Memitoskan Museum (dimuat di Koran Solopos 5 Oktober 2013)

Memitoskan Museum



Cukup mengejutkan kala mendengar seruan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh (17/9), bahwa untuk meningkatkan animo masyarakat dan terutama anak-anak mendatangi museum, idealnya digunakan cerita-cerita mistis. Cerita mistis itu tak harus sesuai dengan realitas, yang penting anak-anak tertarik dan mau datang ke museum. Pertanyaannya kemudian, apa beda museum dan kuburan? Bukankah sudah banyak acara televisi yang selama ini menjadikan museum sebagai tempat “uji nyali”, lokasi menyeramkan. Mendatangi museum kemudian tak ada bedanya dengan mendatangi kamar mayat, suram dan menakutkan. Museum bukan lagi tenpat yang menyenangkan sebagai sarana penelitian, pendidikan dan rekreasi. Di sisi lain, bukankah ada cara-cara lain yang lebih realistis dibanding dengan membuat mistos atau cerita-cerita mistis tak berdasar?   

Kuburan
            Tukul Arwana lewat salah satu acara yang dipandunya seringkali mengunjungi tempat-tempat angker di Indonesia untuk ditelisik lebih jauh tentang kandungan nilai kesakralan dan keseramannya. Museum adalah salah satu tempat yang berulangkali dijadikan objek di acara itu. Lewat penerawangan salah satu bintang tamu yang juga paranormal, dikisahkan bahwa tempat-tempat tertentu dan benda-benda di museum menyimpan sejarah kelam. Berbagai mitospun digoreskan, dari yang sepele hingga transenden. Hal ini didukung dengan suasana museum yang juga terlihat menyeramkan dengan tata cahaya remang-remang, sunyi dan sepi. Mendatangi museum membuat bulu kuduk berdiri. Tak semua orang bisa dengan leluasa bercanda, tertawa, bermain di tempat itu jika tak ingin mendapat bala atau kutukan, bahkan mungkin juga kesurupan. Lewat acara itu, jangan heran jika ke esokan harinya tak mampu dijumpai anak-anak yang bermain, tertawa dan senang melihat benda-benda bersejarah. Mereka mungkin ketakutan. Jikapun datang, mereka minta didampingi oleh orangtuanya. Melihat benda-benda cagar budaya bukan lagi pada ujud atau fisiknya yang bercita rasa seni tinggi, namun lebih pada mistos dan cerita seram yang kadang juga tak berdasar alias mengada-ada.
            Ironisnya, kesan museum sebagai kuburan sudah lama kita rasakan. Museum adalah terminal pemberhentian terakhir bagi benda-benda antik. Kata museum justru berkonotasi sebagai kumpulan benda bekas yang lapuk dan kuno. Tak jarang seseorang mengucap “dimuseumkan saja” untuk menyebut benda atau manusia (teman, sahabat dan lain sebagainya) yang dirasa sudah ketinggalan zaman alias katrok. Benda-benda yang tak bermanfaat dan tak memiliki sumbangan penting mencoba untuk “dimuseumkan”. Hal tersebut sudah lazim kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari. Oleh karena itu, citra museumpun semakin suram. Hal ini diperparah dengan penjagaan dan perawatan benda koleksi yang cenderung asal-asalan. Hal itu terbukti kala empat benda yang terbuat dari emas koleksi Museum Nasional hilang dicuri. Benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-10 hingga abad ke-11 Masehi itu diketahui hilang pada Rabu (11/9) lalu. Kasus kehilangan di Museum Nasional bukanlah yang pertama kali. Kasus terakhir sekitar tahun 1995 ketika sejumlah koleksi keramik dan lukisan milik museum tersebut hilang. Koleksi keramik tidak pernah kembali, sedangkan koleksi lukisan ditemukan saat akan dilelang di luar negeri. Kejadian itu menjadi pukulan telak di tengah berlangsungnya Festival Museum 2013 (tanggal 8 hingga 13 September) di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu.
            Lebir tragisnya, benda-benda berharga itu dicuri kala pihak museum sedang menambah jumlah petugas keamanan, dari 7 petugas menjadi 15 petugas. Kamera pemantau (CCTV) pun sudah sejak lama tak berfungsi alias mati. CCTV kemudian hanya menjadi pajangan tanpa diketahui fungsi dan manfaatnya. Di titik inilah ada semacam kejenuhan dalam mengelola museum. Menjaga museum tak ubahnya menjaga kuburan yang monoton dan penuh dengan kebosanan. Benda-benda antik itu ibarat mayat-mayat yang sudah lama menjadi mumi. Akibatnya, pencuri dengan bebas keluar masuk menjarah. Padahal fungsi museum adalah tempat penelitian serta rekreasi yang menyenangkan bagi keluarga dan anak-anak. Dengan “menyeramkan” museum berarti melegalkan publik untuk lebih menziarahi mal yang dirasa lebih menyenangkan dan menghibur.

Terobosan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah salah satu kementerian yang harusnya paling menjunjung tinggi logika intelektual dan fakta dari pada sesuatu hal yang bersifat transenden, tak berdasar dan mengada-ada. Kementerian ini pula yang membawahi berbagai institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Darinya senantiasa ditekankan tentang kaidah ilmu yang harus beralaskan penjelasan ilmiah dan terukur. Sesuatu yang tak mampu dibuktikan dengan fakta dan data empirik dianggap sebagai omong kosong. Oleh karena itu segala kebijakan dan seruan yang dikeluarkannya haruslah berdasar atas prinsip-prinsip itu. Sayangnya hal tersebut justru tak tersirat dari pernyataan pucuk pimpinan tertinggi kementrian itu dalam wacana menghidupkan museum. Bagi Mendikbud memitoskan  benda-benda museum dengan cerita rekaan bisa menarik minat anak-anak untuk mendatanginya. Kemudian, bukankah hal ini sama saja dengan pembohongan publik? Di mana cerita yang ada tak disertai dasar dan logika yang jelas. Sampai pada titik ini, Mohammad Nuh terkesan mengambil jalan pintas.
Menarik minat generasi masa kini untuk mendatangi museum harusnya dilakukan dengan usaha yang terukur. Jika kita lihat, jarang ada museum yang menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan di bawah kemendikbud, sekolah-sekolah misalnya. Idealnya, ada semacam jadwal wajib yang rutin bagi kunjungan pelajar ke museum. Dengan ditemani oleh instruktur yang kompeten dan menyenangkan tentunya. Di sisi lain, museum jarang mampu mengembangkan dirinya. Semata hanya mengandalkan satu sumber dana dari pemerintah. Akibatnya, museum hanya memajang dan memamerkan barang koleksi tanpa ada upaya lain. Bisa saja, pertukaran benda cagar budaya antar museum lain dilakukan. Benda-benda yang ada tak berhenti di satu museum. Publikasi dilakukan dengan baik. Masyarakatpun tak bosan melihat museum karena ada sesuatu yang baru untuk dinikmati.
Bagaimanapun juga museum adalah sarana yang paling efektif dalam melihat sejauh mana manusia Indonesia telah berproses. Museum jarang menjadi rujukan untuk sekedar mengsisi waktu luang. Jakarta yang memiliki lebih dari 60 museum justru lebih dikenal dengan kota metropilis, kota dagang, kota modern dibanding dengan kota museum. Kehilangan benda di Museum Nasional beberapa waktu lalu mengguratkan kisah pedih yang patut kita renungi. Bagaimana tidak, Museum Nasional saja dapat dibobol maling, bagaimana dengan museum daerah yang memiliki tingkat pengamanan dan pengawasan lebih rendah. Lebih penting lagi, sudah selayaknya menghentikan usaha dalam mitosisasi museum sebagai tempat suram dan angker. Stop pembodohan pada anak-anak. Mencintai museum tak harus dengan mengenali cerita suram yang ada di balik benda itu, namun bisa saja diawali dengan memahami keindahan pada benda-benda itu sebagai sebuah karya seni.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut