Sejarah, Sinetron dan Visualisasinya (dimuat di Koran Joglosemar edisi 20 Juni 2013)



Sejarah, Sinetron dan Visualisasinya



Akhir-akhir ini, banyak sinetron kolosal bermunculan di layar kaca dengan mengambil tema kisah sejarah pendiri nusantara. Sebut saja misalnya Gajah Mada, Ken Arok, Rangga Lawe, Samber Nyawa (Karebet) dan lain sebagainya. Namun sayang, penggambaran ulang tersebut tak disertai dengan jelajah data yang komprehensif. Semata hanya mengejar rating, meraih ambisi penuh pamrih dari keuntungan iklan. Akibatnya, tak hanya jalannya cerita yang melenceng, tapi muncul juga tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak ada dalam laku sejarah. Bagaimana kemudian mendudukkan sinetron sebagai fiksi sejarah dan realitas sejarah? Serta bagaimana kita memaknai kembali kehadiran sejarah versi baru itu dalam narasi visual yang berbeda?

(tak) Kreatif
Dikisahkan, Ken Arok sebelum menjadi raja besar pendiri Majapahit adalah seorang perampok yang kejam dan keras. Tiba-tiba saja ia naik Harley Davidson, kebut-kebutan di jalan raya. Memalak para pedagang di pasar dan terminal. Penampilan macho, memakai jeans, kacamata hitam, berjenggot namun lusuh tak terawat. Penggambaran semacam itu lazim kita jumpai di layar kaca. Cerita masa lampau yang mencoba dikontekstualisasikan dengan keadaan zaman di masa kini. Tak salah memang, karena tujuannya sederhana, membuatnya lebih segar, agar digemari oleh generasi muda yang semakin abai sejarah. Namun sayang, tampilan dan visualisasi baru justru semakin terasa naif. Diadakan bukan sebagai katalisator yang mempertautkan kisah dan benang sejarah dengan manusia masa kini, namun sebagai ajang pertaruhan bisnis.
Cerita besar yang pernah terjadi di masa silam seolah menjadi aset berupa lukisan sanggit cerita yang menggiurkan oleh seniman-seniman masa kini. Sayangnya, banyak yang tak disertai dengan eksplorasi sisi kreatif, cenderung dangkal. Akibatnya, keagungan tokoh tak mampu terwacanakan dengan baik, bahkan terkesan banal dan mengada-ada. Jangan heran kemudian jika Ken Arok naik motor gede atau Gajah Mada kecil berpakaian serba mewah dan mencolok. Wilayah abu-abu yang selama ini tak jelas dengan mudah dapat kita lihat. Kitapun seolah menjadi mafhum siapa bapak dan ibu Gajah Mada, bagaimana asesoris, siapa gurunya, bahkan siapa kekasihnya. Tokoh-tokoh baru dibuat untuk mengisi kekosongan wilayah yang tak terjamah sejarah. Tapi sayang, tak diimbangi dengan penelitian apalagi dengan mengkaji data dan sumber secara relevan.
Pada titik inilah pedebatan dapat digulirkan, terkait sinetron sebagai sebuah karya seni  ataukah sebagai karya pelukisan sejarah. Para pembuat film itu dengan mudah berapologi bahwa karya sinetron adalah karya kreatif (fiksi) yang mampu memenuhi segala hasrat dan imajinasi dari sutradaranya. Ia bisa menciptakan tokoh apapun sejauh dikehendaki dan selama masyarakat menyukai. Hal yang sama juga terjadi di dunia sastra atau novel bergenre sejarah. Imajinasi seorang sastrawan dapat dituangkan dengan bebas. Sebagai sebuah karya fiksi, batas-batas logika dan kebenaran sebagai sebuah peristiwa kadang sengaja dikaburkan. Akibatnya, tak sedikit masyarakat yang membaca ataupun melihat telah menganggapnya sebagai kebenaran tunggal.
Di satu sisi, karya-karya penelitian sejarah selama ini justru beku dalam perpustakaan. Tak mampu dengan cair menyapa masyarakat karena berbagai faktor. Kaidah penulisan ilmiah misalnya, selama ini dianggap kaku dengan gaya bahasanya yang njimet dan tak mudah difahami. Sementara masyarakat dan generasi muda membutuhkan informasi yang lebih komunikatif. Para sejarawan tak memiliki kuasa dan kemampuan dalam gaya tutur populis. Di sisi lain, orang-orang yang terlibat di dunia media justru memiliki kompentensi itu, namun tak memiliki data yang digenggam kaum sejarawan. Idealnya, sejarawan dan kaum media dapat bersinergi untuk menampilan babak kisah yang relevan, tidak menyimpang dan lebih penting lagi mencerdaskan publik.
Media memiliki peranan besar terkait misi yang terakhir itu. Bagaimana tidak, sejarah nusantara sebagai sebuah ilmu pengetahuan selama ini justru membatu dan “terpeti-es-kan” dalam ruang-ruang pendidikan. Dianggap sebagai bahan yang semata untuk dihafal dan dilupakan setelah selesai ujian. Sejarah tak mampu terjembatani dengan baik, apalagi menjadi pelajaran idola. Sejarah tak lagi bisa didongengkan. Media massa (cetak maupun elektronik) harusnya mampu mengambil kesempatan ini untuk kembali menarasikan fakta-fakta sejarah dengan lebih familer, karena prinsip media adalah kreatif dan komunikatif. Otomatis, dengan menonton sinetron yang dilengkapi kajian sejarah mendalam hasil penelitian dari sejarawan, maka akan mampu menghasilkan tontonan sekaligus tuntunan yang bermanfaat dan lebih utama lagi menghibur. Pada konteks itu, media mengisi kebuntuan sejarah di bangku-bangku pendidikan kita.

Kekuasaan
Di manapun itu, cerita sejarah seolah hanya menarasikan tentang kekuasaan, kekuasaan dan kekuasaan. Tak lebih dari itu. Kisah hanya diisi dengan penaklukan, kesaktian, kekerasan dan perang. Karenanya, efek sinetron dalam layar kaca menjadi dibesar-besarkan. Berbagai jurus ilmu dikeluarkan. Lebih penting semua pemerannya haruslah cakep, ganteng dan cantik. Tak ada telusur penelitian otentik tentang bagaimana kostum yang dipakai, musik yang berkembang kala tokoh itu hidup, dan situasi sosialnya. Semua seolah dianggap sebagai aspek pendukung yang tak penting untuk dihadirkan. Jangan kaget jika melihat sinetron Gajah Mada terdapat musik India, memakai sandal gunung dan rumahnya dari tembok berbeton.
Lihatlah kemudian film Kingdom of Heaven, 300, Troy, The Last Samuray, Cut Nyak Dien, Soe Hok Gie¸ Habibie Aniun, Iron Lady, dan yang terbaru Sang Kiai yang digarap dengan begitu detail. Kita bisa melihat bagaimana realitas kostum, musik, dan lingkungan sosial yang begitu penting untuk dipertimbangkan sesuai dengan kenyataan yang terjadi kala peristiwa itu berlangsung. Sejarah terkomunikasikan dengan sempurna. Melihatnya membuat kita banjir air mata, merinding bahkan kadang tertawa terbahak-bahak. Yang dikejar tak semata orientasi uang, namun meninggalkan kesan untuk direnungkan kembali.
Sejarah bukanlah masa lalu yang beku. Lewat media (termasuk sinteron) senantiasa dapat menjadi sesuatu yang baru. Batas-batas logika tentunya harus tetap dijaga agar tidak mengacak-acak realita. Hal itu tak dapat kita lihat dalam tontonan sinetron-sinetron yang mengambil ruang sejarah di Indonesia mutakhir. Secara tak langsung, sebenarnya pembodohan masal sedang diberlangsungkan. Dan apabila dibiarkan terus-menerus, maka tak menutup kemungkinan hal yang fiktif itu menjadi kebenaran tunggal, menutup peristiwa sejarah yang senyatanya terjadi.
Kepedulian dalam merawat sejarah harusnya menjadi tugas siapapun, tak terkecuali para pelaku dunia film dan persinetronan. Jangan hanya karena keuntungan yang tak seberapa, maka mengorbankan segalanya. Di sinilah fungsi Komisi Penyiaran Indonesia menjadi penting, yang harusnya tak hanya mensensor adegan panas, mengkaburkan gambar rokok, atau hal-hal berbau fisik semata. Namun dapat mengontrol keabsahan data bagi pertunjukan film dan sinetron yang beraroma sejarah. Tentunya, hal itu jangan dianggap sebagai pembatasan atas kreativitas. Namun sebagai upaya dalam misi pendidikan publik. Kita lihat saja, sejauh mana efek yang akan ditimbulkan dari sinetron-sinetron kolosal beraroma pengingkaran data sejarah itu? Atau sepandai apa para guru sejarah menjawab pelbagai pertanyaan dari muridnya yang semalam menonton sinetron itu?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut