Quo Vadis Dewan Kesenian Solo (dimuat di Koran Solopos, edisi 13 September 2012)




Quo Vadis Dewan Kesenian Solo

Bambang Irawan terpilih sebagai ketua Dewan Kesenian Solo (DKS) yang baru (Jumat, 7 September 2012). Sejak ditinggal mantan ketuanya, Murtidjono, pada Januari silam, DKS menjadi tak tentu arah. Sayup-sayup semakin tak terdengar kiprahnya. Namun beberapa saat lalu desakan untuk kembali menghidupkan eksistensi DKS banyak didengungkan oleh para seniman, budayawan maupun pemerhati seni khususnya di daerah Solo. Mengingat kepengurusan yang lama akan berakhir pada tahun ini (Solopos, 24 Agustus 2012).
Berbeda dengan pemilihan ketua DKS sebelumnya yang dilaksanakan secara terbuka dan transparan. Melibatkan banyak seniman, budayawan, masyarakat umum untuk turut serta memberi kontribusi pada pemilihan pengurus DKS kala itu, hingga secara aklamasi mengukuhkan Murtidjono sebagai pimpinan tertinggi. Sementara tahun ini lebih eksklusif, pemilihan pengurus DKS diserahkan pada sosok elite tertentu yang terdiri dari GPH Puger, Kastoyo Ramelan, Begog D. Winarso, BJ Riyanto, MT Arifin, Djarot Budi Darsono, Retno Sayekti, Lawu, Gigok Anurogo, ST Wiyono. Menarik untuk dipertanyakan, bagaimana posisi kerja DKS ke depan di antara kepungan lembaga seni versi ‘plat merah’ tertutama di wilayah Solo? Pertanyaan lain yang tak kalah penting, dengan melihat jejak sejarah dan perjalanannya, masih perlukah DKS dihadirkan kembali di Solo?
 
Dewan Seni
Posisi dewan kesenian hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Perkara bagaimana prestasi kinerjanya itu urusan lain. Bermunculannya dewan kesenian adalah upaya dalam menindak lanjuti Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5A Tahun 1993 tentang pembentukan lembaga  keterwakilan  masyarakat dalam konteks kesenian yang membantu pemerintah setempat dalam mewadahi, menangani dan menguatkan seluruh potensi kesenian di daerahnya. Walaupun berwujud lembaga non pemerintah (abu-abu), namun sebagian besar biaya proses kerjanya didapatkan dari APBD.
Instruksi menteri dalam negeri di atas lahir dalam upaya menyikapi gagasan yang dicetuskan oleh Ali Sadikin dan Goenawan Muhammad. Kedua tokoh itu memandang bahwa dewan kesenian penting untuk diadakan dalam upaya menangkal infilterasi sosialisme dan komunisme dalam ranah kebudayaan terutama seni. Michael Gunadi Widjaja (2010) memandang bahwa secara tak langsung dewan kesenian menjadi tameng pemerintah, menjadi lembaga yang melegitimasi karya seni, bahkan semacam sensor santun terhadap karya seni.
Setelah dewan kesenian bertaburan bak jamur di musim hujan, muncullah seabreg persoalan, dari masalah dana hingga kepengurusan. Keanggotaan dewan kesenian tidak seperti dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Daerah (DPRD). Dewan kesenian adalah sebuah lembaga yang menuntut kemampuan ganda namun spesifik. Di sinilah letak pangkal persoalannya. Apabila pengurus dewan kesenian seorang seniman, tentunya akan kesulitan dalam menghadapi sistem kerja yang cenderung birokratis. Di sisi lain, jika dari kalangan pemerintah atau birokrat, cenderung administratif dan tidak mengerti dengan detail persoalan kesenian. Sementara birokrat dan sekaligus seniman jumlahnya sangat jarang, kalau tak mau dikatakan tidak ada.
Kenapa demikian? Lazimnya seorang seniman yang masuk dalam birokrasi kepemerintahan, lebih disibukkan dengan urusan-urusan kedinasan, sehingga kadar frekuensi kekaryaannya menjadi berkurang. Status kesenimanannya kemudian dipertanyakan. Begitu juga sebaliknya. Walhasil, banyak dewan kesenian di daerah baik kota maupun kabupaten gulung tikar. Fahrudin Nasrulloh (2010) mengindikasin kelahiran dewan kesenian masih cenderung prematur. Tak jelas posisi tugas kerja dan fungsinya. Kadang masih tumpang tindih dengan instansi pemerintah yang bergerak dalam ruang kebudayaan dan seni. Di Solo sendiri misalnya terdapat ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta yang bergerak dalam misi pendidikan seni, Taman Budaya sebagai laboratorium pengembangan dan publikasi seni, belum lagi lembaga kepemerintahan daerah semacam dinas pariwisata, dinas pendidikan dan kebudayaan, dinas pemuda dan olahraga yang semuanya memiliki legalisasi resmi untuk mengurusi kesenian. Hal itu belum termasuk lembaga swasta.
Karena persoalan itulah Murtidjono lewat tulisannya berjudul Anatomi Dewan Kesenian (2010) dengan lugas mengakui cukup sulit untuk memetakan fungsi dan kerja dewan kesenian terutama di wilayah Solo. Sementara jika berkaca pada daerah lain, Jawa Timur misalnya, fungsi dewan kesenian daerah lebih banyak sebagai event organizer (EO) seni. Yakni mengerjakan pelaksanaan agenda seni yang dibuat oleh pemerintah, alias menjadi panitia. Gerak ruang kerja dewan kesenian menjadi improvisatif, apapun bisa dilakukan asalkan masih berhubungan dengan seni, termasuk menjadi EO. Sehingga fungsinya sebagai dewan yang menjadi mediator sekaligus katalisator antara seniman, masyarakat dan pemerintah harus pupus.

Pemimpin Baru
Dewan Kesenian Solo berdiri pada tahun 2008. Tujuan utamanya memberikan rujukan atau rekomandasi tentang urgensi, prioritas dan rancangan strategi pembangunan kesenian di wilayah Solo. Murtidjono terpilih sebagai ketua karena dianggap berpengalaman, terutama bekal saat memimpin Taman Budaya Jawa Tengah. Namun Murtidjono seolah bekerja sendiri dan tak didukung oleh sumber daya manusia yang kompeten. Nafas DKS menjadi dikenal publik bukan karena hasil kerja dan capaiannya, namun karena kebesaran nama Murtidjono. Akumulasi program DKS sering kali tak terbaca oleh publik.
Terbukti, setelah Murtidjono tiada, DKS tertatih-tatih dalam melaksanakan dan mengevaluasi program kerjanya. Murtidjono adalah manajer yang tangguh, bukan figur improvisatif dengan kompetensi manajerial yang nanggung. Dengan sosoknya yang demikian, wajar jika aspirasi seniman, pekerja seni, pemikir kebudayaan serta pemangku kepentingan dapat diakomodasi dan dijalankan olehnya. Walaupun ia sendiri lebih banyak dikenal lewat kepimpinannya di Taman Budaya daripada DKS.
Mampukah Bambang Irawan bertindak seperti Murtidjono atau bahkan melampauinya? Kita tunggu saja hasilnya. Namun cukup disayangkan, nama Dosen Universitas Sebelas Maret (UNS) itu tiba-tiba muncul yang secara aklamasi menandai era kepengurusan baru tapi tanpa disertai adanya jejak pertanggungjawaban dari kepengurusan lama. Masyarakat menunggu-nunggu laporan pertanggung jawaban dari pengurus lama sebelum demisioner dan pelimpahan ke pengurus yang baru. Capaian apa yang sudah dilakoni, bagaimana hasilnya, dan apa manfaatnya? Adalah serentetan pertanyaan yang ditujukan pada pengurus DKS lama. Ironis, hal itu belum (bahkan mungkin tak) terjadi. Organisasi DKS seolah menjadi ruang elite yang dapat dibentuk dengan suka-suka menuruti ego pengurusnya. Lupa bahwa lembaga itu dihadirkan sebagai payung yang memberi keteduhan bagi para seniman, masyarakat serta pemerhati seni. Sehingga apapun yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan publik, bukan sekedar perorangan atau kepentingan segelintir individu.
Terlebih DKS dalam beberapa tahun belakangan tak mampu memposisikan dirinya di tengah kepungan lembaga sejenis. Kerjanya seringkali overlapping dengan institusi kebudayaan lain. Pembentukan DKS seolah hanya menjadi semarak dan euforia dalam meraih ambisi penuh pamrih. Sementara aspek kemanfaatan serta kegunaannya dirasa ompong, kalau bukannya mandul. Solo hanya gagap dan tertatih-tatih karena melihat banyak daerah lain berlomba membentuk dewan kesenian, lalu turut serta menghadirkannya. Padahal hingga detik ini masih tak terumuskan dengan jelas proporsi kerja dan wilayah pertanggung jawabannya. Jika kehadiran DKS dirasa belum memiliki kontribusi besar bagi denyut hidup kesenian di Solo, alangkah lebih bijaknya jika tak usah diadakan saja.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut