Sejarah, Sinetron dan Visualisasinya
Akhir-akhir ini, banyak sinetron kolosal
bermunculan di layar kaca dengan mengambil tema kisah sejarah pendiri
nusantara. Sebut saja misalnya Gajah Mada, Ken Arok, Rangga Lawe, Samber Nyawa
(Karebet) dan lain sebagainya. Namun sayang, penggambaran ulang tersebut tak
disertai dengan jelajah data yang komprehensif. Semata hanya mengejar rating,
meraih ambisi penuh pamrih dari keuntungan iklan. Akibatnya, tak hanya jalannya
cerita yang melenceng, tapi muncul juga tokoh-tokoh baru yang sebelumnya tidak
ada dalam laku sejarah. Bagaimana kemudian mendudukkan sinetron sebagai fiksi
sejarah dan realitas sejarah? Serta bagaimana kita memaknai kembali kehadiran sejarah
versi baru itu dalam narasi visual yang berbeda?
(tak) Kreatif
Dikisahkan, Ken Arok sebelum menjadi
raja besar pendiri Majapahit adalah seorang perampok yang kejam dan keras.
Tiba-tiba saja ia naik Harley Davidson, kebut-kebutan di jalan raya. Memalak
para pedagang di pasar dan terminal. Penampilan macho, memakai jeans, kacamata
hitam, berjenggot namun lusuh tak terawat. Penggambaran semacam itu lazim kita
jumpai di layar kaca. Cerita masa lampau yang mencoba dikontekstualisasikan
dengan keadaan zaman di masa kini. Tak salah memang, karena tujuannya sederhana,
membuatnya lebih segar, agar digemari oleh generasi muda yang semakin abai
sejarah. Namun sayang, tampilan dan visualisasi baru justru semakin terasa
naif. Diadakan bukan sebagai katalisator yang mempertautkan kisah dan benang sejarah
dengan manusia masa kini, namun sebagai ajang pertaruhan bisnis.
Cerita besar yang pernah terjadi di masa
silam seolah menjadi aset berupa lukisan sanggit cerita yang menggiurkan oleh
seniman-seniman masa kini. Sayangnya, banyak yang tak disertai dengan eksplorasi
sisi kreatif, cenderung dangkal. Akibatnya, keagungan tokoh tak mampu
terwacanakan dengan baik, bahkan terkesan banal dan mengada-ada. Jangan heran
kemudian jika Ken Arok naik motor gede atau Gajah Mada kecil berpakaian serba
mewah dan mencolok. Wilayah abu-abu yang selama ini tak jelas dengan mudah
dapat kita lihat. Kitapun seolah menjadi mafhum siapa bapak dan ibu Gajah Mada,
bagaimana asesoris, siapa gurunya, bahkan siapa kekasihnya. Tokoh-tokoh baru
dibuat untuk mengisi kekosongan wilayah yang tak terjamah sejarah. Tapi sayang,
tak diimbangi dengan penelitian apalagi dengan mengkaji data dan sumber secara
relevan.
Pada titik inilah pedebatan dapat
digulirkan, terkait sinetron sebagai sebuah karya seni ataukah sebagai karya pelukisan sejarah. Para
pembuat film itu dengan mudah berapologi bahwa karya sinetron adalah karya
kreatif (fiksi) yang mampu memenuhi segala hasrat dan imajinasi dari
sutradaranya. Ia bisa menciptakan tokoh apapun sejauh dikehendaki dan selama
masyarakat menyukai. Hal yang sama juga terjadi di dunia sastra atau novel
bergenre sejarah. Imajinasi seorang sastrawan dapat dituangkan dengan bebas.
Sebagai sebuah karya fiksi, batas-batas logika dan kebenaran sebagai sebuah
peristiwa kadang sengaja dikaburkan. Akibatnya, tak sedikit masyarakat yang
membaca ataupun melihat telah menganggapnya sebagai kebenaran tunggal.
Di satu sisi, karya-karya penelitian
sejarah selama ini justru beku dalam perpustakaan. Tak mampu dengan cair
menyapa masyarakat karena berbagai faktor. Kaidah penulisan ilmiah misalnya,
selama ini dianggap kaku dengan gaya bahasanya yang njimet dan tak mudah
difahami. Sementara masyarakat dan generasi muda membutuhkan informasi yang
lebih komunikatif. Para sejarawan tak memiliki kuasa dan kemampuan dalam gaya
tutur populis. Di sisi lain, orang-orang yang terlibat di dunia media justru
memiliki kompentensi itu, namun tak memiliki data yang digenggam kaum
sejarawan. Idealnya, sejarawan dan kaum media dapat bersinergi untuk menampilan
babak kisah yang relevan, tidak menyimpang dan lebih penting lagi mencerdaskan
publik.
Media memiliki peranan besar terkait
misi yang terakhir itu. Bagaimana tidak, sejarah nusantara sebagai sebuah ilmu
pengetahuan selama ini justru membatu dan “terpeti-es-kan” dalam ruang-ruang
pendidikan. Dianggap sebagai bahan yang semata untuk dihafal dan dilupakan
setelah selesai ujian. Sejarah tak mampu terjembatani dengan baik, apalagi
menjadi pelajaran idola. Sejarah tak lagi bisa didongengkan. Media massa (cetak
maupun elektronik) harusnya mampu mengambil kesempatan ini untuk kembali
menarasikan fakta-fakta sejarah dengan lebih familer, karena prinsip media adalah
kreatif dan komunikatif. Otomatis, dengan menonton sinetron yang dilengkapi
kajian sejarah mendalam hasil penelitian dari sejarawan, maka akan mampu
menghasilkan tontonan sekaligus tuntunan yang bermanfaat dan lebih utama lagi
menghibur. Pada konteks itu, media mengisi kebuntuan sejarah di bangku-bangku
pendidikan kita.
Kekuasaan
Di manapun itu, cerita sejarah seolah
hanya menarasikan tentang kekuasaan, kekuasaan dan kekuasaan. Tak lebih dari
itu. Kisah hanya diisi dengan penaklukan, kesaktian,
kekerasan dan perang. Karenanya, efek sinetron dalam layar kaca menjadi
dibesar-besarkan. Berbagai jurus ilmu dikeluarkan. Lebih penting semua
pemerannya haruslah cakep, ganteng dan cantik. Tak ada telusur penelitian
otentik tentang bagaimana kostum yang dipakai, musik yang berkembang kala tokoh
itu hidup, dan situasi sosialnya. Semua seolah dianggap sebagai aspek pendukung
yang tak penting untuk dihadirkan. Jangan kaget jika melihat sinetron Gajah
Mada terdapat musik India, memakai sandal gunung dan rumahnya dari tembok
berbeton.
Lihatlah kemudian film Kingdom of Heaven, 300, Troy, The Last
Samuray, Cut Nyak Dien, Soe Hok Gie¸ Habibie Aniun, Iron Lady, dan yang terbaru
Sang Kiai yang digarap dengan begitu detail. Kita bisa melihat bagaimana
realitas kostum, musik, dan lingkungan sosial yang begitu penting untuk
dipertimbangkan sesuai dengan kenyataan yang terjadi kala peristiwa itu
berlangsung. Sejarah terkomunikasikan dengan sempurna. Melihatnya membuat kita
banjir air mata, merinding bahkan kadang tertawa terbahak-bahak. Yang dikejar
tak semata orientasi uang, namun meninggalkan kesan untuk direnungkan kembali.
Sejarah bukanlah masa lalu yang beku.
Lewat media (termasuk sinteron) senantiasa dapat menjadi sesuatu yang baru. Batas-batas
logika tentunya harus tetap dijaga agar tidak mengacak-acak realita. Hal itu
tak dapat kita lihat dalam tontonan sinetron-sinetron yang mengambil ruang
sejarah di Indonesia mutakhir. Secara tak langsung, sebenarnya pembodohan masal
sedang diberlangsungkan. Dan apabila dibiarkan terus-menerus, maka tak menutup
kemungkinan hal yang fiktif itu menjadi kebenaran tunggal, menutup peristiwa
sejarah yang senyatanya terjadi.
Kepedulian dalam merawat sejarah harusnya
menjadi tugas siapapun, tak terkecuali para pelaku dunia film dan persinetronan.
Jangan hanya karena keuntungan yang tak seberapa, maka mengorbankan segalanya.
Di sinilah fungsi Komisi Penyiaran Indonesia menjadi penting, yang harusnya tak
hanya mensensor adegan panas, mengkaburkan gambar rokok, atau hal-hal berbau
fisik semata. Namun dapat mengontrol keabsahan data bagi pertunjukan film dan
sinetron yang beraroma sejarah. Tentunya, hal itu jangan dianggap sebagai
pembatasan atas kreativitas. Namun sebagai upaya dalam misi pendidikan publik. Kita
lihat saja, sejauh mana efek yang akan ditimbulkan dari sinetron-sinetron kolosal
beraroma pengingkaran data sejarah itu? Atau sepandai apa para guru sejarah
menjawab pelbagai pertanyaan dari muridnya yang semalam menonton sinetron itu?
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar