Menelusuri Budaya Jakarta (dimuat di Koran Jakarta edisi 26 Juni 2013)

Menelusuri Budaya Jakarta




Bulan ini sakral bagi Jakarta. Ibu kota negara Indonesia itu berulang tahun ke-486 pada 22 Juni. Namun, tak banyak yang mengetahui sejarah usia kota yang boleh dibilang tak muda lagi ini.
Membicarakan ulang tahun Kota Jakarta berarti membuka lembaran jejak-jejak sejarah. Jakarta telah berlari begitu kencang, menjadi kota maju dan gemerlap. Segala pergulatan hidup ada, dari pejabat, pedagang, politisi, pengemis, pedagang asongan, hingga bandar narkoba. Jakarta menjadi lahan empuk dalam ambisi meraih untung dan pamrih.
Jakarta telah melalui berbagai tahap dan pergulatan panjang. Dikisahkan Rushdy Hoesein lewat bukunya, Sejarah Hari Lahirnya Kota Jakarta (2011), penjajah Belanda datang ke Jayakarta pada abad XVI yang sebelumnya menjadi bagian dari Kerajaan Pajajaran. Belanda berhasil menduduki Jayakarta yang kala itu dipimpin Pangeran Jayakarta. Setelah itu, Belanda mengganti nama Jayakarta dengan sebutan Batavia pada tahun 1905.
Singkat cerita, setelah Jepang berhasil memukul mundur Belanda, Batavia diganti menjadi Djakarta yang saat ini lebih dikenal dengan Jakarta (1942). Uniknya, sejarah berdirinya Jakarta tak dapat dipisahkan dengan keberadaan Sungai Ciliwung. Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda (Pajajaran) bernama Sunda Kelapa yang bermuara di Sungai Ciliwung. Kapal-kapal asing hilir mudik untuk melakukan perdagangan dan misi lainnya. Sunda Kelapa menjadi daerah yang maju, baik dari ekonomi maupun peradabannya.
Otomatis, membicarakan Jakarta berarti menelisik tentang Sungai Ciliwung. Setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi pusat pemerintahan. Segala tentang Jakarta seolah-olah mampu mewakili denyut hidup negeri ini. Derita Jakarta menjadi ironi nasional. Banjir yang menghampiri Ibu Kota, misalnya, seolah-olah menjadi bencana nasional. Jakarta menjadi tolok ukur dalam melihat Indonesia.
Muara segala hiburan dan pusat pemerintahan ada di dalamnya. Jakarta sebagai kota metropolitan ditandai gedung-gedung pencakar langit. Jakarta menjadi etalase kebudayaan. Berbagai "pajangan" suku, etnis, dan golongan berdiam. Dia menjelma sebagai kota megah dan gemerlap. Kota pujaan yang menjanjikan tercapainya segala mimpi. Iklimnya kemudian menjadi "kota investasi". Melihat masa kini, jangan lagi membicarakan sejarah perjuangan dan kebudayaan tradisi, tapi hanya sebagai pusat rujukan dalam mengeruk pamrih, pundi-pundi materi dan keuntungan. Daerah yang sesak manusia bersaing untuk menyambung hidup dalam perebutan nasi dan kuasa ekonomi.
Datang ke Jakarta berarti menziarahi kota pelancongan, kota yang telah bertansformasi, namun tak diimbangi dengan kekuatan dan ketahanan habitus akar tradisi kebudayaannya. Adab kultural di kota metropolis sedikit demi sedikit mengalami kebangkrutan, tergilas bisingnya perdebatan wacana ekonomi, politik,dan hukum.
Simbol-simbol perjuangan yang terbangun dalam upaya menautkan masyarakat dengan konstelasi jejak sejarahnya hanya menjadi pajangan binis. Monumen Nasional (Monas), misalnya, bukan lagi sebuah ritus telisik sejarah, namun wahana pariwisata, tempat para pemuda-pemudi menjalin kasih ria di sekitarnya. Datang ke Monas tak lagi mampu menyemai deru air mata dalam mengenal jejak perjuangan masa silam, tapi tawa dan canda yang diabadikan dalam setiap jepretan lensa kamera.
Ciliwung
Sungai Ciliwung kini sesak dengan sampah. Airnya tak lagi bening, tetapi keruh dan bau. Telisik kejayaan Jakarta sebagai kota perdagangan masa lampau tak mampu dirasakan lagi lewat kali itu. Manusianya lebih suka melihat kekumuhan daripada kekuatan (sejarah) yang terkandung di aliran Ciliwung, yang kala hujan menghasilkan tradisi banjir dan penyakit. Ciliwung menjadi saksi bisu tentang kelahiran Jakarta. Masyarakat lebih suka menziarahi mal, panggung musik,ramainya bazar dan festival dibanding membuncahkan rasa keprihatinan terhadap kondisi "monumen" penting itu.
Ekspektasi Jakarta sebagai kota yang menghargai sejarah semakin tak terlihat kala kota itu kini tak mampu menghidupi kekuatan akar tradisinya. Gambang kromong tak mampu menyapa masyarakatnya dengan lebih terbuka. Mereka lebih menyambut jenis musik baru dengan ujudnya yang lebih populis. Mencari kelompok gambang kromong di Jakarta sangat sulit. Ondel-ondel juga tak lagi hangat menyapa. Hadir semata demi kebutuhan citra di layar kaca dan di berbagai festival hiburan. Kebudayaan tradisi semakin terlupakan. Sejarah Jakarta telah beralih menjadi jejak cerita tentang kekuatan ekonomi dan ritus politik.
Kebudayaan tradisi Jakarta dianggap tak lagi prospektif, apalagi menguntungkan. Wajar jika masyarakat dan pemudanya seolah-olah gegar budaya dan sejarah. Semangat hari ulang tahun semata-mata menjadi acara seremonial, hanya berpesta penuh tawa. Ulang tahun menjadi satire bagi manusia adab XXI karena hari lahir tak lagi menjadi ruang kontemplasi dan berkaca diri untuk meniti hidup dengan lebih baik. Bekal pengalaman dan sejarah terlupakan, menjadi sekadar mitos, tertimbun berbagai kepentingan yang dianggap lebih menjanjikan.
Setiap Juni, ucapan selamat berdatangan. Wajah kota dihias pernak-pernik lampu. Jalan-jalan diramaikan dengan berbagai pawai. Mal dan pusat perbelanjaan bergairah dengan menggelar berbagai festival bertajuk kelahiran. Masyarakat disibukkan dengan berbagai menu pilihan hiburan agar warga makin komsumtif.
Ulang tahun Jakarta berisi tumpukan diskon serta ajang pamer barang dagangan. Pemanjaan sejatinya telah berlangsung. Di sisi lain, banyak penduduk yang tak mampu menuruti laju kota yang demikian pesat. Mereka menjadi pribadi yang tersisihkan, berdiam di bantaran sungai yang kumuh. Kriminalitas menjadi pilihan utama dalam mencukupi kebutuhan hidup. Kekerasan adalah pemandangan yang lazim.
Jakarta menyulap dirinya sebagai medan pertempuran antar kampung, suku, ras dan golongan. Dia tiada habis diberitakan. Hampir 90 persen berita televisi dan media cetak diisi dengan kehadiran Jakarta. Dari masalah paling sepele hingga besar tak luput dari jepretan lensa kameranya. Selebihnya, kota-kota di Indonesia seolah menjadi pelengkap dalam mengukuhkan supremasi metro.
Ulang tahun adalah pesta Indonesia. Karena itu, wajar jika kemudian secuil harapan muncul agar Ibu Kota mampu menampilkan wajah Nusantara atau setidaknya kejakartaan yang selazimnya, dengan menggali kekuatan budaya dan tradisinya yang telah lama hilang, kalau tak boleh dikata telah mati. Akhirnya, semoga tak sekadar menjadi kota ajang pertaruhan bisnis, namun juga kembali menghadirkan kekuatan habitus akar sejarah dan tradisinya. 

Oleh Aris Setiawan
Penulis mengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tradisi di daerah saja lambat laun terkikis apalagi di metropolitan..?? Sangat prihatin dengan kondisi ini..

Pengikut