Ibu dalam Narasi Tembang Pengantar Tidur
Tak
lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu
rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo
wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa,
wis cup menenga anakku, kae mbulane ndadari....
Sepenggal
tembang di atas tentu sangat lekat dalam memori masyarakat Jawa untuk
menghantarkan mereka ke peraduan tidur di masa kecilnya. Aktor di balik
lagu tersebut adalah seorang ibu. Semangat emansipasi yang ditorehkan
Kartini tentu tidak hanya berusaha menjadikan wanita dalam militansi
upaya kesetaraan dengan laki-laki. Tapi juga menjadikan wanita kembali
pada kodratnya yang paling hakiki, yakni seorang ibu. Ironisnya, peran
ibu kini terdekonstruksi dengan stereotip yang melekat atas nama
emansipasi. Ibu di masa kini bukan lagi seorang ‘artis’ yang mampu
memberi guratan pesan lewat kuasa tembang-tembang indah dalam ‘kamar
imajiner’ bagi sang anak.
Persoalan musik pengantar tidur yang
dilantunkan oleh seorang ibu mungkin terlihat sepele dan mampu
tergantikan dengan kuasa teknologi di masa kini. Namun lebih dari itu,
tembang pengantar tidur tidak sebatas untaian nada dan teks musikal.
Tembang pengantar tidur adalah medium yang menyatukan ibu dengan anak
dalam bingkai pertalian kehidupan. Ruang untuk mendekatkan aura
kebersamaan, psikologis, dan kasih sayang. Medan yang berusaha
menjejalkan berbagai ajaran dalam mencerna kehidupan dunia lewat
kekuatan tema dan liriknya.
Lebih dari Sekedar Bunyi
Sengaja
saya sebut tembang untuk lebih membatasi bahwa lagu di atas dan
lagu-lagu pengantar tidur lainnya dinyanyikan secara solo oleh seorang
ibu dengan materi bahasa atau teks musikal yang kebanyakan bersumber
dari bahasa (akar rumput) daerah setempat. Jika di Jawa ada leloledung, di Madura ada dung endung, kiwak ruta-riti di Banyumas.
Komunikasi
yang dibangun melalui tembang pengantar tidur tidak hanya mampu
menghantarkan anak ke peraduan tidurnya. Namun juga mampu dalam
membentuk karakter, intelejensia, wawasan dalam diri anak. Pada konteks
inilah tembang pengantar tidur menjadi jenis lagu paling radikal bagi
sang ibu untuk mengolah suplemen musikal dalam takaran imajinasi yang
bebas, penuh fantasi dan daya pikat yang mandiri. Tembang pengantar
tidur membuka peluang bagi ibu untuk menjadi kreator musik paling hakiki
dengan kebebasan kreativitas yang mutlak dan sah tanpa harus takut
terusut dengan hukum baku nada dan bunyi.
Lewat tembang itu,
kedekatan yang terjalin antara ibu dan anak tidak semata hanya kedekatan
darah, namun juga artistik dan estetika. Lirik yang tidak semata harus
puisi, pantun bahkan macapat dan dandang gula. Terkadang masalah anak
dan solusinya menjadi medium yang pas dalam mengkonstruksi tema tembang
pengantar tidur ini. Otomatis, selain berusaha memberikan solusi
terhadap masalah yang dihadapi anak, tembang yang dilantunkan ibu juga
mampu mengguratkan aura bunyi yang menenangkan secara psikologis.
Tembang pengantar tidur menjadi asupan nada dan bunyi paling awal yang
dikenalkan pada sang anak sebelum memasuki kelindan belantara bunyi yang
sesungguhnya. Di sinilah ibu menunjukkan peran yang sejatinya. Mampu
menjadi komponis musik lewat tembang-tembangnya, menjadi sastrawan lewat
lirik musikalnya, menjadi aktris lewat mimik muka dan sekaligus menjadi
badan sensor yang hanya memberi asupan berguna bagi sang anak.
Di
tangan ibu, semua tema bisa menjadi tembang yang indah. Isi biasanya
berkisar tentang budi pekerti, kebaikan, tuntunan sekaligus harapan dan
doa bagi sang anak agar menjadi manusia utama. Manusia pilihan yang
dirajut lewat lirik tembang. Hal tersebut seolah mengajak kita untuk
berkontemplasi dan merenungkan kembali arti serta makna musik dewasa
ini. Musik sejatinya tak hanya berhenti dalam takaran nada dan melodi
yang indah. Musik sebagai sebuah bunyi mencoba menarasikan alam
imajinasi personal yang subjektif dalam diri pelantun menjadi alam
sosial yang objektif bagi pendengar atau audiens. Pada titik inilah
musik membutuhkan katalisator yang tepat, dan ibu adalah salah satunya.
Melalui otak-atik nada, lirik, melodi, tembang pengantar tidur tidak
membeku dalam takaran normatif semata. Namun mencair dalam kehangatan
kasih sayang yang dibangun dengan sang anak.
Sayangnya, pola
interaksi yang dibangun lewat tembang pengantar tidur menjadi kurang
begitu terbuka untuk dihadirkan di masa kini. Masa di mana anak lebih
asyik berkutat dengan televisi, hp, laptop, tablet dan sejenisnya. Kuasa
sang ibu tergantikan dengan tembang-tembang masa kini yang keluar dari
mesin-mesin canggih tersebut. Ibu kehilangan satu momen berharga dalam
meletakkan pondasi dialektika dan pertemuan nalar imajinasi positif
dengan sang anak. Semangat emansipasi yang didengung-dengungkan selama
ini justru mendekostruksi peran wanita yang sesungguhnya sebagai ibu.
Titik tolak keberhasilan wanita masa kini tidak lagi diukur sebagaimana
kuasanya dalam menjadi ‘artis’ yang baik bagi anaknya. Namun dengan
berbagai posisi dan jabatan penting dalam ruang lingkup sosial yang
diraihnya. Jangan heran jika kemudian profil ideal emansipasi wanita
masa kini adalah seorang pedagang yang sukses, pembisnis, pejabat
publik, ekonom, pilot, arsitek, dokter, bukan ibu dan penembang yang
baik.
Musik Anak
Tembang pengantar
tidur sejatinya mencoba membangkitkan spirit musik anak yang saat ini
telah bangkrut tergusur dengan bunyi-bunyian glamour dengan kisah
cinta-cintaan dan asmara semata. Di sisi lain, apabila diolah dengan
cara dan pendekatan tema yang lebih canggih bukan mustahil akan
menghasilkan perspektif baru bagi anak dalam memandang dan membentuk
dunianya. Maka meminjam pandangan yang dibangun Faisal Kamandobat
(2005), kembalikan kodrat seorang ibu sebagai vokalis, artis, sastrawan
dan pendongeng yang bijak bagi anaknya. Tembang pengantar tidur bukanlah
sebuah pertunjukan musikal yang dipertontonkan di atas pangung, tapi
menari-nari di atas kehidupan.
Ibu dapat berhayal sejauh dalam
dosisnya yang tepat untuk meramu dan meracik tema tembang bagi sang
anak. Momen inilah yang dapat mendekostruksi bahwa lagu anak masa kini
telah mati. Hilang dalam kuasa teknologi dan media bukan berarti hilang
pula dalam kuasa seorang ibu. Kamar anak menjadi laboratorium yang
berisi berbagai penemuan dan eksplorasi kreativitas tanpa batas. Sebuah
karya musik besar sesungguhnya telah lahir di kamar itu. Karya yang
lebih menggema merdu di telinga sang anak, kedudukannya belum tentu
mampu tergantikan dalam berbagai bunyi yang keluar lewat mesin-mesin
abad muthakir.
Anak-anak diperkenalkan dengan dunianya.
Dipertemukan dengan bunyi yang sesungguhnya. Bunyi yang tulus dan keluar
dari hati seorang ibu. Bahkan tak jarang asupan bunyi tersebut akan
berkelindan hingga sang anak dewasa. Mengenang seorang ibu bukan dari
jabatan, harta serta kuasa publik yang dimilikinya, tapi lewat suara dan
sentuhan bunyi nada dari mulutnya. Musik mampu menyatukan, mampu
membuat manusia lebih arif dalam menyikapi dunianya. Otomatis, seberat
dan secapek apapun dunia kerja yang dilakukan seorang ibu, ia harus
tersenyum dan penuh kehangatan bagi anaknya. Dan musik –tetembangan
pengantar tidur- mampu menarasikan dan menjembatani batas-batas itu
semua.
Semangat hari Kartini tidak hanya mampu digairahkan dan
dirayakan dengan berbagai capaian glamour keberhasilan seorang wanita.
Namun juga dirayakan lewat musik dan tembang. Dengan demikian wajar jika
di Solo menggelar festival lagu pengantar tidur bagi ibu tepat pada
hari Kartini tanggal 21 April 2012 di Taman Balekambang. Bagaimanapun,
ibu adalah muara bakat, panutan bagi anaknya. Selamat hari Kartini dan
selamat menembang kembali.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar