ini, otomatis menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Tapi
jangan salah, perbincangan bukan seputar estetika yang dimunculkan dari
lagu-lagu pada album SBY, namun lebih disibukkan dengan persoalan etika saat seorang presiden mencipta
lagu di mana kondisi berbagai sektor negara masih menuai kritik yang pedas.
Dalam pandangan
politis, apa yang dilakukan SBY tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai
realitas yang terjadi dalam masyarakat. Logikanya, seni atau musik akan dapat
dinikmati dengan layak ketika masyarakat penikmatnya dalam kalkulasi pencapaian
kondosi ekonomi yang mapan. Mereka tidak lagi harus berfikir tentang beban
kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga suplemen asupan bunyi dapat mudah
dihayati dan masuk mengkonstruksi otak. Namun dalam pandangan musi(kologi) atau
ilmu (budaya) musik, apa yang dilakukan SBY dalam
mencipta lagu adalah wujud dalam upaya legitimasi perjuangan yang ideal. Justru
di saat kondisi negara dalam berbagai sektor seperti politik, hukum dan ekomoni
yang senantiasa menui banyak kritik, tema lagu-lagu SBY adalah medan atau ruang
kontemplasi yang mampu melukiskan satu zaman yang ideal. Lagu-lagu dengan temanya
yang demikian adalah lahir dari buah keadaan realitas kehidupan yang sebenarnya
timpang atau bahkan chaos.
Lagu-lagu Iwan
Fals lahir sebagai medan kritik pada orde baru dengan dominasi Soeharto yang
dianggap absolud. Lagunya John Lennon sebagai buah dari ketimpangan oleh
intrik-intrik penguasa di Amerika. Bob Marley dengan lagunya yang menghardik
pemerintah Jamika yang masih menganut rasisme. Bagitu pula dengan lagu-lagu SBY
yang secara tak langsung bersuara lantang mengkritik kekacauan yang terjadi di
negeri ini. Persoalannya apakah disadari oleh SBY bahwa lagunya dengan
tema-tema perjungan hidup tersebut justru sebaliknya mengisahkan sebuah
kepahitan dalam struktur dan realitas yang sejatinya. Bukan hal yang baru lagi
jika inspirasi sebuah lagu kritik, balada, perjuangan, tercipta dengan didasari
atas pergulatan dan pengalaman hidup yang dirasa menyakitkan.
Namun seberapa
besar efek yang disandang oleh lagu ciptaan SBY dapat dipastikan sangat kecil
kalau bukannya tidak ada. Senantiasa akan tergilas oleh lagu-lagu populis yang
selama ini menguasai jepretan kamera media. Padahal bukan satu hal yang
mustahil jika SBY akan tampil menyapa kita lewat acara-acara musik seperti
Dahsyat di RCTI, Dering di Trans TV atau In Box di SCTV sesudah dirinya pensiun
menjadi presiden kelak. Atau justru sebaliknya lagu-lagu SBY akan dipasung
setelah berganti rezim, layaknya karya-karya musik dalam transisi orde lama ke
orde baru.
Mengisahkan
Rezim
Oleh karena tak
mampu bersaing secara jantan dengan musik-musik populis tanah air saat ini,
lagu-lagu SBY kemudian menjadi begitu sakral. Regulasi munculnya justru pada
puncak peristiwa-peristiwa penting. Tentu masih ingat dalam benak kita bagaimana
lagu SBY muncul dalam soal penerimaan CPNS beberapa waktu lalu. Lagunya juga dinyanyikan di
hadapan para peserta, tamu, dan undangan Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat
Nasional Tahun 2011 yang digelar di halaman Istana Kepresidenan Bogor, Jawa
Barat, Sabtu (17/9/2011). Lagu "Kuyakin Sampai di Sana", dinyanyikan
di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 16 Agustus 2011 ketika SBY menyampaikan
pidato kenegaraan, RAPBN 2012, dan nota keuangan di hadapan sidang bersama DPD
dan DPR. Keesokan harinya, lagu SBY yang berjudul "Dari Jakarta ke Oslo
untuk Bumi Kita" dinyanyikan pada peringatan HUT ke-66 Kemerdekaan RI.
Tak cukup sampai disitu, lagu
tersebut juga turut dinyanyikan pada acara pembukaan Rapat Pimpinan Nasional
Kadin Indonesia di Hotel Ritz- Carlton, Jakarta, pada awal April 2011. Lagu SBY
juga sekali lagi didendangkan pada pembukaan pesta olahraga negara-negara Asia
Tenggara, SEA Games XXVI, 11 November 2011, di Palembang, Sumatera Selatan. Lagunya dinyanyikan dalam sesi ketiga pertemuan para CEO Asia Pasifik
yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan KTT ke-19 Asia Pacific Economic
Cooperation (APEC) di Honolulu, Kepulauan Hawaii pada 13 November 2011 waktu
Indonesia. Yang terakhir, lagunya
dinyanyikan dalam pembukaan Pekam Olahraga Nasional Riau 2012, serta pada
upacara Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti pada 1 Oktober 2012
kemarin. Jangan
heran jika kelak kemudian lagu SBY juga akan menjadi lagu wajib menggantikan
lagu-lagu nasionalis dan akan menyapa kita dalam setiap acara atau prosesi
kenegaraan seperti upacara hari senin misalnya.
Sampai di sini musik telah mengisahkan
‘keangkuhan’ sebuah rezim.
Musik kini bukan lagi persoalan nada dan alur melodi semata, musik telah
menjadi alat legitimasi penguasa dalam mengguratkan sejarah dan kekuasaan. Musik
yang dulu berbicara lantang dalam menentang ketertindasan kini semakin
sayup-sayup tak terdengar, tergusur oleh kuatnya supremasi penguasa.
SBY dengan lagu-lagunya seolah menyindir kaum-kaum
musisi idealis masa kini. Jika dulu lagu kritik era Iwan Fals mampu berdengung
panjang walau tak jarang terpasung. Kini musik-musik jenis demikian semakin
membisu, mengalami kebangkrutan penciptaan alias mandul karena tergilas
ramainya pasar. Atau sebaliknua,
musik-musik jenis itu masih hidup dan berdetak, namun tak terjamah media karena
kurang kuatnya supremasi kekuasaan yang dimiliki musisinya. SBY memberi tauladan berharga dalam hal
ini.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan
Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar