Keroncong dalam Kemandulan (dimuat di Koran Joglosemar edisi 10 Januari 2012)

 Keroncong dalam Kemandulan



Siapa yang tak kenal musik keroncong? Varian musik yang gaungnya membahana ketika era penjajahan Belanda dan Jepang itu begitu terkenal bahkan hingga ke penjuru dunia. Keroncong dianggap sebagai musik asli pribumi Indonesia yang mengguratkan cita rasa kenusantaraan. Sayangnya, zaman keemasan keroncong telah usai. Hingga detik ini belum terlihat munculnya nomor-nomor penciptaan lagu baru yang monumental sehingga secara tegas dapat dipetakan pergerakan alur perkembangan musik kroncong tanah air dewasa ini. Banyak forum musik keroncong digelar, namun hanya sekedar menjadi nostalgia, klangenan dengan hanya menyajikan karya-karya masa lampau. Jika demikian, saat ini musik keroncong masih mengalami stagnasi dalam penciptaan lagu baru. Mandul seteleh kejayaan era Atingan, J.Dumas, Kramer, Any Landow, Ismail Marzuki Gesang, Maladi, Martohartono atau Andjar Any.

Senja
Dunia seni pertunjukan dan utamanya musik mengalami satu dimensi persoalan krusial terkait dengan daya tahan dan ruang hidupnya. Jika seseorang menemukan benda bersejarah layaknya candi atau artefak batu kuno dengan usia ratusan bahkan ribuan tahun maka dapat dipastikan memiliki harga jual dan penghargaan yang tinggi. Sementara dalam konteks seni pertunjukan, semakin lama jenis musik itu hidup maka semakin murah harganya. Alasannya, bentuk musik yang demikian tidak lagi modern, mutakhir apalagi canggih. Jauh ketinggalan zaman dibanding ciptaan bunyi-bunyian baru yang lebih glamour dan populis. Jika spektrum jenis musik yang unik itu mati maka tak banyak diratapi dan menjadi kelaziman tersendiri karena demikianlah kondrat dunia seni pertunjukan yang kinetis, akan terus bergulir dengan munculnya varian baru yang lebih kontekstual. Namun jika benda purbakala itu hilang maka dengan segera akan menjadi berita yang menghebohkan di berbagai kalangan dan media.
Keroncong adalah salah satunya. Ia masih menjadi bunyi namun dari suara yang kalah oleh benturan sebuah peradaban musik mutakhir. Zaman keemasannya seolah telah berlalu, meninggalkan sejuta kenangan manis dengan lahirnya lagu-lagu monumental yang abadi hingga kini. Semakin lama dan senja usia yang dimilikinya, semakin sedikit pula penghargaan dan pengikut setia yang didapatnya. Salah satu alasan klasik yang masih membelenggu jenis musik ini karena belum lahirnya gebrakan frontal yang mampu merubah tatanan dalam menentukan ruang hidupnya di masa kini. Ia masih saja menggores ciptaan kenangan masa lalu untuk senantiasa dihadirkan di masa kini. Dengan kata lain, keroncong saat ini didera kemandulan munculnya lagu-lagu baru (Yunanto Sutyastomo, 2011).
Padalah jargon kelestarian musik ini selalu didendangkan di manapun itu baik oleh para birokrat, seniman, maupun kaum akademisi. Keroncong harus senantiasa hidup. Ia adalah musik yang mengguratkan cita rasa ke Indonesiaan. Berbagai forum musik keroncong digelar di mana-mana. Namun siapa sangka kemotonan telah menyeruak menderanya. Di manapun forum musik keroncong diberlangsungkan, lagunya toh itu-itu saja yang berkisar pada karya-karya maestro sebelumnya yang kini mentradisi (Danis Sugiyanto, 2003). Tradisi memang menjadi harta yang tak ternilai harganya. Namun tradisi juga ibarat segenggam nasi, jika dibiarkan terlalu lama juga terasa semakin membasi. Dibutuhkan guratan baru agar keroncong dapat senantiasa bersinergi dengan zamannya.
Usaha merestorasi keroncong sebenarnya giat dilakukan oleh beberapa kalangan di kota Solo termasuk baru-baru ini diadakannya Solo International Keroncong Festival (SIKF) pada 2007-2010 dan Solo Keroncong Festival (SKF) pada akhir September 2011 lalu, serta forum musik keroncong rutin di kantong-kantong kabudayaan yang berlangsung hingga saat ini. Dalam berbagai forum itu, selain disuguhkan berbagai sajian lagu klangenan keroncong masa lalu, juga sesekali diadakan lomba penciptaan lagu keroncong baru. Banyak yang antusias hingga memunculkan wacana bahwa forum seperti SIKF dan SKF adalah palang pintu dalam menetaskan lagu-lagu baru sehingga memberi detak hidup yang lebih kencang dalam musik keroncong. Sayang, gaung sesudahnya kemudian sayup-sayup tidak terdengar. Lagu-lagu baru yang diciptakan terkubur, tak terwacanakan dengan luas pada masyarakat. Mati setelah acara usai. Tidak ada usaha berarti yang dilakukan oleh penggagas maupun pemkot setempat dalam menindak lanjuti forum yang boleh dikata monumental itu.

Afiliasi
Hal baru apa yang dapat kita amati dalam perkembangan musik keroncong masa kini sejak era gesang dan waljinah? Boleh dikata tidak ada. Nasib musik keroncong memang telah mengalami ‘kebangkrutan musikal’ dan hampir punah jika tidak ada uluran dari pihak-pihak tertentu. Pihak yang mencoba menyelematkan musik keroncong dalam upaya menyandingkan jenis musik ini dengan spektrum musik lainnya. Lahirlah kemudian congdut ala Didi Kempot yang mencampurkan unsur dangdut dengan keroncong, kemudian Manthous yang memadukannya dengan langgam Jawa serta Koes Plus dan kelompok Tengkorak Hitam yang memadukannya dengan musik rock.
Jika jujur diakui, Indonesia saat ini membutuhkan musisi yang mampu menciptakan lagu untuk musik keroncong. Bukan sekadar menempuh jalan pintas dengan meminjam lagu dari genre musik lain yang kadang bertolak belakang. Jangan heran jika kemudian lagu-lagunya Ungu, Nidji, Gita Gutawa menjadi keroncong dadakan. Dengan alih-alih menghindari kemonotonan dan usaha kebaruan yang justru terkesan dangkal dan kacangan. Hal itupula yang seringkali terjadi dalam forum-forum yang mengatasnamakan musik keroncong.
Di sisi lain, media sudah lama mengendus kebangkrutan penciptaan lagu keroncong. Oleh karena itu, keroncong kemudian sangat jarang mampu menunjukkan jati dirinya secara lebih terbuka lewat layar kaca ataupun radio. Kalah bersaing dengan dunia musik populer yang glamour dengan saling silih bergantinya muncul lagu baru. Memang tak dapat disamakan begitu saja antara musik keroncong dan spektrum musik lain seperti pop misalnya. Namun setidaknya semangat militansi dalam mencipta harusnya mampu menjadi pelajaran berharga jika masih menginginkan denting bunyi keroncong mengalun merdu mengiringi kerasnya zaman di era milenium saat ini.
Terlebih bagi suatu negara seperti Indonesia yang masih ingin terus maju, berproses, bergaul dengan negara-negara lain di dunia. Akan sangat membanggakan jika kita dapat melihat satu kenyataan lain bahwa musik-musik keroncong semakin semarak dengan munculnya lagu-lagu baru. Dibutuhkan gerbrakan besar yang menantang perubahan untuk segara digelarnya restorasi bagi musik keroncong dan menggoreskan sejarah anyar menggantikan sejarah lama yang telah usang. Dengan demikian zaman boleh saja berubah, namun keroncong akan senantiasa menyapa publik, meski saat ini harus sayup-sayup di tengah kebisingan bunyi-bunyian yang glamour.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Sang Maestro Ludruk Itu Kini Pergi (dimuat di Jawapos edisi 8 Januari 2012)

 Sang Maestro Ludruk Itu Kini Pergi



Dunia ludruk di Jawa Timur sedang beduka. Salah satu maestro lawak, musisi, komposer musik –gamelan- telah berpulang untuk selamanya. Bambang Supali, atau akrab dipanggil Cak Alex Supali yang telah lebih dari tiga puluh tahun menemani lika-liku perjalanan ludruk di Jawa Timur itu kini harus paripurna diusianya yang ke 49 tahun. Ia kalah bergelut dengan sakit liver dan gagal ginjal yang dideranya. Menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Gatoel, Kota Mojokerto pada Rabu (04/01/2012) sekitar pukul 11.39 WIB. Namanya sejajar dengan maestro ludruk lainnya seperti Kartolo, Sapari, Umi Kalsum, Sidik dan Agus Kuprit. Namun berbeda dari para seniornya itu, Supali berjuang bukan lewat jalur rekaman kaset komersial. Ia justru dengan teguh menziarahkan hidupnya untuk dibesarkan dari panggung ludruk tobong, berpentas dari satu pintu rumah ke rumah yang lain. Tak hanya itu, di balik kelihaiannya dalam mengocok perut masyarakat, Supali adalah musisi dan komposer musik yang handal. Tak kurang 50 lagu campursari dan konser gamelan untuk ludruk telah diciptakannya. Salah satu karyanya yang paling monumental dan hingga detik ini masih membahana di pangung-panggung musik gamelan Nusantara adalah ‘sambel kemangi’. Tak ada satupun seniman musik tradisi, kritikus gamelan dan dalang yang tak mengenal lagu itu. Supali adalah seniman kondang yang lahir dari pekatnya semangat akar rumput seni tradisi di Jawa Timur.

Perjuangan Karya Budaya
Ludruk dalam percaturan seni tradisi Nusantara telah dianggap sebagai medan yang mengalami kebangkrutan eksistensi. Ia tak lagi mampu menampakkan jati dirinya secara lebih terbuka. Kalah bersaing dengan media hiburan yang lebih glamour dan populis, setiap saat menyapa kita lewat layar kaca. Namun, ludruk tak juga direlakan begitu saja untuk mati. Ia masih “dipelihara” karena dianggap sebagai ruang yang mampu mempresentasikan basis performa karakter kebudayaan Jawa Timur. Sejarah Jawa Timur adalah sejarah ludruk. Lewat lakon-lakon cerita yang dibawakan, ludruk telah mampu mengurai dengan tajam legitimasi prinsip hidup, prilaku dan sikap masyarakat Jawa Timur. Lihatlah bagaimana Sakerah, Sarip Tambak Yoso, Untung Suropati, menjadi pokok tema cerita utama yang berusaha menarasikan semangat militansi perjuangan melawan ketertindasan. Ludruk menjadi katalisator ideal dalam meneriakkan jati diri masyarakat Jawa Timur, hingga Gondo Durasim harus meregang nyawanya karena dianggap pemberontak oleh penjajah Jepang lewat lirik kritis kidungan ludruknya. Dengan demikian, melihat ludruk adalah melihat Jawa Timur.
Bukan satu hal yang aneh jika di era milenium kini kehidupan ludruk semakin tertepikan. Namun uniknya, di saat banyak kelompok ludruk saling silih berganti untuk tumbang dan lalu mati, Ludruk Karya Budaya Mojokerto (LKBM) justru mampu menunjukkan supremasi kejayaan hidupnya. Tak lain karena didukung oleh pelaku dan pemain serta manajemen yang profesional. Ludruk yang didirikan oleh Cak Bantu (sekarang dipimpin anaknya, Edy Eko Susanto) pada tahun 1969 itu kini menjadi ludruk tertua di Jawa Timur yang masih dan mampu bertahan bahkan paling eksis. LKBM menjadi rujukan penelitian oleh berbagai kalangan intelektual kebudayaan baik di Nusantara maupun dunia. Darinya terlahir laboratorium seni pertunjukan yang mengutamakan kualitas konsep dan proses sebagai pijakan dalam setiap rentang pertunjukannya. Tak heran jika kemudian LKBM dilarang keras tampil di setiap perlombaan ludruk di Jawa Timur karena berlarut-larut selalu saja menggondol titel juara. Ia menjadi ludruk panutan, rumah idaman bagi setiap pelaku ludruk Jawa Timur.
Supali menjadi faktor penting di balik besarnya gaung LKBM. Berbicara LKBM berarti berbicara tentang Supali. Darinya senantiasa memunculkan rangkaian kejutan yang selama ini mandul dimiliki oleh kelompok ludruk lain. Sebut saja misalnya nuansa dagelan serta drama yang secara khusus menggunakan gending-gending karyanya. Ia menjadi maestro lawak, yang namanya tidak semata mampu untuk disandingkan dengan tokoh-tokoh ludruk lainnya, namun juga abadi di hati masyarakat pecinta ludruk Jawa Timur.

Akar Rumput
Supali hingga denyut akhir hidupnya masih mempersembahkan segala dayanya untuk ludruk. Dalam dilema sakit yang dideranya, ia masih berpentas melayani masyarakat di Malang (23 Desember 2011) walau harus tertatih-tatih menahan lara. Ia tak hanya hidup untuk ludruk tapi juga menghidupi ludruk. Kesehajaan hidupnya telah mampu menarik hati masyarakat dan birokrat untuk terlibat langsung dalam garis kariernya. Menjadi bintang tamu dan pembawa acara hiburan di TVRI dan tivi-tivi serta radio lokal Jawa Timur sudah kenyang dijalaninya. Ia senantiasa ditunggu dan kemunculannya dielu-elukan. Wilayah Jawa Timur telah dijajahnya. Ludruk telah bangkit dan hidup kembali olehnya. Kebolehan bermain dan melawak telah manarik beribu mata. Lihatlah, tak kurang dari seribu orang senantiasa hadir dalam setiap pentas ludruknya. Hal yang mencengangkan untuk sebuah pentas seni tradisi yang saat ini dianggap oleh banyak kalangan ‘kolot’ dan ‘kuno’. Oleh karena keunikan itulah forum studi kebudayaan Musik (Etnomusikologi) di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta pada tahun 2008 menjadikan LKBM lewat Supali sebagai kelompok seni tradisi percontohan kerja studi, sekaligus menjadi rujukan penelitian.
Namun Supali tak jua sombong. Masih tetap sahaja dan santun pada siapapun, sadar bahwa ia hidup dan dihidupi oleh masyarakat. Supali menjadi palang pintu pemecah kebuntuan dalam nalar hidup yang semakin distorsi oleh himpitan ekonomi, politik dan hukum yang tak lagi berpihak bagi masyarakat kecil. Supali bak Sinterklas, memberi hadiah berupa tawa dan senyum, melupakan derita masalah walau sesaat. Kepergiannya tak hanya meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi masyarakat pecinta ludruk, namun juga menjadi lubang kekhawatiran yang dalam bagi perkembangan ludruk Jawa Timur ke depan. Sosoknya belum tergantikan. Wajar saja, karena regenerasi berjalan begitu timpang. Siapa dan generasi muda mana yang rela menggantungkan hidupnya sebagai pemain dan pelawak ludruk layaknya Alex Supali? Padahal bukankah waktu telah membuktikan bahwa kualitas peradaban suatu masyarakat terletak pada seberapa besar mereka menghargai seni tradisinya? Bibit-bibit baru pelaku ludruk tidak cukup dengan hanya ditunggu kemunculannya, namun juga ‘diciptakan’ lewat berbagi forum dan ruang-ruang kebudayaan.
Supali memang telah tiada, namun semoga semangat dan militansi perjuangannya dalam dunia ludruk di Jawa Timur dapat diapresiasi secara lebih dalam. Menempatkan namanya sebagai ‘tokoh pejuang ludruk’, tonggak panutan bagi generasi seniman ludruk saat ini dan yang akan datang. Selamat jalan Cak Supali....sambutlah kini kehidupan baru lewat gemerincing merdu bunyi-bunyian surgawimu.


Aris Setiawan
Etnomusikolog, Peneliti Kesenian Tradisi Jawa Timur
Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Kesenjangan Teks Musikal dan Alur Melodi Musik (dimuat di Majalah Bende edisi Januari 2012)

Kesenjangan Teks Musikal dan Alur Melodi Musik 

Setiap basis kebudayaan memiliki keunikan yang khas, hal tersebut dapat diamati pada satu aspek yang paling menonjol yakni ekspresi bentuk seninya. Namun demikian, tidak semua ujud seni mampu menjadi representasi kultural dari masyarakat pengikutnya. Hanya kesenian yang telah mengalami pergulatan panjang serta melampaui batas sinergi yang pekat dengan masyarakat pegikutnyalah yang mampu menjadi tolok ukur objektif dalam melihat determinasi kebudayaan masyarakat di mana kesenian itu hidup. Musik yang dalam konteks ini adalah vokal merupakan salah satu di antaranya. (Musik) vokal disinyalir sebagai satu ujud seni yang tertua. Sebelum musik-musik yang berhalauan instrumentalis lahir, manusia menyajikan luapan estetiknya lewat suara yang tak lain adalah vokal, baik bergumam maupun bersenandung. Tentu saja luapan vokal tidak hanya sebatas teks atau deretan kata semata. Lebih dari itu, vokal yang dimaksud senantiasa dibumbui alur musikal, sehingga dirasa lebih indah dan merdu.
Bahkan adakalanya dalam impresi tradisi, musik vokal menjadi ciri dan karakter kultural. Lihatlah misalnya kejhungan di Madura, kidungan di Surabaya dan Jombang, atau macapat gresikan di Gresik dan lain sebagainya. Nama-nama wilayah yang menyertainya (Surabaya, Jombang, Gresik, Malang) tentu bukanlah sekedar tempelan semata, namun lebih berfungsi sebagai penanda budaya. Saya lebih cenderung menyamakan ragam vokal tersebut dengan ragam soto di Nusantara. Bukan hal yang asing lagi bahwa dalam soto memiliki kandungan legitimasi kewilayahan yang nyata, sebut saja misalnya Soto Lamongan, Soto Madura, Soto Betawi. Semua adalah sama-sama soto namun kenapa harus diikuti dengan nama wilayah-wilayah tersebut. Jawabannya cukup simpel, Jika Merriam (1964) menekannya studi musik dalam konteks budaya maka bisa pula kita tekankan studi soto dalam konteks budaya. Artinya, dalam balutan vokal maupun soto tersebut tertuang tentang konsep-konsep bumbu maupun piranti budaya masyarakat pengkultusnya.
Kehadiran musik vokal yang unik dan usia bertahan hidup yang telah teruji menjadikannya satu bentuk seni yang tipikal. Senantiasa mencerminkan konstruksi nalar berfikir dari masyarakat yang selama ini memakainya. Fungsi dan peran yang dimiliki tidak sebatas penuangan rasa estetis semata, namun teks-teks musikal yang ada kadang mengguratkan pengalaman hidup, orientasi cita-cita, keluh kesah bahkan tidak jarang menjadi bahan legitimasi kekuasaan yang cenderung politis. Zoel Karnain (2007) pernah melakukan studi musik vokal khejungan di masyarakat Madura. Hasilnya dapat diketahui bahwa musik vokal setempat mampu mencerminkan kadar budaya ‘kekerasan’ yang selama ini hinggap dalam stereotip masyarakat Madura. Lebih dari itu, khejungan adalah sarana yang representatif dalam mengakomodasi gejolak problematik yang dialami masyarakat Madura. Lewat kejhungan mereka mengungkapkan isi hatinya. Lewat kejhungan pula mereka berkeluh kesah akan dinamika hidup yang dialaminya, baik suka maupun sedih.
Hasil serupa juga pernah dilakukan oleh Joko Santosa (2007) yang mengamati musik vokal masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya, Jombang dan Malang. Secara lugas Joko Santosa menekankan bahwa musik vokal Jawa Timur (kidungan) melalui untaian teks-teks musikalnya adalah sarana perjuangan melawan ketertindasan, keterpurukan. Bahkan tokoh dan maestro Ludruk di Jawa Timur Cak Gondho Durasim harus meregang nyawanya karena melantunkan teks kidungan yang berisi penghinaan terhadap penjajah Jepang kala berkuasa. Bekupon omahe dara melok Nippon awak tambah sara.(Bakupon rumah burung dara, ikut Jepang tambah sengsara) begitulah sepenggal teks musikal yang cukup terkenal hingga kini, dilantunkan Durasim dan memicu kemarahan tentara Jepang.
Zoel dan Joko di atas setidaknya membuktikan bahwa musik vokal adalah barometer dalam melihat gejolak kultural masyarakat pemiliknya. Apa yang tertuang dalam musik vokal merupakan konstruksi dari hasil buah pikir pelaku dan masyarakat pemiliknya. Konklusi yang mencoba saya sampaikan bahwa, vokal merupakan bentuk ekspresi seni yang tidaklah sederhana. Namun apabila dilihat dalam konstruksi nalar yang ada di baliknya akan tersingkap berbagai konsep dan gejolak bahkan mungkin piranti teori tentang denyut imaji kehidupan masyarakat dalam satu kebudayaan. Dengan demikian secara tak langsung kita dapat mengetahui sejauh mana detak kebudayaan dalam masyarakat telah berproses (sehingga mampu diketahui impresi karakter dan sifatnya) dengan hanya cukup dilihat dari pencapain akumulasi dari jaringan teks musikal yang selama ini diciptakannya.
Bahkan lewat teks musikal, sebuah perjuangan tentang hidup digelar. Jejak-jejak perjuangan lewat musik senantiasa dapat dilihat dalam menghiasai berbagai peristiwa penting di negeri ini. Wisnu Mintargo dalam bukunya Musik Revolusi Indonesia (2008) memandang bahwa peristiwa bunyi juga menjelma sebagai peristiwa sejarah peradaban manusia. Musik bukan semata rentetan nada dalam menggali ungkapan estetika semata. Lebih dari itu, musik pada satu ujudnya yang lain yakni teks musikal atau kekuatan liriknya berupaya menjadi medan kritik dan katalisator semangat militansi perjuangan dalam meraih satu impian hidup yang lebih mapan. Musik jenis demikian lahir ketika terjadi ketimpangan dalam struktur kehidupan.
John Lennon, Bob Marley, El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals, Koes Plues adalah musisi dan kelompok musik yang dengan teguh menziarahkan beberapa konsep bermusiknya sebagai medan perjuangan melawan ketertindasan. Otomatis kekuatan lirik atau teks musikal memiliki peranan yang dominan dan boleh dikata vital dalam sebuah musik, baik dalam konteks seni musik tradisional maupun di luar itu seperti pop misalnya. Dalam musik tradisional contohnya, bagaimana banyak diciptakannya lirik yang berfungsi sebagai sarana legitimasi politik oleh kalangan tertentu (titik kulminasinya ketika Lekra –masa PKI- menggunakannya). Atau juga dalam konteks musik pop dengan nama-nama yang sudah disebutkan di atas. Saya coba memberi satu contoh menarik bagaimana kekuatan lirik dalam lagu genjer-genjer mampu memberikan semangat kekuatan lain dalam iklim perjuangan melawan dominasi pemerintah berkuasa kala itu. Genjer-genjer dianggap sebagai satu lagu yang ‘membangkang’ dengan memproklamirkan satu kenyataan hidup bahwa pada masa lagu itu berdengung, situasi masyarakat (utamanya di Banyuwangi) dalam keadaan menderita dan miskin sehingga genjer yang notabene adalah makanan angsa atau itik digunakan sebagai menu makanan sehari-hari oleh masyarakat setempat.
Penciptaan lirik atau teks musikal yang demikian bukanlah merupakan pendokumentasian peristiwa semata, atau sekadar duduk merenung di belakang meja sambil memetik gitar dengan menghasilkan butir-butir kata yang puitis dan romantis. Namun lebih pada pergulatan dalam mencerna pengalaman serta realitas yang diharapkan dapat memancing berbagai interprestasi seta reaksi dari pendengarnya. Dengan demikian lirik yang ada bukannya superfisial namun penuh dengan guratan makna. Lirik-lirik yang demikian biasanya akan abadi dalam rentang penjalanan waktu, karena secara tak langsung pula bertutur akan sejarah yang layak untuk dikenang.
Ironisnya, dewasa ini penciptaan teks musikal atau biasa pula disebut sebagai lirik dalam sebuah musik telah mengalami kebangkrutan maknawi. Tuntutan hegemoni budaya pop menjadikan penciptaan lirik musikal cenderung instan. Tema dan sisi problematik yang diangkatpun cenderung dangkal. Pencapaian lirik semacam ini lebih didasarkan oleh semangat dalam mengejar pasar dibanding dengan kedalaman makna teks musikal yang digapai. Otomatis lirik-lirik semacam ini hanya bertahan dalam kurun waktu yang tidak lama karena diganti dengan lirik-lirik serupa lainnya yang juga telah membuncah. Namun demikian satu persolan yang patut menjadi apresiasi pula yakni keterkaitan antara lirik dengan alur melodi. Bagaimana persenyawaan yang terjadi di antara keduanya sehingga menghasilkan cita rasa musikal yang memukau? Bagaimana pula jika salah satu di antaranya timpang, lirik tidak mendukung alur melodi atau sebaliknya? Dan seperti apa fenomena tersebut terjadi dewasa ini?

Aris Setiawan, Etnomusikolog.

*Dalam catatan fb ini tidak menampilkan artikel secara lengkap, mengingat artikel yang bersangkutan belum terbit. Namun telah mendapatkan ijin dari redaksi untuk di tampilkan sebagian. Selengkapnya Baca di Majalah Bende (Majalah Seni dan Budaya, Dinas Pendidikan Jawa Timur) edisi Januari 2012. Artikel ini juga pernah disajikan dalam senimar Nasional Musik, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur di Surabaya pada November 2012

Pengikut