Bukan Musik Biasa: Ajang Memahat Jati Diri
Previous
Berabad-abad
lamanya kita telah mencoba merumuskan kategori keindahan suara dan
bunyi-bunyian. Bagi kalangan publik, suara dengan katalisator harmoni
yang terumuskan, pitch yang runtut dan ketukan yang ajeg telah mampu
menjadi simbol akan bunyi yang indah, hingga pada akhirnya disebut
sebagai musik. Lama, dan seolah terbakukan, kategori suara (musik)
termanifestasi menjadi simbolnya yang demikian tersebut, kita pelihara
sebagai sebuah keagungan budaya tradisi yang seolah tabu apabila mencoba
mengkoreksinya kembali.
Padahal dalam determinasi ruang dan waktu
tertentu, suara-suara dan bunyi-bunyian terstruktur tersebut, terbukti
tidak mampu memberi kedalaman emosi sebagai ruang hayat pada setiap
individu. Tidak selamanya tiap individu memiliki kesamaan hayat dan
kenikmatan estetis terhadap satu struktur musik dengan pola yang sama.
Bisa jadi satu individu tersebut akan berbeda dengan individu lainnya,
bahkan mungkin akan terkesan menyimpang dengan mencoba menempatkan
suara-suara atau bunyi-bunyian pada ruang dan norma yang tidak
selazimnya.
Bagi individu tersebut, suara yang “jelek”, blero, falsh
bukan berarti memiliki rasa estetis dengan mutu yang jelek. Begitu juga
sebaliknya suara yang mantab, harmoni yang runtut, akord atau bahkan
tempo yang matematis belum tentu memiliki rasa estetis dengan mutu yang
baik. Setiap orang memiliki penilaian akan kelayakan rasa keindahan
menurut tafsirnya sendiri. Ironisnya, kita selama ini tidak pernah
diberi kesempatan dan ruang untuk menentukan dan memilih rasa keindahan.
Sejak lahir hingga menginjak dewasa bahkan ketika menjadi tua, kita
telah dicekoki dengan budaya bunyi yang tersetruktur, populis, bahkan
terkesan sama, hingga menjadi kredonya sebagai sesuatu yang ‘indah’.
Padahal
dibanyak penelitian, musik terkadang dapat menjadi bentuknya sebagai
daya ungkap dalam menumpahkan segala pergulatan batin senimannya. Ibarat
bahasa, tiap individu mempunyai gaya pengungkapan yang berbeda dalam
melukiskan sesuatu yang sama. Begitu juga musik, setiap individu dapat
menentukan kualitas selera estetis dengan menempatkan kategori bunyi
yang ia inginkan. Oleh karena itu bukan berarti ketika musik tersebut
falsh, blero, keluar dari batas norma mainstream, dengan serta-merta
kita menyebut musik tersebut jelek. Padahal justru dengan “kejelekan
bunyi” itulah terkadang seorang seniman merasa menjadi dirinya sendiri
dengan mengangkat ideologi yang ia miliki keluar dari batas keterikatan
dan kearifan belenggu populis.
Benturan Populis
Terlebih
efek-efek dari peradaban abad 19 hingga 21 telah menjadikan manusia
menapaki lajur kehidupan yang sangat erat bersentuhan dengan teknologi.
Di satu pihak hal tersebut memacu loncatan-loncatan drastis terhadap
perkembangan kebudayaan ke arah yang lebih cepat, tetapi di pihak yang
lain justru memundurkan sang pemilik kebudayaan ke titik awalnya, atau
yang sering kita sebut ‘dehumanisasi’. Terlebih jika efeknya melanda
sebuah negara yang berkembang -kata lain dari terbelakang- layaknya
Indonesia. Teknologi telah membenturkan kebudayaan satu dengan
kebudayaan lainnya dengan begitu dekat. Benturan-benturan yang terjadi
tentu saja harus mengorbankan salah satu kebudayaan sebagai satu ruang
dalam posisi terkalahkan.
Ironisnya, kita selama ini menjadi
subdominan, kalau bukannya kalah dari benturan kebudayaan tersebut.
Kredo-kredo lama harus beralih dan mengabdi pada satu yang menang,
merubah banyak tatanan yang katanya lebih mederenis. Barat-Timur -pada
konteks kebudayaan-, dalam berbagai wacana termasuk musik, menjadi hal
yang menarik untuk diperadukan. Hasilnya sudah pasti dapat ditebak, kita
cenderung mengabdi pada sang pembuat teknologi. Dengan ideologinya yang
katanya lebih mapan, mencoba mengajak kita untuk merumuskan segala
sesuatu yang belum terumus atau berserakan, termasuk musik di dalamnya.
Kemudian, pengaruh yang lebih dominan lewat perangkat teknologinya
membawa satu mainstream yang kita kenal sebagai kredonya yakni
“populer”.
Sebagai contoh, bagaimana tiap ras manusia menerjemahkan
makna cantik pada wanita. Pada awalnya bagi masyarakat Afrika atau
orang-orang kulit hitam di antero dunia, menggagap bahwa seorang gadis
atau wanita disebut cantik jikalau memiliki rambut yang hitam ikal dan
lebat, berkulit hitam yang pekat, mata yang lebar dengan bagian putih
yang bersih. Tapi karena pengaruh teknologi dan pembenturan kebudayaan,
mereka kalah dan ideologi tersebut berbalik. Bagi mereka, kini dengan
serta merta menganggap bahwa Madona, Britney Spears, Paris Hilton adalah
wanita-wanita (ter)cantik populis yang pernah mereka lihat. Begitu juga
makna indah pada musik.
Budaya populer dengan sengaja membawa kita
pada suatu kategori-kategori umum tentang keindahan dalam musik.
Kategori tersebut termanifestasi menjadi bentuknya yang populis. Dengan
demikian lahirlah industrialisasi dalam musik. Musik-musik bengenre pop
menjamur, tumbuh subur dan penuh sesak megisi ruang-ruang di abad 21.
Pengaruh ini membawa banyak seniman berlomba-lomba masuk dan meraih
peruntungan di dalamnya. Tapi di satu sisi, muncul gerakan militansi
depopulisasi, yakni sebuah ruang yang mencoba membendung dan menentang
segala hal yang berbentuk populis, yang konon bagi mereka berselera
kacangan.
Semangat musik baru telah timbul dengan mengatasnamakan
gerakan kontemporer. Ruang-ruang berkaliber kontemporer pada pertengahan
hingga akhir abad 20 bertebaran di mana-mana, akan tetapi hanya
dibeberapa lokus saja yang menunjukkan resistensinya pada mainstream.
Namun demikian, karena gempuran yang luar biasa melalui media dan
teknologi, musik populer semakin kokoh mengepakkan sayapnya. Karena
tidak sanggup menahan berbagai gempuran yang demikian, ruang-ruang
‘kontemporer’ satu demi satu jatuh terkulai dan mati. Bahkan menurut I
Wayan Sadra –komponis-, banyak seniman-seniman yang seolah berlaku
sangat arif, dengan mengatasnamakan orang banyak yang katanya belum siap
menerima kehadiran musik kontemporer, dengan serta-merta membuat
pembelaan dirinya untuk dengan sah terjun di dunia barunya yang populis.
Apa lagi yang dicari kalau bukannya pasar.
Barangkali itulah yang
melatar belakangi kenapa forum Bukan Musik Biasa (selanjutnya juga
disingkat BMB) tercipta. Forum ini mencoba menjadi katalisator
penyampaian kreativitas yang menggebu-menggebu bagi para seniman maupun
kaula muda yang sudah bosan dengan sesuatu yang populis. Penempatan
kredo estetika dan keindahan bagi mereka penganut BMB bukan lagi harus
mengikuti maistream, tapi ‘sesuka mereka’. Musik tidak semata-mata bunyi
yang ditimbulkan oleh perangkat gitar, bass, drum, bonang, kendang dan
lain sebagainya dengan mentaati pola dan pakem-pakem serta alur
permainannya. Suara indah bagi pelaku BMB bisa saja dari gitar yang
dipukul, kendang yang mencoba dipetik, bonang yang dibanting, atau lain
sebagainya. Bisa jadi BMB saat ini hanya menjadi satu-satunya ruang yang
dapat menampung kegelisahan kreativitas liar di luar mainstream, karena
ruang-ruang serupa kini tertidur dan mati.
Refleksi
Seperti
halnya pementasan pada malam itu (28 Maret 2009). Bukan Musik Biasa yang
dimotori oleh I wayan Sadra dan Taman Budaya Surakarta, seperti biasa,
melangsungkan pergelarannya di Wisma Seni (bagian Taman Budaya). Forum
yang ke 11 tersebut menampilkan lima penyaji dari tiga daerah, Solo
(Dhika Maharani), Yogyakarta (Verita Shalavita, Dimas Amesto, Pndu
Hidayat), Pacitan (Johan Perwiranto). Karena konteksnya dalam sebuah
ruang “Bukan” Musik Biasa, kelima penyaji mencoba menampilkan suatu
bentuk pertunjukan yang berada di luar mainstreamnya.
Pertunjukan
awal dimulai dengan petikan alat musik ghuzhen dari Dhika Maharani.
Jari-jari lentiknya turun naik menapaki dawai-dawai kecapai Cina
tersebut. Agak lain, biasanya di awal pertunjukan Bukan Musik Biasa
menghadirkan satu gebrakan bunyi yang asing, aneh, liar seolah
mengingatkan kita pada tema utama “bukan” musik biasa, sebagai
representasi bunyi yang tidak lazim. Permainan Dhika dalam mengawali
pementasan malan itu, membawa kita pada satu zaman di mana awal
persentuhan tradisi terjadi antara Cina dan Jawa. Konon katanya
instrumen tradisi musik Jawa banyak bersentuhan dengan kebudayaan Cina,
seperti rebab dan erhu, siter dan ghuzhen. Tak jelas mana yang lebih
dahulu memberi pengaruh, namun malam itu Dhika mengajak kita berfantasi
ria ke tradisi negeri sebrang. Terlebih sesudah permainan solonya, Ia
mencoba membenturkan kebudayaan Cina dan Jawa. Istrumen kecapi Cina yang
dimainkannya mencoba berbaur dengan kendang jaipong dan suling ala
Sunda, rebab dan siter dari Jawa. Harmoni-harmoni dan bunyi-bunyian baru
terbentuk dari persinggungan kesemuanya. Sayang Dhika agaknya lupa
bahwa benturan-benturan tradisi yang mencoba Ia lakukan harus
mengorbankan salah-satu idiom pemilik kebudayaan diantaranya, sebagai
ruang yang terkalahkan. Bunyi-bunyi ala Cina serasa lebih dominan dan
lainnya hanya menjadi satapan pelengkap untuk menuruti nafsu musikalnya.
Disusul
kemudian oleh penampilan Verita Salavita. Gadis kelahiran Bandung ini
membawa satu konsep musik dengan tema dialog musikal. Tiga instrumen
diajaknya untuk bercengkrama, gitar, rebab dan kendang. Akord-akord
gitar diaduk dengan senggrengan rebab berlaras pelog, tiba-tiba
percintaan diantara keduanya harus terganggu dengan kemunculan kendang.
Seolah terjadi perbincangan yang tegang, tiga instrumen tersebut
berkomunikasi antara satu dengan lainnya. Terkesan matematis
intelektualistis memang, tapi toh semuanya tetap bisa kita rasakan
bersumber dari dorongan emosi dan selera tinggi dalam batas kewajaran
yang hampir sempurna. Apa yang dilakukan oleh Verita terjadi pula dalam
komposisi musikal Pandu Hidayat sebagai penampil ke empat, konsep dialog
musikal antara intrumen mencoba Ia terapkan. Perbedaanya, Pandu lebih
ketat dalam memberi batasan komunikasi yang ada. Dengan menggunakan
metronom, komunikasi musikal antara instrumen piano toys, cow bell,
genggong dan kempul serasa lebih matematis. Komunikasi musikal yang
dilakukan tidak dapat begitu saja dengan mudah dilakukan, kesemuanya
harus menuruti ritme dan tempo yang sudah dicetak oleh metronom. Walau
di beberapa bagian, dialog musikal yang dilakukan keluar dari tempo yang
ada sebagai sebuah gejala pertarungan rasa dengan rasio, namun toh apa
yang dibawakan oleh Pandu cukup menarik untuk dinikmati.
Pemanfaatan
media justru dilakukan oleh peyaji ke tiga yakni Dimas, dengan
menggunakan screen untuk menayangkan satu figur abstrak yang terdiri
beraneka warna layaknya pelangi. Bagi Dimas, agaknya musik tidak harus
memberi kebebasan imajinatif yang longgar. Terkadang dengan mendengarkan
musik kita sudah diajak pada satu kesepahaman akan bentuk ide yang
sama, dibantu dengan penerapan media fisual tentunya. Keberadaan gambar
bergerak di screen justru membimbing audiens atau bahkan Dimas sendiri
untuk dengan sadar memberlakukan musiknya sebagai sebuah idiom bunyi
yang tipis akan interpretasi. Penonton sudah terbingkai makna serta ide
musiknya dengan hanya mengikuti alur gambar yang mencoba Ia tampilkan.
Walau terasa sederhana, namun apa yang dipetontonkan Dimas, seolah
mewacanakan pada audiens bahwa seberapapun kita dengan bebas
menginterpretasi sebuah musik, maka dengan sendirinya ia akan hilang di
kepala masing-masing interpretator. Oleh karena itu, guna menghindari
hal demikian, dengan sengaja Dimas membawakan gambar (warna) bergerak,
untuk membimbing pada satu kesepahaman yang sama.
Terakhir adalah
penyajian dari Johan Perwiranto. Johan yang akumulasi musikalnya mencoba
keluar dari kungkungan populis, mencoba menampilkan konsep karya dengan
menggunakan idiom-idiom tidak sewajarnya. Saya bilang tidak sewajarnya,
karena bunyi yang mencoba Ia tuangkan berasal dari sebuah mesin ketik
dan batu. Memang para pendahulunya sudah menggunakan idiom yang sama
(lihat karya-karya Toro, Surabaya), namun apa yang dilakukan Johan patut
diapresiasi sebagai sebuah gaya kreativitas yang liar. Mesin-mesin
ketik yang berjumlah lima buah (bahkan lebih) dieksplorasi kemungkinan
bunyinya, dengan menekan tuts-tuts keyboard secara keras sehingga
menimbulkan bunyi yang saling bersahutan satu sama lainnya, dan
membentuk jalinan ritmikal, jadilah sebuah musik. Karya yang kedua,
Johan menggunakan medium-medium batu sebagai katalisator egoisme
musikalnya. Batu-batu dibenturkan satu dengan yang lain, menimbulkan
bunyi indah namun terstruktur. Layaknya bermain kendang, bonang, atau
perkusi lainnya, batu dihadirkan Johan dengan memiliki fungsi serupa
sebagai sebuah alat musik. Sayang, karya Johan hanya berhenti pada satu
tahapan yang membikin anggun kulit luarnya. Mesin-mesin ketik dan
batu-batuan seolah dipaksakan menjadi kodratnya yang baru sebagai sebuah
musik, tanpa disertai pemahaman yang mendasar akan esensi mesin ketik
dan batu, sehingga hanya hadir dan “diperkosa” begitu saja.
Memahat Jati Diri
Seberapapun
eksplorasi yang mencoba dilakukan oleh kelima penyaji di atas, patut
kita catat bahwa usaha yang mereka lakukan adalah bukti bahwa tidak
semua yang populis memberi satu wacana kenyataan keindahan yang sama
pada tiap individu. Dengan menempatkan bunyi dan suara-suara yang tidak
selazimnya, mereka mencoba keluar dari batas-batas belenggu mainstream
dengan mempertebal rasa arogansi musikalnya sebagai sebuah pencarian
jati diri yang utuh. Keliaran musikal, yang selama ini tertutupi oleh
jargon-jargon populis dengan gempurannya dalam berbagai media, lewat BMB
menjadi semakin nampak sebagai sebuah representasi atau ungkapan
estetika liar yang mahal harganya.
Ibarat warna, keliaran musikal
yang mereka miliki tidak lagi dapat dikotomikan menjadi putih maupun
hitam. Keliaran musikal yang mereka miliki adalah abu-abu, tidak
menginduk pada satu ruang yang pasti, termasuk yang tradisi dan yang
populis. Mereka berada di tengah-tengah sebagai katalisator penyampai
egoisme musikal. Terkadang orang-orang yang demikian menjadi semakin
sulit menumpahkan gairah musikalnya, karena terhimpit diantara yang
populis, sementara ruang-ruang penumpahan semakin sedikit jumlahnya
(kalau bukannya tidak ada). Tak hayal, banyak diantara keliaran musikal
yang mereka miliki kini harus terkalahkan dan tergadaikan pada yang
populis. Dengan berbagai macam kredo pembelaan, banyak diantaranya yang
harus berlari mengejar pasar.
Beruntung, Bukan Musik Biasa masih mau
dan hadir menampung keliaran musikal tersebut. Sebagai sebuah
katalisator, Bukan Musik Biasa yang pada malam itu begitu meriah seolah
mewacanakan pada publik untuk diajak merenung kembali keberadaan musik
yang mereka miliki. Jika semakin lama dibiarkan dan itu-itu saja,
tidakkah timbul ketakutan bahwa musik yang kita miliki semakin lama akan
semakin membasi. Atau justru harus kita hadirkan ruang-ruang baru
sebagai labolatorium penciptaan dan penuangan keliaran musikal individu,
untuk menggulirkan satu kenyataan baru yang lebih dinamis. Saya kira
Bukan Musik Biasa dapat mempelopori hal itu.
Dari pementasan Bukan
Musik Biasa malam itu, setidaknya banyak hal yang dapat kita petik.
Salah satunya, ketakutan yang selama ini menjalar terhadap keberadaan
komponis wanita nusantara yang semakin sedikit, menipis atau bahkan
tidak ada dan hilang. Malam itu lewat Forum BMB, ketakutan seperti itu
sedikit tereliminir. Dua komponis wanita (Dhika dan Verita) malam itu
memberi harapan kita bahwa komponis wanita nusantara ternyata masih
mampu menampakkan taringnya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Staf Pengajar di ISI Surakarta