Siapa Bisa Menggantikan Bubi? (dimuat di Jawapos edisi 26 Februari 2012)

Siapa Bisa Menggantikan Bubi? 


 
Semerbak mekarnya musik jazz Indonesia dewasa ini terasa pahit saat sang maestro pergi untuk selamanya. Bubi Chen, sosok yang menjadi legenda musik jazz Indonesia telah menghembuskan nafas terakhirnya satu pekan setelah usianya genap 74 tahun di Rumah Sakit Telogerejo Semarang (16/2/2012) karena sakit diabetes melitus yang menderanya. Indonesia kehilangan pianis jazz handal. Bubi menjadi satu tokoh yang menghantarkan jazz ke peraduan dan singasana indah bagi generasi muda Nusantara. Karenanya pula, geliat jazz berlari kencang hingga menjadi mainstream musik yang dikenal luas, menjadi bintang yang mempelopori munculnya berbagai varian festival jazz. Bubi adalah sumber inspirasi, sosok idola bagai kaum jazz masa kini.
Darinya berbagai pelajaran dapat dipetik, akan arti profesionalitas, semangat menghidupi musik, kesehajaan hidup dan tentu saja kreativitas puncak yang dimilikinya. Bahkan dentum duka tak hanya dirasakan oleh musisi musik jazz Indonesia, Surabaya sebagai sebuah kota sudah sepatutnya berkibar bendera setengah tiang. Lewat sosoknya, Surabaya di kenal luas melampaui batas-batas domain lain seperti ekonomi, kegenitan politik dan ekstase kemacetan. Surabaya dikenal dunia karena Bubi Chen lahir dan besar lewat kota itu. Tak tanggung-tanggung karena jasanya bagi Surabaya, Bubi Chen mendapatkan penghargaan Life Achievement Award dari gubernur Jawa Timur. Sosoknya dinilai telah memperkenalkan Surabaya ke dunia internasional melalui musik jazz. Penghargaan tersebut diberikan pada gelaran Wismilak The Legend of Jazz yang diadakan pada awal tahun 2010 lalu.

Sahaja
Tak perlu bercerita panjang tentang sejarah persentuhan Bubi Chen dengan musik jazz. Masyarakat pasti sudah sangat mafhum bahwa dengan melihat kreativitas yang dimilikinya tentu tersadarkan bahwa ia telah ditempa dengan militansi proses yang panjang dalam belajar musik. Berbagai buku dan situs musik jazz pun telah mengulas habis sosoknya. Namun satu hal yang dapat dipetik dalam semangat hidup bermusiknya adalah ‘kesehajaan’. Di balik kreativitas puncak yang dimilikinya, Bubi tetaplah pribadi yang santun dan sederhana, jauh dari kesan glamour. Baginya, musik jazz adalah ‘guru’ yang membuatnya berlajar akan arti hidup untuk saling menghargai, menerima dan menguatkan peran kebersamaan. Musik jazz adalah bunyi terunik bagi Bubi. Lewat jazz ia mampu meluapkan gejolak emosi musikal dengan bebas tanpa harus terusut oleh bias-bias ketatnya aturan akan tonika, harmoni, skala dan warna nada. Letupan jiwa improvisasi dalam musik jazz memberi ruang untuk menunjukkan siapa dia dan kita. Di situlah siapa Bubi yang sebernarnya dapat dilihat. Kelincahan jari-jemarinya kadang membuat kita berdegub kagum, melotot heran bahkan miris karena kesakralan hipnotis musikalnya yang tidak biasa dilakukan oleh orang normal kebanyakan.
Insting musikal yang dimilikinya setaraf dengan empu musik tradisi di Jawa. Jazz telah menyatu dengan jiwanya. Berbicara jazz Indonesia berarti berbicara Bubi Chen, begitu pula sebaliknya. Segala daya tentang hidupnya telah disumbangkan pada musik ini. Bahkan hingga denyut hidup di usia yang senja, ia masih bersua lantang bahwa tubuh yang tak lagi bersama dua kaki itu (amputasi karena penyakitnya di atas) masih mampu menekan tuts-tuts piano dengan kokoh. Terbukti, ia masih mengamini untuk tampil dalam Java Jazz Festival 2012 yang akan digelar awal maret mendatang. Rencananya ia akan tampil dengan sederet musisi jazz kenamaan seperti Al Jarreau dan George Duke Trio, Erykah Badu, Herbie Hancock, Pat Metheny, hingga sang legenda jazz dunia Stevie Wonder.
Bubi Chen dan jazz adalah sebuah senyawa yang memeberi warna baru dalam sejarah serta perkembangan musik jazz Indonesia. Membuncahnya virus jazz menjadikan namanya makin mahsyur. Forum-forum yang mengatasnamakan musik jazz digelar di mana-mana dari sejuknya gunung hingga bisingnya kota. Lihatlah Jakjazz (Jakarta), Jazz Gunung (Magelang), Bandung World Jazz Festival (Bandung), Jazz Traffic Festival (Surabaya), Jazz Mben Senen-Ngayogjazz (Jogja), Parkiran Jazz-Solo City Jazz (Solo), Ambon Jazz Plus Festival (Ambon) dan banyak lagi forum musik jazz bertebaran lainnya. Karakter permainan piano dan kelihaiannya dalam mengaduk akord menjadikannya sebagai sebuah mahzab ‘gaya’ musikal. Gaya Bubi, begitulah kebanyakan orang menyebut pemain piano yang mencoba meniru dan mengaplikasikan pola permainannya. Menjadi satu ciri musikal yang unik layaknya gaya Nartosabdoan, Martopangrawit dan Rahayu Supanggah pada musik gamelan Jawa.  

Jazz dan Jazzy
Gaung akbar aneka rasa forum musik jazz di Nusantara semakin menandaskan bahwa musik ini bukan lagi golongan bunyi minor, sebagaimana hangat diperpincangkan pada era tahun 70 hingga 90an. Dalam dekade terakhir, jazz mampu merestorasi wujudnya menjadi satu genre musik paling digemari di samping musik pop. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan sebuah forum musik jazz, maka dengan berjubelnya masyarakat yang datang dan memesan habis tiket jauh hari sebelum event itu berlangsung adalah bukti akan tajamnya bunyi jazz menyerang telinga masyarakat Indonesia masa kini. Begitulah musik jazz yang telah mampu menunjukkan taringnya. Dan sosok Bubi Chen menjadi katalisator penting yang tak dapat ditiadakan atas jasa-jasa besarnya dalam memperkenalkan bising jazz ke publik.
Begitu kencangnya perkembangan jazz masa kini hingga tidak lagi mampu membuncahkan warnanya yang Ragtime, New New Orleans, Swing, Bebop, Dixieland, Cool jazz, Hard bop, Jazz Funk namun menjadi senyawa ‘warna Indonesia’. Jangan heran jika kemudian dalam gelaran musik jazz akan kita jumpai rebab, erhu, suling, ketipung dangdut, sasando, kendang jaipong, atau gamelan lengkap. Apakah sah? Bagi Bobi Chen, segalanya sah sejauh mampu menampung gejolak dan letupan musikal para musisinya.
Kata Bubi, jazz adalah musik pembebasan kreativitas. Ia tersenyum manis saat melihat banyak forum musik yang mengatasnamakan jazz dipertontonkan, walau kadang konstruksi bangunan musikalnya tidak lagi jazz, namun hanya sekedar jazzy atau bahkan sok ngejazz saja. Dedikasinya dalam musik jazz membuat decak haru dan kagum. Berbagai penghargaanpun didapatnya. Pada tahun 2004, Bubi Chen menerima penghargaan Satya Lencana pengabdian seni dari mantan presiden Megawati. Setahun kemudian, pada tahun 2005, Peter F. Gontha pada gelaran Java Jazz Festival yang pertama memberikan penghargaan sebagai musisi Jazz Living Legend. Ziarah hidup dalam musik jazz bagi pemimpin Indonesian All Stars Band dan Circle Band itu memang luar biasa.
Kini Bubi Chen memang telah tiada, namun gaung merdu lentikan jari di atas tuts-tuts pianonya akan senantiasa bergema. Tak kurang dari 35 album musik jazz telah dibuatnya dalam kurun tahun 1959 sampai 2007.  Sepeninggalnya, patut untuk kita pertanyakan pula siapa yang mampu mengantikan sosoknya dalam bermusik jazz? Sosok yang begitu sahaja namun tak juga arogan dalam memploklamirkan kreativitas kemaestroannya. Namanya telah menjadi mahzab yang mungkin tak akan lekang ditelan zaman dalam narasi sejarah musik jazz ke depan.
Duka dan sedih akan kepergiannya tentu pasti, namun sudah selayaknya semangat dan militansi perjuangannya dalam musik jazz untuk dapat diapresiasi secara mendalam. Menempatkan derajad kekaryaan serta kreativitasnya dalam ruang penghargaan tertinggi dalam khasanah musik jazz. Ia telah memberi pengaruh, virus, racun kreatif bagi perkembangan musik jazz saat ini. Oleh karena itu, berkaca lewat Bubi Chen sang pemberi virus itu, sudah ngejazzkah musik anda hari ini? atau masih sekedar jazzy atau sok jazz saja?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Refleksi Solo Sebagai Kota Budaya (dimuat di Koran Joglosemar edisi 23 Februari 2012)

Refleksi Solo Sebagai Kota Budaya 


 
Hari ini kota Solo berulang tahun ke 267. Solo merupakan sebuah kota yang telah bersolek menjadi lebih modern. Detak hidupnya selain ditopang dengan eksistensinya sebagai kota yang merambah lahan perbisnisan dalam domain ekonomi, Solo juga masih terasa degub hidupnya yang pekat dengan aroma budaya tradisi. Bahkan dentum Solo sebagai kota budaya sudah lama digulirkan. Berbagai hal menarik dapat kita jumpai, mulai dari makanan, pakaian hingga sikap dan prilaku masyarakatnya. Terlebih basis tradisi sebagai pernak-pernik kehidupan masih tertaut kencang, menjadikan kota ini sebagai kota pelancongan, eksotis dan bahkan mungkin unik. Di saat usianya yang tidak muda lagi, menjadi menarik kiranya untuk dipertanyakan pula sejauh mana kota Solo telah berproses?

Spirit of Java?
Melihat Solo berarti melihat Jawa. Spirit of Java (jiwanya Jawa), begitulah icon itu digelontorkan. Solo didengung-dengungkan menjadi kota yang mencirikan Jawa sesungguhnya. Berbagai hal yang berkaitan dengan Jawa mencoba digelar dengan mentautkan keraton dan pusat-pusat kebudayaan sebagai tameng sekaligus pijakan dasarnya. Eksotisme Solo tak hanya terlihat dalam ruang-ruang tangible, yang kasat mata. Namun narasi Solo yang sesungguhnya justru lahir dalam muaranya yang intangible, tak kasat mata. Solo diterjemahkan dalam praktik-praktik prilaku, sikap, karakter keseharian yang khas. Masyarakat Solo ternarasikan sebagai mayarakat yang halus, sopan dan penuh tata krama bahkan mengunggah konsepnya yang adi luhung. Di manapun, dengung itulah yang paling santer.
Jejak-jejak prilaku yang demikian terlihat jelas saat kota ini mampu mengakomodasi perbedaan dan keberagaman. Berbagai etnis, agama dan suku mampu melebur menjadi satu. Bahkan masyarakat Tionghoa telah mampu menjadikan spektrum prosesi tradisinya menjadi akar kultural kota Solo. Grebek Sudiro, pernak-pernik lampu imlek dan warna merah mampu menghiasi Solo dengan intensnya. Namun demikian, bukannya keberagaman tersebut senantiasa berlangsung damai. Lihatlah geger pacinan pada tahun 80 dan 98 yang membuat Solo saat itu kehilangan denyut hidupnya sebagai kota yang bersahaja dan ramah.
Danang Priatmojo dalam satu tulisannya yang berjudul Revitalizing Historic Districts of Solo (2006) menggambarkan bahwa Solo merupakan kota yang memiliki sejarah panjang. Danang menjelaskan bahwa Solo dibangun dari semangat militansi kerajaan Mataram pada tahun 1746 yang jejak dan nafasnya kemudian terurai dalam dikotomi Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Berada dalam satu garis yang sama, namun penuh ambisi untuk saling menunjukkan eksistensi. Hingga detik ini arogansi perang dingin kebudayaan masih terjadi antara ke duanya yang bagi Danang menjadi keunikan tersendiri karena justru terwadahi dalam ruang yang bernama ‘Solo’. Perang kebudayaan keraton menguntungkan Solo dalam mengais pundi-pundi kekaryaan budaya tanpa harus membentuk, membuat, mencipta bentuk baru layaknya daerah lain yang masih berlomba-lomba menandaskan detak kekhasan dan keunikannya.
Solo menjadi barometer iklim kebudayaan yang kondusif. Di saat kota-kota lain diguyur moderenitas abad mutakhir, Solo masih mengandalkan denyut tradisi sebagai daya jualnya. Pendirian maal dibatasi, pasar-pasar tradisional mencoba dihidupi dan kuasa lembaga kebudayaan disokong dengan berbagai agenda yang semakin memperkokoh pilar kehidupan Solo dewasa ini. Tak dipungkiri, pada konteks ini peran penguasa menjadi penting. Dan harus diakui, Solo berkembang begitu pesat saat Jokowi menjadi walikota yang mampu menampung segala kuasa dan imaji kota Solo mutakhir.
Persoalannya kemudian, di balik gemerlapnya Solo ternyata masih menyimpang segudang problematika kebudayaan yang harus segera dituntaskan. Di beberapa kasus, Solo masih gagap dalam menerjemahkan imaji kebudayaan yang tidak lagi bernas, namun cenderung glamour dan banal. Berbagai festival budaya digelar dan bertaburan namun miskin dalam menarasikan siapa dan apa itu Solo.

Banal
Alih-alih menanggung hidup sebagai kota budaya, Solo justru menerjemahkankannya dalam ekstase berbagai festival dan ruang publik yang cenderung glamour. Bandung Mawardi (2010) mengkisahkan bagaimana dentum festival di Solo begitu menggugah namun miskin dalam katalisator yang menyibak Solo dengan pernak-pernik akar kulturalnya. Berbagai festival dihidupi dan disemai namun akar-akar tradisi yang sesungguhnya telah luput dan dibiarkan membasi. Kuasa keagungan gedung keraton yang semakin menjamur dan roboh, Sriwedari dan Benteng Vastemburg tekulai menunggu kepastian kepemilikan. Sorak sorai membanggakan saat Balaikambang kembali dipugar namun alpa dengan pertanyaan bagaimana selanjutnya untuk mengisi dan menjaganya.
Bingkai-bingkai kebudayaan mencoba dimanfaatkan sebagai corong yang menggelembungkan nama Solo. Lihatlah berbagai kirab dilangsungkan di kota ini. Tak hanya dalam domain pekatnya tradisi namun juga materi. Selain menjadi kota festival, Solo kemudian juga menjadi kota kirab. Apapun dapat dikirab, mulai dari perpindahan pedagang pasar hingga kongres PSSI. Semua dilangsungkan namun lupa dalam membuncahkan warna dan karakter Solo. Begitu gemerlap dan populis, kadang malah terlepas dari bingkai-bingkai akar kulturalnya. Kirab yang awalnya membanggakan kemudian menjadi begitu membosankan.
Berkaca dari hal tersebut sudah selayaknya di hari kelahiran Solo tahun ini mulai berbenah. Mengeliminasi kegiatan yang tidak perlu dan memperkuat kuasa jati dirinya. Alangkah indahnya jika dengung keagungan keraton, pusaka, gamelan, batik kembali didengung-dengungkan dalam berbagai hal. Semangat keberagaman dan kecintaan dimunculkan di saat kondisi negara yang genit dengan intrik-intrik kekuasaan dan politik. Derasnya guyuran budaya pop mengirimkan signal bagi Solo untuk segera mengambil payung berupa sikap dan kebijakan yang relevan.

Sumber Inspirasi
Terlepas dari problematika di atas, Solo sejatinya teleh berproses dengan semakin dewasa. Solo tak hanya sebagai kota dalam ruang kebendaan semata, namun juga menjadi sumber inspirasi lahirnya karya dan sejarah besar. Seniman dan musikus besar lahir di Solo. Sejarah persepakbolaan nasioanal diawali di kota ini. Geliat politik Nusantara berakar dan lahir dalam balutan sejarah keraton di Solo. Berbicara Solo kemudian tak lagi berbicara akan Jawa, namun Indonesia. Barometer kebudayaan yang mengatasnamakan Jawa hingga detik ini masih mampu besua lantang dalam berbagai goresan karyanya. Namun, waktu akan senantiasa berubah, dan jika Solo banal dalam menyikapi perubahan itu maka tak dipungkiri akan menjadi kota yang rawan dalam reduksi arti kulturalnya. Hal yang dialami kota-kota sejenis lainnya yang telah dihuni dan diserbu maklhuk-makhluk asing berupa mall, hotel, gedung pencakar langit, bioskop dan tentu saja pernik-pernik budaya pop yang menyilaukan itu.
Tantangan kemudian semakin berat saat penguasa Solo setempat (Jokowi) akan paripurna atau bahkan mengakhiri masa tugasnya karena tergiur posisi yang lebih prestisius dan melenakan. Harapan tak berlebihan jika kiranya pengendali kebijakan selanjutnya mampu menarasikan Solo dengan lebih baik, mencari formula dan senantiasa merumuskan jati diri Solo dengan lebih arif dan gamblang.
Selamat ulang tahun kota Solo, semoga dirimu tak hanya mampu mewartakan jati diri yang Jawa namun juga Nusantara. The spirit of  Indonesia.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Kegenitan Politik Bernama ISBI (dimuat di Solopos edisi 7 Februari 2012)

 Kegenitan Politik Bernama ISBI 



Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas perhatian Andrik Purwasito selaku guru besar manajemen komunikasi lintas budaya dari FISIP UNS terhadap problematika status ISI (Institut Seni Indonesia) yang rencananya akan segera dikonversi menjadi ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) yang dimuat di Solopos pada 16 Januari 2012. Perdebatan dan penolakan status baru tersebut sebenarnya telah berlangsung lama, terutama sejak wacana perubahan itu digulirkan, baik oleh akademisi bidang seni maupun para budayawan. Bahkan perguruan tinggi seni yang tergabung dalam BKS-PTSI (Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia) yakni ISI (Yogyakarta, Surakarta, Denpasar, Bandung, Padang Panjang), Institut Kesenian Jakarta, dan Sekolah Tinggi Seni Wilwatikta Surabaya sebelumnya tidak pernah diajak bicara, duduk semeja dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menggodok konsep dan wacana perubahan status itu. Otomatis, wacana baru tersebut selain menuai resistensi yang tajam, juga berimplikasi pada kegamangan paradigma yang selama ini dimiliki perguruan tinggi seni di Indonesia terutama ISI.
Perlu diketahui, selain memusatkan proses kerjanya pada tridarma perguruan tinggi, ISI menjadi medan penting dalam kuasa ‘kontrol-mengontrol’ perkembangan seni di Nusantara. Geliat kekaryaan seni muncul sebagai bidikan utama studi dengan mencetak seorang seniman yang tidak hanya handal dalam takaran praktik namun juga olah intelejensia yang mumpuni. Pada konteksnya yang demikian, letupan dan ekstase kekaryaan seni dapat diimbangi oleh hadirnya –lulusan sebagai- kritikus yang memberi oase kritik membangun. Konstruksi dalam melahirkan praktisi dan kritikus seni yang handal tersebut tentu senantiasa ditopang dengan berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu-ilmu kebudayaan sebagai jangkauan studinya seperti antropologi, filsafat, sosiologi, arkeologi. Jadi bukannya tidak penting, sebagaimana dilontarkan oleh Bakdi Seomanto di Kompas (25 Januari 2012) kemarin. Mata kuliah-mata kuliah itu justru sangat penting untuk mendudukkan ‘seni dalam konteks’, seni yang tidak hanya berdiri sendiri (artistik) namun terkait dalam peristiwa kontekstual.
Persoalannya kemudian, bagaimana jika ‘budaya’ bukan lagi sebagai sarana penajaman ‘seni dalam konteks’, namun menjadi salah satu rujukan –program- studi yang memusatkan perhatian pada bingkai kebudayaan semata? Akankah terjadi benturan-benturan paradigma dengan universitas atau kampus-kampus yang telah lama intens menjadikan budaya sebagai narasi utama tujuan program studinya?

Resistensi
Ada pameo kuno yang mengatakan ‘apalah artinya sebuah nama’ karena yang terpenting adalah esensinya. Namun sejatinya nama juga membawa konsekuensi yang besar. Nama adalah doa. Nama adalah cerminan dalam menunjukkan karakter dan kepribadian. Begitu pula dengan nama ISI, dengan menempatkan kata ‘budaya’ yang terselip di antara susunan hurufnya menjadi ISBI otomatis akan merubah pilar-pilar bangunan pengetahuan yang ada di dalamnya. Yang dipertaruhkan bukan hanya sekedar nama tapi implikasinya. Selama ini narasi dalam proses belajar mengajar ISI senantiasa menjadikan seni sebagai tema dari jelajah studi, baik berupa kekaryaan maupun tinjauan analisis teks penelitian dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi. ISI dalam rutinitas percaturan kesenian di Nusantara menjadi rujukan dan cermin dalam melihat detak hidup proses pewarisan –pembelajaran- seni dan pengembangannya. Hal ini karena selain memiliki kuasanya dalam mencetak praktisi dan kritikus seni, ISI juga berperan besar dalam proses konservasi seni yang dianggap ‘layak’untuk diwariskan dalam bingkai-bingkai jabaran mata kuliahnya.
Bangunan ilmunya senantisa menginduk pada ruang estetika dan kreativitas. Namun demikian, sebenarnya –ilmu- budaya tak dipungkiri pula menjadi sarana yang berperan penting dalam menempa pembentukan kesenimanan, ilmuwan serta kritikus seni. Bahkan saking pentingnya, budaya sebagai subjek mencoba dikawinkan dengan bidang seni yang kemudian melahirkan jelmaan spesies program studi baru. Lihatlah etnomusikologi, yang mencoba mencangkokkan budaya (etnos) dengan musik sebagai landansan ilmu pengetahuannya  (musikologi). Etnomusikologi menjadi program studi baru di mana budaya ditempatkan sebagai satu medan penting yang menunjang analisis sebuah musik. Dengan kata lain, tanpa harus dirubah menjadi ISBI, ISI selama ini sudah mencoba melakukan restorasi wacana pemikiran dengan menempatkan seni tidak hanya dalam takaran estetika semata, namun seni berbasis budaya. Kesadaran dalam mengangkat budaya dalam ruang kesenian –selain musik- juga mulai dilakukan oleh berbagai jurusan di ISI, sebut saja misalnya karawitan dan tari yang saat ini masih digodog konstruksi nalar pemikirannya menjadi -etno- karawitanologi dan etnokoreologi.
Bahkan beberapa seminar nasional akan hal tersebut telah digelar di berbagai perguran tinggi seni termasuk ISI Surakarta pada tahun 2008 lalu. Sayang, gaung dan gemanya tak tertangkap ‘Jakarta’ yang justru disibukkan dengan persoalan kegenitan politik. ISBI hanya wacana basi dan usang yang digelontorkan sebagai kegagapan politis dalam menindak lanjuti perubahan status kementrian pendidikan yang saat ini dibumbuhi dengan ‘aspek kebudayaan’. Dengung wacana ISBI menunjukkan bahwa pemerintah pusat selama ini tidak terjun dan melihat peta persoalan yang terjadi di ISI. ISBI secara tak langsung menarasikan ekstase politik yang menguak ambisi penuh pamrih.

Ditanggalkan
Sebagaimana diwartakan Kompas (17 Januari 2012), dengung demonstrasi yang digulirkan di ISI Yogyakarta dalam menolak wacana perubahan ISI ke ISBI menjadi titik kulminasi dalam kejenuhan politis yang mulai menerjang institusi pendidikan. Menjadi persoalan mendasar ketika ‘budaya’ duduk menjadi satu program studi tersendiri di ISI mendampingi program studi berbasis seni. Sejauh mana kesiapan dan prasarana yang dimiliki ISI dalam menindak lanjuti wacana yang begitu cepat akan direalisasikan itu? Seberapa banyak pengajar ahli yang kompeten dalam ruang-ruang keilmuan berbasis kebudayaan ansih yang dimiliki ISI, sehingga mampu menopang dan mengakomodasi perubahan itu? Jawabannya sederhana, ISI belum siap.
Lebih dari itu, Triyono Bramantyo selaku Guru Besar bidang musik di ISI Yogyakarta lewat status fecebooknya menilai pemerintah selama ini kurang tanggap dalam mencerna persoalan dan problematika yang dihadapi ISI. Katanya, saat ini Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta tidak punya wayang yang lengkap untuk proses praktek pedalangan. Studio pada Jurusan Tari sudah tidak layak pakai, Jurusan Musik tidak punya gedung akustik yang memadai untuk belajar musik. Dan banyak lagi masalah kekurangan dalam proses belajar. Harusnya pemerintah berfikir mengatasi persoalan itu dulu baru kemudian berfikir tentang ISBI. Logikanya, pilar-pilar ideal penyangga berdirinya sebuah institusi saja tidak diperhatikan, pemerintah malah mau menambah beban. Oleh karena persoalan itulah, sampai saat ini belum ada perguruan tinggi seni yang mengafirmasi keiinginan pemerintah pusat untuk menjadi ISBI. Idealnya, wacana perubahan tidak bisa dilangsungkan dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan proses kesiapan, diskusi, seminar dan penggodogkan wacana yang tajam dalam menerima berbagai masukan.  
Namun jika berkaca dari problematika yang dihadapi ISI seperti kata Triyono Bramantyo di atas, tak berlebihan kiranya jika pemikiran akan ISBI ditanggalkan dulu. Bagaimanapun, seni adalah ruang yang penuh dengan keterbukaan. Mampu melebur dengan berbagai bidang tak terkecuali kebudayaan sebagai lahan kekaryaan. Namun seni juga menuntut orisinalitas yang kadang tak harus teracuni apapun. Tanpa harus menjadi ISBI, ISI sejatinya telah melangsungkan berbagai pemikiran yang berafiliasi dengan sektor kebudayaan. Kerjasama dengan universitas-universitas penyandang studi kebudayaan dirasa sudah cukup tanpa harus merubah dan mendirikan paradigma baru yang justru akan mendekonstruksi semangat dan mengkerdilkan visi misi ideal ISI yang sejatinya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Pengikut