Kisah (Calon) Penulis! (dimuat di Radar Surabaya 13 Januari 2013)


Kisah (Calon) Penulis!


Menulis adalah ziarah kata. Tak semata timbunan huruf. Menulis adalah upaya mencairkan konstruksi beban-beban nalar dalam otak yang selama ini terkurung, berakhir untuk dilupakan. Menulis berarti melukiskan jejak sebuah diri. Peradaban manusia dapat ditelisik lewat goresan pena, tonggak awal bergulirnya cerita dan sejarah berbagai ilmu pengetahuan. Menulis merupakan sebuah kisah. Aktivitas ini erat bersentuhan dengan dunia imajinasi dan intelektualis. Tak jarang, membaca sebuah goresan pena membuat kita banjir air mata, menyemai senyum bahkan kadang duka dan kematian.

Kisah Melawan Lupa
Eksistensi menulis untuk menyiarkan kata dalam selembar kertas tak banyak dilakukan oleh rezim intelektual (mahasiswa) di abad mutakhir. Mereka lebih banyak menyuarakan deru argumentasi lewat laku otot dan kekerasan. Orasi lewat corong auditif dengan nada lantang yang justru kadang berujung pada pertikaian. Perjuangan lewat tulisan belum menjadi menu pilihan utama. Apalagi bercita menjadi aktor utama di balik goresan kata itu, “penulis”.
Penulis adalah arsitek dalam menyusun bangunan kata. Profesi yang belum bisa memberi kuasa untuk hidup berlimpah harta. Kisah ini pernah dilukiskan oleh Sitok Srengenge lewat tulisannya berjudul Penulis (2012). Penulis bukanlah profesi, nama itu tak tertera dalam pilihan kerja di kolom pengisian Kartu Tanda Penduduk (KTP). Ia terkalahkan dengan kerja yang lebih tak masuk akal, “paranormal” dan “dukun” misalnya. Profesi yang berada dalam jalur ‘nir’ itu justru terpampang jelas sebagai sebuah kerja laku hidup. Sementara penulis tak lebih dari sekedar hobi, bukanlah profesi. Ia belum memiliki akar kuat untuk gantungan hidup. Menulis seolah menjadi aktifitas sampingan dalam ingar-bingar kerja pencarian harta.
Jejak menulis dari kalangan intelektual muda masa kini layaknya mahasiwa hanya dapat dilihat dalam upaya meraih ambisi penuh pamrih. Ambisi yang mengisahkan syarat untuk merengkuh gelar, namun alpa dalam proses pencarian harga diri. Menulis semata berbicara tentang tugas, skripsi, tesis dan disertasi. Hasil olah intelektualitas yang selama ini menyesakkan ruang perpustakaan, tak terbaca, lapuk termakan rayap dan waktu. Perpustakaan seolah hanya menjadi ‘peti es’ yang membekukan rumusan kata-kata menjadi benda antik yang sakral. Perpustakaan menggoreskan mitos intelektual.
Menulis merupakan lorong kecil melawan lupa. Menyadarkan diri bahwa sebuah perstiwa pernah ternarasikan lewat timbunan kata. Mengembalikan memori kehidupan untuk kembali menelisik, menghargai atas apa yang pernah terjadi. Teks Proklamasi misalnya, begitu detail berkisah tentang dentum perjuangan, himpitan waktu dan ambisi nafsu merdeka. Tulisan yang tak sekedar kata, namun titian doa dan ritus pengharapan menjadi negara yang tak terjajah. Menulis menjadi pilihan yang tak terelakkan dalam laku sejarah Indonesia. Perjuangan hidup dengan lukisan kata.
Namun tak jarang, menulis menjadi momok yang menakutkan. Tak semua mampu merayakan kebebasan imajinasi lewat tulisan. Oleh karenanya, banyak ‘warung-warung’ bertebaran sebagai jasa dalam membuat bangunan kata. Mahasiswa berlarian memburu ‘calo tulis’ sebagai akhir dari masa studi. Dunia menulis kemudian juga menjadi dunia penuh intrik dan tipu daya. Tak jelas persinggungan antara ralitas dan tanggungjawab moral. Wajah intelektual dengan seketika nampak ompong, luntur oleh ketidakjujuran. Mahasiswa lebih khusyuk membawa ‘gunting’ untuk memindah kata dalam internet dengan mengatasnamakan murni karyanya. Pembajakan kata bertebaran di mana-mana. Tak bisa dikontrol dan dibendung.

Penulis Masa Kini
Syahdan, untuk menghasilkan serat Kalatidha itu, Rangga Warsita (1802-1873) harus berdiam diri, alias bersemedi dengan laku puasa yang berat. Karya menumental itu diwujudkannya dalam bentuk tembangSinom Jawa. Sesudah ia tiada, karya itu menjadi kelindan perdebatan yang tak kunjung usai hingga kini. Lewat tulisannya, ia mampu menerawang masa depan dengan gamblang. Tulisan itu kemudian menjadi kitab, dianut dan diakui kuasa kebenaran atas ramalannya. Rangga Warsita hanya seorang penulis, bukan dukun ataupun kesatria perang. Ia meraih penghargaan tertinggi lewat bangunan kata-katanya, bukan mantra dan pedang.
Tulisan menjadi benda abadi, jejak sekaligus bukti sebuah peradaban yang tak pernah terlupakan. Rangga Warsita seolah menyerukan bahwa proses menulis bukanlah hal yang sepele. Centhini (1742) lebih gila lagi, adalah karya tulis terbesar dalam mengisahkan Jawa agar tak terlupakan di hari esok. Selebrasi besar-besaran peradaban Jawa dipahatkan lewat kitab itu. Intinya, menulis adalah laku kerja yang prestisius. Kuasa penulis dengan kata-kata kadang lebih tinggi dari gapaian mantra dan orasi. Karenanya, menulis adalah sebuah ritus sakral di mana penulis menemukan pesta perayaan kebebasan imajinasi. Ritus yang kemudian hari justru terbakukan menjadi laku komersial dan orientasi harga.
Terlepas dari itu, keberanian untuk menulis belum sepenuhnya tumbuh dalam diri manusia muda di abad mutakhir, terlebih di ruang-ruang intelektual seperti mahasiswa. Ketakutan dan ketidakpercayaan diri menjadi penyebabnya. Banyak kolom-kolom khusus mahasiswa disediakan di banyak surat kabar, namun yang mengisinya dapat dihitung dengan jari. Sampai pada titik ini, lorong dalam sumbangsih wacana pemikiran telah mengalami kebuntuan. Mahasiswa lebih disibukkan dengan urusan-urusan yang tak lagi genting nalar. Kampus yang selama ini harusnya menjadi medan olah karya pemikiran, kemudian menjadi ruang pamer penampilan yang banal. Kampus bertransformasi menjadi catwalk, ajang pertaruhan untuk tampilnya berbagai gaya dari merek baju, sepatu, handphone dan gemerlap asesoris lainnya.
Mahasiwa berusaha melenakan diri dari tradisi tulis menulis. Lebih menyenangkan untuk mendandani penampilan daripada pemikiran. Ironi calon penulis masa kini. Gempuran teknologi dan modernitas tak diimbangan dengan tradisi olah intelenjensia yang pekat. Sebenarnya, Soe Hok Gie (1942-1969) pernah memberi tauladan berharga selama dirinya menjadi mahasiswa. Ia adalah contoh anak muda, mahasiswa, yang dengan tekun menuliskan jejak-jejak pemikirannya. Setelah ia tiada, kumpulan dari banyak tulisannya terbukukan dengan apik lewat sebuah judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Kegelisahan dan kegundahannya terhadap pemerintahan yang otoriter, tak semata diluapkannya dengan orasi, namun juga pahatan kata dalam lembaran kertas.
Ia harum bukan karena apa yang dilakukan, namun  apa yang telah dituliskan. Gie adalah transformasi dari satir untuk mahasiswa masa kini. Penulis tak dikenang dari seberapa besar harga yang didapatnya dari sebuah tulisan. Namun seberapa besar hasil tulisan itu mampu merubah, memberi cerah, dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Penulis memang bukanlah sebuah profesi idaman yang mampu mendatangkan pundi-pundi keuntungan. Namun penulis adalah laku kerja sakral, jembatan yang menghubungkan manusia dengan kompleksitas alam imajinasi dalam pemikirannya.
            Jangan takut untuk menuliskan apapun tentang apapun. Karena pada dasarnya, dengan menulis berarti kita telah telah turut memberikan sumbangan berharga dalam poros peradaban manusia. 



Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
cat: artikel ini pernah dipresentasikan pada gelar karya dosen dan mahasiswa Etnomusikologi ISI Surakarta sebulan yang lalu (13 Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Pengikut