Dangdut dalam Perayaan Mata Lelaki (dimuat di Jawapos edisi 13 April 2012)

 Dangdut dalam Perayaan Mata Lelaki 



Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah berupaya mendaftarkan dangdut sebagai warisan budaya dunia (UNESCO). Hal itu dikemukakan Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam Seminar Nasional Seni Tayub Nusantara yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Yayasan Kertagama, dan Sritex, Sabtu (7/4/2012).
Pertanyaannya kemudian, apa yang dapat kita amati dalam musik dangdut mutakhir? Selain menempatkan derajadnya sebagai salah satu musik rakyat, musik yang banyak digemari, dangdut juga mengguratkan pengertian akan feminitas wanita dalam bingkai erotika dan raga. Denyut dangdut tak lepas dari peran wanita yang memolesnya menjadi musik penuh ekspresi ketubuhan. Otomatis berbicara dangdut adalah berbicara ketubuhuan wanita. Hal ini bukanlah tema dan wacana baru, namun toh masih saja hangat untuk didiskusikan hingga detik ini.
Lewat musik dangdut, wanita menemukan sisi erotika yang kadang terselubung dan tertutup selambu dalam alih-alihnya sebagai luapan estetika. Dalam realitas nyata, erotika (pornografi) dirumahkan lewat dengung surau-surau dan dokma religius tapi dirayakan dalam panggung dangdut Nusantara. Goyangan dalam musik dangdut yang awalnya oleh Rhoma Irama dianggap sebagai virus yang harus dihindari kini malah tumbuh subur dan seolah abadi. Pelaku-pelaku dangdut ketubuhan adalah wanita yang awalnya dipelopori oleh Inul Daratista, Uut Permatasari, Anisa Bahar, Dewi Persik hingga Trio-Tiga Macan dan Julia Peres serta belum lagi pelaku di panggung-panggung rakyat. Otomatis dangdut mutakhir lebih memanjakan mata penonton daripada estetika bunyi asupan telinga. Makna dangdut terdekonstruksi, penampilan wanita bukan untuk belomba mencari kualitas ideal suara, namun eksploitasi goyangan. Ngebor, ngecor, patah-patah, gergaji, kayang adalah julukan yang menempatkan gerakan ketubuhan wanita menjadi tontonan yang kadang ekpresinya di luar batas estetika, menjurus pada erotika.
Hal ini diperkuat oleh klaim musikal yang mampu mengakomodasi gejolak gerakan tubuh dengan nama ‘dangdut koplo’ (Ari Nugroho, 2007). Dangdut jenis demikian lebih menempatkan kualitas musikal yang cenderung ‘keras’, ‘cepat’, ‘enerjik’,’menghentak’, dan penuh dinamika. Oleh karena itu, sesedih apapun lagu yang dibawakan, ujung-ujungnya dapat digoyangi. Dalam dangdut, kadang tak mengenal tema liriknya, yang penting goyang. Wanita menjadi subjek, yang kadang menghibur dan adakalanya juga miris.

Dari dan Untuk
Pembahasan tentang wanita (perempuan) digelar di manapun. Dari kolom surat kabar hingga tema acara di layar kaca. Hal itu semata demi menunjukkan bawa semangat diri wanita patut untuk diapresiasi, dihargai. Namun kadang, eksploitasi ruang pembahasan tentang wanita seolah menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk asing, aneh, berbeda, sehingga keberadaannya harus senantiasa dijelaskan. Wanita didengungkan masih menyimpan sejuta misteri. Laki-laki menjadi konsumen utama yang menikmatinya. Segala hasrat tentang wanita seolah memanjakan lelaki untuk lebih tau tentang sepak terjangnya. Otomatis, wanita kadang menjadi makhluk rekaan demi memenuhi imaji lelaki. Tak terkecuali –membahas- wanita dalam musik dangdut.
Awalnya, wanita hadir dalam musik dangdut dengan keanggunan, kesantunan dan feminitas dalam batasnya yang konon disebut ketimuran. Ida Laela, Elvi Sukaesi, Ike Nurjanah, Camelia Malik, Cici Paramida dan Ine Sintia menjadi simbol wanita dalam dangdut yang senyampang dengan kategori ‘ideal’ menurut tata dan norma emansipasi. Ekspresi tema lagu menjadi ekspresi ketubuhan mereka. Tak heran kadang mereka harus menitihkan air mata, sedih, suram tergambar dalam hayatan estetika musikalnya. Wanita dalam dangdut menjadi idaman dan idola yang kehadirannya tak kalah dengan pelaku di genre musik lain kala itu.
Namun dangdut mutahir tak lagi mampu menarasikan itu semua. Berbicara dangdut masa kini berarti berbicara tentang life style. Gaun malam yang biasanya menemani penyanyi dangdut era lama tertepikan dengan gaun yang super ketat dan rambut yang beraneka ragam warna. Semakin ketat semakin menambah dentum tepuk tangan penonton yang tentu saja mayoritas laki-laki. Wanita dan ketubuhannya tereksploitasi sedemikian rupa menuruti naluri dan sosok ideal dalam imaji laki-laki yang berhasrat semata demi erotika raga dan menggusur estetika.
Akibatnya, pelaku wanita dalam musik dangdut, baik di layar televisi, maupun panggung-panggung yang bertebaran di Nusantara (Jawa khususnya) banyak menempati posisi penilaian yang cenderung negatif oleh otoritas pengendali kuasa atas etika. Dicekal, diboikot, diharamkan, dilarang tampil di suatu tempat sudah menjadi makanan sehari-hari. Padahal, jika dicermati dengan bijak, wanita dalam konteks itu hanya menjadi biduk yang dikurbankan demi kepentingan beberapa pihak yang dengan tekun menyemai pundi-pundi keuntungan penuh pamrih. Media yang selama ini menjadi katalisator tak pernah tersentuh. Kenapa harus Inul kala itu yang menjadi bulan-bulanan sementara SCTV yang mengontrak dan menyiarkannya tak terkena getahnya. Sama halnya kenapa peminum dipenjarakan semetara pabrik minuman dibiarkan.
Banalitas wanita dalam musik dangdut muthakir menjadi ironi emansipasi yang selama ini didengung-dengungkan. Abad dangdut masa kini adalah abad wanita yang berbalut erotika. Tumbuh subur di panggung-panggung rakyak yang kehadirannya diamini, tak mampu diredam pasca pedebatan sengit saat Rhoma dan Inul dulu. Feminitas dirajut, dipermainkan sedemikian rupa memanjakan mata laki-laki yang melotot takjub karena besarnya aura seksualitas.
Tak hanya life style, demi menopang hasrat erotika wanita, lirik dangdutpun diolah. Semua dikonstruk, dibuat dan diselaraskan untuk mengamini misi erotika atau pronografi yang bersemayam pada musik dangdut. Siapa penciptanya? Semuanya adalah laki-laki. Pelantunnya? Tentu saja wanita. Penikmatnya? Tentu saja laki-laki. Dari laki-laki untuk laki-laki. Wanita hanya menjadi jembatan semata yang tanpa sadar telah tereksploitasi. Lirik lagu religi, persatuan, semangat kebersamaan ala Rhoma Irama tak lagi kontekstual dengan zaman masa kini, tergusur oleh misi yang lebih glamour dan populis.
Padahal dangdut sebagai suara musik pribumi harusnya mampu mewacanakan cita rasa ala Indonesia. Cita rasa yang dibangun atas dasar kesadaran kolektif guna mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Semangat mengembalikan dangdut dan wanita dalam garis estetika Nusantara bukan mustahil untuk kembali dikobarkan. Atau, jangan-jangan justru dangdut yang saat ini berbumbu erotika adalah sejatinya mencerminkan siapa kita? Mahkluk yang dilanda kegamangan antara kuatnya etika dan norma dengan pengaruh glamournya budaya kapilatis.
Ketubuhan wanita sekali lagi menjadi korban. Nah, masihkan bersemangat menjadikan dangdut masa kini sebagai warisan dunia?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut