Keroncong dalam Kemandulan (dimuat di Koran Joglosemar edisi 10 Januari 2012)

 Keroncong dalam Kemandulan



Siapa yang tak kenal musik keroncong? Varian musik yang gaungnya membahana ketika era penjajahan Belanda dan Jepang itu begitu terkenal bahkan hingga ke penjuru dunia. Keroncong dianggap sebagai musik asli pribumi Indonesia yang mengguratkan cita rasa kenusantaraan. Sayangnya, zaman keemasan keroncong telah usai. Hingga detik ini belum terlihat munculnya nomor-nomor penciptaan lagu baru yang monumental sehingga secara tegas dapat dipetakan pergerakan alur perkembangan musik kroncong tanah air dewasa ini. Banyak forum musik keroncong digelar, namun hanya sekedar menjadi nostalgia, klangenan dengan hanya menyajikan karya-karya masa lampau. Jika demikian, saat ini musik keroncong masih mengalami stagnasi dalam penciptaan lagu baru. Mandul seteleh kejayaan era Atingan, J.Dumas, Kramer, Any Landow, Ismail Marzuki Gesang, Maladi, Martohartono atau Andjar Any.

Senja
Dunia seni pertunjukan dan utamanya musik mengalami satu dimensi persoalan krusial terkait dengan daya tahan dan ruang hidupnya. Jika seseorang menemukan benda bersejarah layaknya candi atau artefak batu kuno dengan usia ratusan bahkan ribuan tahun maka dapat dipastikan memiliki harga jual dan penghargaan yang tinggi. Sementara dalam konteks seni pertunjukan, semakin lama jenis musik itu hidup maka semakin murah harganya. Alasannya, bentuk musik yang demikian tidak lagi modern, mutakhir apalagi canggih. Jauh ketinggalan zaman dibanding ciptaan bunyi-bunyian baru yang lebih glamour dan populis. Jika spektrum jenis musik yang unik itu mati maka tak banyak diratapi dan menjadi kelaziman tersendiri karena demikianlah kondrat dunia seni pertunjukan yang kinetis, akan terus bergulir dengan munculnya varian baru yang lebih kontekstual. Namun jika benda purbakala itu hilang maka dengan segera akan menjadi berita yang menghebohkan di berbagai kalangan dan media.
Keroncong adalah salah satunya. Ia masih menjadi bunyi namun dari suara yang kalah oleh benturan sebuah peradaban musik mutakhir. Zaman keemasannya seolah telah berlalu, meninggalkan sejuta kenangan manis dengan lahirnya lagu-lagu monumental yang abadi hingga kini. Semakin lama dan senja usia yang dimilikinya, semakin sedikit pula penghargaan dan pengikut setia yang didapatnya. Salah satu alasan klasik yang masih membelenggu jenis musik ini karena belum lahirnya gebrakan frontal yang mampu merubah tatanan dalam menentukan ruang hidupnya di masa kini. Ia masih saja menggores ciptaan kenangan masa lalu untuk senantiasa dihadirkan di masa kini. Dengan kata lain, keroncong saat ini didera kemandulan munculnya lagu-lagu baru (Yunanto Sutyastomo, 2011).
Padalah jargon kelestarian musik ini selalu didendangkan di manapun itu baik oleh para birokrat, seniman, maupun kaum akademisi. Keroncong harus senantiasa hidup. Ia adalah musik yang mengguratkan cita rasa ke Indonesiaan. Berbagai forum musik keroncong digelar di mana-mana. Namun siapa sangka kemotonan telah menyeruak menderanya. Di manapun forum musik keroncong diberlangsungkan, lagunya toh itu-itu saja yang berkisar pada karya-karya maestro sebelumnya yang kini mentradisi (Danis Sugiyanto, 2003). Tradisi memang menjadi harta yang tak ternilai harganya. Namun tradisi juga ibarat segenggam nasi, jika dibiarkan terlalu lama juga terasa semakin membasi. Dibutuhkan guratan baru agar keroncong dapat senantiasa bersinergi dengan zamannya.
Usaha merestorasi keroncong sebenarnya giat dilakukan oleh beberapa kalangan di kota Solo termasuk baru-baru ini diadakannya Solo International Keroncong Festival (SIKF) pada 2007-2010 dan Solo Keroncong Festival (SKF) pada akhir September 2011 lalu, serta forum musik keroncong rutin di kantong-kantong kabudayaan yang berlangsung hingga saat ini. Dalam berbagai forum itu, selain disuguhkan berbagai sajian lagu klangenan keroncong masa lalu, juga sesekali diadakan lomba penciptaan lagu keroncong baru. Banyak yang antusias hingga memunculkan wacana bahwa forum seperti SIKF dan SKF adalah palang pintu dalam menetaskan lagu-lagu baru sehingga memberi detak hidup yang lebih kencang dalam musik keroncong. Sayang, gaung sesudahnya kemudian sayup-sayup tidak terdengar. Lagu-lagu baru yang diciptakan terkubur, tak terwacanakan dengan luas pada masyarakat. Mati setelah acara usai. Tidak ada usaha berarti yang dilakukan oleh penggagas maupun pemkot setempat dalam menindak lanjuti forum yang boleh dikata monumental itu.

Afiliasi
Hal baru apa yang dapat kita amati dalam perkembangan musik keroncong masa kini sejak era gesang dan waljinah? Boleh dikata tidak ada. Nasib musik keroncong memang telah mengalami ‘kebangkrutan musikal’ dan hampir punah jika tidak ada uluran dari pihak-pihak tertentu. Pihak yang mencoba menyelematkan musik keroncong dalam upaya menyandingkan jenis musik ini dengan spektrum musik lainnya. Lahirlah kemudian congdut ala Didi Kempot yang mencampurkan unsur dangdut dengan keroncong, kemudian Manthous yang memadukannya dengan langgam Jawa serta Koes Plus dan kelompok Tengkorak Hitam yang memadukannya dengan musik rock.
Jika jujur diakui, Indonesia saat ini membutuhkan musisi yang mampu menciptakan lagu untuk musik keroncong. Bukan sekadar menempuh jalan pintas dengan meminjam lagu dari genre musik lain yang kadang bertolak belakang. Jangan heran jika kemudian lagu-lagunya Ungu, Nidji, Gita Gutawa menjadi keroncong dadakan. Dengan alih-alih menghindari kemonotonan dan usaha kebaruan yang justru terkesan dangkal dan kacangan. Hal itupula yang seringkali terjadi dalam forum-forum yang mengatasnamakan musik keroncong.
Di sisi lain, media sudah lama mengendus kebangkrutan penciptaan lagu keroncong. Oleh karena itu, keroncong kemudian sangat jarang mampu menunjukkan jati dirinya secara lebih terbuka lewat layar kaca ataupun radio. Kalah bersaing dengan dunia musik populer yang glamour dengan saling silih bergantinya muncul lagu baru. Memang tak dapat disamakan begitu saja antara musik keroncong dan spektrum musik lain seperti pop misalnya. Namun setidaknya semangat militansi dalam mencipta harusnya mampu menjadi pelajaran berharga jika masih menginginkan denting bunyi keroncong mengalun merdu mengiringi kerasnya zaman di era milenium saat ini.
Terlebih bagi suatu negara seperti Indonesia yang masih ingin terus maju, berproses, bergaul dengan negara-negara lain di dunia. Akan sangat membanggakan jika kita dapat melihat satu kenyataan lain bahwa musik-musik keroncong semakin semarak dengan munculnya lagu-lagu baru. Dibutuhkan gerbrakan besar yang menantang perubahan untuk segara digelarnya restorasi bagi musik keroncong dan menggoreskan sejarah anyar menggantikan sejarah lama yang telah usang. Dengan demikian zaman boleh saja berubah, namun keroncong akan senantiasa menyapa publik, meski saat ini harus sayup-sayup di tengah kebisingan bunyi-bunyian yang glamour.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut