Memitoskan
Museum
Cukup mengejutkan kala mendengar seruan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh (17/9), bahwa untuk meningkatkan
animo masyarakat dan terutama anak-anak mendatangi museum, idealnya digunakan
cerita-cerita mistis. Cerita mistis itu tak harus sesuai dengan realitas, yang
penting anak-anak tertarik dan mau datang ke museum. Pertanyaannya kemudian,
apa beda museum dan kuburan? Bukankah sudah banyak acara televisi yang selama
ini menjadikan museum sebagai tempat “uji nyali”, lokasi menyeramkan.
Mendatangi museum kemudian tak ada bedanya dengan mendatangi kamar mayat, suram
dan menakutkan. Museum bukan lagi tenpat yang menyenangkan sebagai sarana
penelitian, pendidikan dan rekreasi. Di sisi lain, bukankah ada cara-cara lain
yang lebih realistis dibanding dengan membuat mistos atau cerita-cerita mistis
tak berdasar?
Kuburan
Tukul Arwana lewat salah satu acara
yang dipandunya seringkali mengunjungi tempat-tempat angker di Indonesia untuk
ditelisik lebih jauh tentang kandungan nilai kesakralan dan keseramannya.
Museum adalah salah satu tempat yang berulangkali dijadikan objek di acara itu.
Lewat penerawangan salah satu bintang tamu yang juga paranormal, dikisahkan
bahwa tempat-tempat tertentu dan benda-benda di museum menyimpan sejarah kelam.
Berbagai mitospun digoreskan, dari yang sepele hingga transenden. Hal ini
didukung dengan suasana museum yang juga terlihat menyeramkan dengan tata
cahaya remang-remang, sunyi dan sepi. Mendatangi museum membuat bulu kuduk
berdiri. Tak semua orang bisa dengan leluasa bercanda, tertawa, bermain di
tempat itu jika tak ingin mendapat bala
atau kutukan, bahkan mungkin juga kesurupan. Lewat acara itu, jangan heran jika
ke esokan harinya tak mampu dijumpai anak-anak yang bermain, tertawa dan senang
melihat benda-benda bersejarah. Mereka mungkin ketakutan. Jikapun datang,
mereka minta didampingi oleh orangtuanya. Melihat benda-benda cagar budaya
bukan lagi pada ujud atau fisiknya yang bercita rasa seni tinggi, namun lebih
pada mistos dan cerita seram yang kadang juga tak berdasar alias mengada-ada.
Ironisnya, kesan museum sebagai
kuburan sudah lama kita rasakan. Museum adalah terminal pemberhentian terakhir
bagi benda-benda antik. Kata museum justru berkonotasi sebagai kumpulan benda
bekas yang lapuk dan kuno. Tak jarang seseorang mengucap “dimuseumkan saja”
untuk menyebut benda atau manusia (teman, sahabat dan lain sebagainya) yang
dirasa sudah ketinggalan zaman alias katrok. Benda-benda yang tak bermanfaat
dan tak memiliki sumbangan penting mencoba untuk “dimuseumkan”. Hal tersebut
sudah lazim kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari. Oleh karena itu, citra
museumpun semakin suram. Hal ini diperparah dengan penjagaan dan perawatan
benda koleksi yang cenderung asal-asalan. Hal itu terbukti kala empat benda yang terbuat dari
emas koleksi Museum Nasional hilang dicuri. Benda bersejarah peninggalan
Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-10 hingga abad ke-11 Masehi itu diketahui
hilang pada Rabu (11/9) lalu. Kasus
kehilangan di Museum Nasional bukanlah yang pertama kali. Kasus terakhir
sekitar tahun 1995 ketika sejumlah koleksi keramik dan lukisan milik museum
tersebut hilang. Koleksi keramik tidak pernah kembali, sedangkan koleksi
lukisan ditemukan saat akan dilelang di luar negeri. Kejadian itu menjadi
pukulan telak di tengah berlangsungnya Festival Museum 2013 (tanggal
8 hingga 13 September) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas
Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu.
Lebir
tragisnya, benda-benda berharga itu dicuri kala pihak museum sedang menambah
jumlah petugas keamanan, dari 7 petugas menjadi 15 petugas. Kamera pemantau
(CCTV) pun sudah sejak lama tak berfungsi alias mati. CCTV kemudian hanya
menjadi pajangan tanpa diketahui fungsi dan manfaatnya. Di titik inilah ada
semacam kejenuhan dalam mengelola museum. Menjaga museum tak ubahnya menjaga
kuburan yang monoton dan penuh dengan kebosanan. Benda-benda antik itu ibarat
mayat-mayat yang sudah lama menjadi mumi. Akibatnya, pencuri dengan bebas
keluar masuk menjarah. Padahal fungsi museum adalah tempat penelitian serta
rekreasi yang menyenangkan bagi keluarga dan anak-anak. Dengan “menyeramkan”
museum berarti melegalkan publik untuk lebih menziarahi mal yang dirasa lebih
menyenangkan dan menghibur.
Terobosan
Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan adalah salah satu kementerian yang harusnya paling menjunjung tinggi
logika intelektual dan fakta dari pada sesuatu hal yang bersifat transenden,
tak berdasar dan mengada-ada. Kementerian ini pula yang membawahi berbagai
institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Darinya
senantiasa ditekankan tentang kaidah ilmu yang harus beralaskan penjelasan
ilmiah dan terukur. Sesuatu yang tak mampu dibuktikan dengan fakta dan data
empirik dianggap sebagai omong kosong. Oleh karena itu segala kebijakan dan
seruan yang dikeluarkannya haruslah berdasar atas prinsip-prinsip itu.
Sayangnya hal tersebut justru tak tersirat dari pernyataan pucuk pimpinan
tertinggi kementrian itu dalam wacana menghidupkan museum. Bagi Mendikbud
memitoskan benda-benda museum dengan
cerita rekaan bisa menarik minat anak-anak untuk mendatanginya. Kemudian,
bukankah hal ini sama saja dengan pembohongan publik? Di mana cerita yang ada
tak disertai dasar dan logika yang jelas. Sampai pada titik ini, Mohammad Nuh
terkesan mengambil jalan pintas.
Menarik minat generasi
masa kini untuk mendatangi museum harusnya dilakukan dengan usaha yang terukur.
Jika kita lihat, jarang ada museum yang menjalin kerjasama dengan institusi
pendidikan di bawah kemendikbud, sekolah-sekolah misalnya. Idealnya, ada
semacam jadwal wajib yang rutin bagi kunjungan pelajar ke museum. Dengan
ditemani oleh instruktur yang kompeten dan menyenangkan tentunya. Di sisi lain,
museum jarang mampu mengembangkan dirinya. Semata hanya mengandalkan satu
sumber dana dari pemerintah. Akibatnya, museum hanya memajang dan memamerkan
barang koleksi tanpa ada upaya lain. Bisa saja, pertukaran benda cagar budaya
antar museum lain dilakukan. Benda-benda yang ada tak berhenti di satu museum.
Publikasi dilakukan dengan baik. Masyarakatpun tak bosan melihat museum karena
ada sesuatu yang baru untuk dinikmati.
Bagaimanapun juga
museum adalah sarana yang paling efektif dalam melihat sejauh mana manusia
Indonesia telah berproses. Museum jarang menjadi rujukan untuk sekedar mengsisi
waktu luang. Jakarta yang memiliki lebih dari 60 museum justru lebih dikenal
dengan kota metropilis, kota dagang, kota modern dibanding dengan kota museum.
Kehilangan benda di Museum Nasional beberapa waktu lalu mengguratkan kisah pedih
yang patut kita renungi. Bagaimana tidak, Museum Nasional saja dapat dibobol
maling, bagaimana dengan museum daerah yang memiliki tingkat pengamanan dan
pengawasan lebih rendah. Lebih penting lagi, sudah selayaknya menghentikan usaha
dalam mitosisasi museum sebagai tempat suram dan angker. Stop pembodohan pada
anak-anak. Mencintai museum tak harus dengan mengenali cerita suram yang ada di
balik benda itu, namun bisa saja diawali dengan memahami keindahan pada
benda-benda itu sebagai sebuah karya seni.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar