Menghapus Jejak Majapahit (dimuat di Jawapos 19 Oktober 2013)



Menghapus Jejak Majapahit



Majapahit hanya menjadi mitos yang mengisahkan kerajaan besar tiada tanding. Mitos itu menyublim lewat buku-buku pelajaran sekolah yang tertata manis di rak perpustakaan. Selebihnya secara fisik, Majapahit tak lagi mampu menunjukkan eksistensi. Situs-situs peninggalannya terabaikan, lapuk dan berdebu. Bahkan, yang cukup mengherankan, di pusat peradaban situs itu -Trowulan- justru akan dijadikan lahan bisnis, mendirikan pabrik untuk mengeruk ambisi penuh pamrih. Trowulan tidak lagi tanah sakral, tempat di mana Indonesia dilahirkan dan meniti jejak peradaban. Sejarah dan kebudayaan tergadaikan, kalah oleh kepentingan kapital. Berupaya menghapus memori kita tentang kisah perjuangan para nenek moyang.

Beku
Pertengahan bulan lalu, di Pandaan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggelar pertunjukan besar bertajuk Festival Majapahit Internasional yang diikuti oleh kurang lebih sembilan negara di Asia. Pertunjukan kolosal itu mengundang riuh tepuk tangan dan decak kagum penonton. Menarasikan kejayaan Majapahit, berkisah tentang perang, harga diri, cinta, pengorbanan dan kekuasaan. Pertunjukan itu menjadi oase untuk berimajinasi, membayangkan kemolekan Majapahit. Penonton yang penasaran mencoba menziarahi situs yang masih tertinggal. Namun sayang, situs-situs itu kini telah beralih fungsi. Candi-candi tak lagi mampu mengisahkan jejak langkah kehiduapan Majapahit. Menjadi bisnis pelancongan dengan agenda pariwisata yang kental. Masyarakat mengabadikan pelbagai situs dengan senyum dan tawa dalam setiap jepretan kamera. Menyebar di banyak jejaring sosial. Majapahit menjadi begraound dari lenggak-lenggok pose, terbekukan dalam lensa.
Kehadiran Majapahit dalam kehidupan masa kini semakin jarang dijumpai. Anak-anak tak lagi mengenal Gajah Mada, Ken Arok ataupun Gayatri. Majapahit hilang dalam peredaran daftar dongeng malam pengantar tidur. Majapahit dihidupkan hanya dalam takaran fisik semata berupa candi, situs dan benda-benda lain. Selebihnya, bangkrut pemaknaan. Kita tak mampu melihat dengan gamblang semangat pengorbanan Gajah Mada, keangkuhan Hayam Wuruk, dan ketulusan cinta Gayatri. Ada pendidikan budi pekerti yang dapat kita petik dari Majapahit, ada teknologi muthakir, bahasa, konsep kerukunan, kehidupan harmonis, dan lain sebagainya. Banyangkan bagaimana jika pendidikan di Jawa Timur atau di Indonesia “berbasis Majapahit”? Dengan mendudukkan sosok maupun konsep pemikiran muthakir yang relevan dari kerajaan itu. Majapahit bukan lagi semata fisik, namun juga ruang memori dan imajinasi yang sesak dengan pemaknaan.
Mempelajari dan menggali sejarah Majapahit hingga tuntas dapat menjelaskan hasrat kekuasaan Indonesia mutakhir dan sebaliknya (Doddy Wismu, 2012). Gambaran begitu kompleksnya Majapahit paling tidak mampu memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi universum kajian-kajian kehidupan di masa kini. Kita kadang terlalu disibukkan dengan aktivitas kebendaan, penemuan dan penggalian. Benda-benda penemuan itu kemudian termuseumkan. Menjadi pajangan yang kehadirannya kadang tak terawat dan rawan pencurian. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menguak sisi lain Majapahit, namun penelitian itu kadang malah terlalu formal, intelektual, ilmiah dengan bahasa yang ribet. Akibatnya tak terbaca publik dan lapuk termakan rayap di perpustakaan. Masyarakat semakin gundah dalam menelisik Majapahit.

Kapital dan Mental
Lebih ironisnya, penghapusan Majapahit dalam momori dan imajinasi sedang diberlangsungkan, kita justru dikejutkan dengan pembangunan pabrik baja di Trowulan “ibukota” Majapahit (Jawa Pos 10/10/13). Tanah sakral itu ternyata cukup menggiurkan untuk dijadikan lahan mengeruk uang. Masyarakat kemudian disuguhi drama, antara imajinasi masa lampau dan sepiring nasi demi masa depan. Kalangan budayawan, seniman, masyarakat adat menentang pembangunan itu. Di sisi lain, pemilik pabrik juga tak dapat disalahkan. Ia justru dengan gamblang mengisahkan bagaimana mudahnya mendapat perijinan dari dinas terkait. Pada konteks inilah mental para pejabat dan pemegang kekuasaan dipertanyakan. Kasus itu mengingatkan kita kala Saripetojo –bangunan cagar budaya bekas pabrik es- di Solo hendak disandingkan dengan mal, namun ditolak habis-habisan oleh Jokowi (Walikota Solo saat itu). Penolakan Jokowi mematik amarah Gubernur (Bibit Waluyo) yang dengan lantang berucap “walikota bodoh”.
Jokowi saat itu menyadari bahwa Saripetojo merupakan salah satu jatidiri pembentuk Solo. Kota yang hendak membangun diri sebagai pusat kota budaya (the spirit of Java) itu menolak agresi kapital dalam merobohkan tatanan kultural. Mal di Solo dan Pabrik baja di Trowulan berusaha mempertarungkan antara tradisi dan bisnis. Tradisi diwakili oleh situs dan tanah, sementara bisnis adalah mal dan pabrik -urusan uang-. Mentalitas kaum birokrat belum sepenuhnya menyadari pentingnya memelihara dan membangun kebudayaan sebagai tatanan prilaku hidup. Kebudayaan masih dianggap sebagai anak tiri yang tak mampu menghasilkan keuntungan. Malah tergolong menghambur-hamburkan anggaran. Kebudayaan belum menjadi fokus utama dalam arus roda kepemimpinan negeri ini. Struktur pemaknaan utama masih berpusat pada ruang ekonomi alias hitung-hitungan untung-rugi, sehingga universum kebudayaan terabaikan. Akibatnya, institusi-institusi kebudayaan didekte oleh kepentingan kapitalisme.
Dengan kata lain, tekanan kapital membuat kaum birokrat, pejabat -selaku pengambil kebijakan- mengubah semua institusinya sebagai “pabrik” penarik modal sebanyak-banyaknya (Haryatmoko, 2009). Di satu sisi, selama ini kantung-kantung kebudayaan dirasa tak memberi sumbangan yang signifikan dan tak selaras dengan misi kapital tersebut. Di sisi lain, merekapun dikelola dengan asal dan terkesan seenaknya. Siapapun seolah dapat ditunjuk sebagai kepala dinas, tanpa memiliki basis visi budaya yang jelas. Bahkan muncul pameo, menjadi pimpinan di suatu kantung kebudayaan seolah membajak ladang gersang yang tak memberi keuntungan, alias nasib lagi apes! Mutasi ke kantung kebudayaan menjadi momok yang menakutkan.
Trowulan bagaimanapun juga tak semata dimaknai sebagai sebuah tempat. Lebih dari itu, Trowulan menjadi sebuah saksi ritus kelahiran negeri ini. Ia harus dijaga. Kita bisa saja beralasan bahwa pembangunan pabrik itu tidak di pusat situs. Namun apakah dengan demikian kita dapat menjamin aktivitas pabrik tersebut tak menganggu dan merusak? Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan tak kunjung usai hingga kini. Masyarakat pada akhirnya akan melihat sejuah mana para pejabat menghargai sejarah dan kebudayaan. Peritiwa pabrik baja di Trowulan itu menjadi catatan tersendiri mengingat beberapa waktu lalu Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) telah berlangsung di Yogyakarta dengan mengangkat artefak sebagai arus utama pembahasan.
Majapahit memang telah memudar dalam angan, memori dan imajinasi. Namun membangkitkan dan merevitalisasinya dapat dilakukan dengan memaknai kembali kehadirannya di tengah-tengah kita. Pembangunan pabrik di daerah Situs dan benda purbakala yang hangat diperdebatkan kiranya juga tak akan membawa manfaat apapun jika kesadaran untuk merawat, menjaga, mengembangkan peninggalan itu tidak diwujudkan. Lebih indah lagi, jika situs yang ada tak hanya digunakan sebagai ajang bisnis pariwisata, namun dikembalikan pada kodratnya, katalisator yang mempertautkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan, Majapahit. Dengan demikian, selamatkan Majapahit, hentikan pembangunan pabrik, jangan lagi mengahapus jejak dan memori sejarah dari peradaban kita.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Memaknai peradaban tanpa di dasari materi ajar yang jelas sulit untuk merevitalisasikannya lho...

Pengikut