Ibu dalam Narasi Tembang Pengantar Tidur (dimuat di Jawapos edisi 22 April 2012)

 Ibu dalam Narasi Tembang Pengantar Tidur




Tak lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup menenga anakku, kae mbulane ndadari....

Sepenggal tembang di atas tentu sangat lekat dalam memori masyarakat Jawa untuk menghantarkan mereka ke peraduan tidur di masa kecilnya. Aktor di balik lagu tersebut adalah seorang ibu. Semangat emansipasi yang ditorehkan Kartini tentu tidak hanya berusaha menjadikan wanita dalam militansi upaya kesetaraan dengan laki-laki. Tapi juga menjadikan wanita kembali pada kodratnya yang paling hakiki, yakni seorang ibu. Ironisnya, peran ibu kini terdekonstruksi dengan stereotip yang melekat atas nama emansipasi. Ibu di masa kini bukan lagi seorang ‘artis’ yang mampu memberi guratan pesan lewat kuasa tembang-tembang indah dalam ‘kamar imajiner’ bagi sang anak.
Persoalan musik pengantar tidur yang dilantunkan oleh seorang ibu mungkin terlihat sepele dan mampu tergantikan dengan kuasa teknologi di masa kini. Namun lebih dari itu, tembang pengantar tidur tidak sebatas untaian nada dan teks musikal. Tembang pengantar tidur adalah medium yang menyatukan ibu dengan anak dalam bingkai pertalian kehidupan. Ruang untuk mendekatkan aura kebersamaan, psikologis, dan kasih sayang. Medan yang berusaha menjejalkan berbagai ajaran dalam mencerna kehidupan dunia lewat kekuatan tema dan liriknya.

Lebih dari Sekedar Bunyi
Sengaja saya sebut tembang untuk lebih membatasi bahwa lagu di atas dan lagu-lagu pengantar tidur lainnya dinyanyikan secara solo oleh seorang ibu dengan materi bahasa atau teks musikal yang kebanyakan bersumber dari bahasa (akar rumput) daerah setempat. Jika di Jawa ada leloledung, di Madura ada dung endung, kiwak ruta-riti di Banyumas.
Komunikasi yang dibangun melalui tembang pengantar tidur tidak hanya mampu menghantarkan anak ke peraduan tidurnya. Namun juga mampu dalam membentuk karakter, intelejensia, wawasan dalam diri anak. Pada konteks inilah tembang pengantar tidur menjadi jenis lagu paling radikal bagi sang ibu untuk mengolah suplemen musikal dalam takaran imajinasi yang bebas, penuh fantasi dan daya pikat yang mandiri. Tembang pengantar tidur membuka peluang bagi ibu untuk menjadi kreator musik paling hakiki dengan kebebasan kreativitas yang mutlak dan sah tanpa harus takut terusut dengan hukum baku nada dan bunyi.
Lewat tembang itu, kedekatan yang terjalin antara ibu dan anak tidak semata hanya kedekatan darah, namun juga artistik dan estetika. Lirik yang tidak semata harus puisi, pantun bahkan macapat dan dandang gula. Terkadang masalah anak dan solusinya menjadi medium yang pas dalam mengkonstruksi tema tembang pengantar tidur ini. Otomatis, selain berusaha memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi anak, tembang yang dilantunkan ibu juga mampu mengguratkan aura bunyi yang menenangkan secara psikologis. Tembang pengantar tidur menjadi asupan nada dan bunyi paling awal yang dikenalkan pada sang anak sebelum memasuki kelindan belantara bunyi yang sesungguhnya. Di sinilah ibu menunjukkan peran yang sejatinya. Mampu menjadi komponis musik lewat tembang-tembangnya, menjadi sastrawan lewat lirik musikalnya, menjadi aktris lewat mimik muka dan sekaligus menjadi badan sensor yang hanya memberi asupan berguna bagi sang anak.
Di tangan ibu, semua tema bisa menjadi tembang yang indah. Isi biasanya berkisar tentang budi pekerti, kebaikan, tuntunan sekaligus harapan dan doa bagi sang anak agar menjadi manusia utama. Manusia pilihan yang dirajut lewat lirik tembang. Hal tersebut seolah mengajak kita untuk berkontemplasi dan merenungkan kembali arti serta makna musik dewasa ini. Musik sejatinya tak hanya berhenti dalam takaran nada dan melodi yang indah. Musik sebagai sebuah bunyi mencoba menarasikan alam imajinasi personal yang subjektif dalam diri pelantun menjadi alam sosial yang objektif bagi pendengar atau audiens. Pada titik inilah musik membutuhkan katalisator yang tepat, dan ibu adalah salah satunya. Melalui otak-atik nada, lirik, melodi, tembang pengantar tidur tidak membeku dalam takaran normatif semata. Namun mencair dalam kehangatan kasih sayang yang dibangun dengan sang anak.
Sayangnya, pola interaksi yang dibangun lewat tembang pengantar tidur menjadi kurang begitu terbuka untuk dihadirkan di masa kini. Masa di mana anak lebih asyik berkutat dengan televisi, hp, laptop, tablet dan sejenisnya. Kuasa sang ibu tergantikan dengan tembang-tembang masa kini yang keluar dari mesin-mesin canggih tersebut. Ibu kehilangan satu momen berharga dalam meletakkan pondasi dialektika dan pertemuan nalar imajinasi positif dengan sang anak. Semangat emansipasi yang didengung-dengungkan selama ini justru mendekostruksi peran wanita yang sesungguhnya sebagai ibu. Titik tolak keberhasilan wanita masa kini tidak lagi diukur sebagaimana kuasanya dalam menjadi ‘artis’ yang baik bagi anaknya. Namun dengan berbagai posisi dan jabatan penting dalam ruang lingkup sosial yang diraihnya. Jangan heran jika kemudian profil ideal emansipasi wanita masa kini adalah seorang pedagang yang sukses, pembisnis, pejabat publik, ekonom, pilot, arsitek, dokter, bukan ibu dan penembang yang baik.

Musik Anak
Tembang pengantar tidur sejatinya mencoba membangkitkan spirit musik anak yang saat ini telah bangkrut tergusur dengan bunyi-bunyian glamour dengan kisah cinta-cintaan dan asmara semata. Di sisi lain, apabila diolah dengan cara dan pendekatan tema yang lebih canggih bukan mustahil akan menghasilkan perspektif baru bagi anak dalam memandang dan membentuk dunianya. Maka meminjam pandangan yang dibangun Faisal Kamandobat (2005), kembalikan kodrat seorang ibu sebagai vokalis, artis, sastrawan dan pendongeng yang bijak bagi anaknya. Tembang pengantar tidur bukanlah sebuah pertunjukan musikal yang dipertontonkan di atas pangung, tapi menari-nari di atas kehidupan.
Ibu dapat berhayal sejauh dalam dosisnya yang tepat untuk meramu dan meracik tema tembang bagi sang anak. Momen inilah yang dapat mendekostruksi bahwa lagu anak masa kini telah mati. Hilang dalam kuasa teknologi dan media bukan berarti hilang pula dalam kuasa seorang ibu. Kamar anak menjadi laboratorium yang berisi berbagai penemuan dan eksplorasi kreativitas tanpa batas. Sebuah karya musik besar sesungguhnya telah lahir di kamar itu. Karya yang lebih menggema merdu di telinga sang anak, kedudukannya belum tentu mampu tergantikan dalam berbagai bunyi yang keluar lewat mesin-mesin abad muthakir.
Anak-anak diperkenalkan dengan dunianya. Dipertemukan dengan bunyi yang sesungguhnya. Bunyi yang tulus dan keluar dari hati seorang ibu. Bahkan tak jarang asupan bunyi tersebut akan berkelindan hingga sang anak dewasa. Mengenang seorang ibu bukan dari jabatan, harta serta kuasa publik yang dimilikinya, tapi lewat suara dan sentuhan bunyi nada dari mulutnya. Musik mampu menyatukan, mampu membuat manusia lebih arif dalam menyikapi dunianya. Otomatis, seberat dan secapek apapun dunia kerja yang dilakukan seorang ibu, ia harus tersenyum dan penuh kehangatan bagi anaknya. Dan musik –tetembangan pengantar tidur- mampu menarasikan dan menjembatani batas-batas itu semua.
Semangat hari Kartini tidak hanya mampu digairahkan dan dirayakan dengan berbagai capaian glamour keberhasilan seorang wanita. Namun juga dirayakan lewat musik dan tembang. Dengan demikian wajar jika di Solo menggelar festival lagu pengantar tidur bagi ibu tepat pada hari Kartini tanggal 21 April 2012 di Taman Balekambang. Bagaimanapun, ibu adalah muara bakat, panutan bagi anaknya. Selamat hari Kartini dan selamat menembang kembali.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut