Kuasa Raja di Era Milenia
Dwi
Tunggal Raja Keraton Surakarta, Sinuhun PB XIII Hangabehi dan Mahapatih
KGPH Panembahan Agung Tedjowulan, menjadi perhatian ribuan warga saat
berlangsungnya Kirab Agung Sewindu Tingalan Jumenengan Dalem SISKS PB
XIII, Minggu (17/6/2012). Banyak warga Solo dan sekitar yang ingin
mengetahui sosok rajanya yang selama ini hangat diberitakan media.
Terlebih momentum tersebut untuk pertama kali diberlangsungkan dengan
secara aklamasi menempatkan Hangabehi sebagai satu-satunya raja di
keraton Surakarta.
Raja Jawa (Mataram) dalam domain abad XXI
ternyata masih menyisakan detak auranya. Menjadi menarik kiranya untuk
mengetahui posisi raja masa kini dalam lingkaran zaman yang semakin
berubah ke arah moderenitas. Masihkan ia relevan memiliki kuasa atas
denyut legitimasi statusnya saat ini? Serta sejauh mana status itu mampu
dijalankan, sementara ia hidup dalam pusaran kerajaan (negara) yang
lebih besar?
Raja dan Legitimasinya
Darsiti Soeratman dalam salah satu bukunya yang berjudul Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (2000) menegaskan bahwa sejatinya seorang raja adalah ratu-binathara,
titisan dewa. Terminologi tersebut diambil sebelum Islam memasuki
belantara dunia keraton. Setelah Islam masuk, raja bukan lagi dianggap
sebagai jelmaan dewa, namun sebagai khalifahtullah yang artinya
utusan Tuhan (Allah) di dunia. Walaupun demikian, hal tersebut tidak
mengubah kekedudukan raja sebagai sang penguasa tertinggi (murbawasesa)
dalam struktur pemerintahan yang diembannya. Raja tetap memiliki
kekuasaan yang mutlak dan tak terbantahkan oleh siapapun. Tak hanya
dalam takaran domain raja di Jawa, namun hampir di segenap Nusantarapun
–bahkan dunia- awalnya memiliki kuasa dan peran serupa.
Raja lewat
selambu mitos pada dasarnya tereduksi sebagai orang terpilih,
satu-satunya, cakap dalam berbagai dimensi. Kekuasaannya yang tak
terbendung itu harus diimbangi dengan tindakan yang mempu memberi
goresan perlindungan dan pengayoman bagi rakyatnya. Ia adalah muara dari
jagat kecil di dunia (mikrokosmos) sebagai pusat pertalian berbagai
sumber kehidupan. Darinya tak hanya sekedar ketubuhan, namun pusaran
mistis, ekomoni, politik, hukum dan tentu saja kontrol kebudayaan.
Ucapannya adalah titah dan menjelma sebagai hukum tunggal, sementara
aura status dan tindak tanduknya adalah panutan transendental sekaligus
sesembahan ideal bagi rakyat.
Legitimiasinya tertampakkan dalam
berbagai hal tak terkecuali kebudayaan, dan seni adalah salah satu
contoh kecilnya. Seni-seni keraton misalnya dianggap sebagai seni kelas
tinggi, klasik dan adi lihung karena dipersembahkan untuk raja
(Sumarsam, 2003). Tidak semua orang dengan lentur mampu menerobos sekat
aturan untuk bisa bermain seni di depan raja. Hanya orang-orang terpilih
dan dianggap mumpuni yang diperbolehkan. Cerita itu yang disampaikan
Waridi (2000) saat empu karawitan Martopangrawit berolah seni dengan
serius demi mendapat kedudukan dan pengakuan ideal dalam bermain gamelan
di depan sang raja. Bahkan segala keindahan estetika dipersembahkan
untuk junjungannya itu. Lihatlah dominasi kesenian keraton di Jawa yang
tidak diketahui telusur siapa penciptanya. Karawitan contohnya, banyak
gending-gending berkualitas tinggi tercipta namun tak mampu ditelisik
siapa pengkaryanya. Semua karya agung itu di atas namakan raja. Merujuk
serat Wedhapradangga, disebutkan bahwa gending-gending itu
diciptakan oleh sang raja yang saat itu berkuasa. Walaupun pada
kenyataannya tidaklah demikian, yang baik menjadi milik raja, yang
dianggap tak bermutu dibuang.
Raja tak hanya menerima upeti dalam
bentuk materi, sanjungan politik namun juga sesembahan estetika.
Karenanya ia seolah mampu menggapai kekuasaan dalam segala aspek relung
kehidupan. Dianggap sosok yang paling mengerti dan mafhum dalam segala
persoalan. Tak ada kisah dalam serat yang menyebutkan prilaku negatif
dan menyimpang seorang raja. Pena sejarah dibuat menuruti lajur
kekuasaan. Sejarah dibuat atas tekanan. Pujian dan sanjungan tertanam
pada setiap epos dalam sejarah dokumentasi kekuasaan. Bagitulah manis
dan indahnya menjadi seorang raja. Namun sayang, dominasi dan
eksistensinya harus bangkrut tertelan waktu. Terlebih saat Nusantara
menapaki lajur hidupnya sebagai negara Republik Indonesia yang merdeka.
Raja dan negaranya berada dalam naungan ‘raja’ dan negara lain yang
lebih besar. Hak-hak istimewa dan prestisius yang dimiliki di atas harus
tertepikan.
Kuasa raja kemudian ompong dalam skala politik,
ekonomi dan hukum, namun sedikit masih mampu berdenyut dalam ruang
kultural. Pesta dan perayaan ritual kebudayaan masih diberlangsungkan
walau harus disuplai dari negara yang lebih besar. Tak berlebihan
kiranya jika raja dan penghuni keraton saat ini seolah menjadi
‘bangsawan pengangguran’. Kehadirannya hanya mengharap santunan upeti
dan uluran dr pemerintah. Sementara supremasi raja dalam bingkai
kebudayaan tak dipungkiri juga semakin surut. Mitos-mitos yang
mempertebal aura atas legitimasinya semakin keropos. Kuasa tradisi dan
gemerlap pesta ritual yang dulu dianggap agung-adi luhung kini justru
sering kali dianggap pula sebagai barang basi yang kono dan monoton.
Kalah bersaing dengan glamornya pesta-pesta lain yang dianggap lebih
populis. Raja dan keraton dalam rentan perjalanannya terseok dan tak
mampu dalam menarasikan kebutuhan zaman.
Raja di Batas Senja
Masih
perlukah adanya raja di nusantara dan Jawa saat ini? Sementara negara
yang lebih besar dengan pemimpin dan sistem pemerintahannya telah ada?
Pertanyaan tersebut menjadi diskusi menarik dan tiada habisnya. Terlebih
dengan mengikuti wacana yang berkembang saat penyatuan dua raja kembar
lalu di Surakarta. Bahkan tak jarang isu yang berhembus telah mengarah
pada aroma kekerasan. Uniknya, semua dicipta dari dalam keraton dengan
menempatkan raja dalam pusaran konfliknya.
Sudah bukan hal yang
aneh bahwa sejarah keraton apalagi Jawa (Mataram) sarat akan sengketa di
antara para pewaris, terlebih jika menyangkut masalah sukesi. Darsiti
dalam bukunya di atas menarasikan bahwa pergantian dan pelantikan
seorang raja sering berlangsung tidak mulus karena perebutan kekuasaan
yang terjadi antar pewaris. Oleh karena itu kejadian di Solo beberapa
waktu lalu sebenarnya adalah persoalan biasa dalam jagad sejarah
peradaban keraton.
Pesoalannya kemudian, peta perjalanan sejarah
posisi raja telah berubah. Di zaman milenia kini posisi raja tidak mampu
memberi goresan kuasa yang sepenuhnya. Raja tak lain hanya mampu
menjadi biksu penjaga kuil tua yang hampir roboh. Namun demikian bukan
berarti detak superioritasnya telah sirna. Masih banyak masyarakat
mencoba memaknai raja dengan menempatkan derajad imajinasi mitosnya yang
baru. Stereotipe keagungan raja sedikit demi sedikit terdekonstruksi.
Raja bukan semata tubuh yang sarat akan pusaran wahyu Illahi,
transenden, apalagi gaib. Raja masa kini adalah sosok ideal yang
harusnya mampu mendiasporakan berbagai tuntutan kehidupan yang lebih
realis.
Jangan heran kemudian jika ke depan sosok raja ataupun
calon raja adalah seorang dokter, arsitek, komponis, pemain bola, duta
besar, bupati, atau pilot dan tentara layaknya para pengeran di Inggris
yang begitu terkenal itu. Menjadi raja tak cukup dengan hanya duduk
manis sembari mengharap sanjungan upeti. Raja adalah masa kini adalah
manusia biasa yang juga harus mampu mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri. Mitos-mitos lama yang sudah tidak mampu lagi bercengkrama
dengan laju zaman sudah saatnya ditanggalkan. Tentu selain posisi
hidupnya yang lebih realis, raja dituntut mampu menunjukkan
tindak-tanduk sebagai muara acu dan panutan. Rakyat akan melihat dan
menilai sekecil apapun tentangnya.
Sudah bukan tempatnya lagi raja
harus memiliki istri dan selir yang banyak. Dalam acara jumenengan
(15/6/2012) raja menunjuk istri ketiganya sebagai permaisuri. Hal ini
menandaskan bahwa kuasa raja masih diperbolehkan memiliki pendamping
hidup lebih dari satu. Padahal raja masa kini bisa saja membuat sejarah
baru dengan menjadi duta keluarga berencana misalnya. Semua memungkinkan
dalam semangat memberi warna baru bagi raja di Nusantara dan Jawa pada
khususnya. Dengan demikian wajar jika raja dimungkinkan kembali menjadi
sosok panutan, sosok yang dielu-elukan oleh rakyatnya. Selain kuasa
dalam legalitas beban status dan episentrum dari jagat mikro, raja juga
mampu menggapai kehidupan yang lebih nyata dalam menggapai tanggung
jawab manusia ideal masa kini pada umumnya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar