Musik Mengisahkan Rezim (Aris Setiawan, dimuat di Koran Joglosemar 13 Oktober 2012)

Musik Mengisahkan Rezim

Setiap pembabakan sejarah Indonesia senantiasa ditandai dengan lahirnya sebuah musik. Lihatlah tragedi Bandung dengan lahirnya “Bandung Lautan Api”, begitu pula Surabaya dengan lagu “Surabayanya”, atau masa PKI dengan berdengungnya lagu “Genjer-genjer”. Namun dewasa ini musik tidak lagi mampu berbicara lantang tentang fakta dan realitas dalam mengguratkan sejarah zaman untuk dikenang di masa depan. Musik kini justru menjelma sebagai katalisator dalam melukiskan supremasi penguasa dan mengisahkan keagungan sebuah rezim. Pelaku musiknya bukan lagi musisi musik ansih layaknya Iwan Fals, Rhoma Irama, Ebiet G Ade, atau lainnya. Tugas itu justru diemban oleh sang presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak SBY berkuasa, setidaknya telah lahir empat album musik karyanya seperti “Rinduku Padamu” (2007), “Evolusi” (2009), “Ku Yakin Sampai di Sana” (2010) dan yang terakhir “Harmoni Alam, Cinta dan Kedamaian”. Lagu dari album-album itu senantiasa menggema dalam setiap prosesi acara penting di negeri ini, termasuk pada hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober kemarin.

Istimewa
Sosok SBY begitu langka. Karena boleh dikata hanya dialah satu-satunya presiden di dunia ini yang rajin mencipta lagu saat menjabat. Begitu produktif hingga mampu melahirkan empat album. Lagu-lagunyapun dibawakan oleh penyanyi-penyanyi kenamaan tanah air seperti Sandhy Sandoro, Agnes Monica, Afgan, Joy Tobing dan lain sebagainya. Tentu tema musik yang dibawakannya berbeda dengan tema musik yang dewasa ini menghiasi televisi kita. Di saat musik-musik kini berlomba-lomba dalam melukiskan tema cinta-cintaan dan asmara semata, SBY justru bercerita tentang perjuangan dan semangat hidup, cinta alam dan kasih sayang sesama.
Sebenarnya lagu-lagu jenis demikian juga banyak lahir dalam khasanah musik tanah air. Hanya saja, kadang gaungnya tidak terdengar karena media tak mau menjamahnya, dianggap jauh menyimpang dari pasar. Namun karena yang mencipta adalah orang nomor satu negeri ini, otomatis menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Tapi jangan salah, perbincangan bukan seputar estetika yang dimunculkan dari lagu-lagu pada album SBY, namun lebih disibukkan dengan persoalan etika saat seorang presiden mencipta lagu di mana kondisi berbagai sektor negara masih menuai kritik yang pedas.
Dalam pandangan politis, apa yang dilakukan SBY tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai realitas yang terjadi dalam masyarakat. Logikanya, seni atau musik akan dapat dinikmati dengan layak ketika masyarakat penikmatnya dalam kalkulasi pencapaian kondosi ekonomi yang mapan. Mereka tidak lagi harus berfikir tentang beban kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga suplemen asupan bunyi dapat mudah dihayati dan masuk mengkonstruksi otak. Namun dalam pandangan musi(kologi) atau ilmu (budaya) musik, apa yang dilakukan SBY dalam mencipta lagu adalah wujud dalam upaya legitimasi perjuangan yang ideal. Justru di saat kondisi negara dalam berbagai sektor seperti politik, hukum dan ekomoni yang senantiasa menui banyak kritik, tema lagu-lagu SBY adalah medan atau ruang kontemplasi yang mampu melukiskan satu zaman yang ideal. Lagu-lagu dengan temanya yang demikian adalah lahir dari buah keadaan realitas kehidupan yang sebenarnya timpang atau bahkan chaos.
Lagu-lagu Iwan Fals lahir sebagai medan kritik pada orde baru dengan dominasi Soeharto yang dianggap absolud. Lagunya John Lennon sebagai buah dari ketimpangan oleh intrik-intrik penguasa di Amerika. Bob Marley dengan lagunya yang menghardik pemerintah Jamika yang masih menganut rasisme. Bagitu pula dengan lagu-lagu SBY yang secara tak langsung bersuara lantang mengkritik kekacauan yang terjadi di negeri ini. Persoalannya apakah disadari oleh SBY bahwa lagunya dengan tema-tema perjungan hidup tersebut justru sebaliknya mengisahkan sebuah kepahitan dalam struktur dan realitas yang sejatinya. Bukan hal yang baru lagi jika inspirasi sebuah lagu kritik, balada, perjuangan, tercipta dengan didasari atas pergulatan dan pengalaman hidup yang dirasa menyakitkan.
Namun seberapa besar efek yang disandang oleh lagu ciptaan SBY dapat dipastikan sangat kecil kalau bukannya tidak ada. Senantiasa akan tergilas oleh lagu-lagu populis yang selama ini menguasai jepretan kamera media. Padahal bukan satu hal yang mustahil jika SBY akan tampil menyapa kita lewat acara-acara musik seperti Dahsyat di RCTI, Dering di Trans TV atau In Box di SCTV sesudah dirinya pensiun menjadi presiden kelak. Atau justru sebaliknya lagu-lagu SBY akan dipasung setelah berganti rezim, layaknya karya-karya musik dalam transisi orde lama ke orde baru.

Mengisahkan Rezim
Oleh karena tak mampu bersaing secara jantan dengan musik-musik populis tanah air saat ini, lagu-lagu SBY kemudian menjadi begitu sakral. Regulasi munculnya justru pada puncak peristiwa-peristiwa penting. Tentu masih ingat dalam benak kita bagaimana lagu SBY muncul dalam soal penerimaan CPNS beberapa waktu lalu. Lagunya juga dinyanyikan di hadapan para peserta, tamu, dan undangan Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat Nasional Tahun 2011 yang digelar di halaman Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/9/2011). Lagu "Kuyakin Sampai di Sana", dinyanyikan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 16 Agustus 2011 ketika SBY menyampaikan pidato kenegaraan, RAPBN 2012, dan nota keuangan di hadapan sidang bersama DPD dan DPR. Keesokan harinya, lagu SBY yang berjudul "Dari Jakarta ke Oslo untuk Bumi Kita" dinyanyikan pada peringatan HUT ke-66 Kemerdekaan RI.
Tak cukup sampai disitu, lagu tersebut juga turut dinyanyikan pada acara pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Kadin Indonesia di Hotel Ritz- Carlton, Jakarta, pada awal April 2011. Lagu SBY juga sekali lagi didendangkan pada pembukaan pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara, SEA Games XXVI, 11 November 2011, di Palembang, Sumatera Selatan. Lagunya dinyanyikan dalam sesi ketiga pertemuan para CEO Asia Pasifik yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan KTT ke-19 Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Honolulu, Kepulauan Hawaii pada 13 November 2011 waktu Indonesia. Yang terakhir, lagunya dinyanyikan dalam pembukaan Pekam Olahraga Nasional Riau 2012, serta pada upacara Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti pada 1 Oktober 2012 kemarin. Jangan heran jika kelak kemudian lagu SBY juga akan menjadi lagu wajib menggantikan lagu-lagu nasionalis dan akan menyapa kita dalam setiap acara atau prosesi kenegaraan seperti upacara hari senin misalnya.
Sampai di sini musik telah mengisahkan keangkuhan sebuah rezim. Musik kini bukan lagi persoalan nada dan alur melodi semata, musik telah menjadi alat legitimasi penguasa dalam mengguratkan sejarah dan kekuasaan. Musik yang dulu berbicara lantang dalam menentang ketertindasan kini semakin sayup-sayup tak terdengar, tergusur oleh kuatnya supremasi penguasa.
SBY dengan lagu-lagunya seolah menyindir kaum-kaum musisi idealis masa kini. Jika dulu lagu kritik era Iwan Fals mampu berdengung panjang walau tak jarang terpasung. Kini musik-musik jenis demikian semakin membisu, mengalami kebangkrutan penciptaan alias mandul karena tergilas ramainya pasar. Atau sebaliknua, musik-musik jenis itu masih hidup dan berdetak, namun tak terjamah media karena kurang kuatnya supremasi kekuasaan yang dimiliki musisinya. SBY memberi tauladan berharga dalam hal ini.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut