Sebelum didengungkan, teks proklamasi
itu penuh dengan corat-coretan. Kata dalam rangkaian kalimat proklamasi yang
dibacakan dengan lantang oleh Soekarno saat itu tidak lahir lewat guratan
pemikiran yang instan. Namun penuh dengan proses terjal dalam menghimpun kata
yang tak lagi multi tafsir, bernas sekaligus menggugah. Lebih dari itu, teks proklamasi
tak berhenti dalam dentum auditif. Teks proklamasi kemudian menjadi monumen
sejarah, yang bercerita banyak akan detik-detik penting menuju ambang
kemerdekaan. Darinya tak hanya terlihat bobot pemilihan katanya, tapi juga
goresan penanya.
Teks proklamasi mengilhami bagaimana
goresan pena mampu menyibak sebuah cerita sejarah. Mungkin Indonesia adalah
satu-satunya negara yang memiliki teks proklamasi penuh dengan corat-coretan
pena. Revisi kata di sana-sini. Goresan-goresan itu seolah menandaskan bahwa ia
dibuat dengan tergesa-gesa. Memilih kata, berlomba dengan waktu dengan angan
yang tak alpa untuk membuat sejarah besar. Bahasa tulis tak lagi pokok, yang
utama adalah bahasa suara. Corat-coretan kala itu dianggap tak penting. Karena
inti dari proklamasi bukanlah sebagus apa tulisannya namun sedalam apa makna
dari lantunan kalimat dan kata.
Tapi setelahnya, siapa sangka, corat-coretan
itulah yang menjadi saksi, bersua akan masifnya sejarah, begitu indah
dipandang. Corat-coretan itu kini menjadi kenangan yang paling khusyuk dalam
menerawang kekudusan semangat dalam himpitan dan pertarungan waktu di masa
perjuangan silam. Mencerminkan sebuah keagungan perjalanan bahasa tangan,
goresan pena, yang kini kehadirannya justru sayup-sayup semakin hilang dilebur
zaman.
Grafologi
Adapula, tulisan tangan dalam surat-surat
cinta Soekarno pada istrinya Ratna Sari Dewi selama bulan Oktober tahun 1965
begitu indah. Bahkan lebih indah dari tulisan tangan teks proklamasi 45 yang
dibacanya. Nampak betul, bagaimana Soekarno sangat mempertimbangkan sisi
estetika visual dalam suratnya. Untuk menunjukkan bagaimana besar cintanya,
ditulislah kata yang tak hanya rapi dalam imajinasi tapi juga indah dalam rupa.
Tulisan latin yang sangat mempesona mata. Tak hanya Soekarno, pemuda-pemuda
semasanya pun setali tiga uang. Lewat goresan pena dalam suratnya, mereka
menyatakan cinta, merumahkan kesedihan, membangun pesan sekaligus harapan pada
sang penerima. Demi menunjukkan ketulusan, liukan pena itu dibuat sehati-hati
mungkin. Salah sedikit saja bisa merusak semuanya.
Beratus-ratus kertas diremas, disobek
dan dibuang. Bukan karena keliru dalam kalimat yang diutarakan, namun salah
dalam goresan. Begitulah bahasa coret yang kehadirannya sangat penting dalam
mencerminkan siapa kita. Bahkan ilmu khusus yang mempelajari coretanpun lahir
dengan nama Grafologi. Bersal dari dua kata, grafos yang berarti coretan dan logi
atau logos yang berarti ilmu.
Grafologi berusaha menarasikan bagaimana coretan tak hanya dibaca dalam skala
rupa, namun juga logika. Baitul Alim (2009) menjelaskan bahwa kualitas tulisan
tangan terbentuk dari rangsangan kecil dalam otak, sehingga membaca coretan -tulisan
tangan- berarti ‘membaca otak’ penulisnya.
Di masa Orde Baru, tulisan tangan harus
dirayakan dalam berbagai jenjang pendidikan. Darinya konon menjadi simbol dalam
pengahusan budi. Sekolah-sekolah kemudian melukiskannya lewat kuasa yang
mengatasnamakan sebagai -mata pelajaran- ‘menulis halus’. Rangkaian huruf yang
bersambung dengan detail hingga disebut ‘huruf latin’. Kecakapan dalam
menuliskan huruf-huruf itu menjadi satu anugerah yang patut untuk dirayakan. Dahulu
hanya orang-orang berkadar bangsawan atau anak sekolahan yang mampu mempestakan
tulisan tangannya dengan rapi dan cantik. Tulisan tangan Kartini antara tahun
1899-1904 adalah buktinya, menjadi satu cendela penting dalam menyibak tabir
hidupnya. Ia mungkin menjadi satu dari ribuan gadis yang beruntung karena telah
mengenal tulisan lewat jari tangan di kala jemari gadis lainnya sibuk melayani
suami di kamar dan dapur.
Lebih dari itu puisi-puisi dan karya
sastra agung lahir dari keaslian tangan, kadang nampak rapi namun kadang pula
distorsi. Bahasa tangan itu mampu bercerita banyak. Coretan-coretan yang tak
hanya sekedar garis, namun kadang penuh perhitungan. Menunjukkan sebuah adab
sisi manusia dalam ruang pemikirannya. H.B. Jassin (1962) banyak menjelaskan
sosok Amir Hamzah yang tak hanya bernas dalam makna pusi-pusinya, namun juga
mampu memetakan sosok Amir lewat corat-coretan dalam peninggalan kertas
puisi-puisinya. Sesekali dianggap menganggu, namun di sisi lain juga membantu.
Teknologi
Berbicara coretan berarti berbicara akan
siapa, kapan, bagaimana dan kenapa. Siapa yang mencorat-coret teks proklamasi, kapan,
bagaimana itu dilakukan dan kenapa harus terjadi? Dari corat-coretlah menjadi
cerita penuh makna. Namun sayang, di abad milenium kini goresan-goresan tinta
pena tak lagi mampu ditemukan. Ia kini terdekonstruksi oleh digit-digit huruf
dalam kuasa komputer, laptop, handpone, tablet dan sejenisnya. Membuat semua
menjadi seragam, serupa. Tak mampu lagi berbicara akan siapa kita.
Benturan-benturan teknologi di abad kini menarasikan simbol kemajuan sebuah
peradaban namun memiskinkan kuasa imaji.
Tulisan-tulisan mutakhir disesaki dengan
persentuhan mesin. Tak lagi mampu meneriakkan jejak-jejak ideologis, karakter
dan estetika. Meladeni zaman yang cenderung modern. Menuntut untuk tampil tanpa
beda, semua seragam karena tak lagi dicetak oleh kuasa tangan, namun oleh
mesin-mesin massal. Sejarah politik Barat yang memperkenalkan mesin-mesin
canggih itu merubah tatanan dengan membenturkan teknologi dengan kebudayaan. Peradaban
manusia dan terutama jari-jemarinya semakin dimanjakan. Walau sesungguhnya pernik-pernik
keindahan hasil karya jemari tak lagi mampu dinikmati. Tak ada lagi remasan dan
sobekan kertas. Tak ada lagi huruf yang salah. Tak ada lagi corat-coretan.
Semua dapat terelimisani dengan hanya menekan tuts berlabel ‘delete’, maka
kembali rapi seperti semula.
Cerita tentang perjuangan waktu dalam
mengkonstruk teks proklamasi seperti di atas mungkin tak bisa lagi dibaca untuk
pejuang-pejuang masa kini yang berniat merekonstruksi sejarah serupa. Apalagi
untuk menemukan tulisan tangan seperti surat-surat Kartini dan Soekarno di abad
ini. Mereka lebih disibukkan dengan kemolekan mesin yang mampu menampung segala
bahasa imajinasi. Tulisan tangan hidup dalam kuasanya yang terbatas. Hanya menjelma
dalam ruang catatan kecil para wartawan dan resep dokter. Corat-coretan itu tak
lagi dibaca dalam kuasa garis dan rupa, namun diperlakukan sebagai simbol,
sandi, kode yang menarasikan sebuah arti. Lihatlah tulisan tangan dokter
melalui resepnya. Tak sembarang orang mampu membaca. Hanya orang-orang yang
telah memiliki pendidikan khususlah yang mampu. Hal yang masih bertahan karena
kuasanya tak sanggup digantikan oleh digit tuts keyboard dalam mesin.
Selebihnya, tulisan tangan dan
corat-coretnya telah mengalami kebangkrutan. Sejarah tangan bukan lagi bersama
pena, namun teknologi. Grafologi kemudian bukan lagi untuk membaca coretan
karya tangan namun membaca detail kecanggihan mesin. Kuasa tangan dan pena
hanya menunggu waktu untuk kemudian dikenang dalam peradaban intelektual
manusia. Zaman literasi yang dibangun lewat pena sudah dianggap kuno,
ketinggalan zaman dan udik. Anak-anak datang ke sekolah tidak lagi membawa buku
dan pena namun laptop dan tablet karena mampu menyediakan berbagai pemilihan
kaligrafi tulisan (font), lebih mudah
dengan hanya sekali klik. Serbuan teknologi masa kini seperti dentum proklamasi,
‘dalam waktu dan tempo yang sesingkat-singkatnya’.
Aris Setiawan
Penulis ,
Pengajar di ISI Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar