Krumpyung Banyumas Pamit (dimuat di Suara Merdeka edisi 11 Maret 2013)


Krumpyung Banyumas Pamit 




Selama ini orang lebih mengenal angklung. Istrumen bambu itu telah diakui UNESCO sebagaiRepresentative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity (Daftar Representatif Budaya Tak Benda Warisan Manusia). Angklung adalah alat musik dari Jawa Barat. Dengan diakuinya angklung secara tak langsung mengangkat denyut kesenian Jawa Barat semakin berdetak kencang. Lihatlah Saung Angklung Udjo yang saat ini begitu terkenal, menjadi transit para pelancong dalam agenda bisnis pariwisata daerah. Sementara itu, di balik ramainya musik bambu di Bandung tak berbanding manis dengan musik bambu di Banyumas Jawa Tengah.  
Saat mendampingi mahasiswa Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (12/02/2013) melakukan perekaman musik-musik tradisi nusantara Banyumas sebagai bahan ajar, begitu miris hati ini kala menyaksikan pertunjukan musik bambu Krumpyung. Bentuknya hampir sama dengan instrumen angklung, hanya saja larasnya pentatonis (selendro) bukannya diatonis. Sebelumnya, musik itu tak pernah lagi dibunyikan selama lebih dari 25 tahun. Saat membunyikannya, beberapa pemain menyemai senyum, air mata dan ratapan bahagia. Banyak pelaku yang merasa sulit memainkan karena lupa, mencoba merekonstruksi kembali ingatan musikalnya. Mereka seolah disadarkan kembali akan memori indah masa silam, kala kejayaan instrumen bambu itu berkumandang di negeri para Ngapak.

Bambu
Kuwat dalam tulisannya berjudul Bongkel: Cikal Bakal Musik Bambu Banyumas (2003) memandang bahwa Krumpyung adalah instrumen khas Banyumas dan sekitarnya selain Calung dan Bongkel. Krumpyung mengguratkan kreativitas kebudayaan lokal. Bambu tak semata kayu, dibakar untuk mananak nasi, dipahat untuk mendirikan rumah. Bambu juga mampu berhubungan dengan nada dan harmoni. Masyarakat Banyumas menafsir bambu layaknya masyarakat Solo menafsir logam untuk gamelan. Bahkan, banyak yang beranggapan, usia musik bambu di Banyumas lebih tua daripada gamelan yang ada di Jawa (Kunts, 1973).
Musik Krumpyung adalah wujud perayaan syukur terhadap kehidupan, terutama dalam budaya agraris. Musik ini dipersembahkan untuk Dewi Sri, dewi padi yang senantiasa memberi anugerah panen berlimpah. Krumpyung tak sekedar alat musik. Darinya juga berisi timbunan mitos, kisah dan imajinasi budaya Panginyongan. Membicarakan Banyumas berarti membicarakan bambu. Bambu adalah karakter dan indentitas. Ahmad Tohari lewat novelnya Ronggeng Dukuh Paruk (1982) tak semata berkisah tentang realitas ronggeng dan kehidupannya, namun juga musik. Ronggeng tak bisa dilepaskan dengan musik, dan musik itu adalah bambu. Kisah bambu adalah cerita tentang perjuangan dan eksistensi kebudayaan musik nusantara. Gempuran budaya baru dalam memperkenalkan teknologi dan varian instrumen musik yang dianggap lebih “moderen”, secara langsung menguji daya tahan musik bambu Banyumas termasuk Krumpyung.
Beberapa di antaranya telah kalah. Dan Krumpyung adalah salah satunya. Musik itu kini sayup-sayup tak lagi mengalun merdu, tak mampu bercengkrama mesra dengan kehidupan para petani di sawah. Musik itu perlahan tapi pasti pamit untuk mati. Krumpyung kemudian oleh para etnomusikolog dan peneliti musik telah digolongkan sebagai musik langka, purbawi yang kehidupannya memprihatinkan, kalau tak boleh dibilang segera punah. Hampir semua para pemainnya berusia lanjut, tak ada regenerasi penerus, apalagi anak-anak muda. Musik ini mengalami kebangkrutan eksistensi. Tak semua orang mampu memainkannya karena membutuhkan daya virtuositas yang tinggi. Jika para pemain dengan usia yang senja itu telah tiada, maka akan putus juga denyut kehidupan musik ini.
Tak hanya musik Krumpyung, hal senada juga terjadi pada musik bambu lain seperti Gondoliyo Banyumas. Sama-sama sedang menghadapi masalah serupa, kematian. Di sisi lain, perhatian pemerintah tak begitu nampak. Banyak anak muda yang tak lagi mampu mengenali musik-musik bambu daerahnya. Krumpyung menjadi suara dari benturan bunyi yang kalah. Persoalannya kemudian, jika Bandung mampu mengangkat musik angklung, kenapa Banyumas kesulitan mengangkat musik serupa dengan ciri khas yang lebih unik dan tipikal.
Kenapa saya sebut demikian? Jika musik angklung di Bandung lebih kental dengan nuansa pengaruh musik Barat karena menggunakan tangga nada diatonis (do, re, mi), maka di Banyumas justru menggunakan tangga nada pentatonis (ro, lu, ma dan seterusnya). Tangga nada yang asli milik Banyumas dan Jawa pada umumnya. Sayangnya, penetapan angklung sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO tak disambut positif oleh pemerintah Banyumas. Sebuah momen yang terlewatkan. Bisa saja dengan diakuinya Angklung maka dengan segera pemerintah Banyumas mengaklamasikan dirinya sebagai “Kota Bambu”. Mencoba mengangkat kembali kesenian-kesenian musik bambu agar lebih mampu menampakkan jatidirinya secara lebih terbuka. Apalagi banyak forum-forum dan agenda internasional mengangkat bambu sebagai tema utama, seperti festival musik bambu, hari bambu dan lain sebagainya.

Kebersamaan
Bermain Krumpyung membutuhkan imajinasi untuk saling menghargai antar satu pemain dengan pemain lainnya. Ibarat bermain gamelan, kebersamaan menjadi sangat penting. Konsep mad sinamadan(menghargai secara musikal) diterapkan. Tak ada permainan instrumen yang lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain. Kerjasama dalam membentuk jalinan melodi adalah tak semata tanggung jawab satu pemain, namun semuanya. Konsep ini pula yang tertuang dalam konstruksi budaya Banyumasan sebagai budaya kerakyatan. Kesetaraan antara satu dengan yang lain adalah mutlak, sehingga tak ada unsur untuk merendahkan-meninggikan apalagi menindas.
Krumpyung dan juga musik bambu lainnya, dengan demikian adalah representasi dari kehidupan kultur masyarakat Banyumas. Dengan matinya musik bambu berarti pertanda mati pula sikap yang khas itu. bagaimanapun juga tongkat estafet dalam pelestarian musik bambu harus terus bergulir. Tak cukup dengan hanya melihat dan kemudian meratapi kematiannya. Apa yang dilakukan oleh Institusi Pendidikan Tinggi Seni semacam ISI hanyalah secuil dari sumbangan besar yang dapat kita berikan untuk kesenian ini. Perekaman musik langka itu dilakukan sebagai dokumentasi dan bukti penting bahwa musik tersebut pernah tumbuh dan berkembang. Setidaknya mengingatkan kita bagaimana kebudayaan Banyumas begitu kaya akan kreativitas olahan bambunya.
Krumpyung mengajak kita untuk kembali berkontemplasi akan nasib kebudayaan musik nusantara yang selama ini kita bangun dengan titian doa dan ritus sakral. Akankan budaya yang agung itu harus hilang tak berbekas, tak ada tangis dan sesal. Waktu belum sepenuhnya terlambat, curahan perhatian dan konservasi serta pengembangan masih sangat memungkinkan untuk dilakukan. Pertanyaannya kemudian, maukah kita sekilas saja memikirkan dan melakukan hal itu?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut