Refleksi Solo Sebagai Kota Budaya
Hari
ini kota Solo berulang tahun ke 267. Solo merupakan sebuah kota yang
telah bersolek menjadi lebih modern. Detak hidupnya selain ditopang
dengan eksistensinya sebagai kota yang merambah lahan perbisnisan dalam
domain ekonomi, Solo juga masih terasa degub hidupnya yang pekat dengan
aroma budaya tradisi. Bahkan dentum Solo sebagai kota budaya sudah lama
digulirkan. Berbagai hal menarik dapat kita jumpai, mulai dari makanan,
pakaian hingga sikap dan prilaku masyarakatnya. Terlebih basis tradisi
sebagai pernak-pernik kehidupan masih tertaut kencang, menjadikan kota
ini sebagai kota pelancongan, eksotis dan bahkan mungkin unik. Di saat
usianya yang tidak muda lagi, menjadi menarik kiranya untuk
dipertanyakan pula sejauh mana kota Solo telah berproses?
Spirit of Java?
Melihat
Solo berarti melihat Jawa. Spirit of Java (jiwanya Jawa), begitulah
icon itu digelontorkan. Solo didengung-dengungkan menjadi kota yang
mencirikan Jawa sesungguhnya. Berbagai hal yang berkaitan dengan Jawa
mencoba digelar dengan mentautkan keraton dan pusat-pusat kebudayaan
sebagai tameng sekaligus pijakan dasarnya. Eksotisme Solo tak hanya
terlihat dalam ruang-ruang tangible, yang kasat mata. Namun narasi Solo
yang sesungguhnya justru lahir dalam muaranya yang intangible, tak kasat
mata. Solo diterjemahkan dalam praktik-praktik prilaku, sikap, karakter
keseharian yang khas. Masyarakat Solo ternarasikan sebagai mayarakat
yang halus, sopan dan penuh tata krama bahkan mengunggah konsepnya yang
adi luhung. Di manapun, dengung itulah yang paling santer.
Jejak-jejak
prilaku yang demikian terlihat jelas saat kota ini mampu mengakomodasi
perbedaan dan keberagaman. Berbagai etnis, agama dan suku mampu melebur
menjadi satu. Bahkan masyarakat Tionghoa telah mampu menjadikan spektrum
prosesi tradisinya menjadi akar kultural kota Solo. Grebek Sudiro,
pernak-pernik lampu imlek dan warna merah mampu menghiasi Solo dengan
intensnya. Namun demikian, bukannya keberagaman tersebut senantiasa
berlangsung damai. Lihatlah geger pacinan pada tahun 80 dan 98 yang
membuat Solo saat itu kehilangan denyut hidupnya sebagai kota yang
bersahaja dan ramah.
Danang Priatmojo dalam satu tulisannya yang
berjudul Revitalizing Historic Districts of Solo (2006) menggambarkan
bahwa Solo merupakan kota yang memiliki sejarah panjang. Danang
menjelaskan bahwa Solo dibangun dari semangat militansi kerajaan Mataram
pada tahun 1746 yang jejak dan nafasnya kemudian terurai dalam dikotomi
Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran. Berada dalam satu garis
yang sama, namun penuh ambisi untuk saling menunjukkan eksistensi.
Hingga detik ini arogansi perang dingin kebudayaan masih terjadi antara
ke duanya yang bagi Danang menjadi keunikan tersendiri karena justru
terwadahi dalam ruang yang bernama ‘Solo’. Perang kebudayaan keraton
menguntungkan Solo dalam mengais pundi-pundi kekaryaan budaya tanpa
harus membentuk, membuat, mencipta bentuk baru layaknya daerah lain yang
masih berlomba-lomba menandaskan detak kekhasan dan keunikannya.
Solo
menjadi barometer iklim kebudayaan yang kondusif. Di saat kota-kota
lain diguyur moderenitas abad mutakhir, Solo masih mengandalkan denyut
tradisi sebagai daya jualnya. Pendirian maal dibatasi, pasar-pasar
tradisional mencoba dihidupi dan kuasa lembaga kebudayaan disokong
dengan berbagai agenda yang semakin memperkokoh pilar kehidupan Solo
dewasa ini. Tak dipungkiri, pada konteks ini peran penguasa menjadi
penting. Dan harus diakui, Solo berkembang begitu pesat saat Jokowi
menjadi walikota yang mampu menampung segala kuasa dan imaji kota Solo
mutakhir.
Persoalannya kemudian, di balik gemerlapnya Solo
ternyata masih menyimpang segudang problematika kebudayaan yang harus
segera dituntaskan. Di beberapa kasus, Solo masih gagap dalam
menerjemahkan imaji kebudayaan yang tidak lagi bernas, namun cenderung
glamour dan banal. Berbagai festival budaya digelar dan bertaburan namun
miskin dalam menarasikan siapa dan apa itu Solo.
Banal
Alih-alih
menanggung hidup sebagai kota budaya, Solo justru menerjemahkankannya
dalam ekstase berbagai festival dan ruang publik yang cenderung glamour.
Bandung Mawardi (2010) mengkisahkan bagaimana dentum festival di Solo
begitu menggugah namun miskin dalam katalisator yang menyibak Solo
dengan pernak-pernik akar kulturalnya. Berbagai festival dihidupi dan
disemai namun akar-akar tradisi yang sesungguhnya telah luput dan
dibiarkan membasi. Kuasa keagungan gedung keraton yang semakin menjamur
dan roboh, Sriwedari dan Benteng Vastemburg tekulai menunggu kepastian
kepemilikan. Sorak sorai membanggakan saat Balaikambang kembali dipugar
namun alpa dengan pertanyaan bagaimana selanjutnya untuk mengisi dan
menjaganya.
Bingkai-bingkai kebudayaan mencoba dimanfaatkan
sebagai corong yang menggelembungkan nama Solo. Lihatlah berbagai kirab
dilangsungkan di kota ini. Tak hanya dalam domain pekatnya tradisi namun
juga materi. Selain menjadi kota festival, Solo kemudian juga menjadi
kota kirab. Apapun dapat dikirab, mulai dari perpindahan pedagang pasar
hingga kongres PSSI. Semua dilangsungkan namun lupa dalam membuncahkan
warna dan karakter Solo. Begitu gemerlap dan populis, kadang malah
terlepas dari bingkai-bingkai akar kulturalnya. Kirab yang awalnya
membanggakan kemudian menjadi begitu membosankan.
Berkaca dari hal
tersebut sudah selayaknya di hari kelahiran Solo tahun ini mulai
berbenah. Mengeliminasi kegiatan yang tidak perlu dan memperkuat kuasa
jati dirinya. Alangkah indahnya jika dengung keagungan keraton, pusaka,
gamelan, batik kembali didengung-dengungkan dalam berbagai hal. Semangat
keberagaman dan kecintaan dimunculkan di saat kondisi negara yang genit
dengan intrik-intrik kekuasaan dan politik. Derasnya guyuran budaya pop
mengirimkan signal bagi Solo untuk segera mengambil payung berupa sikap
dan kebijakan yang relevan.
Sumber Inspirasi
Terlepas
dari problematika di atas, Solo sejatinya teleh berproses dengan
semakin dewasa. Solo tak hanya sebagai kota dalam ruang kebendaan
semata, namun juga menjadi sumber inspirasi lahirnya karya dan sejarah
besar. Seniman dan musikus besar lahir di Solo. Sejarah persepakbolaan
nasioanal diawali di kota ini. Geliat politik Nusantara berakar dan
lahir dalam balutan sejarah keraton di Solo. Berbicara Solo kemudian tak
lagi berbicara akan Jawa, namun Indonesia. Barometer kebudayaan yang
mengatasnamakan Jawa hingga detik ini masih mampu besua lantang dalam
berbagai goresan karyanya. Namun, waktu akan senantiasa berubah, dan
jika Solo banal dalam menyikapi perubahan itu maka tak dipungkiri akan
menjadi kota yang rawan dalam reduksi arti kulturalnya. Hal yang dialami
kota-kota sejenis lainnya yang telah dihuni dan diserbu maklhuk-makhluk
asing berupa mall, hotel, gedung pencakar langit, bioskop dan tentu
saja pernik-pernik budaya pop yang menyilaukan itu.
Tantangan
kemudian semakin berat saat penguasa Solo setempat (Jokowi) akan
paripurna atau bahkan mengakhiri masa tugasnya karena tergiur posisi
yang lebih prestisius dan melenakan. Harapan tak berlebihan jika kiranya
pengendali kebijakan selanjutnya mampu menarasikan Solo dengan lebih
baik, mencari formula dan senantiasa merumuskan jati diri Solo dengan
lebih arif dan gamblang.
Selamat ulang tahun kota Solo, semoga dirimu tak hanya mampu mewartakan jati diri yang Jawa namun juga Nusantara. The spirit of Indonesia.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar