Perempuan, Harta dan Kuasa (dimuat di Solopos 28 Mei 2013)

Perempuan, Harta dan Kuasa




Seks adalah pengubah sejarah paling tua dalam peradaban manusia. Begitulah kata Michael Foucault (1926-1984), filsuf Prancis, yang memandang bahwa fenomena kekuasaan dan perempuan akan senantiasa saling mengintervensi, tak dapat dipisahkan.
Seksualitas perempuan menjelma sebagai simbol legitimasi atas keperkasaan seorang lelaki. Serapat apa pun selambu seksualitas itu ditutup, kehadirannya selalu akan dirayakan secara terbuka. Sejarah kekuasaan berarti sejarah seksualitas dan perempuan.
Ahmad Fathanah, misalnya, yang dalam beberapa hari ini menjadi perbincangan di berbagai media, adalah satu dari sekian banyak lelaki berharta dan berkuasa yang tak bisa lepas dari pengaruh perempuan. Telisik lain akan hal tersebut dapat dilakukan dengan mengamati sejarah legitimasi para penguasa dan raja-raja di Nusantara, terutama Jawa.
Kenyataan yang tak bisa ditiadakan bahwa dengan berkuasanya seorang laki-laki maka senantiasa diikuti dengan laku seksualitas yang meningkat. Terkait hal itu, Foucault lewat tulisannya yang berjudul The History of Sexuality (1976) telah meneliti secara terinci dengan menelaah arsip-arsip kuno.
Foucault menemukan bagaimana kuasa dan perempuan yang dalam tradisi Victorian abad XVIII di Inggris begitu direpresi dan dikontrol pemerintah dengan amat ketat, justru mampu berbicara dengan fasih, bahwa semakin ia ditekan dan direpresi dalam bilik-bilik pengantin serta aturan yang ketat, namun kehausan lelaki akan perempuan-perempuan lain semakin memperlihatkan kuasanya.
Kecenderungan ini hingga saat ini masih dapat kita lihat dalam jejak kaum politisi (berharta-bertakhta) mutakhir. Apa yang ditemukan Foucault melahirkan kesimpulan yang ”alogika”, bertentangan dengan cita-cita kenyataan hidup. Dikisahkan, demi impian hidup yang ideal, jejak langkah laki-laki dalam memiliki banyak perempuan diatur dan dipersempit ruang geraknya.
Undang-undang dibuat, aturan diterapkan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, seksualitas semakin dirayakan, berkeliaran, menyebar dalam berbagai siasat rupa dan bentuk. Perbincangan tentang ”kepemilikan” perempuan lain seolah menyesaki dan menemukan pembebasannya di wilayah dan ruang publik.
Lebih jauh lagi, sebenarnya telisik tema-tema yang mempertontonkan erotika perempuan untuk dapat dinikmati banyak kaum Adam telah mengakar dan menjadi warna cukup pekat dalam bingkai khazanah seni tradisi kita. Di Bali terdapat joget bumbung, di Jawa Barat terdapat jaipong, di Banyumas terdapat ronggeng, di Jawa Timur terdapat tayuban atau candoleng-doleng di Makassar. Semua mencoba mengekspresikan lekuk seksualitas ketubuhan perempuan untuk dinikmati oleh mata-mata nakal lelaki.
Bahkan di momen yang lebih lampau, pengumbaran seksualitas perempuan telah terekam jelas lewat ritus-ritus candi. Lihat Candi Sukuh di Jawa Tengah dan Datonta di Bali. Hasrat memiliki banyak perempuan mencoba dirayakan namun di momen tertentu juga dirumahkan. Perlahan tapi pasti, manusia membuat aturan berupa norma-norma yang menarasikan bahwa semakin banyak menguasai perempuan berarti semakin dekat dengan keruntuhan kuasa moral.
Nafsu dan moralitas adalah dua kutub magnet berlawanan, selalu hadir untuk saling mengontrol dan dikontrol. Kitab Kamasutra yang awalnya dibredel atas nama moralitas, kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia atas nama nafsu. Laki-laki penguasa seolah malu tapi mau mengakui bahwa seksualitas perempuan adalah hidangan menggiurkan berupa ekstase kenikmatan duniawi.
Kisah raja-raja di Jawa, misalnya, tak semata bernarasikan sejarah perang, namun juga perempuan. Tak ada dentum cerita yang tak melukiskan raja sebagai sosok pria perkasa, beristri lebih dari satu. Penguasa memiliki dua kelengkapan penting untuk menarik hati perempuan, berupa harta dan kuasa.
Perempuan dengan makna seksualitas yang dimilikinya adalah simbol kejantanan bagi laki-laki. Semakin banyak perempuan di sampingnya, semakin agung derajat kekuasaannya. Jejak cerita dengan jelas dilukiskan kitab Mahabarata, kala Arjuna menjadi simbol laki-laki ”sejati-perkasa” dalam jagad pewayangan.
Namun, Arjuna tak berbadan kekar seperti Bima. Arjuna justru bertubuh langsing, gerak-geriknya cenderung feminin menyerupai perempuan, kalau tak boleh dibilang banci. Tapi, itu adalah muara dari apa yang disebut ”jantan dan maskulin”. Dengan demikian, superioritas laki-laki tak dilihat dalam laku otot dan ketubuhan, namun jumlah atas ”kepemilikan” perempuan.

Kausal
Perempuan di satu sisi menjadi legitimasi dalam superioritas kekuasaan kelelakian, namun di sisi lain juga teror bagi kehidupan penguasa. Kepemilikan banyak perempuan tak dapat dirayakan dengan bebas seperti kisah raja dan penguasa dulu kala. Erotika perempuan masa kini kemudian melenakan, menjatuhkan kekuasaan.
Sebelum kisah Ahmah Fathanah, lihatlah Bupati Garut Aceng Fikri dan Fani Oktora, atau saat anggota DPR menonton film porno yang terekam kamera wartawan beberapa saat lalu. Atau simak pula kasus video porno anggota DPR Yahya Zaini dan penyanyi dangdut Maria Eva yang tersebar ke publik.
Jalan penguasaan pada kaum Hawa kini berbanding terbalik dengan kisah sejarah seksualitas para penguasa. Jika sebelumnya perempuan adalah simbol kebesaran kekuasaan, hari ini hasrat memiliki banyak perempuan adalah musuh besar kekuasaan.
Masyarakat sebagai juru pengadil kemudian mencoba melogikakan derajat ruang gerak perempuan dan kekuasaan, yang dengan jelas tak mampu bersanding lagi. Perempuan dan kekuasaan senantiasa bergandengan akan tetapi sebenarnya justru saling menafikan. Bagi Muhammad Ilham (2009), logika kekuasaan adalah logika discipline and punish; mengekang dan mengontrol.
Sebaliknya, logika ”memiliki” perempuan adalah logika pemenuhan hasrat, mengumbar, melepas, membebaskan dan membuncahkan. Mendamba banyak perempuan justru menjadi ruang pembebasan dari beban dan tanggung jawab berat kerja penguasa. Ekstase kebutuhan penguasa yang sebenarnya tak lagi menjadi rahasia privat.
Di abad XXI kini, selambu tebal menutupi jejak perjalanan seksualitas para penguasa. Seksualitas menjadi ironi dan masalah krusial. Para penguasa dapat saja berkilah dan mencoba melawan serta menolak pengisahan perempuan sebagai objek seksualitas. Namun, dengan terbongkarnya satu demi satu peristiwa yang menarasikan hal itu, seolah menandaskan bahwa penguasa juga memiliki keinginan, nafsu dan hasrat untuk memiliki dan menguasai.
Pada titik ini, seksualitas mampu meruntuhkan tatanan logika, membongkar nafsu politik dan menjungkirbalikkan norma kehidupan. Dari fenomena beberapa kasus penguasa di Indonesia, terjelaskan bahwa ambisi memiliki perempuan seberapa pun ketatnya untuk dirumahkan, namun pada kesempatan-kesempatan tertentu juga dirayakan.
Bagi penguasa mutakhir, kepemilikan banyak perempuan adalah tolok ukur objektif dalam melihat hasrat dan nafsu berahi untuk memiliki, melanggar norma dan mempermainkan etika kehidupan. Dengan demikian seksualitas sejatinya tak semata hanya fenomena ketubuhan perempuan namun juga imaji kekuasaan.
Ibarat dua keping mata uang, tak mampu bertemu secara logika, namun dipersatukan karena rasa. Rasa untuk menjadi penguasa seutuhnya layakya kisah-kisah para raja. Penguasa yang keagungannya tak sekadar dinilai dari elektabilitas, namun juga hasrat memiliki “tubuh”  perempuan. Harta, takhta dan perempuan.



Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
 
<photo id="1" />

Tidak ada komentar:

Pengikut