Matah Ati dan Renaisans Kebudayaan Jawa (dimuat di Jawapos edisi 23 September 2012)

Matah Ati dan Ranaisans Kebudayaan Jawa




Fenomena Matah Ati (Solo, 8/9/10 September 2012) dalam beberapa waktu terakhir begitu menyedot perhatian publik. Bahkan berbagai media menjadikannya head line pemberitaan. Sebuah wacana baru dalam jagad seni pertunjukan Indonesia masa kini. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah even pertunjukan, maka dengan dibanjiriannya lima ribu lebih tiap malamnya adalah sebuah pencapaian yang menomental. Bagaimanapun juga fenomena Matah Ati tak terhenti dalam domain seni pertunjukan semata, namun juga menyimpan pesan tersendiri sebagai tonggak bangkitnya kembali epos kebudayaan Jawa yang selama ini tertidur lelap.

Renaisans Kebudayaan Jawa
Syahdan, Raden Said atau biasa disebut juga sebagai Pangeran Samber Nyawa bertapa untuk meminta wahyu Ilahi agar dimudahkan jalan dalam memerangi penjajah Belanda. Suksmanya keluar meninggalkan raga, tiba-tiba datanglah Rubiyah memeluknya. Di alam nir sadar itu, Samber Nyawa bermadu kasih dengan Rubiyah, gadis dari desa Matah Ati putri dari guru ngajinya. Tak berselang lama ia tersadar dari laku semedi. Pergulatan dengan gadis desa itu menjadi secercah wahyu, pertanda pesan yang disampaikan Tuhan, bahwa dialah jodoh yang selama ini dinantikannya. Siapa sangka, Rubiyah yang pandai mengaji, feminim, lemah gemulai itu ternyata mahir berperang. Ia didaulat oleh Raden Said memimpin pasukan (legiun) prajurit wanita bertempur melawan penjajah Belanda. Dan hebatnya lagi, menang!
Tak dinyana, detail lika-liku kehidupan Raden Said dan Rubiyah kala itu menjadi guratan cerita yang menarik di masa kini. Bukan lagi sebuah karangan atau rekaan cerita, itu diambil dari kisah nyata. Beruntunglah kita di masa kini, mampu menikmati suguhan cerita kehidupan sambil bertepuk tangan. Lika-liku derita dan perjuangan ‘manusia Jawa penting’ di masa silam menjadi aset lukisan sanggit cerita yang menggiurkan oleh seniman-seniman masa kini. Tak hanya kisah Matah Ati yang mengangkat kehidupan seorang tokoh penting dalam detak hidup sejarah dan kebudayaan Jawa. Sardono W Kusumo juga pernah mengemas detail cerita kehidupan Dipenegoro lewat Opera Diponegoro November tahun lalu. Bagi Sardono, Perang Diponegoro bukanlah sekadar perang personal sang pangeran terhadap kesewenang-wenangan Belanda, melainkan sebagai pertempuran sengit yang tak kunjung usai antara kemanusiaan dan kesewenang-wenangan yang lebih luas. Bahkan perang itu tidak hanya dalam bingkai teritorial sepetak tanah milik pangeran, tetapi meluas ke Jawa dan juga Indonesia. Untuk menggarap dan merangkai sisi kehidupan Diponegoro dalam pertunjukan opera itu, Sardono meniti waktu lebih dari 20 tahun. Sebuah kerja kesenimanan yang luar biasa. Diponegoro lebih dari sekedar sosok yang memberi ilham, namun telah menjadi laku kreatif seniman.
Tentu kita masih ingat pula saat Sahita, kelompok tari asal Solo mementaskan karyanya yang terilhami dari kehidupan pujangga Jawa, Ranggawarsito dan serat Kalatidha. Karya itu dipentaskan lebih dari 80 panggung, baik di Indonesia maupun luar negeri. Belum lagi tentang eksplorasi cerita-cerita yang berbalut mitos semacam Lutung Kasarung, Sangkuriang serta Roro Mendhut dan Babad Tanah Jawi yang distradarai oleh Ida Soeseno, dipentaskan pada April kemarin di Taman Ismail Marzuki. Panggung seni pertunjukan Indonesia dewasa ini kuyup dengan aroma kisah para pendiri dan penggagas ‘makna’ Jawa.
Di satu sisi, fenomena itu menyemai penekanan mendasar bahwa Jawa mampu memberi segudang pilihan dan tafsir atas imajinasi estetik. Jejak-jejak cerita yang selama ini hanya menjadi medan mitos penghantar tidur anak, kemudian mampu menyublim dengan indah lewat panggung-panggung pertunjukan. Matah Ati adalah sebuah babak baru dalam rangkaian sinergi kerja kreatif seni pertunjukan dengan basis eksplorasi akar tradisi yang pekat. Tak hanya dentum dalam tafsir cerita yang lebih menggoda, namun juga tata artistik, panggung, kostum bahkan gerak yang digarap sempurna. Era ketoprak, wayang orang seolah telah bermetamorfosis menjadi suguhan baru yang lebih menggairahkan.

Gamelan
Ekspos besar-besaran terhadap Matah Ati seolah menjadikan pertunjukan tersebut elite dan berkelas. Sayangnya, domain yang dibidik seringkali hanya persoalan artistik, panggung, gerak dan kostum. Persoalan-persoalan krusial lainnya seperti musik jarang didudukkan sebagai satu episentrum penting dalam totalitas seni pertunjukan secara utuh. Gamelan, mau tak mau adalah bagian krusial dari segala pertunjukan yang bertema tentang Jawa selama ini. Baik di panggung-penggung megah ibu kota maupun Matah Ati di Solo.
Gamelan kemudian menjadi alat musik paling muthakir. Keberadaanya diterima dan mampu diapresiasi oleh segala lapisan masyarakat. Anggapan yang menempatkan alat musik ini tak lagi kongruen dengan zaman, kuno dan ketinggalan, secara tak langsung terdekonstruksi. Terbukti, antusiasme masyarakat yang datang kala pertunjukan Matah Ati digelar, tak hanya mampu menikmati glamournya panggung dan gemerlapnya lampu, namun juga indahnya denting bunyi gamelan. Walau jika boleh jujur diakui, garapan yang dilekatkan pada pertunjuakan Matah Ati tak semerdu pemberitaannya.
Tidak banyak warna baru yang bisa dijumpai dari karya Blacius Subono sebagai komposer. Ia masih mencoba mengais-ngais karya-karya lama seperti Subokastawanya Narto Sabdo, karya musiknya yang diperuntukkan untuk Hari Kebenagkitan Nasional di Jakarta tahun 1993, serta komposisi musik Dalang Goyang Gendeng yang dipentaskan tahun 1998. Karya-karya tersebut dimunculkan kembali dengan alih-alih memberi kesan lain. Namun bagi penonton dan penikmat yang tak pernah mengikuti rakam jejak Subono tentu akan menganggap karya itu sebagai musik baru yang memukau telinga.
Subono terkesan terburu-buru dalam eksplorasi gamelan dengan dua laras, slendro dan pelog. Adakalanya dua laras itu dibenturkan, namun ia tak menyadari noise (maxing, suara terselubung, tak jelas nada pokoknya) yang muncul. Jembatan peralihan di antara keduanyapun sering kali tidak tergapai dengan indah dan lancar, alias main tabrak. Nada-nada gamelan seolah tereksploitasi tanpa pertimbangan yang matang. Dalam pentas Matah Ati malam itu, kreativitas Subono seolah terkungkung, tidak seperti karya-karyanya terdahulu yang penuh greget. Kadang kala musik berjalan tidak konstekstual dengan sajian tari di atas panggung. Saat Rubiyah dan prajurit wanita berlatih beladiri, musik justru tidak mendukung suasana, sepi dan tak lagi beringas.
Di beberapa titik memang kelihatan timpang. Namun di sisi lain faktor sound system untuk panggung pertunjukan terbuka kurang begitu mendukung. Walaupun dua perangkat gamelan dijadikan satu, namun masih belum mampu mendongkrak karakter dan suasana yang ingin dibangun di atas panggung terbuka. Singkatnya, masih kelihatan feminim walaupun kesan yang ingin dicapai adalah maskulin. Subono seolah terbentur dengan waktu untuk eksplorasi ide-ide musikal yang lebih menggoda.
Terlepas dari itu semua, gamelan adalah orkestra musik etnik terbesar di dunia. Perbendaharaan wilayah nadanya memungkinkan seniman dan musikus untuk larut dalam pencarian-pencarian bentuk kompisisi anyar. Kemegahan gamelan seolah baru tersadari dalam beberapa waktu kini, setelah lama tertidur pulas di kandangnya sendiri. Semangat baru pertunjukan Indonesia dengan membawa warna Jawa lewat gamelan tak hanya dikagumi oleh kaum pribumi, namun juga dunia. Matah Ati dan pertunjukan lain sejenis boleh jadi hanya titik awal renaisans gamelan dalam menjadi menu bunyi utama, menggantikan suplai suara musik yang selama ini telah mendistorsi telinga kita.
Selanjutnya tentu akan muncul karya-karya baru serupa dengan lebih monumental. Diproses, digodog dan dieksplorasi dengan lebih matang. Gamelan sekali lagi akan nangkring menghantui dan menyerang telinga untuk lebih mendekatkan kita mengenal habitus akar tradisi di Nusantara. Renaisans kebudayaan Jawa dan Indonesia telah tiba.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Quo Vadis Dewan Kesenian Solo (dimuat di Koran Solopos, edisi 13 September 2012)




Quo Vadis Dewan Kesenian Solo

Bambang Irawan terpilih sebagai ketua Dewan Kesenian Solo (DKS) yang baru (Jumat, 7 September 2012). Sejak ditinggal mantan ketuanya, Murtidjono, pada Januari silam, DKS menjadi tak tentu arah. Sayup-sayup semakin tak terdengar kiprahnya. Namun beberapa saat lalu desakan untuk kembali menghidupkan eksistensi DKS banyak didengungkan oleh para seniman, budayawan maupun pemerhati seni khususnya di daerah Solo. Mengingat kepengurusan yang lama akan berakhir pada tahun ini (Solopos, 24 Agustus 2012).
Berbeda dengan pemilihan ketua DKS sebelumnya yang dilaksanakan secara terbuka dan transparan. Melibatkan banyak seniman, budayawan, masyarakat umum untuk turut serta memberi kontribusi pada pemilihan pengurus DKS kala itu, hingga secara aklamasi mengukuhkan Murtidjono sebagai pimpinan tertinggi. Sementara tahun ini lebih eksklusif, pemilihan pengurus DKS diserahkan pada sosok elite tertentu yang terdiri dari GPH Puger, Kastoyo Ramelan, Begog D. Winarso, BJ Riyanto, MT Arifin, Djarot Budi Darsono, Retno Sayekti, Lawu, Gigok Anurogo, ST Wiyono. Menarik untuk dipertanyakan, bagaimana posisi kerja DKS ke depan di antara kepungan lembaga seni versi ‘plat merah’ tertutama di wilayah Solo? Pertanyaan lain yang tak kalah penting, dengan melihat jejak sejarah dan perjalanannya, masih perlukah DKS dihadirkan kembali di Solo?
 
Dewan Seni
Posisi dewan kesenian hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Perkara bagaimana prestasi kinerjanya itu urusan lain. Bermunculannya dewan kesenian adalah upaya dalam menindak lanjuti Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5A Tahun 1993 tentang pembentukan lembaga  keterwakilan  masyarakat dalam konteks kesenian yang membantu pemerintah setempat dalam mewadahi, menangani dan menguatkan seluruh potensi kesenian di daerahnya. Walaupun berwujud lembaga non pemerintah (abu-abu), namun sebagian besar biaya proses kerjanya didapatkan dari APBD.
Instruksi menteri dalam negeri di atas lahir dalam upaya menyikapi gagasan yang dicetuskan oleh Ali Sadikin dan Goenawan Muhammad. Kedua tokoh itu memandang bahwa dewan kesenian penting untuk diadakan dalam upaya menangkal infilterasi sosialisme dan komunisme dalam ranah kebudayaan terutama seni. Michael Gunadi Widjaja (2010) memandang bahwa secara tak langsung dewan kesenian menjadi tameng pemerintah, menjadi lembaga yang melegitimasi karya seni, bahkan semacam sensor santun terhadap karya seni.
Setelah dewan kesenian bertaburan bak jamur di musim hujan, muncullah seabreg persoalan, dari masalah dana hingga kepengurusan. Keanggotaan dewan kesenian tidak seperti dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Daerah (DPRD). Dewan kesenian adalah sebuah lembaga yang menuntut kemampuan ganda namun spesifik. Di sinilah letak pangkal persoalannya. Apabila pengurus dewan kesenian seorang seniman, tentunya akan kesulitan dalam menghadapi sistem kerja yang cenderung birokratis. Di sisi lain, jika dari kalangan pemerintah atau birokrat, cenderung administratif dan tidak mengerti dengan detail persoalan kesenian. Sementara birokrat dan sekaligus seniman jumlahnya sangat jarang, kalau tak mau dikatakan tidak ada.
Kenapa demikian? Lazimnya seorang seniman yang masuk dalam birokrasi kepemerintahan, lebih disibukkan dengan urusan-urusan kedinasan, sehingga kadar frekuensi kekaryaannya menjadi berkurang. Status kesenimanannya kemudian dipertanyakan. Begitu juga sebaliknya. Walhasil, banyak dewan kesenian di daerah baik kota maupun kabupaten gulung tikar. Fahrudin Nasrulloh (2010) mengindikasin kelahiran dewan kesenian masih cenderung prematur. Tak jelas posisi tugas kerja dan fungsinya. Kadang masih tumpang tindih dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam ruang kebudayaan dan seni. Di Solo sendiri misalnya terdapat ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta yang bergerak dalam misi pendidikan seni, Taman Budaya sebagai laboratorium pengembangan dan publikasi seni, belum lagi lembaga kepemerintahan daerah semacam dinas pariwisata, dinas pendidikan dan kebudayaan, dinas pemuda dan olahraga yang semuanya memiliki legalisasi resmi untuk mengurusi kesenian. Hal itu belum termasuk lembaga swasta.
Karena persoalan itulah Murtidjono lewat tulisannya berjudul Anatomi Dewan Kesenian (2010) dengan lugas mengakui cukup sulit untuk memetakan fungsi dan kerja dewan kesenian terutama di wilayah Solo. Sementara jika berkaca pada daerah lain, Jawa Timur misalnya, fungsi dewan kesenian daerah lebih banyak sebagai event organizer (EO) seni. Yakni mengerjakan pelaksanaan agenda seni yang dibuat oleh pemerintah, alias menjadi panitia. Gerak ruang kerja dewan kesenian menjadi improvisatif, apapun bisa dilakukan asalkan masih berhubungan dengan seni, termasuk menjadi EO. Sehingga fungsinya sebagai dewan yang menjadi mediator sekaligus katalisator antara seniman, masyarakat dan pemerintah harus pupus.

Pemimpin Baru
Dewan Kesenian Solo berdiri pada tahun 2008. Tujuan utamanya memberikan rujukan atau rekomandasi tentang urgensi, prioritas dan rancangan strategi pembangunan kesenian di wilayah Solo. Murtidjono terpilih sebagai ketua karena dianggap berpengalaman, terutama bekal saat memimpin Taman Budaya Jawa Tengah. Namun Murtidjono seolah bekerja sendiri dan tak didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten. Nafas DKS menjadi dikenal publik bukan karena hasil kerja dan capaiannya, namun karena kebesaran nama Murtidjono. Akumulasi program DKS sering kali tak terbaca oleh publik.
Terbukti, setelah Murtidjono tiada, DKS tertatih-tatih dalam melaksanakan dan mengevaluasi program kerjanya. Murtidjono adalah manajer yang tangguh, bukan figur improvisatif dengan kompetensi manajerial yang nanggung. Dengan sosoknya yang demikian, wajar jika aspirasi seniman, pekerja seni, pemikir kebudayaan serta pemangku kepentingan dapat diakomodasi dan dijalankan olehnya. Walaupun ia sendiri lebih banyak dikenal lewat kepimpinannya di Taman Budaya daripada DKS.
Mampukah Bambang Irawan bertindak seperti Murtidjono atau bahkan melampauinya? Kita tunggu saja hasilnya. Namun cukup disayangkan, nama Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) itu tiba-tiba muncul yang secara aklamasi menandai era kepengurusan baru tapi tanpa disertai adanya jejak pertanggungjawaban dari kepengurusan lama. Masyarakat menunggu-nunggu laporan pertanggung jawaban dari pengurus lama sebelum demisioner dan pelimpahan ke pengurus yang baru. Capaian apa yang sudah dilakoni, bagaimana hasilnya, dan apa manfaatnya? Adalah serentetan pertanyaan yang ditujukan pada pengurus DKS lama. Ironis, hal itu belum (bahkan mungkin tak) terjadi. Organisasi DKS seolah menjadi ruang elite yang dapat dibentuk dengan suka-suka menuruti ego pengurusnya. Lupa bahwa lembaga itu dihadirkan sebagai payung yang memberi keteduhan bagi para seniman, masyarakat serta pemerhati seni. Sehingga apapun yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan publik, bukan sekedar perorangan atau kepentingan segelintir individu.
Terlebih DKS dalam beberapa tahun belakangan tak mampu memposisikan dirinya di tengah kepungan lembaga sejenis. Kerjanya seringkali overlapping dengan institusi kebudayaan lain. Pembentukan DKS seolah hanya menjadi semarak dan euforia dalam meraih ambisi penuh pamrih. Sementara aspek kemanfaatan serta kegunaannya dirasa ompong, kalau bukannya mandul. Solo hanya gagap dan tertatih-tatih karena melihat banyak daerah lain berlomba membentuk dewan kesenian, lalu turut serta menghadirkannya. Padahal hingga detik ini masih tak terumuskan dengan jelas proporsi kerja dan wilayah pertanggung jawabannya. Jika kehadiran DKS dirasa belum memiliki kontribusi besar bagi denyut hidup kesenian di Solo, alangkah lebih bijaknya jika tak usah diadakan saja.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Sejarah Tangan dan Pena (dimuat di Koran Joglosemar 05 September 2012)



Sejarah Tangan dan Pena

Sebelum didengungkan, teks proklamasi itu penuh dengan corat-coretan. Kata dalam rangkaian kalimat proklamasi yang dibacakan dengan lantang oleh Soekarno saat itu tidak lahir lewat guratan pemikiran yang instan. Namun penuh dengan proses terjal dalam menghimpun kata yang tak lagi multi tafsir, bernas sekaligus menggugah. Lebih dari itu, teks proklamasi tak berhenti dalam dentum auditif. Teks proklamasi kemudian menjadi monumen sejarah, yang bercerita banyak akan detik-detik penting menuju ambang kemerdekaan. Darinya tak hanya terlihat bobot pemilihan katanya, tapi juga goresan penanya.
Teks proklamasi mengilhami bagaimana goresan pena mampu menyibak sebuah cerita sejarah. Mungkin Indonesia adalah satu-satunya negara yang memiliki teks proklamasi penuh dengan corat-coretan pena. Revisi kata di sana-sini. Goresan-goresan itu seolah menandaskan bahwa ia dibuat dengan tergesa-gesa. Memilih kata, berlomba dengan waktu dengan angan yang tak alpa untuk membuat sejarah besar. Bahasa tulis tak lagi pokok, yang utama adalah bahasa suara. Corat-coretan kala itu dianggap tak penting. Karena inti dari proklamasi bukanlah sebagus apa tulisannya namun sedalam apa makna dari lantunan kalimat dan kata.
Tapi setelahnya, siapa sangka, corat-coretan itulah yang menjadi saksi, bersua akan masifnya sejarah, begitu indah dipandang. Corat-coretan itu kini menjadi kenangan yang paling khusyuk dalam menerawang kekudusan semangat dalam himpitan dan pertarungan waktu di masa perjuangan silam. Mencerminkan sebuah keagungan perjalanan bahasa tangan, goresan pena, yang kini kehadirannya justru sayup-sayup semakin hilang dilebur zaman.

Grafologi
Adapula, tulisan tangan dalam surat-surat cinta Soekarno pada istrinya Ratna Sari Dewi selama bulan Oktober tahun 1965 begitu indah. Bahkan lebih indah dari tulisan tangan teks proklamasi 45 yang dibacanya. Nampak betul, bagaimana Soekarno sangat mempertimbangkan sisi estetika visual dalam suratnya. Untuk menunjukkan bagaimana besar cintanya, ditulislah kata yang tak hanya rapi dalam imajinasi tapi juga indah dalam rupa. Tulisan latin yang sangat mempesona mata. Tak hanya Soekarno, pemuda-pemuda semasanya pun setali tiga uang. Lewat goresan pena dalam suratnya, mereka menyatakan cinta, merumahkan kesedihan, membangun pesan sekaligus harapan pada sang penerima. Demi menunjukkan ketulusan, liukan pena itu dibuat sehati-hati mungkin. Salah sedikit saja bisa merusak semuanya.
Beratus-ratus kertas diremas, disobek dan dibuang. Bukan karena keliru dalam kalimat yang diutarakan, namun salah dalam goresan. Begitulah bahasa coret yang kehadirannya sangat penting dalam mencerminkan siapa kita. Bahkan ilmu khusus yang mempelajari coretanpun lahir dengan nama Grafologi. Bersal dari dua kata, grafos yang berarti coretan dan logi atau logos yang berarti ilmu. Grafologi berusaha menarasikan bagaimana coretan tak hanya dibaca dalam skala rupa, namun juga logika. Baitul Alim (2009) menjelaskan bahwa kualitas tulisan tangan terbentuk dari rangsangan kecil dalam otak, sehingga membaca coretan -tulisan tangan- berarti ‘membaca otak’ penulisnya.
Di masa Orde Baru, tulisan tangan harus dirayakan dalam berbagai jenjang pendidikan. Darinya konon menjadi simbol dalam pengahusan budi. Sekolah-sekolah kemudian melukiskannya lewat kuasa yang mengatasnamakan sebagai -mata pelajaran- ‘menulis halus’. Rangkaian huruf yang bersambung dengan detail hingga disebut ‘huruf latin’. Kecakapan dalam menuliskan huruf-huruf itu menjadi satu anugerah yang patut untuk dirayakan. Dahulu hanya orang-orang berkadar bangsawan atau anak sekolahan yang mampu mempestakan tulisan tangannya dengan rapi dan cantik. Tulisan tangan Kartini antara tahun 1899-1904 adalah buktinya, menjadi satu cendela penting dalam menyibak tabir hidupnya. Ia mungkin menjadi satu dari ribuan gadis yang beruntung karena telah mengenal tulisan lewat jari tangan di kala jemari gadis lainnya sibuk melayani suami di kamar dan dapur.
Lebih dari itu puisi-puisi dan karya sastra agung lahir dari keaslian tangan, kadang nampak rapi namun kadang pula distorsi. Bahasa tangan itu mampu bercerita banyak. Coretan-coretan yang tak hanya sekedar garis, namun kadang penuh perhitungan. Menunjukkan sebuah adab sisi manusia dalam ruang pemikirannya. H.B. Jassin (1962) banyak menjelaskan sosok Amir Hamzah yang tak hanya bernas dalam makna pusi-pusinya, namun juga mampu memetakan sosok Amir lewat corat-coretan dalam peninggalan kertas puisi-puisinya. Sesekali dianggap menganggu, namun di sisi lain juga membantu.

Teknologi
Berbicara coretan berarti berbicara akan siapa, kapan, bagaimana dan kenapa. Siapa yang mencorat-coret teks proklamasi, kapan, bagaimana itu dilakukan dan kenapa harus terjadi? Dari corat-coretlah menjadi cerita penuh makna. Namun sayang, di abad milenium kini goresan-goresan tinta pena tak lagi mampu ditemukan. Ia kini terdekonstruksi oleh digit-digit huruf dalam kuasa komputer, laptop, handpone, tablet dan sejenisnya. Membuat semua menjadi seragam, serupa. Tak mampu lagi berbicara akan siapa kita. Benturan-benturan teknologi di abad kini menarasikan simbol kemajuan sebuah peradaban namun memiskinkan kuasa imaji.
Tulisan-tulisan mutakhir disesaki dengan persentuhan mesin. Tak lagi mampu meneriakkan jejak-jejak ideologis, karakter dan estetika. Meladeni zaman yang cenderung modern. Menuntut untuk tampil tanpa beda, semua seragam karena tak lagi dicetak oleh kuasa tangan, namun oleh mesin-mesin massal. Sejarah politik Barat yang memperkenalkan mesin-mesin canggih itu merubah tatanan dengan membenturkan teknologi dengan kebudayaan. Peradaban manusia dan terutama jari-jemarinya semakin dimanjakan. Walau sesungguhnya pernik-pernik keindahan hasil karya jemari tak lagi mampu dinikmati. Tak ada lagi remasan dan sobekan kertas. Tak ada lagi huruf yang salah. Tak ada lagi corat-coretan. Semua dapat terelimisani dengan hanya menekan tuts berlabel ‘delete’, maka kembali rapi seperti semula.
Cerita tentang perjuangan waktu dalam mengkonstruk teks proklamasi seperti di atas mungkin tak bisa lagi dibaca untuk pejuang-pejuang masa kini yang berniat merekonstruksi sejarah serupa. Apalagi untuk menemukan tulisan tangan seperti surat-surat Kartini dan Soekarno di abad ini. Mereka lebih disibukkan dengan kemolekan mesin yang mampu menampung segala bahasa imajinasi. Tulisan tangan hidup dalam kuasanya yang terbatas. Hanya menjelma dalam ruang catatan kecil para wartawan dan resep dokter. Corat-coretan itu tak lagi dibaca dalam kuasa garis dan rupa, namun diperlakukan sebagai simbol, sandi, kode yang menarasikan sebuah arti. Lihatlah tulisan tangan dokter melalui resepnya. Tak sembarang orang mampu membaca. Hanya orang-orang yang telah memiliki pendidikan khususlah yang mampu. Hal yang masih bertahan karena kuasanya tak sanggup digantikan oleh digit tuts keyboard dalam mesin.  
Selebihnya, tulisan tangan dan corat-coretnya telah mengalami kebangkrutan. Sejarah tangan bukan lagi bersama pena, namun teknologi. Grafologi kemudian bukan lagi untuk membaca coretan karya tangan namun membaca detail kecanggihan mesin. Kuasa tangan dan pena hanya menunggu waktu untuk kemudian dikenang dalam peradaban intelektual manusia. Zaman literasi yang dibangun lewat pena sudah dianggap kuno, ketinggalan zaman dan udik. Anak-anak datang ke sekolah tidak lagi membawa buku dan pena namun laptop dan tablet karena mampu menyediakan berbagai pemilihan kaligrafi tulisan (font), lebih mudah dengan hanya sekali klik. Serbuan teknologi masa kini seperti dentum proklamasi, ‘dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya’.

Aris Setiawan
Penulis , Pengajar di ISI Surakarta

Pengikut