Sejarah Tangan dan Pena (dimuat di Koran Joglosemar 05 September 2012)



Sejarah Tangan dan Pena

Sebelum didengungkan, teks proklamasi itu penuh dengan corat-coretan. Kata dalam rangkaian kalimat proklamasi yang dibacakan dengan lantang oleh Soekarno saat itu tidak lahir lewat guratan pemikiran yang instan. Namun penuh dengan proses terjal dalam menghimpun kata yang tak lagi multi tafsir, bernas sekaligus menggugah. Lebih dari itu, teks proklamasi tak berhenti dalam dentum auditif. Teks proklamasi kemudian menjadi monumen sejarah, yang bercerita banyak akan detik-detik penting menuju ambang kemerdekaan. Darinya tak hanya terlihat bobot pemilihan katanya, tapi juga goresan penanya.
Teks proklamasi mengilhami bagaimana goresan pena mampu menyibak sebuah cerita sejarah. Mungkin Indonesia adalah satu-satunya negara yang memiliki teks proklamasi penuh dengan corat-coretan pena. Revisi kata di sana-sini. Goresan-goresan itu seolah menandaskan bahwa ia dibuat dengan tergesa-gesa. Memilih kata, berlomba dengan waktu dengan angan yang tak alpa untuk membuat sejarah besar. Bahasa tulis tak lagi pokok, yang utama adalah bahasa suara. Corat-coretan kala itu dianggap tak penting. Karena inti dari proklamasi bukanlah sebagus apa tulisannya namun sedalam apa makna dari lantunan kalimat dan kata.
Tapi setelahnya, siapa sangka, corat-coretan itulah yang menjadi saksi, bersua akan masifnya sejarah, begitu indah dipandang. Corat-coretan itu kini menjadi kenangan yang paling khusyuk dalam menerawang kekudusan semangat dalam himpitan dan pertarungan waktu di masa perjuangan silam. Mencerminkan sebuah keagungan perjalanan bahasa tangan, goresan pena, yang kini kehadirannya justru sayup-sayup semakin hilang dilebur zaman.

Grafologi
Adapula, tulisan tangan dalam surat-surat cinta Soekarno pada istrinya Ratna Sari Dewi selama bulan Oktober tahun 1965 begitu indah. Bahkan lebih indah dari tulisan tangan teks proklamasi 45 yang dibacanya. Nampak betul, bagaimana Soekarno sangat mempertimbangkan sisi estetika visual dalam suratnya. Untuk menunjukkan bagaimana besar cintanya, ditulislah kata yang tak hanya rapi dalam imajinasi tapi juga indah dalam rupa. Tulisan latin yang sangat mempesona mata. Tak hanya Soekarno, pemuda-pemuda semasanya pun setali tiga uang. Lewat goresan pena dalam suratnya, mereka menyatakan cinta, merumahkan kesedihan, membangun pesan sekaligus harapan pada sang penerima. Demi menunjukkan ketulusan, liukan pena itu dibuat sehati-hati mungkin. Salah sedikit saja bisa merusak semuanya.
Beratus-ratus kertas diremas, disobek dan dibuang. Bukan karena keliru dalam kalimat yang diutarakan, namun salah dalam goresan. Begitulah bahasa coret yang kehadirannya sangat penting dalam mencerminkan siapa kita. Bahkan ilmu khusus yang mempelajari coretanpun lahir dengan nama Grafologi. Bersal dari dua kata, grafos yang berarti coretan dan logi atau logos yang berarti ilmu. Grafologi berusaha menarasikan bagaimana coretan tak hanya dibaca dalam skala rupa, namun juga logika. Baitul Alim (2009) menjelaskan bahwa kualitas tulisan tangan terbentuk dari rangsangan kecil dalam otak, sehingga membaca coretan -tulisan tangan- berarti ‘membaca otak’ penulisnya.
Di masa Orde Baru, tulisan tangan harus dirayakan dalam berbagai jenjang pendidikan. Darinya konon menjadi simbol dalam pengahusan budi. Sekolah-sekolah kemudian melukiskannya lewat kuasa yang mengatasnamakan sebagai -mata pelajaran- ‘menulis halus’. Rangkaian huruf yang bersambung dengan detail hingga disebut ‘huruf latin’. Kecakapan dalam menuliskan huruf-huruf itu menjadi satu anugerah yang patut untuk dirayakan. Dahulu hanya orang-orang berkadar bangsawan atau anak sekolahan yang mampu mempestakan tulisan tangannya dengan rapi dan cantik. Tulisan tangan Kartini antara tahun 1899-1904 adalah buktinya, menjadi satu cendela penting dalam menyibak tabir hidupnya. Ia mungkin menjadi satu dari ribuan gadis yang beruntung karena telah mengenal tulisan lewat jari tangan di kala jemari gadis lainnya sibuk melayani suami di kamar dan dapur.
Lebih dari itu puisi-puisi dan karya sastra agung lahir dari keaslian tangan, kadang nampak rapi namun kadang pula distorsi. Bahasa tangan itu mampu bercerita banyak. Coretan-coretan yang tak hanya sekedar garis, namun kadang penuh perhitungan. Menunjukkan sebuah adab sisi manusia dalam ruang pemikirannya. H.B. Jassin (1962) banyak menjelaskan sosok Amir Hamzah yang tak hanya bernas dalam makna pusi-pusinya, namun juga mampu memetakan sosok Amir lewat corat-coretan dalam peninggalan kertas puisi-puisinya. Sesekali dianggap menganggu, namun di sisi lain juga membantu.

Teknologi
Berbicara coretan berarti berbicara akan siapa, kapan, bagaimana dan kenapa. Siapa yang mencorat-coret teks proklamasi, kapan, bagaimana itu dilakukan dan kenapa harus terjadi? Dari corat-coretlah menjadi cerita penuh makna. Namun sayang, di abad milenium kini goresan-goresan tinta pena tak lagi mampu ditemukan. Ia kini terdekonstruksi oleh digit-digit huruf dalam kuasa komputer, laptop, handpone, tablet dan sejenisnya. Membuat semua menjadi seragam, serupa. Tak mampu lagi berbicara akan siapa kita. Benturan-benturan teknologi di abad kini menarasikan simbol kemajuan sebuah peradaban namun memiskinkan kuasa imaji.
Tulisan-tulisan mutakhir disesaki dengan persentuhan mesin. Tak lagi mampu meneriakkan jejak-jejak ideologis, karakter dan estetika. Meladeni zaman yang cenderung modern. Menuntut untuk tampil tanpa beda, semua seragam karena tak lagi dicetak oleh kuasa tangan, namun oleh mesin-mesin massal. Sejarah politik Barat yang memperkenalkan mesin-mesin canggih itu merubah tatanan dengan membenturkan teknologi dengan kebudayaan. Peradaban manusia dan terutama jari-jemarinya semakin dimanjakan. Walau sesungguhnya pernik-pernik keindahan hasil karya jemari tak lagi mampu dinikmati. Tak ada lagi remasan dan sobekan kertas. Tak ada lagi huruf yang salah. Tak ada lagi corat-coretan. Semua dapat terelimisani dengan hanya menekan tuts berlabel ‘delete’, maka kembali rapi seperti semula.
Cerita tentang perjuangan waktu dalam mengkonstruk teks proklamasi seperti di atas mungkin tak bisa lagi dibaca untuk pejuang-pejuang masa kini yang berniat merekonstruksi sejarah serupa. Apalagi untuk menemukan tulisan tangan seperti surat-surat Kartini dan Soekarno di abad ini. Mereka lebih disibukkan dengan kemolekan mesin yang mampu menampung segala bahasa imajinasi. Tulisan tangan hidup dalam kuasanya yang terbatas. Hanya menjelma dalam ruang catatan kecil para wartawan dan resep dokter. Corat-coretan itu tak lagi dibaca dalam kuasa garis dan rupa, namun diperlakukan sebagai simbol, sandi, kode yang menarasikan sebuah arti. Lihatlah tulisan tangan dokter melalui resepnya. Tak sembarang orang mampu membaca. Hanya orang-orang yang telah memiliki pendidikan khususlah yang mampu. Hal yang masih bertahan karena kuasanya tak sanggup digantikan oleh digit tuts keyboard dalam mesin.  
Selebihnya, tulisan tangan dan corat-coretnya telah mengalami kebangkrutan. Sejarah tangan bukan lagi bersama pena, namun teknologi. Grafologi kemudian bukan lagi untuk membaca coretan karya tangan namun membaca detail kecanggihan mesin. Kuasa tangan dan pena hanya menunggu waktu untuk kemudian dikenang dalam peradaban intelektual manusia. Zaman literasi yang dibangun lewat pena sudah dianggap kuno, ketinggalan zaman dan udik. Anak-anak datang ke sekolah tidak lagi membawa buku dan pena namun laptop dan tablet karena mampu menyediakan berbagai pemilihan kaligrafi tulisan (font), lebih mudah dengan hanya sekali klik. Serbuan teknologi masa kini seperti dentum proklamasi, ‘dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya’.

Aris Setiawan
Penulis , Pengajar di ISI Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut