Siapa Bisa Menggantikan Bubi? (dimuat di Jawapos edisi 26 Februari 2012)

Siapa Bisa Menggantikan Bubi? 


 
Semerbak mekarnya musik jazz Indonesia dewasa ini terasa pahit saat sang maestro pergi untuk selamanya. Bubi Chen, sosok yang menjadi legenda musik jazz Indonesia telah menghembuskan nafas terakhirnya satu pekan setelah usianya genap 74 tahun di Rumah Sakit Telogerejo Semarang (16/2/2012) karena sakit diabetes melitus yang menderanya. Indonesia kehilangan pianis jazz handal. Bubi menjadi satu tokoh yang menghantarkan jazz ke peraduan dan singasana indah bagi generasi muda Nusantara. Karenanya pula, geliat jazz berlari kencang hingga menjadi mainstream musik yang dikenal luas, menjadi bintang yang mempelopori munculnya berbagai varian festival jazz. Bubi adalah sumber inspirasi, sosok idola bagai kaum jazz masa kini.
Darinya berbagai pelajaran dapat dipetik, akan arti profesionalitas, semangat menghidupi musik, kesehajaan hidup dan tentu saja kreativitas puncak yang dimilikinya. Bahkan dentum duka tak hanya dirasakan oleh musisi musik jazz Indonesia, Surabaya sebagai sebuah kota sudah sepatutnya berkibar bendera setengah tiang. Lewat sosoknya, Surabaya di kenal luas melampaui batas-batas domain lain seperti ekonomi, kegenitan politik dan ekstase kemacetan. Surabaya dikenal dunia karena Bubi Chen lahir dan besar lewat kota itu. Tak tanggung-tanggung karena jasanya bagi Surabaya, Bubi Chen mendapatkan penghargaan Life Achievement Award dari gubernur Jawa Timur. Sosoknya dinilai telah memperkenalkan Surabaya ke dunia internasional melalui musik jazz. Penghargaan tersebut diberikan pada gelaran Wismilak The Legend of Jazz yang diadakan pada awal tahun 2010 lalu.

Sahaja
Tak perlu bercerita panjang tentang sejarah persentuhan Bubi Chen dengan musik jazz. Masyarakat pasti sudah sangat mafhum bahwa dengan melihat kreativitas yang dimilikinya tentu tersadarkan bahwa ia telah ditempa dengan militansi proses yang panjang dalam belajar musik. Berbagai buku dan situs musik jazz pun telah mengulas habis sosoknya. Namun satu hal yang dapat dipetik dalam semangat hidup bermusiknya adalah ‘kesehajaan’. Di balik kreativitas puncak yang dimilikinya, Bubi tetaplah pribadi yang santun dan sederhana, jauh dari kesan glamour. Baginya, musik jazz adalah ‘guru’ yang membuatnya berlajar akan arti hidup untuk saling menghargai, menerima dan menguatkan peran kebersamaan. Musik jazz adalah bunyi terunik bagi Bubi. Lewat jazz ia mampu meluapkan gejolak emosi musikal dengan bebas tanpa harus terusut oleh bias-bias ketatnya aturan akan tonika, harmoni, skala dan warna nada. Letupan jiwa improvisasi dalam musik jazz memberi ruang untuk menunjukkan siapa dia dan kita. Di situlah siapa Bubi yang sebernarnya dapat dilihat. Kelincahan jari-jemarinya kadang membuat kita berdegub kagum, melotot heran bahkan miris karena kesakralan hipnotis musikalnya yang tidak biasa dilakukan oleh orang normal kebanyakan.
Insting musikal yang dimilikinya setaraf dengan empu musik tradisi di Jawa. Jazz telah menyatu dengan jiwanya. Berbicara jazz Indonesia berarti berbicara Bubi Chen, begitu pula sebaliknya. Segala daya tentang hidupnya telah disumbangkan pada musik ini. Bahkan hingga denyut hidup di usia yang senja, ia masih bersua lantang bahwa tubuh yang tak lagi bersama dua kaki itu (amputasi karena penyakitnya di atas) masih mampu menekan tuts-tuts piano dengan kokoh. Terbukti, ia masih mengamini untuk tampil dalam Java Jazz Festival 2012 yang akan digelar awal maret mendatang. Rencananya ia akan tampil dengan sederet musisi jazz kenamaan seperti Al Jarreau dan George Duke Trio, Erykah Badu, Herbie Hancock, Pat Metheny, hingga sang legenda jazz dunia Stevie Wonder.
Bubi Chen dan jazz adalah sebuah senyawa yang memeberi warna baru dalam sejarah serta perkembangan musik jazz Indonesia. Membuncahnya virus jazz menjadikan namanya makin mahsyur. Forum-forum yang mengatasnamakan musik jazz digelar di mana-mana dari sejuknya gunung hingga bisingnya kota. Lihatlah Jakjazz (Jakarta), Jazz Gunung (Magelang), Bandung World Jazz Festival (Bandung), Jazz Traffic Festival (Surabaya), Jazz Mben Senen-Ngayogjazz (Jogja), Parkiran Jazz-Solo City Jazz (Solo), Ambon Jazz Plus Festival (Ambon) dan banyak lagi forum musik jazz bertebaran lainnya. Karakter permainan piano dan kelihaiannya dalam mengaduk akord menjadikannya sebagai sebuah mahzab ‘gaya’ musikal. Gaya Bubi, begitulah kebanyakan orang menyebut pemain piano yang mencoba meniru dan mengaplikasikan pola permainannya. Menjadi satu ciri musikal yang unik layaknya gaya Nartosabdoan, Martopangrawit dan Rahayu Supanggah pada musik gamelan Jawa.  

Jazz dan Jazzy
Gaung akbar aneka rasa forum musik jazz di Nusantara semakin menandaskan bahwa musik ini bukan lagi golongan bunyi minor, sebagaimana hangat diperpincangkan pada era tahun 70 hingga 90an. Dalam dekade terakhir, jazz mampu merestorasi wujudnya menjadi satu genre musik paling digemari di samping musik pop. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan sebuah forum musik jazz, maka dengan berjubelnya masyarakat yang datang dan memesan habis tiket jauh hari sebelum event itu berlangsung adalah bukti akan tajamnya bunyi jazz menyerang telinga masyarakat Indonesia masa kini. Begitulah musik jazz yang telah mampu menunjukkan taringnya. Dan sosok Bubi Chen menjadi katalisator penting yang tak dapat ditiadakan atas jasa-jasa besarnya dalam memperkenalkan bising jazz ke publik.
Begitu kencangnya perkembangan jazz masa kini hingga tidak lagi mampu membuncahkan warnanya yang Ragtime, New New Orleans, Swing, Bebop, Dixieland, Cool jazz, Hard bop, Jazz Funk namun menjadi senyawa ‘warna Indonesia’. Jangan heran jika kemudian dalam gelaran musik jazz akan kita jumpai rebab, erhu, suling, ketipung dangdut, sasando, kendang jaipong, atau gamelan lengkap. Apakah sah? Bagi Bobi Chen, segalanya sah sejauh mampu menampung gejolak dan letupan musikal para musisinya.
Kata Bubi, jazz adalah musik pembebasan kreativitas. Ia tersenyum manis saat melihat banyak forum musik yang mengatasnamakan jazz dipertontonkan, walau kadang konstruksi bangunan musikalnya tidak lagi jazz, namun hanya sekedar jazzy atau bahkan sok ngejazz saja. Dedikasinya dalam musik jazz membuat decak haru dan kagum. Berbagai penghargaanpun didapatnya. Pada tahun 2004, Bubi Chen menerima penghargaan Satya Lencana pengabdian seni dari mantan presiden Megawati. Setahun kemudian, pada tahun 2005, Peter F. Gontha pada gelaran Java Jazz Festival yang pertama memberikan penghargaan sebagai musisi Jazz Living Legend. Ziarah hidup dalam musik jazz bagi pemimpin Indonesian All Stars Band dan Circle Band itu memang luar biasa.
Kini Bubi Chen memang telah tiada, namun gaung merdu lentikan jari di atas tuts-tuts pianonya akan senantiasa bergema. Tak kurang dari 35 album musik jazz telah dibuatnya dalam kurun tahun 1959 sampai 2007.  Sepeninggalnya, patut untuk kita pertanyakan pula siapa yang mampu mengantikan sosoknya dalam bermusik jazz? Sosok yang begitu sahaja namun tak juga arogan dalam memploklamirkan kreativitas kemaestroannya. Namanya telah menjadi mahzab yang mungkin tak akan lekang ditelan zaman dalam narasi sejarah musik jazz ke depan.
Duka dan sedih akan kepergiannya tentu pasti, namun sudah selayaknya semangat dan militansi perjuangannya dalam musik jazz untuk dapat diapresiasi secara mendalam. Menempatkan derajad kekaryaan serta kreativitasnya dalam ruang penghargaan tertinggi dalam khasanah musik jazz. Ia telah memberi pengaruh, virus, racun kreatif bagi perkembangan musik jazz saat ini. Oleh karena itu, berkaca lewat Bubi Chen sang pemberi virus itu, sudah ngejazzkah musik anda hari ini? atau masih sekedar jazzy atau sok jazz saja?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut