Menyoal Idealisme Reality Show
Reality show. Program tayangan yang mulai dikenal di Indonesia pada 2000
itu kini telah menjadi salah satu sajian yang laris manis. Reality show
merupakan suatu tayangan tentang realitas masyarakat yang
diselenggarakan televisi dengan tidak adanya naskah atau jalan cerita
yang disiapkan sebelumnya. Orang-orang yang terlibat di dalamnya pun
bukanlah aktor atau aktris.
Mulai reality show berbau pencari
bakat, seperti AFI, Indonesian Idol, API, dan KDI, hingga bertema
percintaan, seperti H2O, Cinlok, Playboy Kabel, Pacar Usil, dan CLBK.
Namun, rupanya yang paling menarik mata publik adalah reality show
bertema sosial dengan mengangkat sesuatu yang berbau kemiskinan dan
privasi.
Di tangan produser, kemiskinan bukan semata-mata cobaan
dan takdir yang menyakitkan. Kemiskinan adalah lahan baru dalam
mendatangkan pundi-pundi rupiah. Simak saja, misalnya, acara Seandainya
Aku Menjadi yang ditayangkan Trans TV. Iklan yang masuk bertubi-tubi dan
susul-menyusul, terlebih ditayangkan pada waktu yang strategis (jam 5-7
sore).
Keuntungan yang tidak sebanding; stasiun televisi dengan
para penggeraknya (produser, sutradara, dll) mendapatkan untung ratusan
juta rupiah, sedangkan si miskin selaku artis utama ''hanya''
mendapatkan tiga ekor kambing. Walaupun dengan alih-alih menggugah rasa
empati, toh acara itu tetap saja terlihat timpang dan aneh.
Reality
dengan tema demikian menjadi booming. Selanjutnya dapat ditebak, hampir
semua stasiun televisi berlomba-lomba mengeksploitasi kemiskinan
sebagai tema acara reality show-nya. Muncullah acara Tolong, Tukar
Nasib, Bedah Rumah, dan lain sebagainya. Intinya sama, berdalih menolong
sesama, namun ending-nya mengejar pasar pula.
Kreatif. Selain
kemiskinan, muncullah tema yang lebih frontal, ''eksploitasi privasi''.
Sama dengan ''kemiskinan'', dari kacamata produser, privasi bukan lagi
ruang intim (privat) yang hanya dimiliki dan diketahui sang pemilik,
namun juga objek tontonan yang dapat mendatangkan materi.
Akhirnya,
reality show dengan tema eksploitasi privasi pun begitu menjamur. Di
antaranya, Termehek-mehek, Orang Ketiga, Mata-Mata, dan Curhat. Kini
menonton dan menertawakan ruang privasi seseorang dalam layar kaca
menjadi sajian yang menarik dan menghibur bagi masyarakat kita.
Anehnya,
ada saja orang yang rela mengorbankan privasi untuk menjadi gunjingan
publik. Bagus apabila ruang privasinya itu baik, jika jelek layaknya
perselingkuhan, hubungan di luar nikah, dan sebaginya? Tidakkah kita
khawatir, seseorang yang menjadi korban telah memulai hidupnya dengan
rasa malu, stereotip negatif, terjerumus kepada ruang kesendirian, dan
terjauh dari sesama.
Seperti halnya dengan reality show Curhat
yang ditayangkan TPI jam 5-6 sore. Sebuah acara yang mengupas
permasalahan dalam ruang privasi dengan menghadirkan dua kubu yang
bertentangan (layaknya debat). Tidak jarang tayangan itu menyuguhkan
pertengkaran dengan mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak semestinya,
bahkan kekerasan fisik. Bayangkan, bagaimana apabila tayangan tersebut
ditonton anak-anak, yang pada jam-jam tersebut lebih banyak mencurahkan
waktu di depan televisi.
Segala macam problematika yang dulu bagi
orang Indonesia dapat terselesaikan pada ruang-ruang kekeluargaan yang
begitu intim seperti musyawarah, kebersamaan, dan urun rembug, kini
telah hilang. Seolah hanya melalui acara-acara reality show tersebut
segala problematika hidup dapat terselesaikan. Saat ini justru menjadi
penting kita pertanyakan, apakah produser dan stasiun televisi juga
memikirkan implikasi dari adanya tontonan yang mereka suguhkan?
Taring Idealisme
Menu
atau hidangan yang ada layaknya reality show ibarat makanan, sejauh
masyarakat suka dengan mengunyah, lalu menelannya, produksi akan dibuat
secara masal. Maka, tak jarang warna yang dibangun di setiap stasiun
televisi menjadi sama dan seragam karena digodok di satu wajan dengan
satu tema dan satu tujuan yang sama: pasar.
Dengan adanya
keseragaman tersebut, image yang telah dibangun dan kemudian menjadi
ikon pertelevisian kini sedikit mulai memudar. Seperti halnya TPI,
meretas dari titik awal yang berkecimpung dalam ruang pendidikan, kini
menjadi semakin bias saja. Hampir 70 persen tampilannya kini telah
dihiasi program-program reality show seperti Curhat dan tema pencarian
bakat dalam lajur musik dangdut layaknya KDI dan Dangdut Mania Dadakan.
Sementara harapan munculnya ruang-ruang pendidikan (terlebih untuk
anak-anak) sebagaimana motonya sebagai ''televisi pendidikan Indonesia''
semakin tidak terpenuhi.
Seharusnya dalam pembuatan suatu acara
layaknya reality show, selain untuk menarik minat audience sehingga
menghasilkan rating yang tinggi, tidak boleh melupakan tanggung jawabnya
sebagai media yang isi siarannya wajib mengandung informasi,
pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas,
watak, dan moral sesuai dengan UU No 32/ 2002.
Selain itu,
televisi harus mampu menunjukkan taring idealismenya. Ibarat kopi di
Nusantara, wujudnya sama-sama hitam, namun memiliki selera dan rasa khas
Toraja, Lampung, Papua, Wonosobo, dan lain sebagainya. Begitu juga
televisi, walaupun sama-sama bergerak dalam ruang audio visual,
seharusnya mampu dan memiliki gaya ''idealis'' dengan rasa dan
segmentasi yang berbeda pula.
Saat ini hanya segelintir stasiun
televisi yang telah berani menunjukkan taring idealismenya, berada dalam
satu lajur khusus, seperti politik, ekonomi, dan pendidikan.
Keberadaannya haruslah tidak hanya semata-mata memihak kepada pasar
layaknya keragaman acara reality show yang menganggkat tema-tema
pribadi.
Aris Setiawan, pengamat media dan staf pengajar ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar