Sang Maestro Ludruk Itu Kini Pergi
Dunia
ludruk di Jawa Timur sedang beduka. Salah satu maestro lawak, musisi,
komposer musik –gamelan- telah berpulang untuk selamanya. Bambang
Supali, atau akrab dipanggil Cak Alex Supali yang telah lebih dari tiga
puluh tahun menemani lika-liku perjalanan ludruk di Jawa Timur itu kini
harus paripurna diusianya yang ke 49 tahun. Ia kalah bergelut dengan
sakit liver dan gagal ginjal yang dideranya. Menghembuskan nafas
terakhir di Rumah Sakit Gatoel, Kota Mojokerto pada Rabu (04/01/2012)
sekitar pukul 11.39 WIB. Namanya sejajar dengan maestro ludruk lainnya
seperti Kartolo, Sapari, Umi Kalsum, Sidik dan Agus Kuprit. Namun
berbeda dari para seniornya itu, Supali berjuang bukan lewat jalur
rekaman kaset komersial. Ia justru dengan teguh menziarahkan hidupnya
untuk dibesarkan dari panggung ludruk tobong, berpentas dari satu pintu
rumah ke rumah yang lain. Tak hanya itu, di balik kelihaiannya dalam
mengocok perut masyarakat, Supali adalah musisi dan komposer musik yang
handal. Tak kurang 50 lagu campursari dan konser gamelan untuk ludruk
telah diciptakannya. Salah satu karyanya yang paling monumental dan
hingga detik ini masih membahana di pangung-panggung musik gamelan
Nusantara adalah ‘sambel kemangi’. Tak ada satupun seniman musik
tradisi, kritikus gamelan dan dalang yang tak mengenal lagu itu. Supali
adalah seniman kondang yang lahir dari pekatnya semangat akar rumput
seni tradisi di Jawa Timur.
Perjuangan Karya Budaya
Ludruk
dalam percaturan seni tradisi Nusantara telah dianggap sebagai medan
yang mengalami kebangkrutan eksistensi. Ia tak lagi mampu menampakkan
jati dirinya secara lebih terbuka. Kalah bersaing dengan media hiburan
yang lebih glamour dan populis, setiap saat menyapa kita lewat layar
kaca. Namun, ludruk tak juga direlakan begitu saja untuk mati. Ia masih
“dipelihara” karena dianggap sebagai ruang yang mampu mempresentasikan
basis performa karakter kebudayaan Jawa Timur. Sejarah Jawa Timur adalah
sejarah ludruk. Lewat lakon-lakon cerita yang dibawakan, ludruk telah
mampu mengurai dengan tajam legitimasi prinsip hidup, prilaku dan sikap
masyarakat Jawa Timur. Lihatlah bagaimana Sakerah, Sarip Tambak Yoso,
Untung Suropati, menjadi pokok tema cerita utama yang berusaha
menarasikan semangat militansi perjuangan melawan ketertindasan. Ludruk
menjadi katalisator ideal dalam meneriakkan jati diri masyarakat Jawa
Timur, hingga Gondo Durasim harus meregang nyawanya karena dianggap
pemberontak oleh penjajah Jepang lewat lirik kritis kidungan ludruknya.
Dengan demikian, melihat ludruk adalah melihat Jawa Timur.
Bukan
satu hal yang aneh jika di era milenium kini kehidupan ludruk semakin
tertepikan. Namun uniknya, di saat banyak kelompok ludruk saling silih
berganti untuk tumbang dan lalu mati, Ludruk Karya Budaya Mojokerto
(LKBM) justru mampu menunjukkan supremasi kejayaan hidupnya. Tak lain
karena didukung oleh pelaku dan pemain serta manajemen yang profesional.
Ludruk yang didirikan oleh Cak Bantu (sekarang dipimpin anaknya, Edy
Eko Susanto) pada tahun 1969 itu kini menjadi ludruk tertua di Jawa
Timur yang masih dan mampu bertahan bahkan paling eksis. LKBM menjadi
rujukan penelitian oleh berbagai kalangan intelektual kebudayaan baik di
Nusantara maupun dunia. Darinya terlahir laboratorium seni pertunjukan
yang mengutamakan kualitas konsep dan proses sebagai pijakan dalam
setiap rentang pertunjukannya. Tak heran jika kemudian LKBM dilarang
keras tampil di setiap perlombaan ludruk di Jawa Timur karena
berlarut-larut selalu saja menggondol titel juara. Ia menjadi ludruk
panutan, rumah idaman bagi setiap pelaku ludruk Jawa Timur.
Supali
menjadi faktor penting di balik besarnya gaung LKBM. Berbicara LKBM
berarti berbicara tentang Supali. Darinya senantiasa memunculkan
rangkaian kejutan yang selama ini mandul dimiliki oleh kelompok ludruk
lain. Sebut saja misalnya nuansa dagelan serta drama yang secara khusus
menggunakan gending-gending karyanya. Ia menjadi maestro lawak, yang
namanya tidak semata mampu untuk disandingkan dengan tokoh-tokoh ludruk
lainnya, namun juga abadi di hati masyarakat pecinta ludruk Jawa Timur.
Akar Rumput
Supali
hingga denyut akhir hidupnya masih mempersembahkan segala dayanya untuk
ludruk. Dalam dilema sakit yang dideranya, ia masih berpentas melayani
masyarakat di Malang (23 Desember 2011) walau harus tertatih-tatih
menahan lara. Ia tak hanya hidup untuk ludruk tapi juga menghidupi
ludruk. Kesehajaan hidupnya telah mampu menarik hati masyarakat dan
birokrat untuk terlibat langsung dalam garis kariernya. Menjadi bintang
tamu dan pembawa acara hiburan di TVRI dan tivi-tivi serta radio lokal
Jawa Timur sudah kenyang dijalaninya. Ia senantiasa ditunggu dan
kemunculannya dielu-elukan. Wilayah Jawa Timur telah dijajahnya. Ludruk
telah bangkit dan hidup kembali olehnya. Kebolehan bermain dan melawak
telah manarik beribu mata. Lihatlah, tak kurang dari seribu orang
senantiasa hadir dalam setiap pentas ludruknya. Hal yang mencengangkan
untuk sebuah pentas seni tradisi yang saat ini dianggap oleh banyak
kalangan ‘kolot’ dan ‘kuno’. Oleh karena keunikan itulah forum studi
kebudayaan Musik (Etnomusikologi) di Jurusan Etnomusikologi ISI
Surakarta pada tahun 2008 menjadikan LKBM lewat Supali sebagai kelompok
seni tradisi percontohan kerja studi, sekaligus menjadi rujukan
penelitian.
Namun Supali tak jua sombong. Masih tetap sahaja dan
santun pada siapapun, sadar bahwa ia hidup dan dihidupi oleh masyarakat.
Supali menjadi palang pintu pemecah kebuntuan dalam nalar hidup yang
semakin distorsi oleh himpitan ekonomi, politik dan hukum yang tak lagi
berpihak bagi masyarakat kecil. Supali bak Sinterklas, memberi hadiah
berupa tawa dan senyum, melupakan derita masalah walau sesaat.
Kepergiannya tak hanya meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi
masyarakat pecinta ludruk, namun juga menjadi lubang kekhawatiran yang
dalam bagi perkembangan ludruk Jawa Timur ke depan. Sosoknya belum
tergantikan. Wajar saja, karena regenerasi berjalan begitu timpang.
Siapa dan generasi muda mana yang rela menggantungkan hidupnya sebagai
pemain dan pelawak ludruk layaknya Alex Supali? Padahal bukankah waktu
telah membuktikan bahwa kualitas peradaban suatu masyarakat terletak
pada seberapa besar mereka menghargai seni tradisinya? Bibit-bibit baru
pelaku ludruk tidak cukup dengan hanya ditunggu kemunculannya, namun
juga ‘diciptakan’ lewat berbagi forum dan ruang-ruang kebudayaan.
Supali
memang telah tiada, namun semoga semangat dan militansi perjuangannya
dalam dunia ludruk di Jawa Timur dapat diapresiasi secara lebih dalam.
Menempatkan namanya sebagai ‘tokoh pejuang ludruk’, tonggak panutan bagi
generasi seniman ludruk saat ini dan yang akan datang. Selamat jalan
Cak Supali....sambutlah kini kehidupan baru lewat gemerincing merdu
bunyi-bunyian surgawimu.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Peneliti Kesenian Tradisi Jawa Timur
Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar