Matah Ati dan Renaisans Kebudayaan Jawa (dimuat di Jawapos edisi 23 September 2012)

Matah Ati dan Ranaisans Kebudayaan Jawa




Fenomena Matah Ati (Solo, 8/9/10 September 2012) dalam beberapa waktu terakhir begitu menyedot perhatian publik. Bahkan berbagai media menjadikannya head line pemberitaan. Sebuah wacana baru dalam jagad seni pertunjukan Indonesia masa kini. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah even pertunjukan, maka dengan dibanjiriannya lima ribu lebih tiap malamnya adalah sebuah pencapaian yang menomental. Bagaimanapun juga fenomena Matah Ati tak terhenti dalam domain seni pertunjukan semata, namun juga menyimpan pesan tersendiri sebagai tonggak bangkitnya kembali epos kebudayaan Jawa yang selama ini tertidur lelap.

Renaisans Kebudayaan Jawa
Syahdan, Raden Said atau biasa disebut juga sebagai Pangeran Samber Nyawa bertapa untuk meminta wahyu Ilahi agar dimudahkan jalan dalam memerangi penjajah Belanda. Suksmanya keluar meninggalkan raga, tiba-tiba datanglah Rubiyah memeluknya. Di alam nir sadar itu, Samber Nyawa bermadu kasih dengan Rubiyah, gadis dari desa Matah Ati putri dari guru ngajinya. Tak berselang lama ia tersadar dari laku semedi. Pergulatan dengan gadis desa itu menjadi secercah wahyu, pertanda pesan yang disampaikan Tuhan, bahwa dialah jodoh yang selama ini dinantikannya. Siapa sangka, Rubiyah yang pandai mengaji, feminim, lemah gemulai itu ternyata mahir berperang. Ia didaulat oleh Raden Said memimpin pasukan (legiun) prajurit wanita bertempur melawan penjajah Belanda. Dan hebatnya lagi, menang!
Tak dinyana, detail lika-liku kehidupan Raden Said dan Rubiyah kala itu menjadi guratan cerita yang menarik di masa kini. Bukan lagi sebuah karangan atau rekaan cerita, itu diambil dari kisah nyata. Beruntunglah kita di masa kini, mampu menikmati suguhan cerita kehidupan sambil bertepuk tangan. Lika-liku derita dan perjuangan ‘manusia Jawa penting’ di masa silam menjadi aset lukisan sanggit cerita yang menggiurkan oleh seniman-seniman masa kini. Tak hanya kisah Matah Ati yang mengangkat kehidupan seorang tokoh penting dalam detak hidup sejarah dan kebudayaan Jawa. Sardono W Kusumo juga pernah mengemas detail cerita kehidupan Dipenegoro lewat Opera Diponegoro November tahun lalu. Bagi Sardono, Perang Diponegoro bukanlah sekadar perang personal sang pangeran terhadap kesewenang-wenangan Belanda, melainkan sebagai pertempuran sengit yang tak kunjung usai antara kemanusiaan dan kesewenang-wenangan yang lebih luas. Bahkan perang itu tidak hanya dalam bingkai teritorial sepetak tanah milik pangeran, tetapi meluas ke Jawa dan juga Indonesia. Untuk menggarap dan merangkai sisi kehidupan Diponegoro dalam pertunjukan opera itu, Sardono meniti waktu lebih dari 20 tahun. Sebuah kerja kesenimanan yang luar biasa. Diponegoro lebih dari sekedar sosok yang memberi ilham, namun telah menjadi laku kreatif seniman.
Tentu kita masih ingat pula saat Sahita, kelompok tari asal Solo mementaskan karyanya yang terilhami dari kehidupan pujangga Jawa, Ranggawarsito dan serat Kalatidha. Karya itu dipentaskan lebih dari 80 panggung, baik di Indonesia maupun luar negeri. Belum lagi tentang eksplorasi cerita-cerita yang berbalut mitos semacam Lutung Kasarung, Sangkuriang serta Roro Mendhut dan Babad Tanah Jawi yang distradarai oleh Ida Soeseno, dipentaskan pada April kemarin di Taman Ismail Marzuki. Panggung seni pertunjukan Indonesia dewasa ini kuyup dengan aroma kisah para pendiri dan penggagas ‘makna’ Jawa.
Di satu sisi, fenomena itu menyemai penekanan mendasar bahwa Jawa mampu memberi segudang pilihan dan tafsir atas imajinasi estetik. Jejak-jejak cerita yang selama ini hanya menjadi medan mitos penghantar tidur anak, kemudian mampu menyublim dengan indah lewat panggung-panggung pertunjukan. Matah Ati adalah sebuah babak baru dalam rangkaian sinergi kerja kreatif seni pertunjukan dengan basis eksplorasi akar tradisi yang pekat. Tak hanya dentum dalam tafsir cerita yang lebih menggoda, namun juga tata artistik, panggung, kostum bahkan gerak yang digarap sempurna. Era ketoprak, wayang orang seolah telah bermetamorfosis menjadi suguhan baru yang lebih menggairahkan.

Gamelan
Ekspos besar-besaran terhadap Matah Ati seolah menjadikan pertunjukan tersebut elite dan berkelas. Sayangnya, domain yang dibidik seringkali hanya persoalan artistik, panggung, gerak dan kostum. Persoalan-persoalan krusial lainnya seperti musik jarang didudukkan sebagai satu episentrum penting dalam totalitas seni pertunjukan secara utuh. Gamelan, mau tak mau adalah bagian krusial dari segala pertunjukan yang bertema tentang Jawa selama ini. Baik di panggung-penggung megah ibu kota maupun Matah Ati di Solo.
Gamelan kemudian menjadi alat musik paling muthakir. Keberadaanya diterima dan mampu diapresiasi oleh segala lapisan masyarakat. Anggapan yang menempatkan alat musik ini tak lagi kongruen dengan zaman, kuno dan ketinggalan, secara tak langsung terdekonstruksi. Terbukti, antusiasme masyarakat yang datang kala pertunjukan Matah Ati digelar, tak hanya mampu menikmati glamournya panggung dan gemerlapnya lampu, namun juga indahnya denting bunyi gamelan. Walau jika boleh jujur diakui, garapan yang dilekatkan pada pertunjuakan Matah Ati tak semerdu pemberitaannya.
Tidak banyak warna baru yang bisa dijumpai dari karya Blacius Subono sebagai komposer. Ia masih mencoba mengais-ngais karya-karya lama seperti Subokastawanya Narto Sabdo, karya musiknya yang diperuntukkan untuk Hari Kebenagkitan Nasional di Jakarta tahun 1993, serta komposisi musik Dalang Goyang Gendeng yang dipentaskan tahun 1998. Karya-karya tersebut dimunculkan kembali dengan alih-alih memberi kesan lain. Namun bagi penonton dan penikmat yang tak pernah mengikuti rakam jejak Subono tentu akan menganggap karya itu sebagai musik baru yang memukau telinga.
Subono terkesan terburu-buru dalam eksplorasi gamelan dengan dua laras, slendro dan pelog. Adakalanya dua laras itu dibenturkan, namun ia tak menyadari noise (maxing, suara terselubung, tak jelas nada pokoknya) yang muncul. Jembatan peralihan di antara keduanyapun sering kali tidak tergapai dengan indah dan lancar, alias main tabrak. Nada-nada gamelan seolah tereksploitasi tanpa pertimbangan yang matang. Dalam pentas Matah Ati malam itu, kreativitas Subono seolah terkungkung, tidak seperti karya-karyanya terdahulu yang penuh greget. Kadang kala musik berjalan tidak konstekstual dengan sajian tari di atas panggung. Saat Rubiyah dan prajurit wanita berlatih beladiri, musik justru tidak mendukung suasana, sepi dan tak lagi beringas.
Di beberapa titik memang kelihatan timpang. Namun di sisi lain faktor sound system untuk panggung pertunjukan terbuka kurang begitu mendukung. Walaupun dua perangkat gamelan dijadikan satu, namun masih belum mampu mendongkrak karakter dan suasana yang ingin dibangun di atas panggung terbuka. Singkatnya, masih kelihatan feminim walaupun kesan yang ingin dicapai adalah maskulin. Subono seolah terbentur dengan waktu untuk eksplorasi ide-ide musikal yang lebih menggoda.
Terlepas dari itu semua, gamelan adalah orkestra musik etnik terbesar di dunia. Perbendaharaan wilayah nadanya memungkinkan seniman dan musikus untuk larut dalam pencarian-pencarian bentuk kompisisi anyar. Kemegahan gamelan seolah baru tersadari dalam beberapa waktu kini, setelah lama tertidur pulas di kandangnya sendiri. Semangat baru pertunjukan Indonesia dengan membawa warna Jawa lewat gamelan tak hanya dikagumi oleh kaum pribumi, namun juga dunia. Matah Ati dan pertunjukan lain sejenis boleh jadi hanya titik awal renaisans gamelan dalam menjadi menu bunyi utama, menggantikan suplai suara musik yang selama ini telah mendistorsi telinga kita.
Selanjutnya tentu akan muncul karya-karya baru serupa dengan lebih monumental. Diproses, digodog dan dieksplorasi dengan lebih matang. Gamelan sekali lagi akan nangkring menghantui dan menyerang telinga untuk lebih mendekatkan kita mengenal habitus akar tradisi di Nusantara. Renaisans kebudayaan Jawa dan Indonesia telah tiba.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut