Dangdut dalam Perayaan Mata Lelaki
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah berupaya mendaftarkan dangdut sebagai warisan budaya dunia (UNESCO). Hal itu dikemukakan Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam Seminar Nasional Seni Tayub Nusantara yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Yayasan Kertagama, dan Sritex, Sabtu (7/4/2012).
Pertanyaannya
kemudian, apa yang dapat kita amati dalam musik dangdut mutakhir? Selain
menempatkan derajadnya sebagai salah satu musik rakyat, musik yang
banyak digemari, dangdut juga mengguratkan pengertian akan feminitas
wanita dalam bingkai erotika dan raga. Denyut dangdut tak lepas dari
peran wanita yang memolesnya menjadi musik penuh ekspresi ketubuhan.
Otomatis berbicara dangdut adalah berbicara ketubuhuan wanita. Hal ini
bukanlah tema dan wacana baru, namun toh masih saja hangat untuk
didiskusikan hingga detik ini.
Lewat musik dangdut, wanita
menemukan sisi erotika yang kadang terselubung dan tertutup selambu
dalam alih-alihnya sebagai luapan estetika. Dalam realitas nyata,
erotika (pornografi) dirumahkan lewat dengung surau-surau dan dokma
religius tapi dirayakan dalam panggung dangdut Nusantara. Goyangan dalam
musik dangdut yang awalnya oleh Rhoma Irama dianggap sebagai virus yang
harus dihindari kini malah tumbuh subur dan seolah abadi. Pelaku-pelaku
dangdut ketubuhan adalah wanita yang awalnya dipelopori oleh Inul
Daratista, Uut Permatasari, Anisa Bahar, Dewi Persik hingga Trio-Tiga
Macan dan Julia Peres serta belum lagi pelaku di panggung-panggung
rakyat. Otomatis dangdut mutakhir lebih memanjakan mata penonton
daripada estetika bunyi asupan telinga. Makna dangdut terdekonstruksi,
penampilan wanita bukan untuk belomba mencari kualitas ideal suara,
namun eksploitasi goyangan. Ngebor, ngecor, patah-patah, gergaji, kayang
adalah julukan yang menempatkan gerakan ketubuhan wanita menjadi
tontonan yang kadang ekpresinya di luar batas estetika, menjurus pada
erotika.
Hal ini diperkuat oleh klaim musikal yang mampu
mengakomodasi gejolak gerakan tubuh dengan nama ‘dangdut koplo’ (Ari
Nugroho, 2007). Dangdut jenis demikian lebih menempatkan kualitas
musikal yang cenderung ‘keras’, ‘cepat’, ‘enerjik’,’menghentak’, dan
penuh dinamika. Oleh karena itu, sesedih apapun lagu yang dibawakan,
ujung-ujungnya dapat digoyangi. Dalam dangdut, kadang tak mengenal tema
liriknya, yang penting goyang. Wanita menjadi subjek, yang kadang
menghibur dan adakalanya juga miris.
Dari dan Untuk
Pembahasan
tentang wanita (perempuan) digelar di manapun. Dari kolom surat kabar
hingga tema acara di layar kaca. Hal itu semata demi menunjukkan bawa
semangat diri wanita patut untuk diapresiasi, dihargai. Namun kadang,
eksploitasi ruang pembahasan tentang wanita seolah menunjukkan bahwa
dirinya adalah makhluk asing, aneh, berbeda, sehingga keberadaannya
harus senantiasa dijelaskan. Wanita didengungkan masih menyimpan sejuta
misteri. Laki-laki menjadi konsumen utama yang menikmatinya. Segala
hasrat tentang wanita seolah memanjakan lelaki untuk lebih tau tentang
sepak terjangnya. Otomatis, wanita kadang menjadi makhluk rekaan demi
memenuhi imaji lelaki. Tak terkecuali –membahas- wanita dalam musik
dangdut.
Awalnya, wanita hadir dalam musik dangdut dengan
keanggunan, kesantunan dan feminitas dalam batasnya yang konon disebut
ketimuran. Ida Laela, Elvi Sukaesi, Ike Nurjanah, Camelia Malik, Cici
Paramida dan Ine Sintia menjadi simbol wanita dalam dangdut yang
senyampang dengan kategori ‘ideal’ menurut tata dan norma emansipasi.
Ekspresi tema lagu menjadi ekspresi ketubuhan mereka. Tak heran kadang
mereka harus menitihkan air mata, sedih, suram tergambar dalam hayatan
estetika musikalnya. Wanita dalam dangdut menjadi idaman dan idola yang
kehadirannya tak kalah dengan pelaku di genre musik lain kala itu.
Namun
dangdut mutahir tak lagi mampu menarasikan itu semua. Berbicara dangdut
masa kini berarti berbicara tentang life style. Gaun malam yang
biasanya menemani penyanyi dangdut era lama tertepikan dengan gaun yang
super ketat dan rambut yang beraneka ragam warna. Semakin ketat semakin
menambah dentum tepuk tangan penonton yang tentu saja mayoritas
laki-laki. Wanita dan ketubuhannya tereksploitasi sedemikian rupa
menuruti naluri dan sosok ideal dalam imaji laki-laki yang berhasrat
semata demi erotika raga dan menggusur estetika.
Akibatnya, pelaku
wanita dalam musik dangdut, baik di layar televisi, maupun
panggung-panggung yang bertebaran di Nusantara (Jawa khususnya) banyak
menempati posisi penilaian yang cenderung negatif oleh otoritas
pengendali kuasa atas etika. Dicekal, diboikot, diharamkan, dilarang
tampil di suatu tempat sudah menjadi makanan sehari-hari. Padahal, jika
dicermati dengan bijak, wanita dalam konteks itu hanya menjadi biduk
yang dikurbankan demi kepentingan beberapa pihak yang dengan tekun
menyemai pundi-pundi keuntungan penuh pamrih. Media yang selama ini
menjadi katalisator tak pernah tersentuh. Kenapa harus Inul kala itu
yang menjadi bulan-bulanan sementara SCTV yang mengontrak dan
menyiarkannya tak terkena getahnya. Sama halnya kenapa peminum
dipenjarakan semetara pabrik minuman dibiarkan.
Banalitas wanita
dalam musik dangdut muthakir menjadi ironi emansipasi yang selama ini
didengung-dengungkan. Abad dangdut masa kini adalah abad wanita yang
berbalut erotika. Tumbuh subur di panggung-panggung rakyak yang
kehadirannya diamini, tak mampu diredam pasca pedebatan sengit saat
Rhoma dan Inul dulu. Feminitas dirajut, dipermainkan sedemikian rupa
memanjakan mata laki-laki yang melotot takjub karena besarnya aura
seksualitas.
Tak hanya life style, demi menopang hasrat erotika
wanita, lirik dangdutpun diolah. Semua dikonstruk, dibuat dan
diselaraskan untuk mengamini misi erotika atau pronografi yang
bersemayam pada musik dangdut. Siapa penciptanya? Semuanya adalah
laki-laki. Pelantunnya? Tentu saja wanita. Penikmatnya? Tentu saja
laki-laki. Dari laki-laki untuk laki-laki. Wanita hanya menjadi jembatan
semata yang tanpa sadar telah tereksploitasi. Lirik lagu religi,
persatuan, semangat kebersamaan ala Rhoma Irama tak lagi kontekstual
dengan zaman masa kini, tergusur oleh misi yang lebih glamour dan
populis.
Padahal dangdut sebagai suara musik pribumi harusnya
mampu mewacanakan cita rasa ala Indonesia. Cita rasa yang dibangun atas
dasar kesadaran kolektif guna mencerminkan siapa diri kita sebenarnya.
Semangat mengembalikan dangdut dan wanita dalam garis estetika Nusantara
bukan mustahil untuk kembali dikobarkan. Atau, jangan-jangan justru
dangdut yang saat ini berbumbu erotika adalah sejatinya mencerminkan
siapa kita? Mahkluk yang dilanda kegamangan antara kuatnya etika dan
norma dengan pengaruh glamournya budaya kapilatis.
Ketubuhan wanita sekali lagi menjadi korban. Nah, masihkan bersemangat menjadikan dangdut masa kini sebagai warisan dunia?
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar