Kuasa Negara dalam Erotika
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tengah berupaya mendaftarkan seni tayub dan
dangdut sebagai warisan budaya dunia (UNESCO). Hal itu dikemukakan Wakil
Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu
Nuryanti dalam Seminar Nasional Seni Tayub Nusantara yang
diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta, Yayasan Kertagama, dan Sritex, Sabtu
(7/4/2012).
Bukan satu hal yang baru, saat ini pemerintah gencar
mengurus legalitas kepemilikan secara formal terkait dengan eksistensi
seni-seni yang ada di Nusantara lewat badan hukum internasional. Setelah
angklung, batik, keris, wayang, tari saman, saat ini giliran tayub dan
dangdut yang diusulkan. Tak berlebihan kiranya jika sejumlah pertanyaan
dilontarkan terkait dengan wacana tersebut. Apa yang terjadi setelah
seni-seni tersebut diakui sebagai warisan dunia? Adakah perkembangan
yang berarti? Atau justru hanya sekedar labirin politik dalam meraih
ambisi yang penuh pamrih.
Sementara terkait dengan dangdut dan
tayub justru agak berbeda dengan deretan seni lainnya. Bukankah dua
kesenian tersebut selama ini cenderung kontroversial dengan balutan
erotika ketubuhan. Atau justru ada tujuan yang mencoba disemai dalam
wacana tersebut. Persoalan erotika dan raga dalam seni bukanlah satu hal
yang baru. Pedebatan tentang kuasa pornografi dan erotika tak pernah
lekang hingga detik ini.
Persoalan yang dianggap krusial bahkan
oleh presiden sekalipun. Agus T Darmawan (Koran Tempo, 31 Maret 2012)
mencatat bahwa khusus untuk masalah ini, presiden membentuk Satgas baru.
Satgas itu bernama Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi,
yang dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 25/2012. Pembentukan
satgas yang diketuai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung
Laksono. Sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 44/2008 tentang
pornografi, dengan tugas pokok mengkoordinasikan upaya pencegahan dan
penanganan pornografi termasuk dalam produk kebudayaan seperti kesenian
misalnya.
Agaknya negara mencoba mendisiplinkan kesenian-kesenian
yang dianggap ‘nakal’ lewat kuasa kontrol-mengontrol secara legal
formal. Negara melakukan pengawasan secara panoptisme, dengan membuat
seolah-solah seni-seni tersebut milik negara, mencerminkan jati diri
bangsa sehingga harus dilakukan pengetatan dan kontrol yang efisien.
Dengan demikian segala nilai yang dianggap melenceng dengan serta-merta
harus dihapuskan dalam seni tersebut. Banyak pihak yang menilai bahwa
erotika atau pronografi menjadi salah satu agenda besarnya. Seperti
pandangan Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison
(1977), negara saat ini sedang mencoba melakukan penjinakan dengan
menciptakan wacana bahwa segala sesuatunya termasuk tubuh sedang
diawasi, dikontrol dan dikendalilan secara masif.
Ketubuhan.
Erotika
raga sejatinya tak luput dalam jepretan lensa sejarah pembentukan
negeri ini. Lihatlah patung Datonta di desa Trunyan Kintamani yang
telanjang bulat itu. Hal serupa juga dipahatkan di Candi Sukuh Jawa
Tengah yang memamerkan relief lingga (kelamin laki-laki) yang berhadapan
dengan yoni (kelamin wanita). Di candi itu pula berdiri gagah dan kokoh
patung seorang pria yang memegang kelaminnya dalam keadaan tegak. Tak
hanya dalam bentuknya yang tangible, erotika juga dirayakan
dalam berbagai tetembangan di Jawa yang tertulis manis lewat Serat
Centini. Martapangrawit, seorang komposer gamelan di Jawa pernah
mencipta satu gending yang sangat ‘menggairahkan’. Namun toh tak semua
orang mampu menangkapnya karena terbalut dengan teks sastra Jawa yang
tinggi. Lewat nomor gending “Rembun”, ia menceritakan keindahan rambut
kemaluan wanita dengan mempesona. Bak menguak misteri dalam lukisan
Davinci seperti digambarkan dalam film ‘Davinci Code’ besutan sutradara
Ron Howard, karya Martapangrawit itu terselubung namun bernas arti.
Bahkan bagi para pengrawit di Jawa, karya itu lebih membuat bulu kuduk
berdiri dari pada erotika tubuh yang kita lihat secara visual.
Seni
tradisi mengamini aroma erotika, dirayakan secara besar-besaran.
Pengejawantahannya tertuang lewat dentum gamelan, gerak Tayub (seperti
Gandrung, Joget Bumbung, Lengger, Tandakan) bahkan hingga Dangdut.
Pornografi berulangkali mencoba untuk dirumahkan namun toh selalu saja
dirayakan di berbagai kesempatan. Tubuh adalah agen utama. Negara
kemudian dianggap berkepentingan untuk mengatur gerak, pakaian, dandanan
secara visual. Lihatlah kemudian tari tayub garapan ISI Solo dalam
acara Festival Tayub Nusantara 8-9 April 2012 kemarin. Tayub digubah,
didekontruksi menurut tatacara dengan alih-alih yang lebih mendidik,
sopan dan santun. Tayub versi kaum intelektual yang justru malah lebih
lucu, banal, digarap seolah menyerupai kesenian keraton bukan lagi
kerakyatan.
Tubuh bukan semata kumpulan tulang dan daging yang
dirangkai sedemikian rupa hingga menjadi keajaiban medis, tapi tubuh
juga sebuah ‘diri’. Dengan demikian, tubuh tidak hanya sebatas kumpulan
makna bendawi semata, namun tubuh memiliki berbagai sisi yang sosial.
Kemudian berbagai pergulatan untuk menempatkan tubuh sebagai diri
diberlangsungkan, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup
dan mati, serta bagaimana ia harus dicintai, digerakkan sekaligus
dikekang dengan pengawasan.
Panoptisisme
Foucault menyebut panotisisme (panopticism)
sebagai suatu model penerapan teknologi disiplin, baik metode-metode
maupun sarana-sarananya, yang keras dan ketat menurut pemikiran yang
sebelumnya dirancang oleh J. Bentham (1785) untuk lingkungan lembaga
pemasyarakatan di Inggris. Gagasan dasarnya bahwa panoptisisme merupakan
bentuk pengendalian tubuh, ruang, sosial, dan ekonomi, yang dilakukan
oleh agen sosial yakni pemerintah untuk menciptakan kesan pendisiplinan.
Panoptisisme
membuat si target kelihatan senantiasa diawasi. Caranya dengan membuat
simbol-simbol atau aturan yang seolah membina namun secara tak langsung
juga mengontrol bahkan berperan serta untuk menghakimi. Panoptic dirasa
efisien dan tak membutuhkan banyak tenaga. Semisal penempatan CCTV di
lembaga pemasyarakatan. Tanpa harus ada penjaga (sipir), tahanan seolah
selalu diawasi gerak-geriknya lewat layar monitor. Padahal bisa jadi
CCTV itu tak berfungsi, hanya sebagai gertak ‘kuasa kesan’ semata.
Begitulah teori panoptic bekerja. Senantiasa menumbuhakan kesan bahwa
negara selalu hadir dan mengetahui setiap detak kegiatan. Sama halnya
kasus petrus (penembak misterius) era Orde Baru yang tiba-tiba menciduk
orang-orang tertentu, membuang mayatnya di tengah jalan dengan sayatan
dan tembakan peluru di kepalanya. Negara menggoreskan pesan tersirat
bahwa semua diawasi, ‘jangan macam-macam’.
Dibentuknya satgas anti
pornografi beberapa waktu lalu tentu tak kuasa memantau semua kegiatan
yang berbau erotika. Kalaupun dirumuskan dalam jabaran undang-undang
juga terlalu sumir. Mentok jika dihadapkan pada pertanyaan, bagaimana
kriteria seseorang disebut porno dan tidak? Bukankah semua ada di kepala
masing-masing individu yang melihatnya? Apa negara mau mengatur isi
kepala seseorang? Sulit untuk diterapkan karena tak berdasar logika yang
jelas. Jalan keluarnya mudah, membuat panoptic berupa kesan bahwa
ruang-ruang (kesenian) yang selama ini nampak erotik adalah produk
cerminan dari budaya jati diri kita. Tayub dan dangdut atau bahkan
mungkin lukisan telanjang tubuh wanita merupakan bagian dari salah satu
di antaranya. Negara atau institusi seni semacam ISI menjadi seolah
berkepentingan untuk mengontrol dan mengawasi selalu. Memprihatainkan
memang.
Awas, jangan-jangan anda sekarang juga dalam pengawasan.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar