Konser Gamelan Langka di Ibukota (dimuat di Majalah Gong edisi Desember 2009)

 Konser Gamelan Langka di Ibukota


Agak berbeda dengan Festival Kesenian Indonesia (FKI) sebelumnya, kali ini lebih greget. Dengan mengangkat identitas sebagai tema utama, FKI VI di Jakarta lebih dapat membasahi dirinya dengan bingkai tradisi yang pekat. Hal yang cukup menonjol dapat dilihat dari ragam acara yang disuguhkan. Salah satu acara yang cukup menarik adalah konser “gamelan langka”, di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (6 Oktober 2009 pukul 19.30), oleh tiga perguruan tinggi seni, ISI Surakarta, STSI Bandung dan ISI Denpasar. Malam itu mereka membawa dan seolah menempatkan kembali dirinya sebagai satu pilar penyokong kebudayaan dengan mengangkat idiom tradisi sebagai sebuah identitasnya.

Eksotisme Sekaten
Sajian pembuka malam itu diisi dengan gamelan sekaten dari ISI Surakarta. Gamelan sekaten yang tergolong sebagai salah satu gamelan tertua diantara perangkat gamelan lainnya di Surakarta termasuk dalam bingkai gamelan pakurmatan. Bermula dari asal katanya ‘kurmat’, menunjukkan bahwa sebenarnya gamelan jenis ini dipergunakan sebagai sarana untuk menghormat atau menyembah pada sesuatu. Di daerah asalnya, Solo, gamelan sekaten dimiliki oleh Keraton Kasunan Surakarta yang hanya dibunyikan setahun sekali untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad tepatnya pada bulan maulud, grebeg maulud.
Sekaten yang selama ini seolah terpenjara pada ruangnya yang ‘pertisius’, mencoba dihadirkan kembali dengan format yang berbeda oleh Supardi dan AL Suwardi, komponis dari ISI Surakarta. Dengan memakai kostum layaknya para pengrawit (pemusik) keraton, abdidalem, dan kalung samir yang adi luhung itu, pemusik dari ISI Surakarta seolah membawa kita menapaki jejak-jejak kejayaan keraton di masa silam.
Komposisi musik diawali oleh instrumen bonang, kemudian menghantarkan pada ruang orkestrasi musikal yang begitu kompleks. Empat pesinden yang kehadirannya tidak lazim dalam komposisi musik sekaten, melagukan alunan melodi vokal Jawa yang sesekali harus terbata-bata menyesuaikan dinamika tangga nada gamelan. Memang semua masih dalam tahap eksperimentasi. Segala kemungkinan dapat terjadi.
Sekaten begitu anggun, ukurannya lima kali lipat dari gamelan biasa (ageng), suaranya begitu menggema dan mampu menerobos sekat-sekat perhatian audiens. Sayangnya hal tersebut tidak diimbangi dengan ukuran-ukuran musikal yang ketat. AL Suwardi dan Supardi nampak masih terikat cukup kencang dengan tali ketradisiannya. Barangkali karena latar belakang kedua komposer yang telah melakukan pengembaraan pada sistem pendidikan tradisi yang pekat. Imbasnya, ketika mencoba kebaharuan sekaten, banyak metrum yang saling tumpang tindih dalam komposisinya. Hal yang cukup terasa ketika pertemuan antara lima rebana dengan gamelan carabalen dengan tempo yang saling tak mau mengalah, alias kehilangan ketukan. Beruntung, komposisi ini diakhiri dengan babak yang menggoda, dinamika yang mulai menghanggat cepat, jalinan permainan yang atraktif namun rapi, cocok dengan nuansa Ibokota yang ramai.
Mengulang Tradisi
Bingkai-bingkai tradisi dalam ruang kebudayaan terutama seni yang selama ini kita anggap -atau bahkan telah- mati, ternyata hanya bersembunyi, dan menunggu saat yang tepat untuk berani menampakkan wujudnya kembali. Mungkin, malam itu adalah saat yang pas dimana gong renteng harus muncul. Gong renteng selama ini terpendam dalam bingkai kesakralannya, tanpa mampu menjadi bentuknya yang lebih populis, yang konon katanya menghendaki takdirnya untuk mati, ternyata membahana dalam panggung pertunjukan TIM yang megah. Begitu apa adanya, tanpa resistensi, tanpa inovasi, dan bergeliat pasti diantara derasnya gesekan nuansa metropolis ibukota.
STSI Bandung yang selama ini terkenal dalam kelincahan jaipongnya, ternyata mampu membawa komposisi musik tradisi sakralnya dengan begitu fasih. Malam itu, tanpa gubahan dan aransemen ulang, mereka menghidangkan komposisi gamelan renteng pada warga ibokota. Dengan jalinan instrumen konkoang, cempres, peneteg dan gong yang hampir tanpa cacat, otomatis malam itu nuansa sunda telah mengguyur TIM.
Tapi ada satu hal yang seolah terlewat, mereka menyuguhkan oncom pada penggemar pizza. Tanpa dimasak dengan lebih matang dengan bumbu kreativitas yang tinggi, komposisi gamelan renteng malam itu hanya menjadi makanan lama yang seolah mulai “membasi”. Tanpa disadari bahwa seni memiliki sifatnya yang nomadik, dapat dengan lentur bergerak menuruti laju peradaban. Kenapa harus takut untuk memberi bumbu pada tradisi jika racikan bumbu yang lama terasa kurang? Niscaya, gamelan renteng sudah selayaknya tidak hanya menjadi sekedar mitos belaka. Harus dibutuhkan keberanian untuk memperpanjang denyut nadinya, dengan sentuhan kreativitas dan rasa baru yang lebih menggairahkan.

Evolusi Gamelan
Dalam terminologi Darwin, perkembangan sebuah peradaban itu dimulai pada satu tingkatan yang paling sederhana dan hingga mencapai derajadnya yang semakin kompleks. Kesenian termasuk gamelanpun demikian adanya. Para musisi bali yang pada malam itu menutup pementasan, meyakini bahwa varian gamelan di Bali sebenarnya bermuara pada satu spektrum yang sama. Dengan mengambil tema evolusi gamelan, ISI Denpasar mengetengahkan empat varian gamelannya. Gamelan slonding, gambuh, semar pagulingan, gong gede, kesemuanya saling bertautan, evolutif.
Penjelajahan ruang kreatif malam itu dimulai dengan gamelan yang paling tua, slonding. Disusul kemudian konser suling gambuh, semar pagulingan dan terakhir yang paling muda, gong gede. Layaknya musik Bali yang selama ini sering kita lihat, malam itu begitu atraktif, interloking yang terjadi antar pemain cukup membuat audiens terkesima. Dengan melakukan eksperimentasi yang ketat, para pemusik bali mencoba mengais kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan medium tradisi sebagai jembatannya.
Terbukti, tak hanya permainan yang atraktif saja. ISI Denpasar malam itu dapat mendudukkan empat gamelan dalam satu konstelasi kesepahaman rasa yang sama, tidak ada yang subdominan maupun yang dominan. Terlebih empat reportoar gamelan yang ada terkadang dimainkan bersamaan dalam satu komposisi musik (gending) yang indah. Made Kartawan, salah satu komposer mengatakan bahwa di Bali sendiri sangat jarang dapat melihat dua terlebih empat gamelan yang berbeda ditampilkan pada satu tempat yang sama dalam bingkai instrumentasi musikal, jadi beruntunglah Jakarta pada malam itu.
Ada kesan tersendiri melihat konser gamelan dari ISI Denpasar. Tampak bagaimana mereka kurang arif dalam memperlakukan keempat “gamelan langkanya”, semua dibunyikan di luar batas mainstream. Dengan mengangkat satu spektrum dinamika yang cepat namun menghentak, tanpa sadar mereka telah menjiplak dan menjadikan keempat gamelan tersebut menjadi ‘gong kebyar’, salah satu gamelan (Bali) yang begitu populer karena kelincahan permaianannya yang atraktif. Sehingga malam itu yang tampak bukan lagi konser empat gamelan (slonding, gambuh, semar pagulingan, gong gede) yang begitu deras nuansa sakral tradisinya, namun sebatas prototipe gamelan yang lebih populis.

Namun demikian Hidangan yang mencoba disuguhkan ISI Surakarta, STSI Bandung dan juga ISI Denpasar menjadi akhir yang manis untuk konser ‘gamelan langka’ yang juga langka terjadi di Ibukota.
Dengan menghadirkan sub wilayah kultur yang masih pekat bingkai tradisinya, bisa jadi, FKI kali ini seolah sengaja dihadirkan sebagai satu stimulan awal, merangsang Jakarta untuk kembali memperkuat habitus akar budayanya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, tinggal di Solo

Geliat Menuju Identitas (dimuat di Kompas Minggu edisi 11 Oktober 2009)

Geliat Menuju Identitas 


 
”Suatu upaya bersama untuk menjelajah dan mencari gagasan-gagasan baru melalui seni dalam konteks kultural.” Demikian maksud dan tujuan yang hendak dicapai dari diadakannya FKI (Festival Kesenian Indonesia) VI di IKJ-TIM Jakarta tanggal 5-24 Oktober 2009. ”Exploring Root of Identity”, tema yang turut meramaikan isu dan polemik kebudayaan yang selama ini mencuat ke permukaan. Pengambilan tema tersebut sedikit banyak turut dipicu terkait keberadaan seni yang semakin tersisih dari struktur penekanan global yang lebih dominan, politik dan ekonomi. Atau mungkin dipicu konflik saling klaim terhadap kesenian tradisi Indonesia yang baru-baru ini terjadi?

Terlepas dari dua hal tersebut, lebih penting lagi festival kali ini akan menjadi satu tolok ukur eksistensi perguruan tinggi seni se-Indonesia. Sebagaimana yang telah diwartakan Kompas (27 September 2009), FKI selama ini dapat terselenggara berkat kerja sama perguruan tinggi seni se-Indonesia yang tergabung dalam Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI). Adapun anggota BKS-PTSI terdiri dari ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Denpasar, Institut Kesenian Jakarta, STSI Padang Panjang, STSI Bandung, dan STKW Surabaya.

Lewat acara FKI ini, beberapa wacana telah mengemuka. Seperti yang diungkapkan FX Widaryanto sekretaris BKS-PTSI, apakah keberadaan perguruan tinggi seni mampu dalam membangun dan mempertahankan pilar-pilar kebudayaan sebagai benteng terakhir wajah keindonesiaan kita? Atau justru sebaliknya, mereka telah kalah dan turut larut dalam euforia budaya utopia? Semuanya akan dapat kita lihat dalam festival kali ini.

Sebuah perenungan

Efek-efek dari peradaban abad ke-21 telah menjadikan manusia menapaki lajur kehidupan yang sangat erat bersentuhan dengan teknologi. Di satu pihak hal tersebut memacu loncatan-loncatan drastis terhadap perkembangan kebudayaan ke arah yang lebih cepat, tetapi di pihak yang lain justru memundurkan sang pemilik kebudayaan ke titik awalnya (Suka Harjana 2003). Terlebih jika efeknya melanda sebuah negara yang berkembang—kata lain dari terbelakang?—layaknya Indonesia. Teknologi telah membenturkan kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya dengan begitu dekat. Benturan-benturan (Barat-Timur) yang terjadi tentu saja harus mengorbankan salah satu kebudayaan sebagai satu ruang dalam posisi terkalahkan.

Ironisnya, kita selama ini menjadi subdominan, kalau bukannya kalah dari benturan kebudayaan tersebut. Kredo-kredo lama harus beralih dan mengabdi pada satu ruang yang menang, mengubah banyak tatanan yang katanya lebih modern. Pada konteks ini, kesenian kita telah mengalami gejala yang demikian juga. Geliat perjalanannya telah menjadikan kebudayaan (kesenian) Indonesia menapaki lajurnya yang vandalis serta keluar dari tatanan dan sekat-sekat identitasnya.

Dengan demikian wajar jika FKI VI kali ini menggulirkan satu wacana ”eksplorasi akar-akar identitas”. Terlebih FKI yang terdiri dari kumpulan perguruan tinggi seni se-Indonesia ini bergerak di garda depan ruang pendidikan seni. Oleh karena itu, keberadaannya sebagai sebuah festival harus mampu menunjukkan formatnya yang berbeda dari festival pada umumnya, alias lebih mendidik. Kreativitas tentu menjadi tuntutan utama. Namun, tidak hanya sebatas berkarya dan menggali kebaruan semata. Lebih dari itu, apakah karya-karya yang akan ditampilkan mampu memberi warna baru dan menguatkan identitas keindonesiaan dalam percaturan seni dan kebudayaan dewasa ini, menjadi penting untuk dipertanyakan kembali.

Seminar

Untuk mendukung gagasan tersebut FKI VI IKJ-Jakarta menjabarkannya dalam 13 acara pokok. Konser gamelan, orkes simfoni, karnaval, kolaborasi tari dan musik, pameran-pameran seni, seminar, workshop, pemutaran film, adalah acara-acara unggulan di samping banyak lagi acara lainnya. Barangkali yang paling menarik untuk diikuti jejak rekamnya adalah seminar yang diadakan tanggal 6-7 Oktober 2009. Apabila kita kesulitan dalam mencerna karya-karya yang ditampilkan, dengan mengikuti seminar ini, semua akan menjadi terang dan jelas.

Seminar yang juga mengambil tema “Exploring Root of Identity” adalah sebuah usaha yang mencoba mengungkapkan peran perguruan tinggi seni dalam upaya pelestarian, pengembangan dan penguatan kehidupan budaya melalui karya-karyanya. Selain itu, seminar mencoba menampilkan pemikiran-pemikiran dan perspektif baru dalam membaca perkembangan seni dewasa ini.

Tidak hanya para tokoh intelektual kebudayaan yang dihadirkan. Pada FKI VI, peran dan keikutsertaan mahasiswa kini juga mulai sangat diperhitungkan. Setiap perguruan tinggi seni mengirimkan delegasi lima mahasiswanya yang terlibat forum diskusi dengan mahasiswa perguruan tinggi seni lainnya. Lima mahasiswa berprestasi dari setiap perguruan tinggi tersebut juga menyeminarkan hasil dari pengembaraan intelektual yang telah mereka geluti selama menempuh studi di institusi seni. Kemudian, hasil akhirnya akan dirumuskan sebagai satu wacana pemikiran baru kaum intelektual muda masa kini.

Gamelan

Beberapa perguruan tinggi seni dalam FKI VI kali ini mencoba membasahi dirinya, dengan memusatkan perhatian hanya pada wilayah seni yang keberadaannya di luar gemerlapnya dunia populer. Mengais nilai tradisi. Itulah yang ditampilkan ISI Surakarta, ISI Denpasar, dan STSI Bandung yang semuanya sepakat membawa gamelan ”langka” mereka (Sekaten, Gong Kebyar, Gong Renteng) ke panggung pertunjukan yang megah. Tak tanggung-tanggung, dengan garapan baru, ketiga institusi tersebut juga mencoba ”mengawinkan” antargamelan yang mereka miliki sehingga muncul karya (bahkan varian gamelan) baru yang unik.

Ketiga perguruan tinggi seni tersebut seolah sepaham dalam menempatkan gamelan pada spektrum dan makna pokoknya yang intangible, tak kasat mata. Seni (gamelan) entah apa pun itu bentuknya tidak hanya hadir dalam takaran kebendaannya yang kasat mata, tangible. Lebih dari itu, konstruk makna filsafati yang begitu pekat di balik wujud kebendaannya adalah hal yang lebih penting untuk dimengerti kembali. Dengan demikian, menurut AL Suwardi komponis FKI dari Surakarta, seharusnya kita tidak perlu khawatir ketika seni kita dipakai dan diakui pihak lain. Karena mereka hanya mampu memiliki kebendaannya tanpa mampu menembus sekat-sekat makna yang terkandung di dalamnya.

Semoga FKI tidak hanya menjadi semacam ritual. Nama ”Indonesia” yang disandang dalam festival tersebut harusnya mampu menggambarkan dan memberi warna serta kekuatan ke- indonesiaan, yang selama ini dirasa telah menghilang akibat hiruk-pikuk gempuran budaya global-modern.

Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar dan Kontingen FKI dari ISI Surakarta

Indonesia Raya yang Terlupa (dimuat di Jawapos edisi 17 Agustus 2009)

 Indonesia Raya yang Terlupa



Beberapa hari kemarin muncul fenomena yang jarang terjadi. Ketika rapat paripurna DPR, lagu Indonesia Raya yang seharusnya menjadi lagu pembuka terlupakan. Ia beralih fungsi menjadi lagu penutup. Hal tersebut menjadi pemberitaan yang cukup menarik sekaligus menggelikan di beberapa media cetak dan elektronik (Jawa Pos 14-15/9/09).

Banyak yang bertanya, bagaimana mungkin dalam upacara kenegaraan yang begitu megah dan resmi hal tersebut dapat terjadi. Beberapa kalangan menilai bahwa yang melakukan kesalahan adalah pimpinan rapat, namun ada pula yang sepakat menyalahkan protokoler.

Siapa yang bertanggung jawab, bagi saya, bukanlah suatu persoalan berarti. Namun, melalui contoh kejadian di atas, setidaknya menjadi wajar apabila kita kembali mempertanyakan bagaimana kedudukan lagu kebangsaan Indonesia Raya di masa kini? Masih adakah spirit nasionalis yang terkan­dung dalam lagu tersebut bagi segenap masyarakat Indonesia?

Musik Adalah Budaya

Mendekati momentum perayaan HUT Kemerdekaan Ke-64 RI, jika kita melihat situasi dan kondisi negara yang masih senantiasa menuai kritik, tidak berlebihan apabila efektivitas dan sumbangan nasionalisme melalui musik perlu diterjemahkan secara lebih komprehensif (Djohan, 2008).

Musik tidak sebatas teks yang berupa kumpulan nada. Lebih dari itu, musik memiliki sisi yang kontekstual. Di dalamnya ada kompleksitas jaringan ide, gagasan, dan ilmu pengetahuan yang berusaha dituangkan oleh sang pemiliknya. Pendek kata, musik merupakan cermin budaya dan "alat ukur objektif" dalam melihat determinasi budaya masyarakat pengultusnya.

64 Tahun Sudah

Tidak terasa, 64 tahun sudah secara res­mi Indonesia Raya menapaki lajur kehidupannya sebagai sebuah lagu kebangsaan yang senantisa setia menemani perayaan detik-detik kemerdekaan Rebublik Indonesia. Lagu itu diciptakan oleh W.R. Supratman (1903-1938). Ide penciptaannya muncul ketika dia membaca artikel dalam surat kabar Fajar Asia. Salah satu kalimat dalam artikel tersebut menyatakan, "Mana ada komponis bangsa kita yang mampu menciptakan lagu kebangsaan Indonesia yang dapat menggugah semangat rakyat" (Wisnu, 2008).

W.R. Supratman yang notabene seorang wartawan dan seniman menganggapnya sebagai sebuah tantangan. Dia membuat satu format lagu yang diberinya judul Indonesia Raya dan kali pertama diperdengarkan di depan umum ketika Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesische Club di Kramat 106, Jakarta. Para peserta menyambutnya dengan antusias.

Kala itu, Indonesia belum memiliki status kemerdekaan dan masih di bawah intervensi Belanda. Karena itu, lagu tersebut menyusup dan menyebar dari satu mulut ke mulut yang lain secara sembunyi-sembunyi. Layaknya kitab Kama Sutra di India, walaupun bersifat ilegal, segera lagu Indonesia Raya tersebut menjadi lagu paling populer di kalangan pemuda Indonesia saat itu.

Pada puncaknya, Indonesia Raya dikumandangkan secara resmi tanggal 17 Agustus 1945, mengiringi bendera merah putih naik kali pertama sebagai statusnya yang merdeka. Lagu Indonesia Raya beralih fungsi, dari lagu perjuangan (memompa semangat pejuang di medan perang) menjadi lagu kebangsaan.

Kala itu, setiap orang yang mendengar lagu tersebut sontak akan berdiri dengan posisi sigap dan hormat, tak jarang pula meneteskan air mata, mengingat momentum kala perjuangan merebut kemerdekaan (Seobagijo, 1985). Hal itu berlangsung di tahun-tahun berikutnya. Indonesia Raya menjadi lagu kebangsaan dan wajib di setiap prosesi kenegaraan, menyelinap hingga pelosok desa, kota, dan semua lembaga pendidikan pemerintah dalam ruang-ruang pesta upacaranya.

Indonesia Raya menjadi alat transportasi yang membawa kita menapaki lajur sejarah masa silam. Tujuan utamanya, dengan mendengarkan dan melagukan Indonesia Raya, kita akan dibawa kembali pada sebuah zaman saat para pejuang bertaruh nyawa demi sebuah kata merdeka. Dengan kehadiran dan keberadaannya di setiap prosesi kenegaraan yang ada, semangat dan rasa nasionalis diharapkan senantiasa muncul dan dapat tersalurkan dari generasi satu ke generasi berikutnya. Apakah hal tersebut masih terjadi di masa kini?

Jika semangat nasionalisme dapat dimengerti secara komprehensif, kasus yang terjadi pada rapat di atas sangat mungkin tidak akan pernah terjadi. Salah satu alasan kesalahan tersebut terjadi adalah kurangnya pemahaman dan penghargaan terhadap lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai sosoknya yang nasionalistis, saksi kunci atas sejarah perjuangan Indonesia.

Paham dan memahami sebuah musik memang terlihat cukup sepele. Namun, dengan menilik kasus di atas, implika­sinya ternyata besar. Dapat dibayangkan, dalam kasus tersebut, apabila para wakil rakyat saja dapat melupakan kedudukan Indonesia Raya, patut kita pertanyakan bagaimana dengan rakyatnya?

Gejala memudarnya semangat nasionalis dapat diukur dengan kadar apresiasi masyarakat kita dan utamanya generasi muda terhadap lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu nasionalis lainnya. Salah satu stasiun TV nasional mengetengahkan bahwa enam di antara sepuluh pemuda dan kaum intelektual Indonesia tidak dapat menghafal Indonesia Raya dengan baik dan benar.

Aris Setiawan, etnomusikolog, staf pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tubuh-Tubuh: Pembebasan Belenggu Populis (dimuat di Majalah Gong edisi Juli 2009))

 Tubuh-Tubuh: Pembebasan Belenggu Populis



Pertunjukan kedua telah usai, sesosok pria dengan rambutnya yang ikal mengambil alih acara. Penonton yang sebelumnya berada di pelataran panggung dan emperan penginapan Wisma Seni Taman Budaya disuruhnya naik ke atas. Area gerak yang sebelumnya longgar, kini sempit karena dipenuhi penonton yang duduk di setiap tepinya. Lampu dengan cahayanya yang kecoklatan menyala hingga terang penuh, nampak dua orang terikat kain putih dan menutupi hampir separuh badannya, terjerat tak berdaya pada dua pilar sebelah kanan dan kiri panggung. Tiba-tiba keduanya melantunkan terompet khas Ponorogo, menggema dengan nadanya yang saling tumpang tindih.
Demikian awal adegan dimulainya tari karya Wisnu H.P. yang dilangsungkan dalam forum ‘Bukan Sekedar Tari’ di Wisma Seni Taman Budaya Surakarta pada 25 April 2009. Karya yang kurang lebih berdurasi 45 menit itu mengambil judul “tubuh-tubuh” dengan melibatkan dua pemain musik dan satu penari yang diperankan Wisnu HP sendiri.
Jarak dengan penonton menjadi begitu dekat, Wisnu bergeliat dan menari persis semeter di depan mereka. Gerakannya begitu sederhana. Dengan menggunakan celana doreng ala tentara dan kaos putih, Wisnu H.P. bergerak dengan lenturnya. Sesekali Ia kayang, menjatuhkan dirinya di lantai dengan begitu keras, bergeliat layaknya cacing, bangun dan mengambil posisi tegak dengan kepala di bawah dan kaki lurus ke atas. Gerak-gerak yang ditampilkan seolah mencoba untuk mengeksploitasi sedemikian rupa sisi tubuhnya. Ekspoitasi yang dilakukan tidak hanya sekedar gerak yang populis layaknya dalam tari-tari populer dan tradisi. Gerak yang muncul menjadi begitu asing, menjadi bentuk yang dihasilkan dari pergulatan panjang dengan eksperimen yang ketat.
Bagi Wisnu H.P., tubuh selama ini telah terperangkap oleh rutinitas sosial, sehingga terkungkung dalam ruang gerak yang terkesan monoton. Berjalan, berlari, duduk, berdiri, tengkurap, bersila atau gerakan populis lainnya, menjadi inspirasi dalam menciptakan karyanya dengan mencoba mengeruk gerak-gerak di luar mainstream. Seolah sadar akan resikonya, Wisnu begitu hati-hati mempertontonkan hasil eksperimen yang telah Ia lakukan. Sekali Ia melakukan gerakan yang salah, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kontraksi kesakitan pada tubuhnya.
Di akhir tari, Wisnu mengikat kedua kakinya dengan kain putih panjang, tersalur pada bagian atas tiang panggung yang membujur secara horizon. Beberapa diantara penonton dikomandonya untuk menarik pangkal kain layaknya mengerek bendera, kemudian kedua kaki pun terangkat, semakin lama kemudian membentuk pemandangan yang menakjubkan. Diantara panggung kecil yang dipenuhi penonton tersebut, terlihat sesosok manusia tergantung, kepalanya berada di bawah taktersentuh lantai dan kakinya tertarik ke atas oleh kain putih.
Penontonpun mencoba menerka-nerka apa maksud dan makna yang mencoba disampaikan sang koreografer. Belum habis penonton dibuatnya binggung, tiba-tiba screen putih di belakang penari menampakkan gambar-gambar visual yang menarik. Nampak sang koreografer, Wisnu H.P., melakukan gerakan yang asing dan terkadang serupa –dipanggung- pada tempat dan lingkungan yang berbeda. Di bukit berbatu yang terjal, tepat pada sebuah baru kecil yang menjorok ke jurang, dengan hati-hati ia melakukan posisi tegak dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Di sungai dengan airnya yang deras, Wisnu tergantung pada sebuah bambu, bergerak dengan kepala yang rambutnya tersentuh derasnya arus air. Meleset sedikit, nyawa menjadi taruhannya.
Tak terasa selama hampir 20 menit (dari 30 menit) penonton dibuatnya terpesona menyaksikan pengembaraan geraknya diberbagai tempat melalui screen yang ada, selama itu pula tanpa sadar wujud dan tubuh Wisnu yang sesengguhnya tergantung terbalik pada tiang panggung. Sesekali penonton menghampirinya, bertanya apakah Ia tidak apa-apa, jangan-jangan darah telah menggumpal di otak dan beresiko fatal. Beberapa penonton mencoba menawarkan untuk menyudahi aksi pertunjukannya yang berbahaya, namun Ia menolak dan berseru ‘lanjutkan’.

Terbebas dari Belenggu Populis
Tubuh bukan hanya kumpulan tulang dan daging yang dirangkai sedemikian rupa hingga menjadi keajaiban medis, tapi tubuh juga sebuah ‘diri’. Dengan demikian, tubuh tidak hanya sebuah makna bendawi semata, namun tubuh sebagai sebuah ‘diri’ memiliki berbagai sisi yang sosial. Kemudian berbagai pergulatan untuk menempatkan tubuh sebagai diri diberlangsungkan, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup dan mati, serta bagaimana Ia seharusnya ditinggal, disiksa, dan dicintai.
Tubuh, dengan segala keterbatasannya, menunjukkan eksistensinya yang terangkai dalam berbagai hasil produksinya. Bersuara, melihat, mendengar, meraba, adalah produk-produk ajaib yang telah dihasilkan dari tubuh kita, termasuk ‘bergerak’. Tetapi produk-produk yang dihasilkan tubuh telah diberlakukan secara arif oleh segenap manusia, dengan menempatkannya pada ruang yang sewajarnya, berlangsung secara populis dan serentak.
Kenyataanya, tubuh kini telah terkungkung pada ruang-ruang pembakuan yang ditorehkan oleh sang pemilik dan pemegang ‘kontrol mengontrol tubuh’, termasuk kebudayaan. Tubuh harus dilenggak-lenggokkan menuruti aturan tertentu yang apabila hal tersebut dilanggar, maka dianggap sebagai orang aneh, atau kesalahan budaya. Dengan demikian, orang harus memberlakukan tubuhnya secara ‘populis’ dan serentak ketika dihadapkan dalam satu situasi tertentu pada ruang –tempat- yang berbeda-beda. Semisal bagaimana posisi dan gerak tubuh yang tersistem ketika makan di warung pinggir jalan dengan di restoran besar, ketika bertemu orang yang lebih tua dengan orang yang lebih muda, ketika menari gaya Surakarta dengan menari gaya Yogyakarta. Semua ruangnya berbeda, tetapi perlakuan terhadap –sikap- tubuh telah terkonstruk dan ‘sama’ bagi semua orang.
Wisnu H.P. agaknya sadar betul akan persoalan tersebut. Kemudian Ia mencoba keluar dari belenggu kearifan populis dengan menempatkan tubuhnya melalui gerak dan prilaku yang tidak selazimnya. Lewat karya tarinya “tubuh-tubuh” Ia berkehendak menjadikan tubuhnya sebagai sebuah “diri”, dengan menggali ideologi dan egoisme sebagai sosok individu mandiri, meluapkan kebosanan gerak yang selama ini dirasa monoton.
Sayangnya, gerak-garak yang diungkapkan Wisnu H.P., belum sepenuhnya disertai kesadaran yang penuh terdadap penempatan ruang, layaknya yang Ia ungkapkan dan akui dalam forum diskusi sesudah karyanya diberlangsungkan. Di beberapa bagian, Ia masih memberlakukan tubuhnya secara sama pada ruang -tempat- yang berbeda, sehingga yang nampak bukan lagi egoisme gerak, namun hanya sebatas tontonan ruang.

Aris Setiawan
Mahasiswa Pascasarjana ISI Surakarta

Menyoal Idealisme Reality Show (dimuat di Jawapos 30 Mei 2009)

 Menyoal Idealisme Reality Show 



Reality show. Program tayangan yang mulai dikenal di Indonesia pada 2000 itu kini telah menjadi salah satu sajian yang laris manis. Reality show merupakan suatu tayangan tentang realitas masyarakat yang diselenggarakan televisi dengan tidak adanya naskah atau jalan cerita yang disiapkan sebelumnya. Orang-orang yang terlibat di dalamnya pun bukanlah aktor atau aktris.

Mulai reality show berbau pencari bakat, seperti AFI, Indonesian Idol, API, dan KDI, hingga bertema percintaan, seperti H2O, Cinlok, Playboy Kabel, Pacar Usil, dan CLBK. Namun, rupanya yang paling menarik mata publik adalah reality show bertema sosial dengan mengangkat sesuatu yang berbau kemiskinan dan privasi.

Di tangan produser, kemiskinan bukan semata-mata cobaan dan takdir yang menyakitkan. Kemiskinan adalah lahan baru dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah. Simak saja, misalnya, acara Seandainya Aku Menjadi yang ditayangkan Trans TV. Iklan yang masuk bertubi-tubi dan susul-menyusul, terlebih ditayangkan pada waktu yang strategis (jam 5-7 sore).

Keuntungan yang tidak sebanding; stasiun televisi dengan para penggeraknya (produser, sutradara, dll) mendapatkan untung ratusan juta rupiah, sedangkan si miskin selaku artis utama ''hanya'' mendapatkan tiga ekor kambing. Walaupun dengan alih-alih menggugah rasa empati, toh acara itu tetap saja terlihat timpang dan aneh.

Reality dengan tema demikian menjadi booming. Selanjutnya dapat ditebak, hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba mengeksploitasi kemiskinan sebagai tema acara reality show-nya. Muncullah acara Tolong, Tukar Nasib, Bedah Rumah, dan lain sebagainya. Intinya sama, berdalih menolong sesama, namun ending-nya mengejar pasar pula.

Kreatif. Selain kemiskinan, muncullah tema yang lebih frontal, ''eksploitasi privasi''. Sama dengan ''kemiskinan'', dari kacamata produser, privasi bukan lagi ruang intim (privat) yang hanya dimiliki dan diketahui sang pemilik, namun juga objek tontonan yang dapat mendatangkan materi.

Akhirnya, reality show dengan tema eksploitasi privasi pun begitu menjamur. Di antaranya, Termehek-mehek, Orang Ketiga, Mata-Mata, dan Curhat. Kini menonton dan menertawakan ruang privasi seseorang dalam layar kaca menjadi sajian yang menarik dan menghibur bagi masyarakat kita.

Anehnya, ada saja orang yang rela mengorbankan privasi untuk menjadi gunjingan publik. Bagus apabila ruang privasinya itu baik, jika jelek layaknya perselingkuhan, hubungan di luar nikah, dan sebaginya? Tidakkah kita khawatir, seseorang yang menjadi korban telah memulai hidupnya dengan rasa malu, stereotip negatif, terjerumus kepada ruang kesendirian, dan terjauh dari sesama.

Seperti halnya dengan reality show Curhat yang ditayangkan TPI jam 5-6 sore. Sebuah acara yang mengupas permasalahan dalam ruang privasi dengan menghadirkan dua kubu yang bertentangan (layaknya debat). Tidak jarang tayangan itu menyuguhkan pertengkaran dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak semestinya, bahkan kekerasan fisik. Bayangkan, bagaimana apabila tayangan tersebut ditonton anak-anak, yang pada jam-jam tersebut lebih banyak mencurahkan waktu di depan televisi.

Segala macam problematika yang dulu bagi orang Indonesia dapat terselesaikan pada ruang-ruang kekeluargaan yang begitu intim seperti musyawarah, kebersamaan, dan urun rembug, kini telah hilang. Seolah hanya melalui acara-acara reality show tersebut segala problematika hidup dapat terselesaikan. Saat ini justru menjadi penting kita pertanyakan, apakah produser dan stasiun televisi juga memikirkan implikasi dari adanya tontonan yang mereka suguhkan?

Taring Idealisme

Menu atau hidangan yang ada layaknya reality show ibarat makanan, sejauh masyarakat suka dengan mengunyah, lalu menelannya, produksi akan dibuat secara masal. Maka, tak jarang warna yang dibangun di setiap stasiun televisi menjadi sama dan seragam karena digodok di satu wajan dengan satu tema dan satu tujuan yang sama: pasar.

Dengan adanya keseragaman tersebut, image yang telah dibangun dan kemudian menjadi ikon pertelevisian kini sedikit mulai memudar. Seperti halnya TPI, meretas dari titik awal yang berkecimpung dalam ruang pendidikan, kini menjadi semakin bias saja. Hampir 70 persen tampilannya kini telah dihiasi program-program reality show seperti Curhat dan tema pencarian bakat dalam lajur musik dangdut layaknya KDI dan Dangdut Mania Dadakan. Sementara harapan munculnya ruang-ruang pendidikan (terlebih untuk anak-anak) sebagaimana motonya sebagai ''televisi pendidikan Indonesia'' semakin tidak terpenuhi.

Seharusnya dalam pembuatan suatu acara layaknya reality show, selain untuk menarik minat audience sehingga menghasilkan rating yang tinggi, tidak boleh melupakan tanggung jawabnya sebagai media yang isi siarannya wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, dan moral sesuai dengan UU No 32/ 2002.

Selain itu, televisi harus mampu menunjukkan taring idealismenya. Ibarat kopi di Nusantara, wujudnya sama-sama hitam, namun memiliki selera dan rasa khas Toraja, Lampung, Papua, Wonosobo, dan lain sebagainya. Begitu juga televisi, walaupun sama-sama bergerak dalam ruang audio visual, seharusnya mampu dan memiliki gaya ''idealis'' dengan rasa dan segmentasi yang berbeda pula.

Saat ini hanya segelintir stasiun televisi yang telah berani menunjukkan taring idealismenya, berada dalam satu lajur khusus, seperti politik, ekonomi, dan pendidikan. Keberadaannya haruslah tidak hanya semata-mata memihak kepada pasar layaknya keragaman acara reality show yang menganggkat tema-tema pribadi.

Aris Setiawan, pengamat media dan staf pengajar ISI Surakarta

Bukan Musik Biasa: Ajang Memahat Jati Diri (dimuat di Majalah Lango, edisi Mei-Juni 2009)

Bukan Musik Biasa: Ajang Memahat Jati Diri 



Previous
Berabad-abad lamanya kita telah mencoba merumuskan kategori keindahan suara dan bunyi-bunyian. Bagi kalangan publik, suara dengan katalisator harmoni yang terumuskan, pitch yang runtut dan ketukan yang ajeg telah mampu menjadi simbol akan bunyi yang indah, hingga pada akhirnya disebut sebagai musik. Lama, dan seolah terbakukan, kategori suara (musik) termanifestasi menjadi simbolnya yang demikian tersebut, kita pelihara sebagai sebuah keagungan budaya tradisi yang seolah tabu apabila mencoba mengkoreksinya kembali.
Padahal dalam determinasi ruang dan waktu tertentu, suara-suara dan bunyi-bunyian terstruktur tersebut, terbukti tidak mampu memberi kedalaman emosi sebagai ruang hayat pada setiap individu. Tidak selamanya tiap individu memiliki kesamaan hayat dan kenikmatan estetis terhadap satu struktur musik dengan pola yang sama. Bisa jadi satu individu tersebut akan berbeda dengan individu lainnya, bahkan mungkin akan terkesan menyimpang dengan mencoba menempatkan suara-suara atau bunyi-bunyian pada ruang dan norma yang tidak selazimnya.
Bagi individu tersebut, suara yang “jelek”, blero, falsh bukan berarti memiliki rasa estetis dengan mutu yang jelek. Begitu juga sebaliknya suara yang mantab, harmoni yang runtut, akord atau bahkan tempo yang matematis belum tentu memiliki rasa estetis dengan mutu yang baik. Setiap orang memiliki penilaian akan kelayakan rasa keindahan menurut tafsirnya sendiri. Ironisnya, kita selama ini tidak pernah diberi kesempatan dan ruang untuk menentukan dan memilih rasa keindahan. Sejak lahir hingga menginjak dewasa bahkan ketika menjadi tua, kita telah dicekoki dengan budaya bunyi yang tersetruktur, populis, bahkan terkesan sama, hingga menjadi kredonya sebagai sesuatu yang ‘indah’.
Padahal dibanyak penelitian, musik terkadang dapat menjadi bentuknya sebagai daya ungkap dalam menumpahkan segala pergulatan batin senimannya. Ibarat bahasa, tiap individu mempunyai gaya pengungkapan yang berbeda dalam melukiskan sesuatu yang sama. Begitu juga musik, setiap individu dapat menentukan kualitas selera estetis dengan menempatkan kategori bunyi yang ia inginkan. Oleh karena itu bukan berarti ketika musik tersebut falsh, blero, keluar dari batas norma mainstream, dengan serta-merta kita menyebut musik tersebut jelek. Padahal justru dengan “kejelekan bunyi” itulah terkadang seorang seniman merasa menjadi dirinya sendiri dengan mengangkat ideologi yang ia miliki keluar dari batas keterikatan dan kearifan belenggu populis.

Benturan Populis
Terlebih efek-efek dari peradaban abad 19 hingga 21 telah menjadikan manusia menapaki lajur kehidupan yang sangat erat bersentuhan dengan teknologi. Di satu pihak hal tersebut memacu loncatan-loncatan drastis terhadap perkembangan kebudayaan ke arah yang lebih cepat, tetapi di pihak yang lain justru memundurkan sang pemilik kebudayaan ke titik awalnya, atau yang sering kita sebut ‘dehumanisasi’. Terlebih jika efeknya melanda sebuah negara yang berkembang -kata lain dari terbelakang- layaknya Indonesia. Teknologi telah membenturkan kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya dengan begitu dekat. Benturan-benturan yang terjadi tentu saja harus mengorbankan salah satu kebudayaan sebagai satu ruang dalam posisi terkalahkan.
Ironisnya, kita selama ini menjadi subdominan, kalau bukannya kalah dari benturan kebudayaan tersebut. Kredo-kredo lama harus beralih dan mengabdi pada satu yang menang, merubah banyak tatanan yang katanya lebih mederenis. Barat-Timur -pada konteks kebudayaan-, dalam berbagai wacana termasuk musik, menjadi hal yang menarik untuk diperadukan. Hasilnya sudah pasti dapat ditebak, kita cenderung mengabdi pada sang pembuat teknologi. Dengan ideologinya yang katanya lebih mapan, mencoba mengajak kita untuk merumuskan segala sesuatu yang belum terumus atau berserakan, termasuk musik di dalamnya. Kemudian, pengaruh yang lebih dominan lewat perangkat teknologinya membawa satu mainstream yang kita kenal sebagai kredonya yakni “populer”.
Sebagai contoh, bagaimana tiap ras manusia menerjemahkan makna cantik pada wanita. Pada awalnya bagi masyarakat Afrika atau orang-orang kulit hitam di antero dunia, menggagap bahwa seorang gadis atau wanita disebut cantik jikalau memiliki rambut yang hitam ikal dan lebat, berkulit hitam yang pekat, mata yang lebar dengan bagian putih yang bersih. Tapi karena pengaruh teknologi dan pembenturan kebudayaan, mereka kalah dan ideologi tersebut berbalik. Bagi mereka, kini dengan serta merta menganggap bahwa Madona, Britney Spears, Paris Hilton adalah wanita-wanita (ter)cantik populis yang pernah mereka lihat. Begitu juga makna indah pada musik.
Budaya populer dengan sengaja membawa kita pada suatu kategori-kategori umum tentang keindahan dalam musik. Kategori tersebut termanifestasi menjadi bentuknya yang populis. Dengan demikian lahirlah industrialisasi dalam musik. Musik-musik bengenre pop menjamur, tumbuh subur dan penuh sesak megisi ruang-ruang di abad 21. Pengaruh ini membawa banyak seniman berlomba-lomba masuk dan meraih peruntungan di dalamnya. Tapi di satu sisi, muncul gerakan militansi depopulisasi, yakni sebuah ruang yang mencoba membendung dan menentang segala hal yang berbentuk populis, yang konon bagi mereka berselera kacangan.
Semangat musik baru telah timbul dengan mengatasnamakan gerakan kontemporer. Ruang-ruang berkaliber kontemporer pada pertengahan hingga akhir abad 20 bertebaran di mana-mana, akan tetapi hanya dibeberapa lokus saja yang menunjukkan resistensinya pada mainstream. Namun demikian, karena gempuran yang luar biasa melalui media dan teknologi, musik populer semakin kokoh mengepakkan sayapnya. Karena tidak sanggup menahan berbagai gempuran yang demikian, ruang-ruang ‘kontemporer’ satu demi satu jatuh terkulai dan mati. Bahkan menurut I Wayan Sadra –komponis-, banyak seniman-seniman yang seolah berlaku sangat arif, dengan mengatasnamakan orang banyak yang katanya belum siap menerima kehadiran musik kontemporer, dengan serta-merta membuat pembelaan dirinya untuk dengan sah terjun di dunia barunya yang populis. Apa lagi yang dicari kalau bukannya pasar.
Barangkali itulah yang melatar belakangi kenapa forum Bukan Musik Biasa (selanjutnya juga disingkat BMB) tercipta. Forum ini mencoba menjadi katalisator penyampaian kreativitas yang menggebu-menggebu bagi para seniman maupun kaula muda yang sudah bosan dengan sesuatu yang populis. Penempatan kredo estetika dan keindahan bagi mereka penganut BMB bukan lagi harus mengikuti maistream, tapi ‘sesuka mereka’. Musik tidak semata-mata bunyi yang ditimbulkan oleh perangkat gitar, bass, drum, bonang, kendang dan lain sebagainya dengan mentaati pola dan pakem-pakem serta alur permainannya. Suara indah bagi pelaku BMB bisa saja dari gitar yang dipukul, kendang yang mencoba dipetik, bonang yang dibanting, atau lain sebagainya. Bisa jadi BMB saat ini hanya menjadi satu-satunya ruang yang dapat menampung kegelisahan kreativitas liar di luar mainstream, karena ruang-ruang serupa kini tertidur dan mati.

Refleksi
Seperti halnya pementasan pada malam itu (28 Maret 2009). Bukan Musik Biasa yang dimotori oleh I wayan Sadra dan Taman Budaya Surakarta, seperti biasa, melangsungkan pergelarannya di Wisma Seni (bagian Taman Budaya). Forum yang ke 11 tersebut menampilkan lima penyaji dari tiga daerah, Solo (Dhika Maharani), Yogyakarta (Verita Shalavita, Dimas Amesto, Pndu Hidayat), Pacitan (Johan Perwiranto). Karena konteksnya dalam sebuah ruang “Bukan” Musik Biasa, kelima penyaji mencoba menampilkan suatu bentuk pertunjukan yang berada di luar mainstreamnya.
Pertunjukan awal dimulai dengan petikan alat musik ghuzhen dari Dhika Maharani. Jari-jari lentiknya turun naik menapaki dawai-dawai kecapai Cina tersebut. Agak lain, biasanya di awal pertunjukan Bukan Musik Biasa menghadirkan satu gebrakan bunyi yang asing, aneh, liar seolah mengingatkan kita pada tema utama “bukan” musik biasa, sebagai representasi bunyi yang tidak lazim. Permainan Dhika dalam mengawali pementasan malan itu, membawa kita pada satu zaman di mana awal persentuhan tradisi terjadi antara Cina dan Jawa. Konon katanya instrumen tradisi musik Jawa banyak bersentuhan dengan kebudayaan Cina, seperti rebab dan erhu, siter dan ghuzhen. Tak jelas mana yang lebih dahulu memberi pengaruh, namun malam itu Dhika mengajak kita berfantasi ria ke tradisi negeri sebrang. Terlebih sesudah permainan solonya, Ia mencoba membenturkan kebudayaan Cina dan Jawa. Istrumen kecapi Cina yang dimainkannya mencoba berbaur dengan kendang jaipong dan suling ala Sunda, rebab dan siter dari Jawa. Harmoni-harmoni dan bunyi-bunyian baru terbentuk dari persinggungan kesemuanya. Sayang Dhika agaknya lupa bahwa benturan-benturan tradisi yang mencoba Ia lakukan harus mengorbankan salah-satu idiom pemilik kebudayaan diantaranya, sebagai ruang yang terkalahkan. Bunyi-bunyi ala Cina serasa lebih dominan dan lainnya hanya menjadi satapan pelengkap untuk menuruti nafsu musikalnya.
Disusul kemudian oleh penampilan Verita Salavita. Gadis kelahiran Bandung ini membawa satu konsep musik dengan tema dialog musikal. Tiga instrumen diajaknya untuk bercengkrama, gitar, rebab dan kendang. Akord-akord gitar diaduk dengan senggrengan rebab berlaras pelog, tiba-tiba percintaan diantara keduanya harus terganggu dengan kemunculan kendang. Seolah terjadi perbincangan yang tegang, tiga instrumen tersebut berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Terkesan matematis intelektualistis memang, tapi toh semuanya tetap bisa kita rasakan bersumber dari dorongan emosi dan selera tinggi dalam batas kewajaran yang hampir sempurna. Apa yang dilakukan oleh Verita terjadi pula dalam komposisi musikal Pandu Hidayat sebagai penampil ke empat, konsep dialog musikal antara intrumen mencoba Ia terapkan. Perbedaanya, Pandu lebih ketat dalam memberi batasan komunikasi yang ada. Dengan menggunakan metronom, komunikasi musikal antara instrumen piano toys, cow bell, genggong dan kempul serasa lebih matematis. Komunikasi musikal yang dilakukan tidak dapat begitu saja dengan mudah dilakukan, kesemuanya harus menuruti ritme dan tempo yang sudah dicetak oleh metronom. Walau di beberapa bagian, dialog musikal yang dilakukan keluar dari tempo yang ada sebagai sebuah gejala pertarungan rasa dengan rasio, namun toh apa yang dibawakan oleh Pandu cukup menarik untuk dinikmati.
Pemanfaatan media justru dilakukan oleh peyaji ke tiga yakni Dimas, dengan menggunakan screen untuk menayangkan satu figur abstrak yang terdiri beraneka warna layaknya pelangi. Bagi Dimas, agaknya musik tidak harus memberi kebebasan imajinatif yang longgar. Terkadang dengan mendengarkan musik kita sudah diajak pada satu kesepahaman akan bentuk ide yang sama, dibantu dengan penerapan media fisual tentunya. Keberadaan gambar bergerak di screen justru membimbing audiens atau bahkan Dimas sendiri untuk dengan sadar memberlakukan musiknya sebagai sebuah idiom bunyi yang tipis akan interpretasi. Penonton sudah terbingkai makna serta ide musiknya dengan hanya mengikuti alur gambar yang mencoba Ia tampilkan. Walau terasa sederhana, namun apa yang dipetontonkan Dimas, seolah mewacanakan pada audiens bahwa seberapapun kita dengan bebas menginterpretasi sebuah musik, maka dengan sendirinya ia akan hilang di kepala masing-masing interpretator. Oleh karena itu, guna menghindari hal demikian, dengan sengaja Dimas membawakan gambar (warna) bergerak, untuk membimbing pada satu kesepahaman yang sama.
Terakhir adalah penyajian dari Johan Perwiranto. Johan yang akumulasi musikalnya mencoba keluar dari kungkungan populis, mencoba menampilkan konsep karya dengan menggunakan idiom-idiom tidak sewajarnya. Saya bilang tidak sewajarnya, karena bunyi yang mencoba Ia tuangkan berasal dari sebuah mesin ketik dan batu. Memang para pendahulunya sudah menggunakan idiom yang sama (lihat karya-karya Toro, Surabaya), namun apa yang dilakukan Johan patut diapresiasi sebagai sebuah gaya kreativitas yang liar. Mesin-mesin ketik yang berjumlah lima buah (bahkan lebih) dieksplorasi kemungkinan bunyinya, dengan menekan tuts-tuts keyboard secara keras sehingga menimbulkan bunyi yang saling bersahutan satu sama lainnya, dan membentuk jalinan ritmikal, jadilah sebuah musik. Karya yang kedua, Johan menggunakan medium-medium batu sebagai katalisator egoisme musikalnya. Batu-batu dibenturkan satu dengan yang lain, menimbulkan bunyi indah namun terstruktur. Layaknya bermain kendang, bonang, atau perkusi lainnya, batu dihadirkan Johan dengan memiliki fungsi serupa sebagai sebuah alat musik. Sayang, karya Johan hanya berhenti pada satu tahapan yang membikin anggun kulit luarnya. Mesin-mesin ketik dan batu-batuan seolah dipaksakan menjadi kodratnya yang baru sebagai sebuah musik, tanpa disertai pemahaman yang mendasar akan esensi mesin ketik dan batu, sehingga hanya hadir dan “diperkosa” begitu saja.

Memahat Jati Diri
Seberapapun eksplorasi yang mencoba dilakukan oleh kelima penyaji di atas, patut kita catat bahwa usaha yang mereka lakukan adalah bukti bahwa tidak semua yang populis memberi satu wacana kenyataan keindahan yang sama pada tiap individu. Dengan menempatkan bunyi dan suara-suara yang tidak selazimnya, mereka mencoba keluar dari batas-batas belenggu mainstream dengan mempertebal rasa arogansi musikalnya sebagai sebuah pencarian jati diri yang utuh. Keliaran musikal, yang selama ini tertutupi oleh jargon-jargon populis dengan gempurannya dalam berbagai media, lewat BMB menjadi semakin nampak sebagai sebuah representasi atau ungkapan estetika liar yang mahal harganya.
Ibarat warna, keliaran musikal yang mereka miliki tidak lagi dapat dikotomikan menjadi putih maupun hitam. Keliaran musikal yang mereka miliki adalah abu-abu, tidak menginduk pada satu ruang yang pasti, termasuk yang tradisi dan yang populis. Mereka berada di tengah-tengah sebagai katalisator penyampai egoisme musikal. Terkadang orang-orang yang demikian menjadi semakin sulit menumpahkan gairah musikalnya, karena terhimpit diantara yang populis, sementara ruang-ruang penumpahan semakin sedikit jumlahnya (kalau bukannya tidak ada). Tak hayal, banyak diantara keliaran musikal yang mereka miliki kini harus terkalahkan dan tergadaikan pada yang populis. Dengan berbagai macam kredo pembelaan, banyak diantaranya yang harus berlari mengejar pasar.
Beruntung, Bukan Musik Biasa masih mau dan hadir menampung keliaran musikal tersebut. Sebagai sebuah katalisator, Bukan Musik Biasa yang pada malam itu begitu meriah seolah mewacanakan pada publik untuk diajak merenung kembali keberadaan musik yang mereka miliki. Jika semakin lama dibiarkan dan itu-itu saja, tidakkah timbul ketakutan bahwa musik yang kita miliki semakin lama akan semakin membasi. Atau justru harus kita hadirkan ruang-ruang baru sebagai labolatorium penciptaan dan penuangan keliaran musikal individu, untuk menggulirkan satu kenyataan baru yang lebih dinamis. Saya kira Bukan Musik Biasa dapat mempelopori hal itu.
Dari pementasan Bukan Musik Biasa malam itu, setidaknya banyak hal yang dapat kita petik. Salah satunya, ketakutan yang selama ini menjalar terhadap keberadaan komponis wanita nusantara yang semakin sedikit, menipis atau bahkan tidak ada dan hilang. Malam itu lewat Forum BMB, ketakutan seperti itu sedikit tereliminir. Dua komponis wanita (Dhika dan Verita) malam itu memberi harapan kita bahwa komponis wanita nusantara ternyata masih mampu menampakkan taringnya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di ISI Surakarta

Lagu Anak dilibas Syair Asmara (dimuat di Kompas edisi 3 Maret 2009)

Lagu Anak dilibas Syair Asmara  


Di layar kaca sering kali kita lihat berbagai acara yang mengusung dunia anak-anak sebagai pilihan menu utama. Berbagai kontes dan lomba penyanyi anak bermunculan di banyak stasiun televisi. Setiap anak dari penjuru Nusantara yang terpilih berlomba- lomba mengeluarkan kemampuan terbaik dalam berolah vokal. Terkadang, ambitus suara yang muncul kerap kali sumbang atau mimik yang kurang dapat menghayati tema lagu yang dilantunkan. Kalaupun keduanya dapat diekspresikan dengan baik, toh, pada akhirnya menjadi aneh karena yang melagukan anak-anak. Kenapa demikian?
Jawabannya simpel karena syair lagu yang dibawakan senantiasa bertemakan cinta dan asmara sehingga memosisikan anak-anak dalam satu ruang yang penuh keterbatasan.
Di tahun 1980-an banyak penyanyi anak-anak yang cukup terkenal seperti Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha. Tahun 1990-an, penyanyi seperti Cikita Meydi, Eno Lerian, Leoni, Dea Ananda, dan banyak lagi yang kesemuanya memberi ikon masa kanak-kanak yang khas lewat lagunya tentang persahabatan, pendidikan, kasih sayang ibu, sebuah harapan dan cita-cita layaknya syair lagu Joshua yang berangan menjadi seorang Habibie, atau banyak hal tentang semangat militansi dunia anak. Kini, ke mana tema-tema lagu anak tersebut? Kasihan, jangan-jangan anak-anak telah kehilangan dunianya.
"Wanita racun dunia" merupakan sepenggal syair yang saat itu mengisi ruang acara pentas penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi terkemuka. Bagaimana apabila kalimat tersebut diterjemahkan ke dalam dunia anak-anak yang notabene berada dalam masa transisi, dunia tanpa filter, lugu dan apa adanya?
Musik ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, secara psikologis, musik dapat membawa peran yang positif dalam pembentukan mental dan perilaku. Misalnya, musik klasik yang senantiasa digunakan sebagai sarana terapi oleh banyak ibu hamil atau musik gamelan yang pada banyak tempat dipercaya sebagai sarana yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhannya-lihat upacara di Bali, Jawa.
Di sisi yang berbeda terkadang musik justru dapat mengonstruksi mental, perilaku, dan sikap ke dalam sebuah ruang yang terisolasi, asing, aneh, bahkan cenderung indoktrinatif dan intervensial. Simak saja banyak pemuda yang kehilangan jati diri dan mengubah penampilannya karena mendengar jenis aliran musik tertentu, atau seseorang yang nekat mengakhiri nyawa karena terinspirasi beberapa lagu aneh-lihat efek lagu Marylin Manson di tahun 1990-an-dan banyak hal lainnya.
Oleh karena itu, musik juga ibarat bahasa. Di dalamnya mengandung berbagai alunan kata yang penuh muatan pesan. Apabila disuarakan oleh orang yang pas, pesan dapat tersampaikan dengan baik dan komunikatif-terlepas dari implikasi baik dan buruknya. Apabila tidak, layaknya seorang dalang wayang Jawa yang nekat pentas di permukiman masyarakat Papua, terlihat aneh dengan bahasa yang membingungkan. Begitu pula dengan musik di dunia anak-anak kita saat ini. Mereka harus bersuara, tetapi yang disuarakan bukan lagi dari hati yang mewakili mereka, bukan lagi tema-tema dunianya yang dibawa. Mereka harus bernyanyi tetapi bukan lagi bertema pendidikan, persahabatan, cita-cita, kasih sayang ibu, tapi bertema asmara dan cinta-cintaan. Kini, mereka hanya menjadi semacam wadah yang dieksploitasi sedemikian rupa guna memenuhi tuntutan materi.
Soal materi
Patut kita sadari, membiarkan anak-anak membawakan lagu-lagu bertema asmara dan cinta-cintaan akan membawa banyak konsekuensi logis bagi mereka. Pertama, jangkauan (ambitus) vokal anak-anak tentu sangat berbeda dengan orang dewasa. Akibatnya, ketika mereka membawakan lagu asmara atau cinta-cintaan yang notabene lagu orang dewasa, suara mereka akan cenderung sumbang karena tidak mampu menjangkau nada tinggi atau rendah dengan baik sehingga terkesan dipaksakan.
Kedua, belum atau bahkan tidak akan mampu dalam menghayati tema lagu yang dibawakan karena mereka belum pernah mengalami masa dewasa dengan mengenal apa yang namanya "asmara" dan "cinta- cintaan-. Lebih parahnya, apabila mereka dapat menghayati dan mengerti arti tema lagu asmara yang mereka nyanyikan, tidakkah mereka beranjak "dewasa sebelum waktunya-?
Beberapa waktu yang lalu muncul berita tentang pelecehan seksual oleh seorang siswa SMP terhadap teman sebayanya. Seorang anak SMA yang nekat mengakhiri hidup karena tidak lulus ujian atau bahkan karena diputus oleh kekasihnya. Ada juga perbuatan mesum salah seorang siswa SMP yang terekam kamera telepon seluler. Alih-alih atas dasar kredo "cinta", seorang anak SMP rela menikah dengan orang yang layak menjadi kakeknya. Entah apa yang ada dalam benak anak- anak masa kini? Mungkinkah hal itu dapat dipandang sebagai sebuah era di mana cekaknya mentalitas berpikir dunia anak menjadi tren? Atau tidakkah salah satu penyebabnya juga karena persoalan sepele di atas, yakni masalah penempatan musik?
Memang terlalu dini menyangkutpautkan persoalan itu dengan realitas musik bertema "asmara dan cinta-cintaan" dalam dunia anak- anak. Setiap orang dapat melagukannya dengan ekspresi dan pembawaan masing-masing, terlebih untuk kepentingan materi. Musik dapat digubah menjadi alat yang mampu mendatangkan timbunan rupiah yang terkadang lebih penting dari efektivitas musik itu sendiri. Akan tetapi, jangan hanya persoalan materi kita akan mengorbankan dan menghilangkan sebuah masa. Masa di mana penuh imajinasi, canda tawa, keluguan, dan apa adanya, yakni "masa anak-anak".
Di sini sama sekali tidak ada maksud untuk menyalahkan musik. Hal ini karena pada dasarnya musik adalah benda mati yang akan hidup ketika manusia membutuhkannya. Bukan juga hendak menyalahkan anak- anak yang beranjak dewasa sebelum waktunya karena melagukan sebuah musik. Namun, sudah selayaknya kita kembalikan sebuah masa bagi anak- anak yang kini telah hilang dengan menempatkan musik pada koridor dan ruang yang semestinya.

ARIS SETIAWAN 
Dosen Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut