Kegenitan Politik Bernama ISBI (dimuat di Solopos edisi 7 Februari 2012)

 Kegenitan Politik Bernama ISBI 



Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas perhatian Andrik Purwasito selaku guru besar manajemen komunikasi lintas budaya dari FISIP UNS terhadap problematika status ISI (Institut Seni Indonesia) yang rencananya akan segera dikonversi menjadi ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) yang dimuat di Solopos pada 16 Januari 2012. Perdebatan dan penolakan status baru tersebut sebenarnya telah berlangsung lama, terutama sejak wacana perubahan itu digulirkan, baik oleh akademisi bidang seni maupun para budayawan. Bahkan perguruan tinggi seni yang tergabung dalam BKS-PTSI (Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Seni Indonesia) yakni ISI (Yogyakarta, Surakarta, Denpasar, Bandung, Padang Panjang), Institut Kesenian Jakarta, dan Sekolah Tinggi Seni Wilwatikta Surabaya sebelumnya tidak pernah diajak bicara, duduk semeja dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menggodok konsep dan wacana perubahan status itu. Otomatis, wacana baru tersebut selain menuai resistensi yang tajam, juga berimplikasi pada kegamangan paradigma yang selama ini dimiliki perguruan tinggi seni di Indonesia terutama ISI.
Perlu diketahui, selain memusatkan proses kerjanya pada tridarma perguruan tinggi, ISI menjadi medan penting dalam kuasa ‘kontrol-mengontrol’ perkembangan seni di Nusantara. Geliat kekaryaan seni muncul sebagai bidikan utama studi dengan mencetak seorang seniman yang tidak hanya handal dalam takaran praktik namun juga olah intelejensia yang mumpuni. Pada konteksnya yang demikian, letupan dan ekstase kekaryaan seni dapat diimbangi oleh hadirnya –lulusan sebagai- kritikus yang memberi oase kritik membangun. Konstruksi dalam melahirkan praktisi dan kritikus seni yang handal tersebut tentu senantiasa ditopang dengan berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu-ilmu kebudayaan sebagai jangkauan studinya seperti antropologi, filsafat, sosiologi, arkeologi. Jadi bukannya tidak penting, sebagaimana dilontarkan oleh Bakdi Seomanto di Kompas (25 Januari 2012) kemarin. Mata kuliah-mata kuliah itu justru sangat penting untuk mendudukkan ‘seni dalam konteks’, seni yang tidak hanya berdiri sendiri (artistik) namun terkait dalam peristiwa kontekstual.
Persoalannya kemudian, bagaimana jika ‘budaya’ bukan lagi sebagai sarana penajaman ‘seni dalam konteks’, namun menjadi salah satu rujukan –program- studi yang memusatkan perhatian pada bingkai kebudayaan semata? Akankah terjadi benturan-benturan paradigma dengan universitas atau kampus-kampus yang telah lama intens menjadikan budaya sebagai narasi utama tujuan program studinya?

Resistensi
Ada pameo kuno yang mengatakan ‘apalah artinya sebuah nama’ karena yang terpenting adalah esensinya. Namun sejatinya nama juga membawa konsekuensi yang besar. Nama adalah doa. Nama adalah cerminan dalam menunjukkan karakter dan kepribadian. Begitu pula dengan nama ISI, dengan menempatkan kata ‘budaya’ yang terselip di antara susunan hurufnya menjadi ISBI otomatis akan merubah pilar-pilar bangunan pengetahuan yang ada di dalamnya. Yang dipertaruhkan bukan hanya sekedar nama tapi implikasinya. Selama ini narasi dalam proses belajar mengajar ISI senantiasa menjadikan seni sebagai tema dari jelajah studi, baik berupa kekaryaan maupun tinjauan analisis teks penelitian dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi. ISI dalam rutinitas percaturan kesenian di Nusantara menjadi rujukan dan cermin dalam melihat detak hidup proses pewarisan –pembelajaran- seni dan pengembangannya. Hal ini karena selain memiliki kuasanya dalam mencetak praktisi dan kritikus seni, ISI juga berperan besar dalam proses konservasi seni yang dianggap ‘layak’untuk diwariskan dalam bingkai-bingkai jabaran mata kuliahnya.
Bangunan ilmunya senantisa menginduk pada ruang estetika dan kreativitas. Namun demikian, sebenarnya –ilmu- budaya tak dipungkiri pula menjadi sarana yang berperan penting dalam menempa pembentukan kesenimanan, ilmuwan serta kritikus seni. Bahkan saking pentingnya, budaya sebagai subjek mencoba dikawinkan dengan bidang seni yang kemudian melahirkan jelmaan spesies program studi baru. Lihatlah etnomusikologi, yang mencoba mencangkokkan budaya (etnos) dengan musik sebagai landansan ilmu pengetahuannya  (musikologi). Etnomusikologi menjadi program studi baru di mana budaya ditempatkan sebagai satu medan penting yang menunjang analisis sebuah musik. Dengan kata lain, tanpa harus dirubah menjadi ISBI, ISI selama ini sudah mencoba melakukan restorasi wacana pemikiran dengan menempatkan seni tidak hanya dalam takaran estetika semata, namun seni berbasis budaya. Kesadaran dalam mengangkat budaya dalam ruang kesenian –selain musik- juga mulai dilakukan oleh berbagai jurusan di ISI, sebut saja misalnya karawitan dan tari yang saat ini masih digodog konstruksi nalar pemikirannya menjadi -etno- karawitanologi dan etnokoreologi.
Bahkan beberapa seminar nasional akan hal tersebut telah digelar di berbagai perguran tinggi seni termasuk ISI Surakarta pada tahun 2008 lalu. Sayang, gaung dan gemanya tak tertangkap ‘Jakarta’ yang justru disibukkan dengan persoalan kegenitan politik. ISBI hanya wacana basi dan usang yang digelontorkan sebagai kegagapan politis dalam menindak lanjuti perubahan status kementrian pendidikan yang saat ini dibumbuhi dengan ‘aspek kebudayaan’. Dengung wacana ISBI menunjukkan bahwa pemerintah pusat selama ini tidak terjun dan melihat peta persoalan yang terjadi di ISI. ISBI secara tak langsung menarasikan ekstase politik yang menguak ambisi penuh pamrih.

Ditanggalkan
Sebagaimana diwartakan Kompas (17 Januari 2012), dengung demonstrasi yang digulirkan di ISI Yogyakarta dalam menolak wacana perubahan ISI ke ISBI menjadi titik kulminasi dalam kejenuhan politis yang mulai menerjang institusi pendidikan. Menjadi persoalan mendasar ketika ‘budaya’ duduk menjadi satu program studi tersendiri di ISI mendampingi program studi berbasis seni. Sejauh mana kesiapan dan prasarana yang dimiliki ISI dalam menindak lanjuti wacana yang begitu cepat akan direalisasikan itu? Seberapa banyak pengajar ahli yang kompeten dalam ruang-ruang keilmuan berbasis kebudayaan ansih yang dimiliki ISI, sehingga mampu menopang dan mengakomodasi perubahan itu? Jawabannya sederhana, ISI belum siap.
Lebih dari itu, Triyono Bramantyo selaku Guru Besar bidang musik di ISI Yogyakarta lewat status fecebooknya menilai pemerintah selama ini kurang tanggap dalam mencerna persoalan dan problematika yang dihadapi ISI. Katanya, saat ini Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta tidak punya wayang yang lengkap untuk proses praktek pedalangan. Studio pada Jurusan Tari sudah tidak layak pakai, Jurusan Musik tidak punya gedung akustik yang memadai untuk belajar musik. Dan banyak lagi masalah kekurangan dalam proses belajar. Harusnya pemerintah berfikir mengatasi persoalan itu dulu baru kemudian berfikir tentang ISBI. Logikanya, pilar-pilar ideal penyangga berdirinya sebuah institusi saja tidak diperhatikan, pemerintah malah mau menambah beban. Oleh karena persoalan itulah, sampai saat ini belum ada perguruan tinggi seni yang mengafirmasi keiinginan pemerintah pusat untuk menjadi ISBI. Idealnya, wacana perubahan tidak bisa dilangsungkan dalam waktu yang singkat. Dibutuhkan proses kesiapan, diskusi, seminar dan penggodogkan wacana yang tajam dalam menerima berbagai masukan.  
Namun jika berkaca dari problematika yang dihadapi ISI seperti kata Triyono Bramantyo di atas, tak berlebihan kiranya jika pemikiran akan ISBI ditanggalkan dulu. Bagaimanapun, seni adalah ruang yang penuh dengan keterbukaan. Mampu melebur dengan berbagai bidang tak terkecuali kebudayaan sebagai lahan kekaryaan. Namun seni juga menuntut orisinalitas yang kadang tak harus teracuni apapun. Tanpa harus menjadi ISBI, ISI sejatinya telah melangsungkan berbagai pemikiran yang berafiliasi dengan sektor kebudayaan. Kerjasama dengan universitas-universitas penyandang studi kebudayaan dirasa sudah cukup tanpa harus merubah dan mendirikan paradigma baru yang justru akan mendekonstruksi semangat dan mengkerdilkan visi misi ideal ISI yang sejatinya.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo

Tidak ada komentar:

Pengikut