Bukan Musik Biasa: Ajang Memahat Jati Diri (dimuat di Majalah Lango, edisi Mei-Juni 2009)

Bukan Musik Biasa: Ajang Memahat Jati Diri 



Previous
Berabad-abad lamanya kita telah mencoba merumuskan kategori keindahan suara dan bunyi-bunyian. Bagi kalangan publik, suara dengan katalisator harmoni yang terumuskan, pitch yang runtut dan ketukan yang ajeg telah mampu menjadi simbol akan bunyi yang indah, hingga pada akhirnya disebut sebagai musik. Lama, dan seolah terbakukan, kategori suara (musik) termanifestasi menjadi simbolnya yang demikian tersebut, kita pelihara sebagai sebuah keagungan budaya tradisi yang seolah tabu apabila mencoba mengkoreksinya kembali.
Padahal dalam determinasi ruang dan waktu tertentu, suara-suara dan bunyi-bunyian terstruktur tersebut, terbukti tidak mampu memberi kedalaman emosi sebagai ruang hayat pada setiap individu. Tidak selamanya tiap individu memiliki kesamaan hayat dan kenikmatan estetis terhadap satu struktur musik dengan pola yang sama. Bisa jadi satu individu tersebut akan berbeda dengan individu lainnya, bahkan mungkin akan terkesan menyimpang dengan mencoba menempatkan suara-suara atau bunyi-bunyian pada ruang dan norma yang tidak selazimnya.
Bagi individu tersebut, suara yang “jelek”, blero, falsh bukan berarti memiliki rasa estetis dengan mutu yang jelek. Begitu juga sebaliknya suara yang mantab, harmoni yang runtut, akord atau bahkan tempo yang matematis belum tentu memiliki rasa estetis dengan mutu yang baik. Setiap orang memiliki penilaian akan kelayakan rasa keindahan menurut tafsirnya sendiri. Ironisnya, kita selama ini tidak pernah diberi kesempatan dan ruang untuk menentukan dan memilih rasa keindahan. Sejak lahir hingga menginjak dewasa bahkan ketika menjadi tua, kita telah dicekoki dengan budaya bunyi yang tersetruktur, populis, bahkan terkesan sama, hingga menjadi kredonya sebagai sesuatu yang ‘indah’.
Padahal dibanyak penelitian, musik terkadang dapat menjadi bentuknya sebagai daya ungkap dalam menumpahkan segala pergulatan batin senimannya. Ibarat bahasa, tiap individu mempunyai gaya pengungkapan yang berbeda dalam melukiskan sesuatu yang sama. Begitu juga musik, setiap individu dapat menentukan kualitas selera estetis dengan menempatkan kategori bunyi yang ia inginkan. Oleh karena itu bukan berarti ketika musik tersebut falsh, blero, keluar dari batas norma mainstream, dengan serta-merta kita menyebut musik tersebut jelek. Padahal justru dengan “kejelekan bunyi” itulah terkadang seorang seniman merasa menjadi dirinya sendiri dengan mengangkat ideologi yang ia miliki keluar dari batas keterikatan dan kearifan belenggu populis.

Benturan Populis
Terlebih efek-efek dari peradaban abad 19 hingga 21 telah menjadikan manusia menapaki lajur kehidupan yang sangat erat bersentuhan dengan teknologi. Di satu pihak hal tersebut memacu loncatan-loncatan drastis terhadap perkembangan kebudayaan ke arah yang lebih cepat, tetapi di pihak yang lain justru memundurkan sang pemilik kebudayaan ke titik awalnya, atau yang sering kita sebut ‘dehumanisasi’. Terlebih jika efeknya melanda sebuah negara yang berkembang -kata lain dari terbelakang- layaknya Indonesia. Teknologi telah membenturkan kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya dengan begitu dekat. Benturan-benturan yang terjadi tentu saja harus mengorbankan salah satu kebudayaan sebagai satu ruang dalam posisi terkalahkan.
Ironisnya, kita selama ini menjadi subdominan, kalau bukannya kalah dari benturan kebudayaan tersebut. Kredo-kredo lama harus beralih dan mengabdi pada satu yang menang, merubah banyak tatanan yang katanya lebih mederenis. Barat-Timur -pada konteks kebudayaan-, dalam berbagai wacana termasuk musik, menjadi hal yang menarik untuk diperadukan. Hasilnya sudah pasti dapat ditebak, kita cenderung mengabdi pada sang pembuat teknologi. Dengan ideologinya yang katanya lebih mapan, mencoba mengajak kita untuk merumuskan segala sesuatu yang belum terumus atau berserakan, termasuk musik di dalamnya. Kemudian, pengaruh yang lebih dominan lewat perangkat teknologinya membawa satu mainstream yang kita kenal sebagai kredonya yakni “populer”.
Sebagai contoh, bagaimana tiap ras manusia menerjemahkan makna cantik pada wanita. Pada awalnya bagi masyarakat Afrika atau orang-orang kulit hitam di antero dunia, menggagap bahwa seorang gadis atau wanita disebut cantik jikalau memiliki rambut yang hitam ikal dan lebat, berkulit hitam yang pekat, mata yang lebar dengan bagian putih yang bersih. Tapi karena pengaruh teknologi dan pembenturan kebudayaan, mereka kalah dan ideologi tersebut berbalik. Bagi mereka, kini dengan serta merta menganggap bahwa Madona, Britney Spears, Paris Hilton adalah wanita-wanita (ter)cantik populis yang pernah mereka lihat. Begitu juga makna indah pada musik.
Budaya populer dengan sengaja membawa kita pada suatu kategori-kategori umum tentang keindahan dalam musik. Kategori tersebut termanifestasi menjadi bentuknya yang populis. Dengan demikian lahirlah industrialisasi dalam musik. Musik-musik bengenre pop menjamur, tumbuh subur dan penuh sesak megisi ruang-ruang di abad 21. Pengaruh ini membawa banyak seniman berlomba-lomba masuk dan meraih peruntungan di dalamnya. Tapi di satu sisi, muncul gerakan militansi depopulisasi, yakni sebuah ruang yang mencoba membendung dan menentang segala hal yang berbentuk populis, yang konon bagi mereka berselera kacangan.
Semangat musik baru telah timbul dengan mengatasnamakan gerakan kontemporer. Ruang-ruang berkaliber kontemporer pada pertengahan hingga akhir abad 20 bertebaran di mana-mana, akan tetapi hanya dibeberapa lokus saja yang menunjukkan resistensinya pada mainstream. Namun demikian, karena gempuran yang luar biasa melalui media dan teknologi, musik populer semakin kokoh mengepakkan sayapnya. Karena tidak sanggup menahan berbagai gempuran yang demikian, ruang-ruang ‘kontemporer’ satu demi satu jatuh terkulai dan mati. Bahkan menurut I Wayan Sadra –komponis-, banyak seniman-seniman yang seolah berlaku sangat arif, dengan mengatasnamakan orang banyak yang katanya belum siap menerima kehadiran musik kontemporer, dengan serta-merta membuat pembelaan dirinya untuk dengan sah terjun di dunia barunya yang populis. Apa lagi yang dicari kalau bukannya pasar.
Barangkali itulah yang melatar belakangi kenapa forum Bukan Musik Biasa (selanjutnya juga disingkat BMB) tercipta. Forum ini mencoba menjadi katalisator penyampaian kreativitas yang menggebu-menggebu bagi para seniman maupun kaula muda yang sudah bosan dengan sesuatu yang populis. Penempatan kredo estetika dan keindahan bagi mereka penganut BMB bukan lagi harus mengikuti maistream, tapi ‘sesuka mereka’. Musik tidak semata-mata bunyi yang ditimbulkan oleh perangkat gitar, bass, drum, bonang, kendang dan lain sebagainya dengan mentaati pola dan pakem-pakem serta alur permainannya. Suara indah bagi pelaku BMB bisa saja dari gitar yang dipukul, kendang yang mencoba dipetik, bonang yang dibanting, atau lain sebagainya. Bisa jadi BMB saat ini hanya menjadi satu-satunya ruang yang dapat menampung kegelisahan kreativitas liar di luar mainstream, karena ruang-ruang serupa kini tertidur dan mati.

Refleksi
Seperti halnya pementasan pada malam itu (28 Maret 2009). Bukan Musik Biasa yang dimotori oleh I wayan Sadra dan Taman Budaya Surakarta, seperti biasa, melangsungkan pergelarannya di Wisma Seni (bagian Taman Budaya). Forum yang ke 11 tersebut menampilkan lima penyaji dari tiga daerah, Solo (Dhika Maharani), Yogyakarta (Verita Shalavita, Dimas Amesto, Pndu Hidayat), Pacitan (Johan Perwiranto). Karena konteksnya dalam sebuah ruang “Bukan” Musik Biasa, kelima penyaji mencoba menampilkan suatu bentuk pertunjukan yang berada di luar mainstreamnya.
Pertunjukan awal dimulai dengan petikan alat musik ghuzhen dari Dhika Maharani. Jari-jari lentiknya turun naik menapaki dawai-dawai kecapai Cina tersebut. Agak lain, biasanya di awal pertunjukan Bukan Musik Biasa menghadirkan satu gebrakan bunyi yang asing, aneh, liar seolah mengingatkan kita pada tema utama “bukan” musik biasa, sebagai representasi bunyi yang tidak lazim. Permainan Dhika dalam mengawali pementasan malan itu, membawa kita pada satu zaman di mana awal persentuhan tradisi terjadi antara Cina dan Jawa. Konon katanya instrumen tradisi musik Jawa banyak bersentuhan dengan kebudayaan Cina, seperti rebab dan erhu, siter dan ghuzhen. Tak jelas mana yang lebih dahulu memberi pengaruh, namun malam itu Dhika mengajak kita berfantasi ria ke tradisi negeri sebrang. Terlebih sesudah permainan solonya, Ia mencoba membenturkan kebudayaan Cina dan Jawa. Istrumen kecapi Cina yang dimainkannya mencoba berbaur dengan kendang jaipong dan suling ala Sunda, rebab dan siter dari Jawa. Harmoni-harmoni dan bunyi-bunyian baru terbentuk dari persinggungan kesemuanya. Sayang Dhika agaknya lupa bahwa benturan-benturan tradisi yang mencoba Ia lakukan harus mengorbankan salah-satu idiom pemilik kebudayaan diantaranya, sebagai ruang yang terkalahkan. Bunyi-bunyi ala Cina serasa lebih dominan dan lainnya hanya menjadi satapan pelengkap untuk menuruti nafsu musikalnya.
Disusul kemudian oleh penampilan Verita Salavita. Gadis kelahiran Bandung ini membawa satu konsep musik dengan tema dialog musikal. Tiga instrumen diajaknya untuk bercengkrama, gitar, rebab dan kendang. Akord-akord gitar diaduk dengan senggrengan rebab berlaras pelog, tiba-tiba percintaan diantara keduanya harus terganggu dengan kemunculan kendang. Seolah terjadi perbincangan yang tegang, tiga instrumen tersebut berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Terkesan matematis intelektualistis memang, tapi toh semuanya tetap bisa kita rasakan bersumber dari dorongan emosi dan selera tinggi dalam batas kewajaran yang hampir sempurna. Apa yang dilakukan oleh Verita terjadi pula dalam komposisi musikal Pandu Hidayat sebagai penampil ke empat, konsep dialog musikal antara intrumen mencoba Ia terapkan. Perbedaanya, Pandu lebih ketat dalam memberi batasan komunikasi yang ada. Dengan menggunakan metronom, komunikasi musikal antara instrumen piano toys, cow bell, genggong dan kempul serasa lebih matematis. Komunikasi musikal yang dilakukan tidak dapat begitu saja dengan mudah dilakukan, kesemuanya harus menuruti ritme dan tempo yang sudah dicetak oleh metronom. Walau di beberapa bagian, dialog musikal yang dilakukan keluar dari tempo yang ada sebagai sebuah gejala pertarungan rasa dengan rasio, namun toh apa yang dibawakan oleh Pandu cukup menarik untuk dinikmati.
Pemanfaatan media justru dilakukan oleh peyaji ke tiga yakni Dimas, dengan menggunakan screen untuk menayangkan satu figur abstrak yang terdiri beraneka warna layaknya pelangi. Bagi Dimas, agaknya musik tidak harus memberi kebebasan imajinatif yang longgar. Terkadang dengan mendengarkan musik kita sudah diajak pada satu kesepahaman akan bentuk ide yang sama, dibantu dengan penerapan media fisual tentunya. Keberadaan gambar bergerak di screen justru membimbing audiens atau bahkan Dimas sendiri untuk dengan sadar memberlakukan musiknya sebagai sebuah idiom bunyi yang tipis akan interpretasi. Penonton sudah terbingkai makna serta ide musiknya dengan hanya mengikuti alur gambar yang mencoba Ia tampilkan. Walau terasa sederhana, namun apa yang dipetontonkan Dimas, seolah mewacanakan pada audiens bahwa seberapapun kita dengan bebas menginterpretasi sebuah musik, maka dengan sendirinya ia akan hilang di kepala masing-masing interpretator. Oleh karena itu, guna menghindari hal demikian, dengan sengaja Dimas membawakan gambar (warna) bergerak, untuk membimbing pada satu kesepahaman yang sama.
Terakhir adalah penyajian dari Johan Perwiranto. Johan yang akumulasi musikalnya mencoba keluar dari kungkungan populis, mencoba menampilkan konsep karya dengan menggunakan idiom-idiom tidak sewajarnya. Saya bilang tidak sewajarnya, karena bunyi yang mencoba Ia tuangkan berasal dari sebuah mesin ketik dan batu. Memang para pendahulunya sudah menggunakan idiom yang sama (lihat karya-karya Toro, Surabaya), namun apa yang dilakukan Johan patut diapresiasi sebagai sebuah gaya kreativitas yang liar. Mesin-mesin ketik yang berjumlah lima buah (bahkan lebih) dieksplorasi kemungkinan bunyinya, dengan menekan tuts-tuts keyboard secara keras sehingga menimbulkan bunyi yang saling bersahutan satu sama lainnya, dan membentuk jalinan ritmikal, jadilah sebuah musik. Karya yang kedua, Johan menggunakan medium-medium batu sebagai katalisator egoisme musikalnya. Batu-batu dibenturkan satu dengan yang lain, menimbulkan bunyi indah namun terstruktur. Layaknya bermain kendang, bonang, atau perkusi lainnya, batu dihadirkan Johan dengan memiliki fungsi serupa sebagai sebuah alat musik. Sayang, karya Johan hanya berhenti pada satu tahapan yang membikin anggun kulit luarnya. Mesin-mesin ketik dan batu-batuan seolah dipaksakan menjadi kodratnya yang baru sebagai sebuah musik, tanpa disertai pemahaman yang mendasar akan esensi mesin ketik dan batu, sehingga hanya hadir dan “diperkosa” begitu saja.

Memahat Jati Diri
Seberapapun eksplorasi yang mencoba dilakukan oleh kelima penyaji di atas, patut kita catat bahwa usaha yang mereka lakukan adalah bukti bahwa tidak semua yang populis memberi satu wacana kenyataan keindahan yang sama pada tiap individu. Dengan menempatkan bunyi dan suara-suara yang tidak selazimnya, mereka mencoba keluar dari batas-batas belenggu mainstream dengan mempertebal rasa arogansi musikalnya sebagai sebuah pencarian jati diri yang utuh. Keliaran musikal, yang selama ini tertutupi oleh jargon-jargon populis dengan gempurannya dalam berbagai media, lewat BMB menjadi semakin nampak sebagai sebuah representasi atau ungkapan estetika liar yang mahal harganya.
Ibarat warna, keliaran musikal yang mereka miliki tidak lagi dapat dikotomikan menjadi putih maupun hitam. Keliaran musikal yang mereka miliki adalah abu-abu, tidak menginduk pada satu ruang yang pasti, termasuk yang tradisi dan yang populis. Mereka berada di tengah-tengah sebagai katalisator penyampai egoisme musikal. Terkadang orang-orang yang demikian menjadi semakin sulit menumpahkan gairah musikalnya, karena terhimpit diantara yang populis, sementara ruang-ruang penumpahan semakin sedikit jumlahnya (kalau bukannya tidak ada). Tak hayal, banyak diantara keliaran musikal yang mereka miliki kini harus terkalahkan dan tergadaikan pada yang populis. Dengan berbagai macam kredo pembelaan, banyak diantaranya yang harus berlari mengejar pasar.
Beruntung, Bukan Musik Biasa masih mau dan hadir menampung keliaran musikal tersebut. Sebagai sebuah katalisator, Bukan Musik Biasa yang pada malam itu begitu meriah seolah mewacanakan pada publik untuk diajak merenung kembali keberadaan musik yang mereka miliki. Jika semakin lama dibiarkan dan itu-itu saja, tidakkah timbul ketakutan bahwa musik yang kita miliki semakin lama akan semakin membasi. Atau justru harus kita hadirkan ruang-ruang baru sebagai labolatorium penciptaan dan penuangan keliaran musikal individu, untuk menggulirkan satu kenyataan baru yang lebih dinamis. Saya kira Bukan Musik Biasa dapat mempelopori hal itu.
Dari pementasan Bukan Musik Biasa malam itu, setidaknya banyak hal yang dapat kita petik. Salah satunya, ketakutan yang selama ini menjalar terhadap keberadaan komponis wanita nusantara yang semakin sedikit, menipis atau bahkan tidak ada dan hilang. Malam itu lewat Forum BMB, ketakutan seperti itu sedikit tereliminir. Dua komponis wanita (Dhika dan Verita) malam itu memberi harapan kita bahwa komponis wanita nusantara ternyata masih mampu menampakkan taringnya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut