Mempertanyakan Manfaat AMI
Anugerah
Musik Indonesia (AMI) beberapa hari lalu telah usai diberlangsungkan (4
Juli 2012). Berbagai penghargaan mulai dari artis solo terbaik hingga
band dan album terbaik dicetuskan. Namun demikian menjadi menarik untuk
kita pertanyakan pula, sejauh mana AMI turut serta dalam membangun
percaturan musik Indonesia dewasa ini? Sumbangan apa yang diberikan
sehingga musik Indonesia mampu berproses dengan lebih baik ke depan?
Atau justru sebaliknya, AMI hanyalah representasi dari acara-acara
serupa di negeri impian ‘ala Hollywood’ dengan hanya mengandalkan sisi
glamour yang tak mampu memberi sentuhan mendalam akan bingkai
keindonesiaan
Transformasi Bunyi
Tak
dipungkiri, sama dengan fashion, musik kini menjadi gaya hidup. Memilih
jalur musik tertentu berarti mengafirmasi kuasa atas status, prestise
dan harga diri seseorang. Tak ingin dianggap ketinggalan zaman, pengaruh
budaya bunyi yang dianggap lebih ‘moderen’ menyeruak kepermukaan
sebagai satu pilihan yang absolud. Benturan-benturan kebudayaan yang
selama ini terjadi antara Barat dan Timur menjadikan Indonesia harus
rela menepikan kebudayaan bunyinya sebagai satu ruang yang sub-dominan.
Gemerlap bunyi pop ala Eropa atau Amerika dianggapnya sebagai satu
kebudayaan maju-moderen yang layak menjadi panutan jika tidak ingin
disebut kuno atau katrok.
Sementara bunyi-bunyi yang selama ini
mencoba mewakili warna keindonesiaan semakin terkikis dalam pertarungan
kebudayaan yang sengit itu. Muncullah kemudian budaya simulakra, meniru
tanpa mampu memberi satu pewacanaan yang baru. Lahirlah biduan-biduan
imitasi ala Madonna, Britney Spears, Justin Bibber, Shakira, Adele atau
menjamurnya boy band Korea rekaan baru yang kadang tiada mampu
mempertimbangkan kualitas, hanya sebatas kulit luar alias aksesoris
semata. Mau dikata apalagi, konstruksi kebudayaan yang demikian memang
sengaja digelar untuk meraih ambisi keuntungan yang sesak pamrih.
Ironisnya,
saat terdapat musisi yang dengan teguh menziarahkan kelindan bunyinya
untuk Indonesia seperti gamelan, sasando, calung, sapek, saluang atau
bahkan yang tradisi kontemporer sekalipun, masyarakat yang konon
mengkultuskan dirinya sebagai yang ‘moderen’ itupun lantas senyum penuh
sinis. Heran dan penuh pertanyaan, memandang bahwa musik-musik seperti
itu masih saja menjadi karya pilihan di zaman moderen ini.
Transformasi
bunyi telah terjadi, sekaligus menjadi palang pintu bukti transformasi
kebudayaan. Merubah banyak tatanan pemikiran. Menjadikan manusia
menapaki lajur kehidupan yang semakin kehilangan identitas karena
menjadi seragam, serupa dan tak lagi unik. Musik tiada mampu lagi dapat
mewacanakan siapa, apa dan di mana aku.
Untuk Indonesia?
Di
situlah letak pangkal persoalannya, jika berkaca dari peritiwa kemarin,
AMI ternyata lebih khusyuk membidik jalur yang dirasa lebih populis,
menggairahkan karena pasar. Sedangkan forum-forum yang selama ini
dianggap memberi torehan bagi kehidupan denyut nadi musik Indonesia
seperti Yogyakarta Gamelan Festival, Art Summit, Solo International
Ethnic Music, Surabaya Full Music, Bukan Musik Biasa telah luput dari
bidikan dan jepretan lensanya. Siapa yang saat ini kenal Rahayu
Supanggah? Musisi gamelan Jawa yang kini namanya begitu mendunia.
Sementara gaungnya sepi dan sayup-sayup di Indonesia. Ia dalam beberapa
tahun terakhir menjadi perbincangan hangat di antero benua karena
kepiawaiannya merajut bunyi kontemporer beralaskan tradisi gamelan Jawa
yang pekat. Menghias nama Indonesia dengan manis lewat bunyi-bunyian.
Begitu dihargai hingga beberapa kali meraih penghargaan internasional
seperti komposer terbaik dalam Festival Film Asia Pasific dan Asia Film
Award serta Leonardo New Horizon Award’dari International Society for Art, Sciences, and Technology USA. Pertanyaannya kemudian, apa yang didapatnya lewat AMI?
Tentu,
tiada maksud dan tendesi dalam tulisan ini agar musisi jenius tersebut
diberi penghargaan. Toh saya yakin ia juga tidak sedikitpun berfikir
untuk itu. Karena berjuang untuk musik Indonesia bukan berarti harus
ikut larut dalam harapan meraih tanda jasa, toh dunia pasti
mengenangnya. Namun, menjadi semacam medan kritik bagi kita agar
musik-musik keindonesiaan dapat diperhatikan, diangkat, diolah dan
diperkenalkan kembali. Siapa lagi yang mampu mewacanakan hal itu pada
publik secara lebih luas kalau bukan forum-forum sekelas AMI yang selama
ini lebih dekat dan menguasai sorotan kamera media.
Sayangnya
lewat AMI, selama ini tidak mampu dijumpai tawaran alternatif bunyi yang
membuka prospek dan horizon pemikiran problematik akan musik Indonesia
di masa kini dan yang akan datang. Sebagai sebuah forum, AMI tentu bukan
wadah yang menarik jika konsepnya hanya berpangkal pada simulakra
terhadap peristiwa serupa lainnya, tapi mampu menarasikan pemikiran baru
akan musik Indonesia. Hal ini menjadi penting dalam mewacakan kepada
masyarakat, bahwa detak AMI tidak hanya sebatas pesta yang dibuat untuk
meramaikan pasar, namun benar-benar menjadi satu anugerah bagi musik
Indonesia, musik-musik yang membuncahkan warna keindonesian, bukan
Indonesia-Indonesiaan.
Walaupun musik-musik yang ditampilkan dapat
saja berasal dari aneka ragam penjuru, golongan dan gaya, namun AMI mau
tidak mau telah menjadikan dirinya sebagai sebuah peristiwa kesenian
yang bersejarah, layaknya FFI (Festival Film Indonesia) jika dalam dunia
film. Apabila Indonesia selama ini dikenal kuat lewat entitasnya yang
lokal tak terkecuali musik, rumah, makanan dan bangunan tradisi. Maka
tak berlebihan kiranya bahwa AMI juga selayaknya menunjukkan sifat-sifat
kepeloporan akan kebangsaan musiknya. Hal demikian setidaknya sudah
dipelopori terlebih dahulu dalam FFI yang banyak menganggkat akan
sisi-sisi episentrum visualisasi keindonesiaan.
Tentu menarik,
terlebih bagi suatu negara seperti Indonesia yang masih ingin terus
maju, berproses, bergaul dengan negara-negara lain di dunia. Akan sangat
membanggakan jika dalam forum itu kita dapat melihat suatu kenyataan
lain bahwa musik-musik tradisi juga turut andil, menjadi bagian dari
sebuah tujuan yang mulia, (walaupun toh awalnya dalam kapasitas yang
mungkin sangat terbatas). Memberi satu harapan besar dan pelajaran
berharga bahwa musik-musik kita sendiri sesungguhnya masih punya taring,
ditempatkan dalam ruang yang sepantasnya. Memacu loncatan baru, merubah
paradigma lama, bahwa musik Indonesia mampu menunjukkan detak hidupnya
secara lebih terbuka, diterima dan dihargai.
Sebagai titik
peristiwa yang masih akan berkelanjutan dalam perjalanan musik ke depan,
AMI mengguratkan harapan besar bagi kemajuan musik Indonesia.
Penggunaan nama Indonesia dalam tema besarnya tak hanya berhenti dalam
domain diskursus semata, namun mampu menjadi pelopor terdepan dalam
menggores cita rasa kenusantaraan bunyi yang sesungguhnya. Semoga..
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar