SIEM Menanti Ajal
Solo International Ethnic Music (SIEM)
merupakan salah satu peristiwa budaya yang dimiliki Kota Solo,
diselenggarakan secara reguler sejak 2007. Sejak kali pertama digelar, SIEM merupakan satu wahana ekpresi seni yang banyak menyedot animo masyarakat luas.
Dari
forum inilah musik tradisi (etnik) yang sebelumnya kurang dapat
menampakkan cakrawala jati diri secara lebih terbuka bagi masyarakat
luas dapat didudukkan sebagai satu tontonan dan sekaligus pengalaman
berharga yang fenomenal.
Jika penonton dapat digunakan sebagai
satu tolok ukur keberhasilan sebuah pementasan, dengan hadir tak kurang
dari 5.000 orang setiap malam ketika SIEM digelar, merupakan satu catatan tersendiri bagi seni pertunjukan (tradisi) di Indonesia dan terutama di Solo.
Sayangnya, menjelang penyelenggaraan tahun ini, SIEM justru menjadi semakin banal. Kehadiranya memicu banyak perdebatan dan kontroversi. Sebagaimana diwartakan SOLOPOS (25/6), detik-detik mendekati hari H, SIEM
justru makin tak tentu arah. Taman Balekambang yang sejak tahun lalu
digadang-gadang menjadi lokus ideal pesta musik terakbar di Solo
tersebut batal jadi lokasi karena dikecam dan ditolak beberapa pihak.
Tak hanya sampai di situ, panitia SIEM rencananya
dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Musik
Indonesia karena dinilai tak transparan dalam mengelola anggaran. Yasudah (musisi asal Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo) yang awalnya
turut menggagas SIEM juga naik pitam dengan tidak dilibatkan secara aktif dalam struktur kepanitian.
Dia pula yang hari-hari ini mempermasalahkan penambahan kata ”kontemporer” di nama acara tersebut (Radar Solo,
25/6). Pertanyaannya, mengapa baru sekarang? Bukankan penambahan kata
”kontemporer” dilakukan dua tahun yang lalu sejak dia terlibat aktif?
Tentu ada misi pamrih yang mencoba digapai.
Terlepas dari berbagai
kontroversi di atas, kiranya menjadi penting untuk kembali
berkontemplasi, menapaki peta sejarah awal tujuan diadakannya SIEM. Hal ini sekaligus mengikis narasi bahwa sejatinya SIEM
hanya pertunjukan dan pesta musik semata. Namun, juga berusaha
mengangkat Solo untuk turut andil dalam pusaran sejarah perkembangan
musik di Indonesia dan mungkin pula dunia.
Latar Belakang
SIEM merupakan forum musik yang lahir dari sebuah kebutuhan dan keharusan kultural. Berawal dari pandangan itulah SIEM
ada sebagai tonggak awal guna mengangkat kehidupan dan dinamisasi seni
musik (etnik), terutama di Indonesia. Batas-batas wilayah yang selama
ini menjadi sekat dalam sebuah forum pertunjukan, sengaja dihilangkan
dalam panggung SIEM.
Dengan demikian, tidak hanya
ekspresi seni di Indonesia semata yang dapat tampil, namun justru
karena sifatnya yang konon ”internasional”, seni-seni tradisi di
penjuru dunia digladi dan dipilih untuk ikut serta dalam pentas SIEM..
Walaupun cakupan yang ditekankan pada koridor ”musik”, namun dalam realitas praktiknya SIEM
adalah panggung yang dapat mempertemukan berbagai episentrum seni
seperti gerak dalam tari, sastra, teater atau bahkan seni rupa.
Otomatis, SIEM bukanlah semata pestanya gaung bunyi para komponis tapi lebih kompleks lagi dengan memasuki ragam seni lain.
SIEM
awalnya dimanfaatkan sebagai tumpuan berpijak proses menuju satu
wacana perubahan seni ke arah yang lebih baik. Ia tidak sekadar
berbicara dalam takaran diskursus semata, namun juga membawa semangat
ekspresi seni musik etnik kita untuk dikenal dan hidup di tengah-tengah
masyarakat global modern.
Hubungan yang dibangun antara musik dan masyarakat dalam panggung SIEM
tentu akan menstimulasi gairah awal perubahan, baik dalam domain
ekonomi, politik, terlebih budaya, bahkan pariwisata dan bisnis
pelancongan di kota Solo. Pada titik inilah SIEM menjadi benang merah yang menghubungkan pergaulan lintas batas budaya, menghapus sekat-sekat yang selama ini menjadi pembatas.
SIEM adalah kerja yang dibangun dalam takaran kolektif. Tampil di SIEM bukanlah semata-mata tujuan utamanya karena SIEM
tidak lebih dari sebuah media yang dikonstruksikan menjadi pusat medan
interaksi dan relasi antara seniman, wilayah basis seni dengan
masyarakat dunia yang terbingkai dalam ruang keberagaman.
Ketika
proses itu sendiri dimaknai sebagai bagian dari tujuan maka kesediaan
melakukan eksplorasi ide-ide baru dan segar adalah cara kerja yang
selama ini dilakukan dalam laboratorium yang dihuni beragam profesi:
seniman, pengusaha, birokrat maupun mahasiswa. Daya tahan dan komitmen
adalah bekal dasar dalam proses tersebut.
Dengan demikian, seperti yang disebutkan di www.siemfestival.com,
bahwa bukan merupakan suatu hal yang aneh jika gerbong SIEM setiap
tahun akan tampil dengan wajah baru menggantikan wajah lama yang telah
undur diri. Oleh karena itu, kata etnik saja dirasa tak cukup mewadahi
geliat musik yang tak terbatas dan semakin berkembang di panggung SIEM.
Maka munculah tambahan kata kontemporer guna menampung ekstase
kekaryaan baru yang lebih kekinian, walaupun tak dimungkiri basisnya
masih tetap mengais-ngais tradisi pula.
Semangat militansi dalam menggapai tujuan mulia di atas tentu sangat berharga jika digunakan sebagai landasan memaknai SIEM
dewasa ini. Sayang, hal tersebut justru semakin tertepikan, bangkrut
karena berbagai kepentingan segelintir pihak yang mencoba
mencampuradukkan dengan domain lain seperti politik bahkan hukum.
Mendekati Ajal
Beberapa hari mendekati pementasan, SIEM masih tak jelas. Hal ini tentu membawa dampak buruk. Pertama,
orientasi tematik panggung yang sudah dibayangkan para seniman
penampil akan berubah dan kacau seketika. Hal tersebut mengubah dan
mengurangi pencapaian kadar artistik kekaryaan.
Kedua, ketidakpastian tempat menunjukkan SIEM tahun ini tidak digodok secara matang dengan mempertimbangkan berbagai rasio risiko yang ada. Ketiga,
jika dibiarkan berlarut-larut akan timbul kekhawatiran acara serupa
tahun depan tak dapat dilaksanakan karena berkaca dari
ketidakprofesionalan pihak-pihak terkait pada tahun ini.
Terlepas
dari itu, hal yang lebih penting lagi adalah kalahnya isu-isu ideal
seperti narasi artistik-estetika karya seni, kritik seni, preview
pertunjukan atau seniman yang harusnya mampu diangkat hangat ke
permukaan justru semakin tak terlihat, tertimbun oleh jerami kepentingan
yang tiada ujung.
Pamor bergengsi yang disandangnya semakin tak terlihat alias redup. SIEM
hanya menjadi tiran atas berbagai pamrih daripada misi mengejar luapan
estetika dan ajang pamer kreativitas. Banyak pihak menyayangkan
kontroversi yang beberapa waktu ini timbul dan berlarut-larut karena
sejatinya SIEM adalah milik segala lapisan masyarakat bukan segelintir orang.
SIEM
seharusnya menjadi wadah dan persinggungan publik yang selama ini
penat oleh berbagai persoalan dan impitan kehidupan. Idealnya, semua
pihak terkait harus mampu berpikir jernih, melegalkan kepentingan
publik menjadi kunci utama dan bukannya memperjuangkan ego pribadi.
Lewat
forum itulah, Solo bersua menjadi barometer ideal dalam mengonstruksi
wajah kebudayaan dan terutama musik di era mutakhir. Tentu
dilahirkannya SIEM tak hanya sebatas geliat sesaat demi
melengkapi ekstase pencitraan Solo sebagai kota budaya semata namun
benar-benar didasarkan atas pemikiran dan perenungan ideal dalam
membangun misi kreativitas kekaryaan.
Selebihnya, SIEM
tahun ini menjadi cambuk berharga bagi forum-forum lain yang serupa di
Kota Solo. Bagaimanapun kesediaan untuk selalu berproses jujur,
terbuka, disertai tujuan dan tanggung jawab yang jelas adalah kunci
dari setiap keberhasilan sebuah peristiwa. Dengan demikian, semoga
tahun ini bukanlah tahun terakhir denyut SIEM.
Berbagai
pergolakan, berdebatan, kontroversi yang menyertainya justru semakin
menjadikannya dewasa, introspeksi untuk menghadirkan sebuah tontonan
yang berbobot bagi masyarakat seutuhnya. Atau bisa pula sebaliknya,
serangan dan kontradiksi yang ada menjadikannya gamang dan hingga
akhirnya tutup usia.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesi Surakarta