Kesenjangan Teks Musikal dan Alur Melodi Musik (dimuat di Majalah Bende edisi Januari 2012)

Kesenjangan Teks Musikal dan Alur Melodi Musik 

Setiap basis kebudayaan memiliki keunikan yang khas, hal tersebut dapat diamati pada satu aspek yang paling menonjol yakni ekspresi bentuk seninya. Namun demikian, tidak semua ujud seni mampu menjadi representasi kultural dari masyarakat pengikutnya. Hanya kesenian yang telah mengalami pergulatan panjang serta melampaui batas sinergi yang pekat dengan masyarakat pegikutnyalah yang mampu menjadi tolok ukur objektif dalam melihat determinasi kebudayaan masyarakat di mana kesenian itu hidup. Musik yang dalam konteks ini adalah vokal merupakan salah satu di antaranya. (Musik) vokal disinyalir sebagai satu ujud seni yang tertua. Sebelum musik-musik yang berhalauan instrumentalis lahir, manusia menyajikan luapan estetiknya lewat suara yang tak lain adalah vokal, baik bergumam maupun bersenandung. Tentu saja luapan vokal tidak hanya sebatas teks atau deretan kata semata. Lebih dari itu, vokal yang dimaksud senantiasa dibumbui alur musikal, sehingga dirasa lebih indah dan merdu.
Bahkan adakalanya dalam impresi tradisi, musik vokal menjadi ciri dan karakter kultural. Lihatlah misalnya kejhungan di Madura, kidungan di Surabaya dan Jombang, atau macapat gresikan di Gresik dan lain sebagainya. Nama-nama wilayah yang menyertainya (Surabaya, Jombang, Gresik, Malang) tentu bukanlah sekedar tempelan semata, namun lebih berfungsi sebagai penanda budaya. Saya lebih cenderung menyamakan ragam vokal tersebut dengan ragam soto di Nusantara. Bukan hal yang asing lagi bahwa dalam soto memiliki kandungan legitimasi kewilayahan yang nyata, sebut saja misalnya Soto Lamongan, Soto Madura, Soto Betawi. Semua adalah sama-sama soto namun kenapa harus diikuti dengan nama wilayah-wilayah tersebut. Jawabannya cukup simpel, Jika Merriam (1964) menekannya studi musik dalam konteks budaya maka bisa pula kita tekankan studi soto dalam konteks budaya. Artinya, dalam balutan vokal maupun soto tersebut tertuang tentang konsep-konsep bumbu maupun piranti budaya masyarakat pengkultusnya.
Kehadiran musik vokal yang unik dan usia bertahan hidup yang telah teruji menjadikannya satu bentuk seni yang tipikal. Senantiasa mencerminkan konstruksi nalar berfikir dari masyarakat yang selama ini memakainya. Fungsi dan peran yang dimiliki tidak sebatas penuangan rasa estetis semata, namun teks-teks musikal yang ada kadang mengguratkan pengalaman hidup, orientasi cita-cita, keluh kesah bahkan tidak jarang menjadi bahan legitimasi kekuasaan yang cenderung politis. Zoel Karnain (2007) pernah melakukan studi musik vokal khejungan di masyarakat Madura. Hasilnya dapat diketahui bahwa musik vokal setempat mampu mencerminkan kadar budaya ‘kekerasan’ yang selama ini hinggap dalam stereotip masyarakat Madura. Lebih dari itu, khejungan adalah sarana yang representatif dalam mengakomodasi gejolak problematik yang dialami masyarakat Madura. Lewat kejhungan mereka mengungkapkan isi hatinya. Lewat kejhungan pula mereka berkeluh kesah akan dinamika hidup yang dialaminya, baik suka maupun sedih.
Hasil serupa juga pernah dilakukan oleh Joko Santosa (2007) yang mengamati musik vokal masyarakat Jawa Timur khususnya Surabaya, Jombang dan Malang. Secara lugas Joko Santosa menekankan bahwa musik vokal Jawa Timur (kidungan) melalui untaian teks-teks musikalnya adalah sarana perjuangan melawan ketertindasan, keterpurukan. Bahkan tokoh dan maestro Ludruk di Jawa Timur Cak Gondho Durasim harus meregang nyawanya karena melantunkan teks kidungan yang berisi penghinaan terhadap penjajah Jepang kala berkuasa. Bekupon omahe dara melok Nippon awak tambah sara.(Bakupon rumah burung dara, ikut Jepang tambah sengsara) begitulah sepenggal teks musikal yang cukup terkenal hingga kini, dilantunkan Durasim dan memicu kemarahan tentara Jepang.
Zoel dan Joko di atas setidaknya membuktikan bahwa musik vokal adalah barometer dalam melihat gejolak kultural masyarakat pemiliknya. Apa yang tertuang dalam musik vokal merupakan konstruksi dari hasil buah pikir pelaku dan masyarakat pemiliknya. Konklusi yang mencoba saya sampaikan bahwa, vokal merupakan bentuk ekspresi seni yang tidaklah sederhana. Namun apabila dilihat dalam konstruksi nalar yang ada di baliknya akan tersingkap berbagai konsep dan gejolak bahkan mungkin piranti teori tentang denyut imaji kehidupan masyarakat dalam satu kebudayaan. Dengan demikian secara tak langsung kita dapat mengetahui sejauh mana detak kebudayaan dalam masyarakat telah berproses (sehingga mampu diketahui impresi karakter dan sifatnya) dengan hanya cukup dilihat dari pencapain akumulasi dari jaringan teks musikal yang selama ini diciptakannya.
Bahkan lewat teks musikal, sebuah perjuangan tentang hidup digelar. Jejak-jejak perjuangan lewat musik senantiasa dapat dilihat dalam menghiasai berbagai peristiwa penting di negeri ini. Wisnu Mintargo dalam bukunya Musik Revolusi Indonesia (2008) memandang bahwa peristiwa bunyi juga menjelma sebagai peristiwa sejarah peradaban manusia. Musik bukan semata rentetan nada dalam menggali ungkapan estetika semata. Lebih dari itu, musik pada satu ujudnya yang lain yakni teks musikal atau kekuatan liriknya berupaya menjadi medan kritik dan katalisator semangat militansi perjuangan dalam meraih satu impian hidup yang lebih mapan. Musik jenis demikian lahir ketika terjadi ketimpangan dalam struktur kehidupan.
John Lennon, Bob Marley, El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals, Koes Plues adalah musisi dan kelompok musik yang dengan teguh menziarahkan beberapa konsep bermusiknya sebagai medan perjuangan melawan ketertindasan. Otomatis kekuatan lirik atau teks musikal memiliki peranan yang dominan dan boleh dikata vital dalam sebuah musik, baik dalam konteks seni musik tradisional maupun di luar itu seperti pop misalnya. Dalam musik tradisional contohnya, bagaimana banyak diciptakannya lirik yang berfungsi sebagai sarana legitimasi politik oleh kalangan tertentu (titik kulminasinya ketika Lekra –masa PKI- menggunakannya). Atau juga dalam konteks musik pop dengan nama-nama yang sudah disebutkan di atas. Saya coba memberi satu contoh menarik bagaimana kekuatan lirik dalam lagu genjer-genjer mampu memberikan semangat kekuatan lain dalam iklim perjuangan melawan dominasi pemerintah berkuasa kala itu. Genjer-genjer dianggap sebagai satu lagu yang ‘membangkang’ dengan memproklamirkan satu kenyataan hidup bahwa pada masa lagu itu berdengung, situasi masyarakat (utamanya di Banyuwangi) dalam keadaan menderita dan miskin sehingga genjer yang notabene adalah makanan angsa atau itik digunakan sebagai menu makanan sehari-hari oleh masyarakat setempat.
Penciptaan lirik atau teks musikal yang demikian bukanlah merupakan pendokumentasian peristiwa semata, atau sekadar duduk merenung di belakang meja sambil memetik gitar dengan menghasilkan butir-butir kata yang puitis dan romantis. Namun lebih pada pergulatan dalam mencerna pengalaman serta realitas yang diharapkan dapat memancing berbagai interprestasi seta reaksi dari pendengarnya. Dengan demikian lirik yang ada bukannya superfisial namun penuh dengan guratan makna. Lirik-lirik yang demikian biasanya akan abadi dalam rentang penjalanan waktu, karena secara tak langsung pula bertutur akan sejarah yang layak untuk dikenang.
Ironisnya, dewasa ini penciptaan teks musikal atau biasa pula disebut sebagai lirik dalam sebuah musik telah mengalami kebangkrutan maknawi. Tuntutan hegemoni budaya pop menjadikan penciptaan lirik musikal cenderung instan. Tema dan sisi problematik yang diangkatpun cenderung dangkal. Pencapaian lirik semacam ini lebih didasarkan oleh semangat dalam mengejar pasar dibanding dengan kedalaman makna teks musikal yang digapai. Otomatis lirik-lirik semacam ini hanya bertahan dalam kurun waktu yang tidak lama karena diganti dengan lirik-lirik serupa lainnya yang juga telah membuncah. Namun demikian satu persolan yang patut menjadi apresiasi pula yakni keterkaitan antara lirik dengan alur melodi. Bagaimana persenyawaan yang terjadi di antara keduanya sehingga menghasilkan cita rasa musikal yang memukau? Bagaimana pula jika salah satu di antaranya timpang, lirik tidak mendukung alur melodi atau sebaliknya? Dan seperti apa fenomena tersebut terjadi dewasa ini?

Aris Setiawan, Etnomusikolog.

*Dalam catatan fb ini tidak menampilkan artikel secara lengkap, mengingat artikel yang bersangkutan belum terbit. Namun telah mendapatkan ijin dari redaksi untuk di tampilkan sebagian. Selengkapnya Baca di Majalah Bende (Majalah Seni dan Budaya, Dinas Pendidikan Jawa Timur) edisi Januari 2012. Artikel ini juga pernah disajikan dalam senimar Nasional Musik, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur di Surabaya pada November 2012

Tidak ada komentar:

Pengikut