Banyuwangi, Obor
dalam Gelap Tradisi
Membicarakan kebudayaan Banyuwangi
seolah tiada tuntas. Banyuwangi menjadi oase yang menyejukkan dalam menelisik
jejak-jejak kuatnya persentuhan tradisi dengan ritus sosial masyarakatnya. Di
saat daerah-daerah lain di Jawa Timur sedang bersolek meninggalkan habitus akar
tradisinya, Banyuwangi justru menjadikan tradisi sebagai sumber dalam
menentukan warna jatidiri. Setidaknya itulah yang kami lihat kala mengunjungi
Banyuwangi akhir Oktober lalu dalam Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) oleh
31 mahasiswa Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Namun
Sayang, dalam percaturan kesenian di nusantara dan Jawa Timur khususnya, nama
Banyuwangi kadang hanya menjadi nukilan kecil, tertimbun dalam ingar-bingar kuasa
Surabaya sebagai jantung ibu kota. Tak mengherankan kemudian jika institusi
pendidikan seni semacam SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia –sekarang
SMKN 12-) dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) tak berada di pusat
kesenian semacam Banyuwangi, namun di Surabaya yang justru rapuh akar
kulturalnya.
Menggapai Mimpi
Banyuwangi adalah daerah pulau Jawa
terjauh yang pernah disinggahi PKL mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta.
Perjalanan 12 jam itu terbayar lunas dengan eksotisme kesenian yang menggoda
dan tak pernah luntur. Waktu empat hari terasa singkat saat menikmati Gandrung
Mudaiyah, Jaran Kincak Paju Gandrung, Seblang Bakungan, Kendang Kempul, Prosesi
Kuntulan serta Barong Kemiren. Kesenian-kesenian itu tak hanya mampu dimaknai
sebagai sebuah peristiwa dalam perayaan pesta. Lebih dari itu, kesenian yang
ada merupakan sarana komunikasi dan pertemuan kelas sosial. Tempat di mana
masyarakat bertegur sapa, berjumpa, bercengkrama yang selama ini hilang
termakan sibuknya rutinitas kerja serta pagar yang membatasi rumah mereka.
Kesenian mampu menjadi tolok ukur objektif dalam melihat dinamika kebudayaan
yang berkembang di masyarakatnya. Setiap daerah di Banyuwangi memiliki agenda
kesenian yang padat. Dari program plat merah pemerintah hingga selebrasi masyarakat
akar rumput, semacam pesta pernikahan, kithanan,
bersih desa hingga sekadar temu para tukang Paju –gandrung-.
Jangan harap dapat mendengarkan lagu pop
dengan mudah seperti Noah, Nidji, Kotak, Kerispatih, Afgan, Agnes Monica atau
sejenisnya. Banyuwangi adalah “kerajaan kecil” yang memiliki citra estetika
tersendiri tentang musik. Masyarakat setempat lazim menyebutnya dengan “kendang
kempulan”. Permainan harmoninya berkisar di nada-nada minor. Mengisahkan
pertautan yang mesra dengan akar musik tradisinya, gamelan berlaras Slendro. Artis
lokal semacam Catur Arum, Reni Farida dan Dian Ratih justru sangat mendominasi.
Lagu-lagu mereka diputar di pelbagai forum dan pesta. Semakin meneguhkan bahwa
Masyarakat Using tak terkontaminasi ingar-bingar musik pop mainstream yang cenderung “kacangan”. Keunikan tersebut yang
membuat banyak kalangan terpesona.
Ironisnya, potret tentang Banyuwangi kadang
masih luput dalam jepretan lensa pembahasan kebudayaan di Jawa Timur. Banyak festival
besar digelar, namun masih terlalu didominasi oleh Surabaya sebagai pusatnya.
Ibu Kota Provinsi itu seolah menjadi etalase dan gerbang utama yang menontonkan
varian kebudayaan di Jawa Timur. Tak hanya institusi pendidikan,
kantung-kantung kebudayaanpun bercokol di kota itu, semacam Taman Budaya Jawa
Timur dan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT). Di satu sisi, Surabaya justru semakin
bangkrut eksistensi tradisi. Kehilangan jati diri, tergerus dengan masuknya
budaya populis yang glamour dan gemerlap. Institusi pendidikan seni dan kantung
kebudayaan itu harus bertarung dengan mal, apartemen, gedung perkantoran dan
diskotik. Pada akhirnya, tradisi terkalahkan. Tontonan dan festival besar hanya
dinikmati oleh kumpulan tukang becak. Masyarakat tak sempat untuk sekadar
melihat seni tradisi yang berpentas karena lebih nyaman untuk menziarahi
bioskop dan mal. Di sisi lain, Surabaya hanya mampu menjadi tuan rumah tanpa
mampu melahirkan gagasan yang memperkuat habitus akar kulturalnya.
Seniman-seniman kondang didatangkan, sementara seniman lokal diabaikan.
Akibatnya, hingga detik ini, perayaan festival di Surabaya dengan
mengatasnamakan Jawa Timur hanya menjadi ajang selebrasi penghamburan dana.
Institusi pendidikan seni di kota itu
juga semakin kehilangan arah. Tak jelas tradisi dari daerah mana yang digunakan
sebagai rujukan dalam sarana proses pembelajaran. Jurusan Karawitan misalnya,
diisi dengan materi gending-gending Suroboyoan (Cokro Negoro, Samirah, Luwung, dan sebagainya) yang selama ini justru tak lagi mampu dapat
didengar di kehidupan nyata, alias mati. Hasilnya, materi yang diajarkan tak
lagi up-to-date, hanya klangenan
untuk mengenang kejayaan tradisi di masa lampau. Sementara keberadaan
Banyuwangi sebagai daerah yang masih kuat memegang teguh tradisi belum dianggap
penting.
Hal inilah yang menjadi tema diskusi
saya, para mahasiwa dan beberapa dosen Etnomusikologi dengan Sahuni (pengamat
kebudayaan Banyuwangi, anggota komite musik DKJT, seniman, pensiunan pegawai
Dinas Kebudayaan, sekarang lurah Singojuruh). Kami punya mimpi bahwa ke depan Banyuwangi
dapat berdikari dengan memiliki institusi pendidikan seni negeri (setingkat SMA
dan perguruan tinggi) serta kantung kebudayaan yang ideal. Setidaknya mimpi
tersebut membuncahkan satu harapan besar agar Banyuwangi mampu menjadi tuan rumah
yang nyaman atas kesenian-kesenian yang dimilikinya. Bukan satu hal yang
mustahil, kekayaan tradisi yang dimiliki menjadi bekal dasar dalam menjadikan
Negeri Balambangan sebagai “pusat penciptaan dan kajian” kebudayaan tradisi
nusantara (baik seni pertunjukan, seni rupa dan sastra). Terlebih kami dengar
perhatian Bupati saat ini begitu kencang terhadap kebudayaan, kesenian dan adat
Banyuwangi. Sebuah momen yang harusnya tak boleh dilewatkan begitu saja
terutama oleh para budayawan setempat, seniman, masyarakat adat dan akademisi.
Obor
Banyuwangi mematik obor harapan bagi
cahaya dan nafas kehidupan tradisi di Jawa Timur. Ia menjadi dendang pelibur
lara di kala tradisi ramai-ramai berpamit untuk mati. Banyuwangi serupa dengan
nyanyian malam pengantar tidur yang memberi harapan dan mimpi tentang masa
depan kebudayaan yang lebih baik. Bagi masyarakat Using, tradisi adalah harga
mati. Sejauh apapun zaman telah berubah, Banyuwangi adalah medan akulturatif
yang paling ideal. Lihatlah biola, di tangan seniman Banyuwangi mampu menjadi
instrumen tradisi baru yang khas dan tipikal. Menghancurkan universum nada-nada
diatonis yang selama ini dikenal publik. Akbiatnya, ia dapat bercengkrama mesra
dengan vokal penari gandrung yang aduhai itu. Menghilangkan imajinasi kita
tentang Eropa sebagai pemilik instrumen berdawai tersebut. Atau lihatpula kuntulan
yang mampu luruh dengan lagu-lagu Sholawat khas Timur Tengah (Khasidah). Permainan
yang rampak, trengginas dan menghentak menjelaskan bagaimana semangat dan
pribadi Using yang terbuka dan luwes namun tegas dengan mengais tradisi sebagai
sumber.
Itulah pengalaman-pengalaman yang kami
dapatkan selama bermukim di Banyuwangi walaupun sesaat. Membuncahkan pelbagai
diskusi panjang oleh para mahasiswa di kelas-kelas perkuliahan hingga saat ini.
Banyuwangi membawa cita-cita baru, membangkitkan semangat bahwa tradisi masih
berdegub kencang. Bagaimanapun juga, keberadaannya harus senantiasa dirawat,
dijaga dan dipertahankan. Dengan adanya lembaga pendidikan seni dan kantung
kebudayaan, niscaya tak hanya mampu melahirkan seniman-seniman ulung, namun
juga pemikir dan kiritikus kebudayaan –seni- Banyuwangi yang handal. Tentu
mimpi itu bukan sekedar imajinasi. Dibutuhkan kerja keras, diskusi dan terutama
kebijakan yang mendukung. Semoga.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar