Media Baru Pertunjukan Wayang
Kuasa
wayang kulit dalam menempatkan derajadnya sebagai media pendidikan
sebenarnya bukanlah barang baru. Sejak dahulu kala kita sudah mengenal
wayang kulit dalam fungsinya yang tak hanya sekadar tontonan, namun juga
tuntunan (Sena Sastra Amidjaja, 1964). Persoalannya kemudian, wayang
dalam perjalanan waktu semakin tidak menemukan ruang untuk
mempresentasikan fungsi tuntunannya secara lebih terbuka.
Terdekonstruksi dengan tontonan (sebut juga hiburan) lain yang lebih
glamour dan populis. Otomatis, wayang dengan fungsinya sebagai “tuntunan
budi pekerti” yang luhur tidak mampu ditampilkan dalam formatnya yang
lama, dengan hanya disajikan semalam suntuk semata tanpa ada usaha dan
kreativitas baru dalam memecah kebuntuan katalisator dalam
mendistribusikan nilai-nilai kehidupan yang ideal.
Tak Sekedar Ketubuhan
Melihat
wayang kulit tak cukup dengan hanya berbekal telinga dan mata, namun
juga imajinasi dan rasa. Dua persoalan terakhir yang saat ini cukup
sulit untuk diurai dan diterima oleh genarasi muthakir. Penyebabnya
tentu bisa banyak hal semisal persoalan kebuntuan bahasa dan rupa.
Bahasa wayang misalnya, menggunakan bahasa Jawa yang kadang kala
dianggap kurang begitu relevan di era saat ini. Masalah yang sebenarnya
telah lama disadari, muncullah kemudian gerakan untuk membuat bahasa
wayang dalam versi Indonesia. Apakah dengan demikian telah paripurna
persoalan yang melingkupinya? Tentu saja jawabnya belum.
Hal yang
seringkali tidak dipahami bahwa wayang kulit dengan bahasa Jawa bukanlah
persoalan teknis yang mudah dicopot dan diganti begitu saja. Wayang dan
bahasa Jawanya tersatukan dengan adanya “rasa” yang saling menguatkan.
Ibarat sepasang suami istri yang telah berpuluh tahun menikah, tiba-tiba
harus diceraikan dan diganti dengan pasangan yang baru. Hasilnya kadang
pencapaian estetika yang tak terpegang, terkesan memaksakan unsur baru
yang sebenarnya butuh proses dan pendekatan yang panjang. Otomatis,
merubah bahasa wayang adakalanya bukanlah menjadi solusi yang relevan
dalam menyuplai jembatan pemahaman pada publik dan utamanya generasi
muda saat ini.
Padahal bukan rahasia umum lagi, dengung
nilai-nilai dalam pertunjukan wayang kulit sarat akan berbagai
manifestasi budi pekerti. Hal yang kemudian oleh berbagai pihak termasuk
organisasi wayang nusantara dianggap cukup penting untuk
ditransformasikan dalam berbagai media baru. Lahirlah berbagai buku-buku
wayang yang mengulas tema itu. Tujuan utamanya tentu berpusat pada misi
membumikan nilai-nilai luhur wayang. Pertanyaanya kemudian, sejauh mana
buku tersebut mampu menarik minat dan dibaca oleh publik. Ataukah
justru buku-buku yang mengulas nilai-nilai wayang hanya berhenti pada
pajangan perpustakaan dan referensi studi semata. Jika demikian,
sebenarnya upaya itu juga belum sepenuhnya berhasil. Tolok ukur
keberhasilan dalam pembuatan buku pewayangan cukup sederhana. Jika buku
tersebut mampu menarik minat baca generasi muda dan menjadi buku
pegangan utama mereka, baru boleh dikatakan sebuah usaha tersebut
berhasil.
Namun, segala usaha yang telah dilakukan oleh banyak
pihak patut mendapat apresiasi yang setinggi-tingginya. Setidaknya
buku-buku dan usaha pembaharuan wayang dalam beberapa dekade terakhir
merupakan sebuah sikap yang menunjukkan detak ingar-bingar semangat
dalam menarasikan nilai-nilai wayang masih belum padam. Hal ini
menunjukkan bahwa wayang masih dianggap penting sebagai entitas seni
nusantara bahkan mungkin dunia. Terlebih beberapa waktu lalu wayang
telah dikultuskan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Dikultuskannya wayang tentu tidak semata dipandang dalam persoalan kebendaan atau fisik (tangible) semata, namun juga nilai-nilai (intangible)
yang terkandung di dalamnya. Wayang mampu menjadi tolok ukur objektif
dalam melihat detak dan determinasi sebuah peradaban lewat pusaran
nilainya yang sastrawi (Anderson, 1996). Walau tak jarang pula kita
jumpai pertunjukan wayang kulit masa kini yang lebih mengedepankan aspek
hiburan, banyolan, lawakan, dagelan semata dengan mengeliminir
kandungan nilai-nilai luhurnya.
Hal yang memang tak dapat
dipersalahkan. Kebutuhan zaman saat ini menuntut demikian. Banyak dalang
beranggapan bahwa menyajikan wayang secara verbal dan apa adanya tidak
relevan lagi dalam menarik minat penonton untuk saat ini. Strategi dalam
mencari pasar pun dengan deras dilakukan. Menambah durasi lawakan dan
menempatkan formasi duduk pesindhen (vokalis wanita) adalah
salah satunya. Bagi sebagian orang dan pengamat pertunjukan wayang,
tentu hal tersebut dianggap mendistorsi idealisme pertunjukan. Namun
bagi banyak masyarakat hal tersebut cukup memberi angin segar, agar
detak hidup wayang kulit masih dapat kita nikmati hingga saat ini. Bukan
hal yang aneh jika kontradiksi senantiasa mewarnai dalam setiap
bangunan kreatif dan kebaruan karya.
Pada dasarnya, berbicara
wayang tidak terhenti dalam domain estetika semata, namun juga berbicara
industri, manajemen, bahkan mungkin politik dan ekonomi serta muatan
nilai. Wayang adalah medium seni yang paling kompoleks. Mengawinkan
berbagai unsur seperti gerak tari, kesenirupaan, musik dan tentu saja
sastra. Kompleksitas episentrum artistik yang demilikinya menyebabkan
pelaku wayang dianggap sebagai orang mumpuni, bahkan tak jarang pula
dianggap sebagai juru nujum dan ruwat. Semua berpusat dalam permainan
boneka dan bayang-bayang. Seorang pemain wayang dengan demikian adalah
orang yang menguasai pusaran medan estetika seni dan nilai-nilainya
secara qatam.
Eksporasi Media Baru
Seperti
dijelaskan di atas, mendistribusikan nilai-nilai dalam pertunjukan
wayang tak cukup dengan hanya melangsungkan pertunjukkannya semalam
suntuk. Dibutuhkah gebrakan yang lebih frontal agar nilai-nilai tersebut
mampu cair dan terwadahi dengan baik terutama bagi generasi muda saat
ini. Beberapa hari yang lalu (11-13 Juni 2012) di Taman Budaya Surakarta
dihadirkan pertunjukan wayang unik seperti wayang Hip Hop dan Wayang
Kampung Sebelah. Kreasi baru dalam pertunjukan wayang merupakan cerminan
gerak transformasi media yang lebih terbuka dan glamour.
Walaupun
tak jarang eksploitasi sisi humoritas yang terlalu berlebihan. Hal yang
sama juga seringkali kita jumpai dalam layar kaca di mana cerita-cerita
wayang mulai digelar dan diperankan oleh artis-artis (komedian)
terkenal ibukota. Namun justru bukan mendapat tempat dalam muara
estetika dan pencapaian nilai yang luhur. Epos pewayangan kemudian
dirasa menjadi semakin banal arti dan miskin artikulasi kultural, karena
yang dikejar hanya rating dan gelegar tawa. Secara tak langsung pula
sebenarnya kita sedang menertawakan jagat pewayangan kita, walaupun di
satu sisi sedang meratap dan menangisinya.
Menonton pertunjukan
wayang sama layaknya menonton drama dalam layar kaca. Senantiasa terjadi
pertarungan antara yang baik dan sosok yang jahat. Pada akhirnya akan
dapat ditebak bahwa sisi baiklah yang akan menang. Persoalannya bukan
pada ending cerita yang digulirkan namun bagaimana mengemas dan
menyampaikan lajur cerita dengan menarik. Lebih penting lagi mampu
menularkan nilai-nilai budi perkerti luhur dalam setiap pembabakan
ceritanya. Hal itu yang hingga detik ini masih dicari, didiskusikan,
diteliti bahkan bermuara pada proses pembentukan yang panjang.
Jangan
heran kemudian, jika wadah-wadah baru dalam menyuplai nilai-nilai
wayang kelak akan lahir dengan bentuknya yang baru dan tentu lebih
kreatif. Bisa lewat kesenirupaan yang visual, gerak, auditif bahkan
perpaduan di antara kesemuanya. Hasilnya tentu senantiasa ditunggu
mengingat generasi saat ini terutama anak-anak lebih mengkultuskan sosok
pahlawan muthakir seperti Superman, Sepiderman, Batman, Ironman, dari
pada Rama, Arjuna, Bima maupun tokoh pandhawa lainnya.
Tentu akan
sangat menarik jika generasi saat ini lebih meneladani figur-figur ideal
dalam jagat pewayangan kita dengan berbagai pernak-pernik nilai positif
sosoknya. Atau justru sebaliknya, nilai-nilai dalam pertunjukan wayang
semakin bangkrut tergusur waktu dan tergantikan dengan canda dangkal
yang hanya mengedepankan gemerlap fisik semata.
Catatan:
Artikel di atas adalah perasan dari makalah yang dibawakan penulis dalam
seminar wayang di Institut Seni Indonesia Surakarta dan Yogyakarta dan
bedah buku 'Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang' (13-15
Juni 2012).
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar dii Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar