Banyuwangi, Obor dalam Gelap Tradisi (dimuat di Jawapos Radar Banyuwangi 8 November 2013)



Banyuwangi, Obor dalam Gelap Tradisi




Membicarakan kebudayaan Banyuwangi seolah tiada tuntas. Banyuwangi menjadi oase yang menyejukkan dalam menelisik jejak-jejak kuatnya persentuhan tradisi dengan ritus sosial masyarakatnya. Di saat daerah-daerah lain di Jawa Timur sedang bersolek meninggalkan habitus akar tradisinya, Banyuwangi justru menjadikan tradisi sebagai sumber dalam menentukan warna jatidiri. Setidaknya itulah yang kami lihat kala mengunjungi Banyuwangi akhir Oktober lalu dalam Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) oleh 31 mahasiswa Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Namun Sayang, dalam percaturan kesenian di nusantara dan Jawa Timur khususnya, nama Banyuwangi kadang hanya menjadi nukilan kecil, tertimbun dalam ingar-bingar kuasa Surabaya sebagai jantung ibu kota. Tak mengherankan kemudian jika institusi pendidikan seni semacam SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia –sekarang SMKN 12-) dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) tak berada di pusat kesenian semacam Banyuwangi, namun di Surabaya yang justru rapuh akar kulturalnya.

Menggapai Mimpi
Banyuwangi adalah daerah pulau Jawa terjauh yang pernah disinggahi PKL mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta. Perjalanan 12 jam itu terbayar lunas dengan eksotisme kesenian yang menggoda dan tak pernah luntur. Waktu empat hari terasa singkat saat menikmati Gandrung Mudaiyah, Jaran Kincak Paju Gandrung, Seblang Bakungan, Kendang Kempul, Prosesi Kuntulan serta Barong Kemiren. Kesenian-kesenian itu tak hanya mampu dimaknai sebagai sebuah peristiwa dalam perayaan pesta. Lebih dari itu, kesenian yang ada merupakan sarana komunikasi dan pertemuan kelas sosial. Tempat di mana masyarakat bertegur sapa, berjumpa, bercengkrama yang selama ini hilang termakan sibuknya rutinitas kerja serta pagar yang membatasi rumah mereka. Kesenian mampu menjadi tolok ukur objektif dalam melihat dinamika kebudayaan yang berkembang di masyarakatnya. Setiap daerah di Banyuwangi memiliki agenda kesenian yang padat. Dari program plat merah pemerintah hingga selebrasi masyarakat akar rumput, semacam pesta pernikahan, kithanan, bersih desa hingga sekadar temu para tukang Paju –gandrung-.
Jangan harap dapat mendengarkan lagu pop dengan mudah seperti Noah, Nidji, Kotak, Kerispatih, Afgan, Agnes Monica atau sejenisnya. Banyuwangi adalah “kerajaan kecil” yang memiliki citra estetika tersendiri tentang musik. Masyarakat setempat lazim menyebutnya dengan “kendang kempulan”. Permainan harmoninya berkisar di nada-nada minor. Mengisahkan pertautan yang mesra dengan akar musik tradisinya, gamelan berlaras Slendro. Artis lokal semacam Catur Arum, Reni Farida dan Dian Ratih justru sangat mendominasi. Lagu-lagu mereka diputar di pelbagai forum dan pesta. Semakin meneguhkan bahwa Masyarakat Using tak terkontaminasi ingar-bingar musik pop mainstream yang cenderung “kacangan”. Keunikan tersebut yang membuat banyak kalangan terpesona.
 Ironisnya, potret tentang Banyuwangi kadang masih luput dalam jepretan lensa pembahasan kebudayaan di Jawa Timur. Banyak festival besar digelar, namun masih terlalu didominasi oleh Surabaya sebagai pusatnya. Ibu Kota Provinsi itu seolah menjadi etalase dan gerbang utama yang menontonkan varian kebudayaan di Jawa Timur. Tak hanya institusi pendidikan, kantung-kantung kebudayaanpun bercokol di kota itu, semacam Taman Budaya Jawa Timur dan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Di satu sisi, Surabaya justru semakin bangkrut eksistensi tradisi. Kehilangan jati diri, tergerus dengan masuknya budaya populis yang glamour dan gemerlap. Institusi pendidikan seni dan kantung kebudayaan itu harus bertarung dengan mal, apartemen, gedung perkantoran dan diskotik. Pada akhirnya, tradisi terkalahkan. Tontonan dan festival besar hanya dinikmati oleh kumpulan tukang becak. Masyarakat tak sempat untuk sekadar melihat seni tradisi yang berpentas karena lebih nyaman untuk menziarahi bioskop dan mal. Di sisi lain, Surabaya hanya mampu menjadi tuan rumah tanpa mampu melahirkan gagasan yang memperkuat habitus akar kulturalnya. Seniman-seniman kondang didatangkan, sementara seniman lokal diabaikan. Akibatnya, hingga detik ini, perayaan festival di Surabaya dengan mengatasnamakan Jawa Timur hanya menjadi ajang selebrasi penghamburan dana.  
Institusi pendidikan seni di kota itu juga semakin kehilangan arah. Tak jelas tradisi dari daerah mana yang digunakan sebagai rujukan dalam sarana proses pembelajaran. Jurusan Karawitan misalnya, diisi dengan materi gending-gending Suroboyoan (Cokro Negoro, Samirah, Luwung, dan sebagainya) yang selama ini justru tak lagi mampu dapat didengar di kehidupan nyata, alias mati. Hasilnya, materi yang diajarkan tak lagi up-to-date, hanya klangenan untuk mengenang kejayaan tradisi di masa lampau. Sementara keberadaan Banyuwangi sebagai daerah yang masih kuat memegang teguh tradisi belum dianggap penting.
Hal inilah yang menjadi tema diskusi saya, para mahasiwa dan beberapa dosen Etnomusikologi dengan Sahuni (pengamat kebudayaan Banyuwangi, anggota komite musik DKJT, seniman, pensiunan pegawai Dinas Kebudayaan, sekarang lurah Singojuruh). Kami punya mimpi bahwa ke depan Banyuwangi dapat berdikari dengan memiliki institusi pendidikan seni negeri (setingkat SMA dan perguruan tinggi) serta kantung kebudayaan yang ideal. Setidaknya mimpi tersebut membuncahkan satu harapan besar agar Banyuwangi mampu menjadi tuan rumah yang nyaman atas kesenian-kesenian yang dimilikinya. Bukan satu hal yang mustahil, kekayaan tradisi yang dimiliki menjadi bekal dasar dalam menjadikan Negeri Balambangan sebagai “pusat penciptaan dan kajian” kebudayaan tradisi nusantara (baik seni pertunjukan, seni rupa dan sastra). Terlebih kami dengar perhatian Bupati saat ini begitu kencang terhadap kebudayaan, kesenian dan adat Banyuwangi. Sebuah momen yang harusnya tak boleh dilewatkan begitu saja terutama oleh para budayawan setempat, seniman, masyarakat adat dan akademisi.



Obor
Banyuwangi mematik obor harapan bagi cahaya dan nafas kehidupan tradisi di Jawa Timur. Ia menjadi dendang pelibur lara di kala tradisi ramai-ramai berpamit untuk mati. Banyuwangi serupa dengan nyanyian malam pengantar tidur yang memberi harapan dan mimpi tentang masa depan kebudayaan yang lebih baik. Bagi masyarakat Using, tradisi adalah harga mati. Sejauh apapun zaman telah berubah, Banyuwangi adalah medan akulturatif yang paling ideal. Lihatlah biola, di tangan seniman Banyuwangi mampu menjadi instrumen tradisi baru yang khas dan tipikal. Menghancurkan universum nada-nada diatonis yang selama ini dikenal publik. Akbiatnya, ia dapat bercengkrama mesra dengan vokal penari gandrung yang aduhai itu. Menghilangkan imajinasi kita tentang Eropa sebagai pemilik instrumen berdawai tersebut. Atau lihatpula kuntulan yang mampu luruh dengan lagu-lagu Sholawat khas Timur Tengah (Khasidah). Permainan yang rampak, trengginas dan menghentak menjelaskan bagaimana semangat dan pribadi Using yang terbuka dan luwes namun tegas dengan mengais tradisi sebagai sumber.
Itulah pengalaman-pengalaman yang kami dapatkan selama bermukim di Banyuwangi walaupun sesaat. Membuncahkan pelbagai diskusi panjang oleh para mahasiswa di kelas-kelas perkuliahan hingga saat ini. Banyuwangi membawa cita-cita baru, membangkitkan semangat bahwa tradisi masih berdegub kencang. Bagaimanapun juga, keberadaannya harus senantiasa dirawat, dijaga dan dipertahankan. Dengan adanya lembaga pendidikan seni dan kantung kebudayaan, niscaya tak hanya mampu melahirkan seniman-seniman ulung, namun juga pemikir dan kiritikus kebudayaan –seni- Banyuwangi yang handal. Tentu mimpi itu bukan sekedar imajinasi. Dibutuhkan kerja keras, diskusi dan terutama kebijakan yang mendukung. Semoga.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut