Semerbak
mekarnya musik jazz Indonesia dewasa ini terasa pahit saat sang maestro
pergi untuk selamanya. Bubi Chen, sosok yang menjadi legenda musik jazz
Indonesia telah menghembuskan nafas terakhirnya satu pekan setelah
usianya genap 74 tahun di Rumah Sakit Telogerejo Semarang (16/2/2012)
karena sakit diabetes melitus yang menderanya. Indonesia kehilangan
pianis jazz handal. Bubi menjadi satu tokoh yang menghantarkan jazz ke
peraduan dan singasana indah bagi generasi muda Nusantara. Karenanya
pula, geliat jazz berlari kencang hingga menjadi mainstream musik yang
dikenal luas, menjadi bintang yang mempelopori munculnya berbagai varian
festival jazz. Bubi adalah sumber inspirasi, sosok idola bagai kaum
jazz masa kini.
Darinya berbagai pelajaran dapat dipetik, akan
arti profesionalitas, semangat menghidupi musik, kesehajaan hidup dan
tentu saja kreativitas puncak yang dimilikinya. Bahkan dentum duka tak
hanya dirasakan oleh musisi musik jazz Indonesia, Surabaya sebagai
sebuah kota sudah sepatutnya berkibar bendera setengah tiang. Lewat
sosoknya, Surabaya di kenal luas melampaui batas-batas domain lain
seperti ekonomi, kegenitan politik dan ekstase kemacetan. Surabaya
dikenal dunia karena Bubi Chen lahir dan besar lewat kota itu. Tak
tanggung-tanggung karena jasanya bagi Surabaya, Bubi Chen mendapatkan
penghargaan Life Achievement Award dari gubernur Jawa Timur.
Sosoknya dinilai telah memperkenalkan Surabaya ke dunia internasional
melalui musik jazz. Penghargaan tersebut diberikan pada gelaran Wismilak The Legend of Jazz yang diadakan pada awal tahun 2010 lalu.
Sahaja
Tak
perlu bercerita panjang tentang sejarah persentuhan Bubi Chen dengan
musik jazz. Masyarakat pasti sudah sangat mafhum bahwa dengan melihat
kreativitas yang dimilikinya tentu tersadarkan bahwa ia telah ditempa
dengan militansi proses yang panjang dalam belajar musik. Berbagai buku
dan situs musik jazz pun telah mengulas habis sosoknya. Namun satu hal
yang dapat dipetik dalam semangat hidup bermusiknya adalah ‘kesehajaan’.
Di balik kreativitas puncak yang dimilikinya, Bubi tetaplah pribadi
yang santun dan sederhana, jauh dari kesan glamour. Baginya, musik jazz
adalah ‘guru’ yang membuatnya berlajar akan arti hidup untuk saling
menghargai, menerima dan menguatkan peran kebersamaan. Musik jazz adalah
bunyi terunik bagi Bubi. Lewat jazz ia mampu meluapkan gejolak emosi
musikal dengan bebas tanpa harus terusut oleh bias-bias ketatnya aturan
akan tonika, harmoni, skala dan warna nada. Letupan jiwa improvisasi
dalam musik jazz memberi ruang untuk menunjukkan siapa dia dan kita. Di
situlah siapa Bubi yang sebernarnya dapat dilihat. Kelincahan
jari-jemarinya kadang membuat kita berdegub kagum, melotot heran bahkan
miris karena kesakralan hipnotis musikalnya yang tidak biasa dilakukan
oleh orang normal kebanyakan.
Insting musikal yang dimilikinya
setaraf dengan empu musik tradisi di Jawa. Jazz telah menyatu dengan
jiwanya. Berbicara jazz Indonesia berarti berbicara Bubi Chen, begitu
pula sebaliknya. Segala daya tentang hidupnya telah disumbangkan pada
musik ini. Bahkan hingga denyut hidup di usia yang senja, ia masih
bersua lantang bahwa tubuh yang tak lagi bersama dua kaki itu (amputasi
karena penyakitnya di atas) masih mampu menekan tuts-tuts piano dengan
kokoh. Terbukti, ia masih mengamini untuk tampil dalam Java Jazz
Festival 2012 yang akan digelar awal maret mendatang. Rencananya ia akan
tampil dengan sederet musisi jazz kenamaan seperti Al Jarreau dan
George Duke Trio, Erykah Badu, Herbie Hancock, Pat Metheny, hingga sang
legenda jazz dunia Stevie Wonder.
Bubi Chen dan jazz adalah sebuah
senyawa yang memeberi warna baru dalam sejarah serta perkembangan musik
jazz Indonesia. Membuncahnya virus jazz menjadikan namanya makin
mahsyur. Forum-forum yang mengatasnamakan musik jazz digelar di
mana-mana dari sejuknya gunung hingga bisingnya kota. Lihatlah Jakjazz
(Jakarta), Jazz Gunung (Magelang), Bandung World Jazz Festival
(Bandung), Jazz Traffic Festival (Surabaya), Jazz Mben Senen-Ngayogjazz
(Jogja), Parkiran Jazz-Solo City Jazz (Solo), Ambon Jazz Plus Festival
(Ambon) dan banyak lagi forum musik jazz bertebaran lainnya. Karakter
permainan piano dan kelihaiannya dalam mengaduk akord menjadikannya
sebagai sebuah mahzab ‘gaya’ musikal. Gaya Bubi, begitulah kebanyakan
orang menyebut pemain piano yang mencoba meniru dan mengaplikasikan pola
permainannya. Menjadi satu ciri musikal yang unik layaknya gaya
Nartosabdoan, Martopangrawit dan Rahayu Supanggah pada musik gamelan
Jawa.
Jazz dan Jazzy
Gaung akbar
aneka rasa forum musik jazz di Nusantara semakin menandaskan bahwa musik
ini bukan lagi golongan bunyi minor, sebagaimana hangat diperpincangkan
pada era tahun 70 hingga 90an. Dalam dekade terakhir, jazz mampu
merestorasi wujudnya menjadi satu genre musik paling digemari di samping
musik pop. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolok ukur
keberhasilan sebuah forum musik jazz, maka dengan berjubelnya masyarakat
yang datang dan memesan habis tiket jauh hari sebelum event itu
berlangsung adalah bukti akan tajamnya bunyi jazz menyerang telinga
masyarakat Indonesia masa kini. Begitulah musik jazz yang telah mampu
menunjukkan taringnya. Dan sosok Bubi Chen menjadi katalisator penting
yang tak dapat ditiadakan atas jasa-jasa besarnya dalam memperkenalkan
bising jazz ke publik.
Begitu kencangnya perkembangan jazz masa
kini hingga tidak lagi mampu membuncahkan warnanya yang Ragtime, New New
Orleans, Swing, Bebop, Dixieland, Cool jazz, Hard bop, Jazz Funk namun
menjadi senyawa ‘warna Indonesia’. Jangan heran jika kemudian dalam
gelaran musik jazz akan kita jumpai rebab, erhu, suling, ketipung
dangdut, sasando, kendang jaipong, atau gamelan lengkap. Apakah sah?
Bagi Bobi Chen, segalanya sah sejauh mampu menampung gejolak dan letupan
musikal para musisinya.
Kata Bubi, jazz adalah musik pembebasan
kreativitas. Ia tersenyum manis saat melihat banyak forum musik yang
mengatasnamakan jazz dipertontonkan, walau kadang konstruksi bangunan
musikalnya tidak lagi jazz, namun hanya sekedar jazzy atau bahkan sok
ngejazz saja. Dedikasinya dalam musik jazz membuat decak haru dan kagum.
Berbagai penghargaanpun didapatnya. Pada tahun 2004, Bubi Chen menerima
penghargaan Satya Lencana pengabdian seni dari mantan presiden
Megawati. Setahun kemudian, pada tahun 2005, Peter F. Gontha pada
gelaran Java Jazz Festival yang pertama memberikan penghargaan sebagai
musisi Jazz Living Legend. Ziarah hidup dalam musik jazz bagi pemimpin Indonesian All Stars Band dan Circle Band itu memang luar biasa.
Kini
Bubi Chen memang telah tiada, namun gaung merdu lentikan jari di atas
tuts-tuts pianonya akan senantiasa bergema. Tak kurang dari 35 album
musik jazz telah dibuatnya dalam kurun tahun 1959 sampai 2007.
Sepeninggalnya, patut untuk kita pertanyakan pula siapa yang mampu
mengantikan sosoknya dalam bermusik jazz? Sosok yang begitu sahaja namun
tak juga arogan dalam memploklamirkan kreativitas kemaestroannya.
Namanya telah menjadi mahzab yang mungkin tak akan lekang ditelan zaman
dalam narasi sejarah musik jazz ke depan.
Duka dan sedih akan
kepergiannya tentu pasti, namun sudah selayaknya semangat dan militansi
perjuangannya dalam musik jazz untuk dapat diapresiasi secara mendalam.
Menempatkan derajad kekaryaan serta kreativitasnya dalam ruang
penghargaan tertinggi dalam khasanah musik jazz. Ia telah memberi
pengaruh, virus, racun kreatif bagi perkembangan musik jazz saat ini.
Oleh karena itu, berkaca lewat Bubi Chen sang pemberi virus itu, sudah
ngejazzkah musik anda hari ini? atau masih sekedar jazzy atau sok jazz
saja?
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta