Matah Ati dan Ranaisans Kebudayaan Jawa
Fenomena Matah Ati (Solo, 8/9/10 September 2012) dalam beberapa waktu
terakhir begitu menyedot perhatian publik. Bahkan berbagai media
menjadikannya head line pemberitaan. Sebuah wacana baru dalam
jagad seni pertunjukan Indonesia masa kini. Jika penonton dapat
digunakan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah even pertunjukan, maka
dengan dibanjiriannya lima ribu lebih tiap malamnya adalah sebuah
pencapaian yang menomental. Bagaimanapun juga fenomena Matah Ati tak
terhenti dalam domain seni pertunjukan semata, namun juga menyimpan
pesan tersendiri sebagai tonggak bangkitnya kembali epos kebudayaan Jawa
yang selama ini tertidur lelap.
Renaisans Kebudayaan Jawa
Syahdan, Raden Said atau biasa disebut juga sebagai Pangeran Samber
Nyawa bertapa untuk meminta wahyu Ilahi agar dimudahkan jalan dalam
memerangi penjajah Belanda. Suksmanya keluar meninggalkan raga,
tiba-tiba datanglah Rubiyah memeluknya. Di alam nir sadar itu, Samber
Nyawa bermadu kasih dengan Rubiyah, gadis dari desa Matah Ati putri dari
guru ngajinya. Tak berselang lama ia tersadar dari laku semedi.
Pergulatan dengan gadis desa itu menjadi secercah wahyu, pertanda pesan
yang disampaikan Tuhan, bahwa dialah jodoh yang selama ini
dinantikannya. Siapa sangka, Rubiyah yang pandai mengaji, feminim, lemah
gemulai itu ternyata mahir berperang. Ia didaulat oleh Raden Said
memimpin pasukan (legiun) prajurit wanita bertempur melawan penjajah Belanda. Dan hebatnya lagi, menang!
Tak dinyana, detail lika-liku kehidupan Raden Said dan Rubiyah kala
itu menjadi guratan cerita yang menarik di masa kini. Bukan lagi sebuah
karangan atau rekaan cerita, itu diambil dari kisah nyata. Beruntunglah
kita di masa kini, mampu menikmati suguhan cerita kehidupan sambil
bertepuk tangan. Lika-liku derita dan perjuangan ‘manusia Jawa penting’
di masa silam menjadi aset lukisan sanggit cerita yang menggiurkan oleh
seniman-seniman masa kini. Tak hanya kisah Matah Ati yang mengangkat
kehidupan seorang tokoh penting dalam detak hidup sejarah dan kebudayaan
Jawa. Sardono W Kusumo juga pernah mengemas detail cerita kehidupan
Dipenegoro lewat Opera Diponegoro November tahun lalu. Bagi Sardono,
Perang Diponegoro bukanlah sekadar perang personal sang pangeran
terhadap kesewenang-wenangan Belanda, melainkan sebagai pertempuran
sengit yang tak kunjung usai antara kemanusiaan dan kesewenang-wenangan
yang lebih luas. Bahkan perang itu tidak hanya dalam bingkai teritorial
sepetak tanah milik pangeran, tetapi meluas ke Jawa dan juga Indonesia.
Untuk menggarap dan merangkai sisi kehidupan Diponegoro dalam
pertunjukan opera itu, Sardono meniti waktu lebih dari 20 tahun. Sebuah
kerja kesenimanan yang luar biasa. Diponegoro lebih dari sekedar sosok
yang memberi ilham, namun telah menjadi laku kreatif seniman.
Tentu kita masih ingat pula saat Sahita, kelompok tari asal Solo
mementaskan karyanya yang terilhami dari kehidupan pujangga Jawa,
Ranggawarsito dan serat Kalatidha. Karya itu dipentaskan lebih dari 80
panggung, baik di Indonesia maupun luar negeri. Belum lagi tentang
eksplorasi cerita-cerita yang berbalut mitos semacam Lutung Kasarung,
Sangkuriang serta Roro Mendhut dan Babad Tanah Jawi yang distradarai
oleh Ida Soeseno, dipentaskan pada April kemarin di Taman Ismail
Marzuki. Panggung seni pertunjukan Indonesia dewasa ini kuyup dengan
aroma kisah para pendiri dan penggagas ‘makna’ Jawa.
Di satu sisi, fenomena itu menyemai penekanan mendasar bahwa Jawa
mampu memberi segudang pilihan dan tafsir atas imajinasi estetik.
Jejak-jejak cerita yang selama ini hanya menjadi medan mitos penghantar
tidur anak, kemudian mampu menyublim dengan indah lewat
panggung-panggung pertunjukan. Matah Ati adalah sebuah babak baru dalam
rangkaian sinergi kerja kreatif seni pertunjukan dengan basis eksplorasi
akar tradisi yang pekat. Tak hanya dentum dalam tafsir cerita yang
lebih menggoda, namun juga tata artistik, panggung, kostum bahkan gerak
yang digarap sempurna. Era ketoprak, wayang orang seolah telah
bermetamorfosis menjadi suguhan baru yang lebih menggairahkan.
Gamelan
Ekspos besar-besaran terhadap Matah Ati seolah menjadikan pertunjukan
tersebut elite dan berkelas. Sayangnya, domain yang dibidik seringkali
hanya persoalan artistik, panggung, gerak dan kostum.
Persoalan-persoalan krusial lainnya seperti musik jarang didudukkan
sebagai satu episentrum penting dalam totalitas seni pertunjukan secara
utuh. Gamelan, mau tak mau adalah bagian krusial dari segala pertunjukan
yang bertema tentang Jawa selama ini. Baik di panggung-penggung megah
ibu kota maupun Matah Ati di Solo.
Gamelan kemudian menjadi alat musik paling muthakir. Keberadaanya
diterima dan mampu diapresiasi oleh segala lapisan masyarakat. Anggapan
yang menempatkan alat musik ini tak lagi kongruen dengan zaman, kuno dan
ketinggalan, secara tak langsung terdekonstruksi. Terbukti, antusiasme
masyarakat yang datang kala pertunjukan Matah Ati digelar, tak hanya
mampu menikmati glamournya panggung dan gemerlapnya lampu, namun juga
indahnya denting bunyi gamelan. Walau jika boleh jujur diakui, garapan
yang dilekatkan pada pertunjuakan Matah Ati tak semerdu pemberitaannya.
Tidak banyak warna baru yang bisa dijumpai dari karya Blacius Subono
sebagai komposer. Ia masih mencoba mengais-ngais karya-karya lama
seperti Subokastawanya Narto Sabdo, karya musiknya yang diperuntukkan
untuk Hari Kebenagkitan Nasional di Jakarta tahun 1993, serta komposisi
musik Dalang Goyang Gendeng yang dipentaskan tahun 1998. Karya-karya
tersebut dimunculkan kembali dengan alih-alih memberi kesan lain. Namun
bagi penonton dan penikmat yang tak pernah mengikuti rakam jejak Subono
tentu akan menganggap karya itu sebagai musik baru yang memukau telinga.
Subono terkesan terburu-buru dalam eksplorasi gamelan dengan dua
laras, slendro dan pelog. Adakalanya dua laras itu dibenturkan, namun ia
tak menyadari noise (maxing, suara terselubung, tak
jelas nada pokoknya) yang muncul. Jembatan peralihan di antara
keduanyapun sering kali tidak tergapai dengan indah dan lancar, alias
main tabrak. Nada-nada gamelan seolah tereksploitasi tanpa pertimbangan
yang matang. Dalam pentas Matah Ati malam itu, kreativitas Subono seolah
terkungkung, tidak seperti karya-karyanya terdahulu yang penuh greget.
Kadang kala musik berjalan tidak konstekstual dengan sajian tari di atas
panggung. Saat Rubiyah dan prajurit wanita berlatih beladiri, musik
justru tidak mendukung suasana, sepi dan tak lagi beringas.
Di beberapa titik memang kelihatan timpang. Namun di sisi lain faktor sound system
untuk panggung pertunjukan terbuka kurang begitu mendukung. Walaupun
dua perangkat gamelan dijadikan satu, namun masih belum mampu
mendongkrak karakter dan suasana yang ingin dibangun di atas panggung
terbuka. Singkatnya, masih kelihatan feminim walaupun kesan yang ingin
dicapai adalah maskulin. Subono seolah terbentur dengan waktu untuk
eksplorasi ide-ide musikal yang lebih menggoda.
Terlepas dari itu semua, gamelan adalah orkestra musik etnik terbesar
di dunia. Perbendaharaan wilayah nadanya memungkinkan seniman dan
musikus untuk larut dalam pencarian-pencarian bentuk kompisisi anyar.
Kemegahan gamelan seolah baru tersadari dalam beberapa waktu kini,
setelah lama tertidur pulas di kandangnya sendiri. Semangat baru
pertunjukan Indonesia dengan membawa warna Jawa lewat gamelan tak hanya
dikagumi oleh kaum pribumi, namun juga dunia. Matah Ati dan pertunjukan
lain sejenis boleh jadi hanya titik awal renaisans gamelan dalam menjadi
menu bunyi utama, menggantikan suplai suara musik yang selama ini telah
mendistorsi telinga kita.
Selanjutnya tentu akan muncul karya-karya baru serupa dengan lebih
monumental. Diproses, digodog dan dieksplorasi dengan lebih matang.
Gamelan sekali lagi akan nangkring menghantui dan menyerang telinga
untuk lebih mendekatkan kita mengenal habitus akar tradisi di Nusantara.
Renaisans kebudayaan Jawa dan Indonesia telah tiba.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta