Solo Kota Kreatif Desain (di muat di Koran Joglosemar 29 Januari 2013)


Solo Beranjak ke Kota (Kreatif) Desain



Beberapa waktu lalu, Direktorat Perancangan Destinasi dan Investasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif merencanakan pengajuan proposal Jaringan Kota Kreatif kepada UNESCO. Kota-kota yang diajukan sebagai kota kreatif adalah Bandung sebagai kota Gastronomi atau kuliner, Yogyakarta sebagai Kota Craft and Folk Art, dan Solo sebagai Kota Desain. Rencana tersebut telah disosialisasikan padaworkshop tentang Penyusunan Zona Kreatif yang difasilitasi oleh Direktorat Perancangan Destinasi dan Investasi Pariwisata, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Novotel Solo, 8-9 November 2012 dan Sosialisasi “Application Guidelines UNESCO Creative Cities Network” 21 Nopember 2012.
Solo sebagai kota “desain”? Pertanyaan yang tentu membuat kita tercengang. Hal itu wajar, sebab Solo selama ini lebih kental dianggap sebagai kota yang dengan tekun menjadikan seni tradisi sebagai alas pijaknya. Sehingga untuk kata desain, mungkin lebih tepat jika Bandung yang notabene kota mode (fashion, busana) menyandang gelar itu. Namun tunggu dulu, desain bukanlah diksi yang diartikan secara sederhana sebagai ujudnya yang verbal. Desain dalam pengertian yang dimaksud adalah “bangunan proses kreatif” dalam memunculkan warna dan karya-karya baru, berpijak dengan alas dan bahan yang sudah ada. Intinya, Solo dengan segala asesorisnya dianggap sebagai tumpuan bahan dan sumber ide kreatif untuk berkarya.

Solo Sebagai Sumber Ide
Solo menjadi kota yang mampu melukiskan tentang peradaban dan kebudayaan Jawa. Hal ini ditandaskan dan dikuatkan dengan icon kotanya sebagai the spirit of Java. Kuatnya sejarah terbentuknya kota Solo dianggap mampu menjadi sumber desain dalam mengkonstruk warna kebudayaan baru di masa kini dan yang akan datang. Melihat Solo, berarti menelisik akan jejak episentrum tradisi yang masih begitu pekat dipertahankan. Berbagai ruang, tak terkecuali arsitektur, kuliner, tata kota, seni rupa dan seni pertunjukan. Solo dalam beberapa waktu terakhir juga menjadi barometer munculnya karya-karya kreatif unggulan baik di tinggat Nasional maupun Internasional. Lihatlah banyaknya forum-forum kaliber internasional yang digelar di kota ini.
Keberadaaan akar tradisi dan kebudayaan menjadi desain besar (grand design) terhadap sumber inspirasi terciptanya bentuk karya baru dengan warna dan corak yang mempresentasikan jati diri Solo. Sebagai contoh, simaklah kemudian kemunculan maestro-maestro seni pertunjukan yang mendunia, seperti Rahayu Supanggah, Sardono W Kusumo, Sahita, Retno Maruti, Blacius Subono dan masih banyak lagi. Mereka adalah maestro di bidangnya yang terkenal tak semata karena kepandaian dalam mencipta wujud seni baru, namun juga mengambil Solo sebagai inspirasi kreatif. Solo seolah mampu menyediakan segudang sumber.
Fenomena Matah Ati (September 2012) dalam beberapa waktu lalu misalnya, begitu menyedot perhatian publik. Bahkan berbagai media menjadikannya head line pemberitaan. Sebuah wacana baru dalam jagad seni pertunjukan Indonesia masa kini. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah even pertunjukan, maka dengan dibanjiriannya lima ribu lebih tiap malamnya adalah sebuah pencapaian yang menomental. Bagaimanapun juga fenomena Matah Ati tak terhenti dalam domain seni pertunjukan semata, namun mencoba melukiskan warna Solo secara lebih terbuka. Bayangkan jika Solo tak memiliki laku sejarah sebagaimana yang menjadi sumber cerita Matah Ati yang berkait tentang jejak pendiri Mangkunegaran.
Detail kisah, cerita dan peninggalan tradisi masa lalu adalah alas kreatif bagi manusia masa kini. Karena hal itulah, Solopun kemudian mentasbihkan dirinya sebagai World Heritage Cities. Menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Euro Asia untuk Organisasi Jaringan Kota Pusaka Dunia pada 2008. Lalu sudahkah kita puas dengan pengakuan Solo sebagai kota pusaka dan kota Cagar Budaya? Sementara di sisi lain, keniscayaan sebagai kota pusaka justru indentik dengan stereotip masa lalu, kota tua, kuno, tradisional, dan bahkan kolot. Guna mendekonstruksi anggapan itulah, Solo sebagai kota kreatif yang tak melulu konservatif juga telah diajukan.
Banyak kalangan menyambut antusias akan hal itu. Beberapa institusi yang berkepentinganpun turut terlibat dalam menggodok konsep, ide dan bahan dasar untuk membuat proposal ajuan. Para pelaku terdiri dari para akademisi, birokrat, budayawan dan seniman. Harapannya, dengan diakuinya Solo sebagai kota kreatif, mampu mendudukkan Solo sejajar dengan kota-kota besar di dunia. Solo tak semata menjadi ajang bisnis pelancongan dan persinggahan sementara bagi wisatawa, namun datang ke Solo berarti turut untuk berlaku kreatif, menemukan pengalaman berupa ide-ide baru yang lebih segar. Hal ini tentunya harus didukung oleh banyak pihak dengan mengembangkan berbagai potensi kota yang sudah ada.

Potensi
Selama ini banyak potensi terpendam kota Solo yang belum termanfaatkan dengan baik. Narasi Matah Ati adalah satu dari sekian timbunan kisah lainnya yang belum tergarap. Arsitektur bangunan yang banyak menyimpan cerita dan konsep kehidupan juga belum sepenuhnya terkomunikasi dengan lebih baik. Arsitektur Pasar gede misalnya, bangunan yang didirikan pada era Pakubuwana X itu bertahan mengikuti perkembangan zaman hingga kini. Namun tahukan kita bahwa Pasar gede didirikan tak semata sebagai ajang jual beli kebutuhan hidup masyarakat sekitar, namun didasarkan pula atas konsep Mandala. Pasar gede adalah simbol kehidupan duniawi, otomatis letaknya berada disebelah timur keraton. Sedangkan simbol akhirat, seperti Masjid, diletakkan pada sebelah barat keraton (Dhian Lestari Hastuti, 2012). Konsep kreatif dalam membuat bangunan itulah yang kini tak banyak dimengerti. Dengan munculnya Solo sebagai kota kreatif desain, diharapkan mampu membongkar renik-renik konsep kreatif lainnya, tak semata arsitektur saja tentunya.
Atau juga batik misalnya, tak semata menjadi brand image Indonesia namun juga dunia, yang awalnya adalah “milik” Solo. Bagaimana dengan pemanfaatan gamelan yang belum optimal sementara dunia sedang berlomba-lomba untuk berkarya dan memilikinya. Joss Wibisono (2011) dengan gamblang mengetengahkan bahwa komponis dunia akan dianggap ketinggalan zaman jika tidak memasukkan unsur-unsur gamelan dalam karyanya. Gamelan telah menjadi inspirasi kreatif bagi musisi di dunia, sementara di Solo masih sayup-sayup tak terdengar. Pesta-pesta rakyat dan ritus sakral yang dimiliki Solo masih terhenti dalam domain tradisi atau ritus wajib sementara narasi dalam penjelasan konsep kreatif keberadaanya belum terwacanakan pada publik di dunia. Harapannya, dengan diakuinya Solo sebagai kota kreatif desain, sumber-sumber kreatif yang dimiliki Solo tersebut tak hilang dimakan waktu.
Bukan satu hal yang asing jika Solo saat ini telah banyak berbenah, berubah menjadi kota yang terus maju berproses dengan zaman. Namun alangkah baiknya jika perubahan yang ada disertai dengan prilaku kreatif dengan memanfaatkan sumber daya yang telah ada. Basis tradisi kemudian menjadi bekal yang paling mungkin untuk dipegang. Oleh karena itu, laku kreatif Kota Solo adalah tak jauh beranjak dari pekat budaya yang dimilikinya. Bagaimanapun juga pengajuan Solo sebagai Kota Kreatif Desain (UNESCO Creative Cities Networkadalah sumbangan positif dalam menjaga denyut hidup Solo untuk semakin berdetak kencang. Implikasinya, diharapkan mampu memunculkan ide-ide kreatif baru di kota ini. Sehingga masyarakat juga berlomba-lomba membuat terobosan baru berupa munculnya industri-industri kreatif yang mampu menghidupi dirinya dan Kota Solo tentunya.

Aris Setiawan
Tim Perumus Solo Kota Kreatif (bidang Seni Pertunjukan)
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut