Menyoal Idealisme Reality Show (dimuat di Jawapos 30 Mei 2009)

 Menyoal Idealisme Reality Show 



Reality show. Program tayangan yang mulai dikenal di Indonesia pada 2000 itu kini telah menjadi salah satu sajian yang laris manis. Reality show merupakan suatu tayangan tentang realitas masyarakat yang diselenggarakan televisi dengan tidak adanya naskah atau jalan cerita yang disiapkan sebelumnya. Orang-orang yang terlibat di dalamnya pun bukanlah aktor atau aktris.

Mulai reality show berbau pencari bakat, seperti AFI, Indonesian Idol, API, dan KDI, hingga bertema percintaan, seperti H2O, Cinlok, Playboy Kabel, Pacar Usil, dan CLBK. Namun, rupanya yang paling menarik mata publik adalah reality show bertema sosial dengan mengangkat sesuatu yang berbau kemiskinan dan privasi.

Di tangan produser, kemiskinan bukan semata-mata cobaan dan takdir yang menyakitkan. Kemiskinan adalah lahan baru dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah. Simak saja, misalnya, acara Seandainya Aku Menjadi yang ditayangkan Trans TV. Iklan yang masuk bertubi-tubi dan susul-menyusul, terlebih ditayangkan pada waktu yang strategis (jam 5-7 sore).

Keuntungan yang tidak sebanding; stasiun televisi dengan para penggeraknya (produser, sutradara, dll) mendapatkan untung ratusan juta rupiah, sedangkan si miskin selaku artis utama ''hanya'' mendapatkan tiga ekor kambing. Walaupun dengan alih-alih menggugah rasa empati, toh acara itu tetap saja terlihat timpang dan aneh.

Reality dengan tema demikian menjadi booming. Selanjutnya dapat ditebak, hampir semua stasiun televisi berlomba-lomba mengeksploitasi kemiskinan sebagai tema acara reality show-nya. Muncullah acara Tolong, Tukar Nasib, Bedah Rumah, dan lain sebagainya. Intinya sama, berdalih menolong sesama, namun ending-nya mengejar pasar pula.

Kreatif. Selain kemiskinan, muncullah tema yang lebih frontal, ''eksploitasi privasi''. Sama dengan ''kemiskinan'', dari kacamata produser, privasi bukan lagi ruang intim (privat) yang hanya dimiliki dan diketahui sang pemilik, namun juga objek tontonan yang dapat mendatangkan materi.

Akhirnya, reality show dengan tema eksploitasi privasi pun begitu menjamur. Di antaranya, Termehek-mehek, Orang Ketiga, Mata-Mata, dan Curhat. Kini menonton dan menertawakan ruang privasi seseorang dalam layar kaca menjadi sajian yang menarik dan menghibur bagi masyarakat kita.

Anehnya, ada saja orang yang rela mengorbankan privasi untuk menjadi gunjingan publik. Bagus apabila ruang privasinya itu baik, jika jelek layaknya perselingkuhan, hubungan di luar nikah, dan sebaginya? Tidakkah kita khawatir, seseorang yang menjadi korban telah memulai hidupnya dengan rasa malu, stereotip negatif, terjerumus kepada ruang kesendirian, dan terjauh dari sesama.

Seperti halnya dengan reality show Curhat yang ditayangkan TPI jam 5-6 sore. Sebuah acara yang mengupas permasalahan dalam ruang privasi dengan menghadirkan dua kubu yang bertentangan (layaknya debat). Tidak jarang tayangan itu menyuguhkan pertengkaran dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak semestinya, bahkan kekerasan fisik. Bayangkan, bagaimana apabila tayangan tersebut ditonton anak-anak, yang pada jam-jam tersebut lebih banyak mencurahkan waktu di depan televisi.

Segala macam problematika yang dulu bagi orang Indonesia dapat terselesaikan pada ruang-ruang kekeluargaan yang begitu intim seperti musyawarah, kebersamaan, dan urun rembug, kini telah hilang. Seolah hanya melalui acara-acara reality show tersebut segala problematika hidup dapat terselesaikan. Saat ini justru menjadi penting kita pertanyakan, apakah produser dan stasiun televisi juga memikirkan implikasi dari adanya tontonan yang mereka suguhkan?

Taring Idealisme

Menu atau hidangan yang ada layaknya reality show ibarat makanan, sejauh masyarakat suka dengan mengunyah, lalu menelannya, produksi akan dibuat secara masal. Maka, tak jarang warna yang dibangun di setiap stasiun televisi menjadi sama dan seragam karena digodok di satu wajan dengan satu tema dan satu tujuan yang sama: pasar.

Dengan adanya keseragaman tersebut, image yang telah dibangun dan kemudian menjadi ikon pertelevisian kini sedikit mulai memudar. Seperti halnya TPI, meretas dari titik awal yang berkecimpung dalam ruang pendidikan, kini menjadi semakin bias saja. Hampir 70 persen tampilannya kini telah dihiasi program-program reality show seperti Curhat dan tema pencarian bakat dalam lajur musik dangdut layaknya KDI dan Dangdut Mania Dadakan. Sementara harapan munculnya ruang-ruang pendidikan (terlebih untuk anak-anak) sebagaimana motonya sebagai ''televisi pendidikan Indonesia'' semakin tidak terpenuhi.

Seharusnya dalam pembuatan suatu acara layaknya reality show, selain untuk menarik minat audience sehingga menghasilkan rating yang tinggi, tidak boleh melupakan tanggung jawabnya sebagai media yang isi siarannya wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, dan moral sesuai dengan UU No 32/ 2002.

Selain itu, televisi harus mampu menunjukkan taring idealismenya. Ibarat kopi di Nusantara, wujudnya sama-sama hitam, namun memiliki selera dan rasa khas Toraja, Lampung, Papua, Wonosobo, dan lain sebagainya. Begitu juga televisi, walaupun sama-sama bergerak dalam ruang audio visual, seharusnya mampu dan memiliki gaya ''idealis'' dengan rasa dan segmentasi yang berbeda pula.

Saat ini hanya segelintir stasiun televisi yang telah berani menunjukkan taring idealismenya, berada dalam satu lajur khusus, seperti politik, ekonomi, dan pendidikan. Keberadaannya haruslah tidak hanya semata-mata memihak kepada pasar layaknya keragaman acara reality show yang menganggkat tema-tema pribadi.

Aris Setiawan, pengamat media dan staf pengajar ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut