Kuasa Negara dalam Erotika (dimuat di Koran Joglosemar edisi 18 April 2012)

Kuasa Negara dalam Erotika


 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah berupaya mendaftarkan seni tayub dan dangdut sebagai warisan budaya dunia (UNESCO). Hal itu dikemukakan Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam Seminar Nasional Seni Tayub Nusantara yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Yayasan Kertagama, dan Sritex, Sabtu (7/4/2012).
Bukan satu hal yang baru, saat ini pemerintah gencar mengurus legalitas kepemilikan secara formal terkait dengan eksistensi seni-seni yang ada di Nusantara lewat badan hukum internasional. Setelah angklung, batik, keris, wayang, tari saman, saat ini giliran tayub dan dangdut yang diusulkan. Tak berlebihan kiranya jika sejumlah pertanyaan dilontarkan terkait dengan wacana tersebut. Apa yang terjadi setelah seni-seni tersebut diakui sebagai warisan dunia? Adakah perkembangan yang berarti? Atau justru hanya sekedar labirin politik dalam meraih ambisi yang penuh pamrih.
Sementara terkait dengan dangdut dan tayub justru agak berbeda dengan deretan seni lainnya. Bukankah dua kesenian tersebut selama ini cenderung kontroversial dengan balutan erotika ketubuhan. Atau justru ada tujuan yang mencoba disemai dalam wacana tersebut. Persoalan erotika dan raga dalam seni bukanlah satu hal yang baru. Pedebatan tentang kuasa pornografi dan erotika tak pernah lekang hingga detik ini.
Persoalan yang dianggap krusial bahkan oleh presiden sekalipun. Agus T Darmawan (Koran Tempo, 31 Maret 2012) mencatat bahwa khusus untuk masalah ini, presiden membentuk Satgas baru. Satgas itu bernama Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, yang dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 25/2012. Pembentukan satgas yang diketuai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 44/2008 tentang pornografi, dengan tugas pokok mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan pornografi termasuk dalam produk kebudayaan seperti kesenian misalnya.
Agaknya negara mencoba mendisiplinkan kesenian-kesenian yang dianggap ‘nakal’ lewat kuasa kontrol-mengontrol secara legal formal. Negara melakukan pengawasan secara panoptisme, dengan membuat seolah-solah seni-seni tersebut milik negara, mencerminkan jati diri bangsa sehingga harus dilakukan pengetatan dan kontrol yang efisien. Dengan demikian segala nilai yang dianggap melenceng dengan serta-merta harus dihapuskan dalam seni tersebut. Banyak pihak yang menilai bahwa erotika atau pronografi menjadi salah satu agenda besarnya. Seperti pandangan Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), negara saat ini sedang mencoba melakukan penjinakan dengan menciptakan wacana bahwa segala sesuatunya termasuk tubuh sedang diawasi, dikontrol dan dikendalilan secara masif.

Ketubuhan.
Erotika raga sejatinya tak luput dalam jepretan lensa sejarah pembentukan negeri ini. Lihatlah patung Datonta di desa Trunyan Kintamani yang telanjang bulat itu. Hal serupa juga dipahatkan di Candi Sukuh Jawa Tengah yang memamerkan relief lingga (kelamin laki-laki) yang berhadapan dengan yoni (kelamin wanita). Di candi itu pula berdiri gagah dan kokoh patung seorang pria yang memegang kelaminnya dalam keadaan tegak. Tak hanya dalam bentuknya yang tangible, erotika juga dirayakan dalam berbagai tetembangan di Jawa yang tertulis manis lewat Serat Centini. Martapangrawit, seorang komposer gamelan di Jawa pernah mencipta satu gending yang sangat ‘menggairahkan’. Namun toh tak semua orang mampu menangkapnya karena terbalut dengan teks sastra Jawa yang tinggi. Lewat nomor gending “Rembun”, ia menceritakan keindahan rambut kemaluan wanita dengan mempesona. Bak menguak misteri dalam lukisan Davinci seperti digambarkan dalam film ‘Davinci Code’ besutan sutradara Ron Howard, karya Martapangrawit itu terselubung namun bernas arti. Bahkan bagi para pengrawit di Jawa, karya itu lebih membuat bulu kuduk berdiri dari pada erotika tubuh yang kita lihat secara visual.
Seni tradisi mengamini aroma erotika, dirayakan secara besar-besaran. Pengejawantahannya tertuang lewat dentum gamelan, gerak Tayub (seperti Gandrung, Joget Bumbung, Lengger, Tandakan) bahkan hingga Dangdut. Pornografi berulangkali mencoba untuk dirumahkan namun toh selalu saja dirayakan di berbagai kesempatan. Tubuh adalah agen utama. Negara kemudian dianggap berkepentingan untuk mengatur gerak, pakaian, dandanan secara visual. Lihatlah kemudian tari tayub garapan ISI Solo dalam acara Festival Tayub Nusantara 8-9 April 2012 kemarin. Tayub digubah, didekontruksi menurut tatacara dengan alih-alih yang lebih mendidik, sopan dan santun. Tayub versi kaum intelektual yang justru malah lebih lucu, banal, digarap seolah menyerupai kesenian keraton bukan lagi kerakyatan.
Tubuh bukan semata kumpulan tulang dan daging yang dirangkai sedemikian rupa hingga menjadi keajaiban medis, tapi tubuh juga sebuah ‘diri’. Dengan demikian, tubuh tidak hanya sebatas kumpulan makna bendawi semata, namun tubuh memiliki berbagai sisi yang sosial. Kemudian berbagai pergulatan untuk menempatkan tubuh sebagai diri diberlangsungkan, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup dan mati, serta bagaimana ia harus dicintai, digerakkan sekaligus dikekang dengan pengawasan.

Panoptisisme
Foucault menyebut panotisisme (panopticism) sebagai suatu model penerapan teknologi disiplin, baik metode-metode maupun sarana-sarananya, yang keras dan ketat menurut pemikiran yang sebelumnya dirancang oleh J. Bentham (1785) untuk lingkungan lembaga pemasyarakatan di Inggris. Gagasan dasarnya bahwa panoptisisme merupakan bentuk pengendalian tubuh, ruang, sosial, dan ekonomi, yang dilakukan oleh agen sosial yakni pemerintah untuk menciptakan kesan pendisiplinan.
Panoptisisme membuat si target kelihatan senantiasa diawasi. Caranya dengan membuat simbol-simbol atau aturan yang seolah membina namun secara tak langsung juga mengontrol bahkan berperan serta untuk menghakimi. Panoptic dirasa efisien dan tak membutuhkan banyak tenaga. Semisal penempatan CCTV di lembaga pemasyarakatan. Tanpa harus ada penjaga (sipir), tahanan seolah selalu diawasi gerak-geriknya lewat layar monitor. Padahal bisa jadi CCTV itu tak berfungsi, hanya sebagai gertak ‘kuasa kesan’ semata. Begitulah teori panoptic bekerja. Senantiasa menumbuhakan kesan bahwa negara selalu hadir dan mengetahui setiap detak kegiatan. Sama halnya kasus petrus (penembak misterius) era Orde Baru yang tiba-tiba menciduk orang-orang tertentu, membuang mayatnya di tengah jalan dengan sayatan dan tembakan peluru di kepalanya. Negara menggoreskan pesan tersirat bahwa semua diawasi, ‘jangan macam-macam’.
Dibentuknya satgas anti pornografi beberapa waktu lalu tentu tak kuasa memantau semua kegiatan yang berbau erotika. Kalaupun dirumuskan dalam jabaran undang-undang juga terlalu sumir. Mentok jika dihadapkan pada pertanyaan, bagaimana kriteria seseorang disebut porno dan tidak? Bukankah semua ada di kepala masing-masing individu yang melihatnya? Apa negara mau mengatur isi kepala seseorang? Sulit untuk diterapkan karena tak berdasar logika yang jelas. Jalan keluarnya mudah, membuat panoptic berupa kesan bahwa ruang-ruang (kesenian) yang selama ini nampak erotik adalah produk cerminan dari budaya jati diri kita. Tayub dan dangdut atau bahkan mungkin lukisan telanjang tubuh wanita merupakan bagian dari salah satu di antaranya. Negara atau institusi seni semacam ISI menjadi seolah berkepentingan untuk mengontrol dan mengawasi selalu. Memprihatainkan memang.  
Awas, jangan-jangan anda sekarang juga dalam pengawasan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut