Refleksi Solo Sebagai Kota Budaya (dimuat di Koran Joglosemar edisi 23 Februari 2012)

Refleksi Solo Sebagai Kota Budaya 


 
Hari ini kota Solo berulang tahun ke 267. Solo merupakan sebuah kota yang telah bersolek menjadi lebih modern. Detak hidupnya selain ditopang dengan eksistensinya sebagai kota yang merambah lahan perbisnisan dalam domain ekonomi, Solo juga masih terasa degub hidupnya yang pekat dengan aroma budaya tradisi. Bahkan dentum Solo sebagai kota budaya sudah lama digulirkan. Berbagai hal menarik dapat kita jumpai, mulai dari makanan, pakaian hingga sikap dan prilaku masyarakatnya. Terlebih basis tradisi sebagai pernak-pernik kehidupan masih tertaut kencang, menjadikan kota ini sebagai kota pelancongan, eksotis dan bahkan mungkin unik. Di saat usianya yang tidak muda lagi, menjadi menarik kiranya untuk dipertanyakan pula sejauh mana kota Solo telah berproses?

Spirit of Java?
Melihat Solo berarti melihat Jawa. Spirit of Java (jiwanya Jawa), begitulah icon itu digelontorkan. Solo didengung-dengungkan menjadi kota yang mencirikan Jawa sesungguhnya. Berbagai hal yang berkaitan dengan Jawa mencoba digelar dengan mentautkan keraton dan pusat-pusat kebudayaan sebagai tameng sekaligus pijakan dasarnya. Eksotisme Solo tak hanya terlihat dalam ruang-ruang tangible, yang kasat mata. Namun narasi Solo yang sesungguhnya justru lahir dalam muaranya yang intangible, tak kasat mata. Solo diterjemahkan dalam praktik-praktik prilaku, sikap, karakter keseharian yang khas. Masyarakat Solo ternarasikan sebagai mayarakat yang halus, sopan dan penuh tata krama bahkan mengunggah konsepnya yang adi luhung. Di manapun, dengung itulah yang paling santer.
Jejak-jejak prilaku yang demikian terlihat jelas saat kota ini mampu mengakomodasi perbedaan dan keberagaman. Berbagai etnis, agama dan suku mampu melebur menjadi satu. Bahkan masyarakat Tionghoa telah mampu menjadikan spektrum prosesi tradisinya menjadi akar kultural kota Solo. Grebek Sudiro, pernak-pernik lampu imlek dan warna merah mampu menghiasi Solo dengan intensnya. Namun demikian, bukannya keberagaman tersebut senantiasa berlangsung damai. Lihatlah geger pacinan pada tahun 80 dan 98 yang membuat Solo saat itu kehilangan denyut hidupnya sebagai kota yang bersahaja dan ramah.
Danang Priatmojo dalam satu tulisannya yang berjudul Revitalizing Historic Districts of Solo (2006) menggambarkan bahwa Solo merupakan kota yang memiliki sejarah panjang. Danang menjelaskan bahwa Solo dibangun dari semangat militansi kerajaan Mataram pada tahun 1746 yang jejak dan nafasnya kemudian terurai dalam dikotomi Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Berada dalam satu garis yang sama, namun penuh ambisi untuk saling menunjukkan eksistensi. Hingga detik ini arogansi perang dingin kebudayaan masih terjadi antara ke duanya yang bagi Danang menjadi keunikan tersendiri karena justru terwadahi dalam ruang yang bernama ‘Solo’. Perang kebudayaan keraton menguntungkan Solo dalam mengais pundi-pundi kekaryaan budaya tanpa harus membentuk, membuat, mencipta bentuk baru layaknya daerah lain yang masih berlomba-lomba menandaskan detak kekhasan dan keunikannya.
Solo menjadi barometer iklim kebudayaan yang kondusif. Di saat kota-kota lain diguyur moderenitas abad mutakhir, Solo masih mengandalkan denyut tradisi sebagai daya jualnya. Pendirian maal dibatasi, pasar-pasar tradisional mencoba dihidupi dan kuasa lembaga kebudayaan disokong dengan berbagai agenda yang semakin memperkokoh pilar kehidupan Solo dewasa ini. Tak dipungkiri, pada konteks ini peran penguasa menjadi penting. Dan harus diakui, Solo berkembang begitu pesat saat Jokowi menjadi walikota yang mampu menampung segala kuasa dan imaji kota Solo mutakhir.
Persoalannya kemudian, di balik gemerlapnya Solo ternyata masih menyimpang segudang problematika kebudayaan yang harus segera dituntaskan. Di beberapa kasus, Solo masih gagap dalam menerjemahkan imaji kebudayaan yang tidak lagi bernas, namun cenderung glamour dan banal. Berbagai festival budaya digelar dan bertaburan namun miskin dalam menarasikan siapa dan apa itu Solo.

Banal
Alih-alih menanggung hidup sebagai kota budaya, Solo justru menerjemahkankannya dalam ekstase berbagai festival dan ruang publik yang cenderung glamour. Bandung Mawardi (2010) mengkisahkan bagaimana dentum festival di Solo begitu menggugah namun miskin dalam katalisator yang menyibak Solo dengan pernak-pernik akar kulturalnya. Berbagai festival dihidupi dan disemai namun akar-akar tradisi yang sesungguhnya telah luput dan dibiarkan membasi. Kuasa keagungan gedung keraton yang semakin menjamur dan roboh, Sriwedari dan Benteng Vastemburg tekulai menunggu kepastian kepemilikan. Sorak sorai membanggakan saat Balaikambang kembali dipugar namun alpa dengan pertanyaan bagaimana selanjutnya untuk mengisi dan menjaganya.
Bingkai-bingkai kebudayaan mencoba dimanfaatkan sebagai corong yang menggelembungkan nama Solo. Lihatlah berbagai kirab dilangsungkan di kota ini. Tak hanya dalam domain pekatnya tradisi namun juga materi. Selain menjadi kota festival, Solo kemudian juga menjadi kota kirab. Apapun dapat dikirab, mulai dari perpindahan pedagang pasar hingga kongres PSSI. Semua dilangsungkan namun lupa dalam membuncahkan warna dan karakter Solo. Begitu gemerlap dan populis, kadang malah terlepas dari bingkai-bingkai akar kulturalnya. Kirab yang awalnya membanggakan kemudian menjadi begitu membosankan.
Berkaca dari hal tersebut sudah selayaknya di hari kelahiran Solo tahun ini mulai berbenah. Mengeliminasi kegiatan yang tidak perlu dan memperkuat kuasa jati dirinya. Alangkah indahnya jika dengung keagungan keraton, pusaka, gamelan, batik kembali didengung-dengungkan dalam berbagai hal. Semangat keberagaman dan kecintaan dimunculkan di saat kondisi negara yang genit dengan intrik-intrik kekuasaan dan politik. Derasnya guyuran budaya pop mengirimkan signal bagi Solo untuk segera mengambil payung berupa sikap dan kebijakan yang relevan.

Sumber Inspirasi
Terlepas dari problematika di atas, Solo sejatinya teleh berproses dengan semakin dewasa. Solo tak hanya sebagai kota dalam ruang kebendaan semata, namun juga menjadi sumber inspirasi lahirnya karya dan sejarah besar. Seniman dan musikus besar lahir di Solo. Sejarah persepakbolaan nasioanal diawali di kota ini. Geliat politik Nusantara berakar dan lahir dalam balutan sejarah keraton di Solo. Berbicara Solo kemudian tak lagi berbicara akan Jawa, namun Indonesia. Barometer kebudayaan yang mengatasnamakan Jawa hingga detik ini masih mampu besua lantang dalam berbagai goresan karyanya. Namun, waktu akan senantiasa berubah, dan jika Solo banal dalam menyikapi perubahan itu maka tak dipungkiri akan menjadi kota yang rawan dalam reduksi arti kulturalnya. Hal yang dialami kota-kota sejenis lainnya yang telah dihuni dan diserbu maklhuk-makhluk asing berupa mall, hotel, gedung pencakar langit, bioskop dan tentu saja pernik-pernik budaya pop yang menyilaukan itu.
Tantangan kemudian semakin berat saat penguasa Solo setempat (Jokowi) akan paripurna atau bahkan mengakhiri masa tugasnya karena tergiur posisi yang lebih prestisius dan melenakan. Harapan tak berlebihan jika kiranya pengendali kebijakan selanjutnya mampu menarasikan Solo dengan lebih baik, mencari formula dan senantiasa merumuskan jati diri Solo dengan lebih arif dan gamblang.
Selamat ulang tahun kota Solo, semoga dirimu tak hanya mampu mewartakan jati diri yang Jawa namun juga Nusantara. The spirit of  Indonesia.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta 

Tidak ada komentar:

Pengikut