SIEM Menanti Ajal (dimuat di Solopos edisi 27 Juni 2012)

SIEM Menanti Ajal


Solo International Ethnic Music (SIEM) merupakan salah satu peristiwa budaya yang dimiliki Kota Solo, diselenggarakan secara reguler sejak 2007. Sejak kali pertama digelar, SIEM merupakan satu wahana ekpresi seni yang banyak menyedot animo masyarakat luas.
Dari forum inilah musik tradisi (etnik) yang sebelumnya kurang dapat menampakkan cakrawala jati diri secara lebih terbuka bagi masyarakat luas dapat didudukkan sebagai satu tontonan dan sekaligus pengalaman berharga yang fenomenal.
Jika penonton dapat digunakan sebagai satu tolok ukur keberhasilan sebuah pementasan, dengan hadir tak kurang dari 5.000 orang setiap malam ketika SIEM digelar, merupakan satu catatan tersendiri bagi seni pertunjukan (tradisi) di Indonesia dan terutama di Solo.
Sayangnya, menjelang penyelenggaraan tahun ini, SIEM justru menjadi semakin banal. Kehadiranya memicu banyak perdebatan dan kontroversi. Sebagaimana diwartakan SOLOPOS (25/6), detik-detik mendekati hari H, SIEM justru makin tak tentu arah. Taman Balekambang yang sejak tahun lalu digadang-gadang menjadi lokus ideal pesta musik terakbar di Solo tersebut batal jadi lokasi karena dikecam dan ditolak beberapa pihak.
Tak hanya sampai di situ, panitia SIEM rencananya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Dewan Musik Indonesia karena dinilai tak transparan dalam mengelola anggaran. Yasudah (musisi asal Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo) yang awalnya turut menggagas SIEM juga naik pitam dengan tidak dilibatkan secara aktif dalam struktur kepanitian.
Dia pula yang hari-hari ini mempermasalahkan penambahan kata ”kontemporer” di nama acara tersebut (Radar Solo, 25/6). Pertanyaannya, mengapa baru sekarang? Bukankan penambahan kata ”kontemporer” dilakukan dua tahun yang lalu sejak dia terlibat aktif? Tentu ada misi pamrih yang mencoba digapai.
Terlepas dari berbagai kontroversi di atas, kiranya menjadi penting untuk kembali berkontemplasi, menapaki peta sejarah awal tujuan diadakannya SIEM. Hal ini sekaligus mengikis narasi bahwa sejatinya SIEM hanya pertunjukan dan pesta musik semata. Namun, juga berusaha mengangkat Solo untuk turut andil dalam pusaran sejarah perkembangan musik di Indonesia dan mungkin pula dunia.

Latar Belakang
SIEM merupakan forum musik yang lahir dari sebuah kebutuhan dan keharusan kultural. Berawal dari pandangan itulah SIEM ada sebagai tonggak awal guna mengangkat kehidupan dan dinamisasi seni musik (etnik), terutama di Indonesia. Batas-batas wilayah yang selama ini menjadi sekat dalam sebuah forum pertunjukan, sengaja dihilangkan dalam panggung SIEM.
Dengan demikian, tidak hanya ekspresi seni di Indonesia semata yang dapat tampil, namun justru karena sifatnya yang konon ”internasional”, seni-seni tradisi di penjuru dunia digladi dan dipilih untuk ikut serta dalam pentas SIEM..
Walaupun cakupan yang ditekankan pada koridor ”musik”, namun dalam realitas praktiknya SIEM adalah panggung yang dapat mempertemukan berbagai episentrum seni seperti gerak dalam tari, sastra, teater atau bahkan seni rupa. Otomatis, SIEM bukanlah semata pestanya gaung bunyi para komponis tapi lebih kompleks lagi dengan memasuki ragam seni lain.
SIEM awalnya dimanfaatkan sebagai tumpuan berpijak proses menuju satu wacana perubahan seni ke arah yang lebih baik. Ia tidak sekadar berbicara dalam takaran diskursus semata, namun juga membawa semangat ekspresi seni musik etnik kita untuk dikenal dan hidup di tengah-tengah masyarakat global modern.
Hubungan yang dibangun antara musik dan masyarakat dalam panggung SIEM tentu akan menstimulasi gairah awal perubahan, baik dalam domain ekonomi, politik, terlebih budaya, bahkan pariwisata dan bisnis pelancongan di kota Solo. Pada titik inilah SIEM menjadi benang merah yang menghubungkan pergaulan lintas batas budaya, menghapus sekat-sekat yang selama ini menjadi pembatas.
SIEM adalah kerja yang dibangun dalam takaran kolektif. Tampil di SIEM bukanlah semata-mata tujuan utamanya karena SIEM tidak lebih dari sebuah media yang dikonstruksikan menjadi pusat medan interaksi dan relasi antara seniman, wilayah basis seni dengan masyarakat dunia yang terbingkai dalam ruang keberagaman.
Ketika proses itu sendiri dimaknai sebagai bagian dari tujuan maka kesediaan melakukan eksplorasi ide-ide baru dan segar adalah cara kerja yang selama ini dilakukan dalam laboratorium yang dihuni beragam profesi: seniman, pengusaha, birokrat maupun mahasiswa. Daya tahan dan komitmen adalah bekal dasar dalam proses tersebut.
Dengan demikian, seperti yang disebutkan di www.siemfestival.com, bahwa bukan  merupakan suatu hal yang aneh jika gerbong SIEM setiap tahun akan tampil dengan wajah baru menggantikan wajah lama yang telah undur diri. Oleh karena itu, kata etnik saja dirasa tak cukup mewadahi geliat musik yang tak terbatas dan semakin berkembang di panggung SIEM. Maka munculah tambahan kata kontemporer guna menampung ekstase kekaryaan baru yang lebih kekinian, walaupun tak dimungkiri basisnya masih tetap mengais-ngais tradisi pula.
Semangat militansi dalam menggapai tujuan mulia di atas tentu sangat berharga jika digunakan sebagai landasan memaknai SIEM dewasa ini. Sayang, hal tersebut justru semakin tertepikan, bangkrut karena berbagai kepentingan segelintir pihak yang mencoba mencampuradukkan dengan domain lain seperti politik bahkan hukum.

Mendekati Ajal
Beberapa hari mendekati pementasan, SIEM masih tak jelas. Hal ini tentu membawa dampak buruk. Pertama, orientasi tematik panggung yang sudah dibayangkan para seniman penampil akan berubah dan kacau seketika. Hal tersebut mengubah dan mengurangi pencapaian kadar artistik kekaryaan.
Kedua, ketidakpastian tempat menunjukkan SIEM tahun ini tidak digodok secara matang dengan mempertimbangkan berbagai rasio risiko yang ada. Ketiga, jika dibiarkan berlarut-larut akan timbul kekhawatiran acara serupa tahun depan tak dapat dilaksanakan karena berkaca dari ketidakprofesionalan pihak-pihak terkait pada tahun ini.
Terlepas dari itu, hal yang lebih penting lagi adalah kalahnya isu-isu ideal seperti narasi artistik-estetika karya seni, kritik seni, preview pertunjukan atau seniman yang harusnya mampu diangkat hangat ke permukaan justru semakin tak terlihat, tertimbun oleh jerami kepentingan yang tiada ujung.
Pamor bergengsi yang disandangnya semakin tak terlihat alias redup. SIEM hanya menjadi tiran atas berbagai pamrih daripada misi mengejar luapan estetika dan ajang pamer kreativitas. Banyak pihak menyayangkan kontroversi yang beberapa waktu ini timbul dan berlarut-larut karena sejatinya SIEM adalah milik segala lapisan masyarakat bukan segelintir orang.
SIEM seharusnya menjadi wadah dan persinggungan publik yang selama ini penat oleh berbagai persoalan dan impitan kehidupan. Idealnya, semua pihak terkait harus mampu berpikir jernih, melegalkan kepentingan publik menjadi kunci utama dan bukannya memperjuangkan ego pribadi.
Lewat forum itulah, Solo bersua menjadi barometer ideal dalam mengonstruksi wajah kebudayaan dan terutama musik di era mutakhir. Tentu dilahirkannya SIEM tak hanya sebatas geliat sesaat demi melengkapi ekstase pencitraan Solo sebagai kota budaya semata namun benar-benar didasarkan atas pemikiran dan perenungan ideal dalam membangun misi kreativitas kekaryaan.
Selebihnya, SIEM tahun ini menjadi cambuk berharga bagi forum-forum lain yang serupa di Kota Solo. Bagaimanapun kesediaan untuk selalu berproses jujur, terbuka, disertai tujuan dan tanggung jawab yang jelas adalah kunci dari setiap keberhasilan sebuah peristiwa. Dengan demikian, semoga tahun ini bukanlah tahun terakhir denyut SIEM.
Berbagai pergolakan, berdebatan, kontroversi yang menyertainya justru semakin menjadikannya dewasa, introspeksi untuk menghadirkan sebuah tontonan yang berbobot bagi masyarakat seutuhnya. Atau bisa pula sebaliknya, serangan dan kontradiksi yang ada menjadikannya gamang dan hingga akhirnya tutup usia.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesi Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut