Media Baru Pertunjukan Wayang (dimuat di Koran Joglosemar edisi 15 Juni 2012)

Media Baru Pertunjukan Wayang 


 
Kuasa wayang kulit dalam menempatkan derajadnya sebagai media pendidikan sebenarnya bukanlah barang baru. Sejak dahulu kala kita sudah mengenal wayang kulit dalam fungsinya yang tak hanya sekadar tontonan, namun juga tuntunan (Sena Sastra Amidjaja, 1964). Persoalannya kemudian, wayang dalam perjalanan waktu semakin tidak menemukan ruang untuk mempresentasikan fungsi tuntunannya secara lebih terbuka. Terdekonstruksi dengan tontonan (sebut juga hiburan) lain yang lebih glamour dan populis. Otomatis, wayang dengan fungsinya sebagai “tuntunan budi pekerti” yang luhur tidak mampu ditampilkan dalam formatnya yang lama, dengan hanya disajikan semalam suntuk semata tanpa ada usaha dan kreativitas baru dalam memecah kebuntuan katalisator dalam mendistribusikan nilai-nilai kehidupan yang ideal.

Tak Sekedar Ketubuhan
Melihat wayang kulit tak cukup dengan hanya berbekal telinga dan mata, namun juga imajinasi dan rasa. Dua persoalan terakhir yang saat ini cukup sulit untuk diurai dan diterima oleh genarasi muthakir. Penyebabnya tentu bisa banyak hal semisal persoalan kebuntuan bahasa dan rupa. Bahasa wayang misalnya, menggunakan bahasa Jawa yang kadang kala dianggap kurang begitu relevan di era saat ini. Masalah yang sebenarnya telah lama disadari, muncullah kemudian gerakan untuk membuat bahasa wayang dalam versi Indonesia. Apakah dengan demikian telah paripurna persoalan yang melingkupinya? Tentu saja jawabnya belum.
Hal yang seringkali tidak dipahami bahwa wayang kulit dengan bahasa Jawa bukanlah persoalan teknis yang mudah dicopot dan diganti begitu saja. Wayang dan bahasa Jawanya tersatukan dengan adanya “rasa” yang saling menguatkan. Ibarat sepasang suami istri yang telah berpuluh tahun menikah, tiba-tiba harus diceraikan dan diganti dengan pasangan yang baru. Hasilnya kadang pencapaian estetika yang tak terpegang, terkesan memaksakan unsur baru yang sebenarnya butuh proses dan pendekatan yang panjang. Otomatis, merubah bahasa wayang adakalanya bukanlah menjadi solusi yang relevan dalam menyuplai jembatan pemahaman pada publik dan utamanya generasi muda saat ini.
Padahal bukan rahasia umum lagi, dengung nilai-nilai dalam pertunjukan wayang kulit sarat akan berbagai manifestasi budi pekerti. Hal yang kemudian oleh berbagai pihak termasuk organisasi wayang nusantara dianggap cukup penting untuk ditransformasikan dalam berbagai media baru. Lahirlah berbagai buku-buku wayang yang mengulas tema itu. Tujuan utamanya tentu berpusat pada misi membumikan nilai-nilai luhur wayang. Pertanyaanya kemudian, sejauh mana buku tersebut mampu menarik minat dan dibaca oleh publik. Ataukah justru buku-buku yang mengulas nilai-nilai wayang hanya berhenti pada pajangan perpustakaan dan referensi studi semata. Jika demikian, sebenarnya upaya itu juga belum sepenuhnya berhasil. Tolok ukur keberhasilan dalam pembuatan buku pewayangan cukup sederhana. Jika buku tersebut mampu menarik minat baca generasi muda dan menjadi buku pegangan utama mereka, baru boleh dikatakan sebuah usaha tersebut berhasil.
Namun, segala usaha yang telah dilakukan oleh banyak pihak patut mendapat apresiasi yang setinggi-tingginya. Setidaknya buku-buku dan usaha pembaharuan wayang dalam beberapa dekade terakhir merupakan sebuah sikap yang menunjukkan detak ingar-bingar semangat dalam menarasikan nilai-nilai wayang masih belum padam. Hal ini menunjukkan bahwa wayang masih dianggap penting sebagai entitas seni nusantara bahkan mungkin dunia. Terlebih beberapa waktu lalu wayang telah dikultuskan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Dikultuskannya wayang tentu tidak semata dipandang dalam persoalan kebendaan atau fisik (tangible) semata, namun juga nilai-nilai (intangible) yang terkandung di dalamnya. Wayang mampu menjadi tolok ukur objektif dalam melihat detak dan determinasi sebuah peradaban lewat pusaran nilainya yang sastrawi (Anderson, 1996). Walau tak jarang pula kita jumpai pertunjukan wayang kulit masa kini yang lebih mengedepankan aspek hiburan, banyolan, lawakan, dagelan semata dengan mengeliminir kandungan nilai-nilai luhurnya.
Hal yang memang tak dapat dipersalahkan. Kebutuhan zaman saat ini menuntut demikian. Banyak dalang beranggapan bahwa menyajikan wayang secara verbal dan apa adanya tidak relevan lagi dalam menarik minat penonton untuk saat ini. Strategi dalam mencari pasar pun dengan deras dilakukan. Menambah durasi lawakan dan menempatkan formasi duduk pesindhen (vokalis wanita) adalah salah satunya. Bagi sebagian orang dan pengamat pertunjukan wayang, tentu hal tersebut dianggap mendistorsi idealisme pertunjukan. Namun bagi banyak masyarakat hal tersebut cukup memberi angin segar, agar detak hidup wayang kulit masih dapat kita nikmati hingga saat ini. Bukan hal yang aneh jika kontradiksi senantiasa mewarnai dalam setiap bangunan kreatif dan kebaruan karya.
Pada dasarnya, berbicara wayang tidak terhenti dalam domain estetika semata, namun juga berbicara industri, manajemen, bahkan mungkin politik dan ekonomi serta muatan nilai. Wayang adalah medium seni yang paling kompoleks. Mengawinkan berbagai unsur seperti gerak tari, kesenirupaan, musik dan tentu saja sastra. Kompleksitas episentrum artistik yang demilikinya menyebabkan pelaku wayang dianggap sebagai orang mumpuni, bahkan tak jarang pula dianggap sebagai juru nujum dan ruwat. Semua berpusat dalam permainan boneka dan bayang-bayang. Seorang pemain wayang dengan demikian adalah orang yang menguasai pusaran medan estetika seni dan nilai-nilainya secara qatam.

Eksporasi Media Baru
Seperti dijelaskan di atas, mendistribusikan nilai-nilai dalam pertunjukan wayang tak cukup dengan hanya melangsungkan pertunjukkannya semalam suntuk. Dibutuhkah gebrakan yang lebih frontal agar nilai-nilai tersebut mampu cair dan terwadahi dengan baik terutama bagi generasi muda saat ini. Beberapa hari yang lalu (11-13 Juni 2012) di Taman Budaya Surakarta dihadirkan pertunjukan wayang unik seperti wayang Hip Hop dan Wayang Kampung Sebelah. Kreasi baru dalam pertunjukan wayang merupakan cerminan gerak transformasi media yang lebih terbuka dan glamour.
Walaupun tak jarang eksploitasi sisi humoritas yang terlalu berlebihan. Hal yang sama juga seringkali kita jumpai dalam layar kaca di mana cerita-cerita wayang mulai digelar dan diperankan oleh artis-artis (komedian) terkenal ibukota. Namun justru bukan mendapat tempat dalam muara estetika dan pencapaian nilai yang luhur. Epos pewayangan kemudian dirasa menjadi semakin banal arti dan miskin artikulasi kultural, karena yang dikejar hanya rating dan gelegar tawa. Secara tak langsung pula sebenarnya kita sedang menertawakan jagat pewayangan kita, walaupun di satu sisi sedang meratap dan menangisinya.
Menonton pertunjukan wayang sama layaknya menonton drama dalam layar kaca. Senantiasa terjadi pertarungan antara yang baik dan sosok yang jahat. Pada akhirnya akan dapat ditebak bahwa sisi baiklah yang akan menang. Persoalannya bukan pada ending cerita yang digulirkan namun bagaimana mengemas dan menyampaikan lajur cerita dengan menarik. Lebih penting lagi mampu menularkan nilai-nilai budi perkerti luhur dalam setiap pembabakan ceritanya. Hal itu yang hingga detik ini masih dicari, didiskusikan, diteliti bahkan bermuara pada proses pembentukan yang panjang.
Jangan heran kemudian, jika wadah-wadah baru dalam menyuplai nilai-nilai wayang kelak akan lahir dengan bentuknya yang baru dan tentu lebih kreatif. Bisa lewat kesenirupaan yang visual, gerak, auditif bahkan perpaduan di antara kesemuanya. Hasilnya tentu senantiasa ditunggu mengingat generasi saat ini terutama anak-anak lebih mengkultuskan sosok pahlawan muthakir seperti Superman, Sepiderman, Batman, Ironman, dari pada Rama, Arjuna, Bima maupun tokoh pandhawa lainnya.
Tentu akan sangat menarik jika generasi saat ini lebih meneladani figur-figur ideal dalam jagat pewayangan kita dengan berbagai pernak-pernik nilai positif sosoknya. Atau justru sebaliknya, nilai-nilai dalam pertunjukan wayang semakin bangkrut tergusur waktu dan tergantikan dengan canda dangkal yang hanya mengedepankan gemerlap fisik semata.

Catatan: Artikel di atas adalah perasan dari makalah yang dibawakan penulis dalam seminar wayang di Institut Seni Indonesia Surakarta dan Yogyakarta dan bedah buku 'Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang' (13-15 Juni 2012).

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar dii Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut