ISI Mencari Pemimpin (Ber)ISI (dimuat di Koran Joglosemar 11 Juni 2013)

ISI Mencari Pemimpin (Ber)ISI



Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta akan memiliki hajad besar, melaksanakan pemilihan rektor baru. Bulan ini membawa titik penting bagi satu-satunya kampus seni negeri di Jawa Tengah itu ke depan. Banyak harapan yang disematkan, cita-cita diguratkan, membawa kampus itu untuk semakin maju dan menjadi poros rujukan dalam berkesenian juga ilmu pengetahuan. Sementara itu, enam calon telah telah dipersiapkan. Mereka adalah Prof. Dr. Sri RochanaDr. Sutarno Haryono, Dr. Guntur, Prof. Dr. Pande Made, Dr. Suyanto dan Dr. I Nyoman Murtana. Mendekati hari pemilihan (11 Juni 2013), pelbagai isu dihembuskan, dari yang berbau logika hingga yang transendental. Persoalannya kemudian, sejauh mana ISI selama ini telah berproses? Di mana letak titik kurang? Sehingga menjadi penting sebagai bahan catatan dan wahana perbaikan diri ke depan.

Detak Sejarah
Sejarah berdirinya ISI Surakarta tak dapat dilepaskan dari sosok Gendhon Humardani (1923-1983). Ia adalah ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) tahun 1970 dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Ia tak semata pendiri ISI namun telah menjadi “roh” kehidupan kreativitas dan keilmuan di kampus itu hingga kini. Jejak sejarah membuktikan, bahwa Gendhon adalah pemimpin yang keras namun tegas. Dikisahkan oleh Rustopo lewat bukunya Gendhon Humardani Sang Gladiator (2001), Gendhon membangun ASKI (cikal bakal ISI) dengan semangat yang berkobar. Jam empat pagi, para penari dibangunkan untuk mengikuti proses “injeksi tubuh”, mengandalkan kekuatan fisik berlari mengitari pendopo Sasonomulyo. Para pengrawit harus berlatih menabuh gamelan dari sore hingga larut malam, bahkan tak jarang hingga pagi. Ia tidak mentolelir sedikitpun kesalahan, dan akan sangat marah jika ada mahasiswa yang terlambat apalagi tidak serius dalam berlatih. Ungkapan kata-kata kasarnya sudah menjadi makanan sehari-hari.
Darinya, ASKI menjadi kampus yang disegani, pusat segala kreativitas penciptaan seni. Gendhon meninggal dunia di tahun 1983. Dengan demikian, tahun ini genap 30 tahun ia pergi. Setelahnya, silih berganti tokoh memimpin ASKI yang kemudian bermetamorfosis menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) tahun 1986 dan Institut Seni Indonesia (ISI) di tahun 2007. Dalam laku dan proses perubahan status, dapat dipetakan segala babak kekuatan yang melekat di kampus itu. STSI masih mencoba melanjutkan visi ASKI yang berupaya menjadi pusat unggulan kekaryaan seni di nusantara. Sementara ISI menambahkan babak baru terkait pengembangan intelektualitas dan keilmuannya.
Babak terakhir menjadi penting mengingat saat ini dunia seni telah berlari begitu kencang dalam proses penciptaan atau kekaryaan namun miskin dalam konteks kajian dan penelitian. Yang lebih memprihatinkan, kesenian belum mampu menjadi ruang ilmu (subjek) bagi dirinya sendiri. Kesenian hanya menjadi objek pelengkap dalam pelbagai penelitian sosial. Lihatlah kemudian mahasiswa manajeman yang mengambil seni atau kelompok seni sebagai ruang pelengkap kajian (misal, manajemen pada seni A, B dan lainnya). Mahasiswa sosiologi dan antropologi yang mengambil kesenian sebagai data penunjang keabsahan bagi teori yang dimiliki (misal, fungsi kesenian A, B atau lainnya). Selebihnya, sangat jarang mengkaji kesenian dalam perspektif kesenian itu sendiri, semisal esetika, garap, gerak dan artistika. Akibatnya, teori-teori seni tidak tumbuh dalam tubuh seni (mempribadi), namun jamak dan berserakan di mana-mana.
Dengan demikian menjadi penting kiranya jika ISI mengambil peran itu. Mampu mengkaji seni dalam kacamata seni, bukan yang lain. Otomatis, tak hanya olah praktik dan ketubuhan saja yang dianggap penting untuk menjadi seniman terampil. Namun juga mampu mencetak ilmuwan (kritikus) seni yang tangguh dalam jelajah intelejensia dan pemikiran. Walaupun jujur diakui, ISI masih tertatih-tatih dalam mengejar impian itu. Padahal segenap perubahan telah diberlangsungkan. Mulai dari memperbanyak ruang-ruang penelitian, hingga mendorong publikasi hasil pemikiran lewat jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun internasional. Namun demikian, perkembangan yang pesat itu bukannya tanpa cacat dan kurang. Di sana-sini masih dijumpai lubang yang harus diperbaiki, di antaranya, hingga detik ini kampus seni rujukan mahasiswa asing itu belum mampu melahirkan kritikus seni yang ulung. Bahkan terkesan abai pada media dan gagap terhadap masukan atau koreksi yang muncul dari masyarakat atas dirinya.

Keseimbangan
Dalam beberapa waktu belakangan, muncul pelbagai kritik dan pandangan miring dari masyarakat (bahkan mungkin juga dari orang dalam) yang termuat di media. Mulai dari para pengajar di jurusan tertentu yang dianggap kurang begitu kompeten, hingga penciptaan karya seni baru dari para dosen yang cenderung dangkal makna. Di satu sisi, semua kritikan itu dianggap sebagai cambuk yang menjadi koreksi bagi kebaikan kampus ke depan. Namun di sisi lain, kritikan yang ada kadang tak logis, tak berdasar, bahkan terkesan menjatuhkan. Dengan demikian, lembaga yang dikritik (ISI) berhak menyampaikan hak jawab guna meluruskan dan menjernihkan ketimpangan tersebut. Sayangnya, hak itu tidak pernah digunakan. Segala kritik dianggap sebagai angin lalu, seolah hilang dan sirna dengan sendirinya. Masyarakat kemudian beranggapan bahwa ISI bebal kritik, atau mungkin tak mampu mengklarifikasi karena tak memiliki kompetensi menjawab di media.
Urusan menulis, baik gaya populer maupun ilmiah, memang penting dilakukan bagi sebuah institusi pendidikan termasuk ISI Surakarta. Terlebih media massa. Ekstase menulis di ruang itu masih sangat jarang dijumpai karena dianggap tak memberi keuntungan bagi kenaikan pangkat seorang pengajar. Kalah jauh nilainya jika dibanding dengan jurnal ilmiah. Padahal bagi kampus seni, media massa populer semacam koran sangat penting dalam mempublikasikan wacana dan terlebih pelbagai wacana kritik seni. Sementara bukan rahasia lagi, publikasi di jurnal ilmiah masih cukup terbatas pembacanya. Kesempatan itu yang selama ini kurang dapat dimanfaatkan oleh kampus ISI Surakarta.
Hal yang lebih mencengangkan, menulis di media semacam koran bagi mahasiswa juga tidaklah dianggap sebagai sebuah prestasi tersendiri. Mahasiswa Etnomusikologi misalnya sudah hampir dua tahun ini memiliki kolom sendiri (akademia) di Koran Joglosemar. Namun sayangnya, hingga detik ini tak ada tanggapan serius apalagi sekadar ucapan terimakasih oleh lembaga pada mahasiswa yang turut mempublikasikan nama kampusnya di media itu. Bandingkan dengan kampus lain, setiap mahasiswa yang menuangkan gagasannya di media dan mencantumkan nama institusi tempat belajarnya, secara langsung dapat penghargaan tersendiri, entah berupa materi ataupun lainnya. Tidak penting memang jumlah dan bentuk penghargaannya, tapi perhatian lembaga sebagai wujud memiliki dan dukungan.
Oleh karena itu, ke depan semoga pemimpin baru kampus seni itu mampu membawa perubahan ke arah yang lebih segar. Tidak muluk-muluk, setidaknya kesenjangan antara kekaryaan dan publikasi dapat diseimbangankan, setara. Tentunya hal itu dapat kita lihat dalam visi-misi yang dijelaskan para calon rektor pada diskusi publik tanggal 10 Juni di pendopo kampus. Masyarakat kampus tentu akan menilai, mencerna dan kemudian menentukan arah keberpihakannya lewat pemilihan langsung. Kini, suhu telah mulai memanas, bahkan isu sara dan keagamaan turut meramaikan. Tidak dapat dibenarkan memang, apalagi bagi kaum yang memegang teguh prinsip intelektualitas. Pemilihan rektor baru hanya menjadi sebuah proses kecil dalam meniti cita-cita besar yang lebih baik. Dan bukan sebuah ajang untuk saling menjatuhkan antara satu dengan yang lain.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta 

Tidak ada komentar:

Pengikut