Maestro Tari Malang Berpulang (dimuat di Majalah BENDE edisi Agustus 2013)


Maestro Tari Malang Berpulang

 


Saat Mbah Karimun sang maestro tari topeng dari Malang itu berpulang untuk selamanya, hatinya sangat terpukul. Maklum saja, ia telah mengenal sosok gurunya itu dengan cukup lama. Karimun adalah tokoh yang paling dikaguminya. Tak mengherankan kemudian jika segala gerak dan olah tubuhnya terinspirasi dari Karimun. Dialah Chattam Amat Redjo, pria kelahiran 13 Oktober 1943 itu telah mampu mewarisi anugerah gerak tari topeng Malangan dengan cukup terampil. Chattam adalah sang maestro, sosok pengganti setelah Karimun. Namun, kini ia telah pergi untuk selamanya pada 2 Juni 2013. Mengguratkan jejak kenangan manis dalam mewarnai sejarah dunia tari di Jawa Timur. Menuliskan sosoknya, tak semata mengenang, namun mencoba memaknai dan mengkontemplasikan kembali kehadiran dan sumbangsih atas segala jasanya.

Multi Talenta
Chattam mengawali profesinya sebagai seorang seniman sejak tahun 1958. Ia terlibat aktif dalam pertunjukan Ludruk Sopo Nyono di Malang. Tak hanya pandai menari, pria berkacamata itu juga pandai dalam bermain gamelan, apalagi ngidung (melantunkan vokal). Kelebihan itulah yang menjadikan gerakannya hidup, menyatu dan luruh dengan musik. Hal yang langka ditemui pada para penari masa kini. Kebanyakan penari muda di abad kini hanya mengenal gerak semata. Mereka tak mau mengerti urusan musik apalagi vokal. Tak jarang banyak yang falsh ketika bersenandung menyesuaikan laras gamelan. Akibatnya, tari yang dibawakan telah mempribadi, tunggal, tak mampu menjadi senyawa dengan musik atau sentrum yang lain.
Kemampuan Chattam mulai diperhitungkan kala terpilih sebagai duta seni Indonesia di Jepang dan Singapura pada tahun 1989. Ia membawakan tari topeng Malangan. Banyak orang merinding kala menyaksikannya menari. Topeng itu seolah bernyawa dibuatnya, kokoh dan berwibawa. Sejak saat itu namanya mulai menjadi perbincangan hangat di kalangan seniman dan budayawan Jawa Timur. Hingga suatu saat, kabar kemaestroannya terdengar pula oleh Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Satu-satunya perguruan tinggi seni kesenimanan di Jawa Timur itu kemudian memintanya untuk mengajar di Jurusan tari (1985-1989). Bagi kalangan mahasiswanya, Chattam adalah pribadi yang cukup bersahaja, santun namun tegas.
Chattam menjadi rujukan peneliti tari dan musik Jawatimuran, khususnya malang. Ia tak segan-segan mencontohkan langsung gerak maupun pola musikal tari topeng agar membuat orang mafhum dan lebih dekat tentunya. Pria yang dalam beberapa waktu terakhir juga mengajar di Program Studi Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Malang (UM) itu sangat bahagia apabila ada genarasi muda yang serius belajar Tari Topeng Malangan. Chattampun memiliki Sanggar Swastika yang telah dirawatnya sejak 1979, tempat untuk berlatih dan mengenal kebudayaan tari. Ia tidak banyak menuntut, apalagi mematok biaya tinggi bagi murid sanggarnya. Bahkan tak jarang ia harus merugi untuk mengidupi sanggarnya itu. Namun semua adalah bagian dari tirakat budaya. Panggilan hati guna menjaga detak habitus topeng Malangan.
Berulang kali penari ulung itu mendapatkan penghargaan bergengsi. Trofi Festival Panji di Yogyakarta pada 1978, trofi Sri Paduka Paku Alam VIII Yogyakarta, penyaji terbaik lomba penata tari pada 1978, serta piagam penghargaan Australian Government 2004 telah direngkuhnya. Terakhir, lewat Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), Chattam mendapatkan penghargaan dari Gubernur Jatim Soekarwo atas pengabdiannya di bidang seni dan budaya pada tahun 2009. Chattam tak lantas berbesar diri atas semua penghargaan itu, ia tetaplah sederhana, apa adanya. Sosok yang bukan siapa-siapa, tapi menemukan hidup dan keagungannya di atas panggung. Wajar kemudian jika di acara Maestro! Maestro! #7, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2012) ia menjadi bintang yang paling ditunggu-tunggu penampilannya.
Atas nama seni tari, Chattam membawa harum nama Jawa Timur, khususnya Malang. Walaupun tak dipungkiri, perhatian Pemerintah Daerah di tempatnya tinggal cukup minim. Maestro hanyalah sekedar nama yang dilekatkan dengan derajadnya yang agung, namun di balik itu Chattam harus hidup dengan penuh kekurangan materi. Tapi resiko itu bukannya tak dipertimbangkan. Ia sadar, menjadi seniman berarti siap untuk hidup melarat. Menari kemudian bukan semata menjadi profesi, namun ibadah dan ritus hidup. Tari telah menyatu dengan darah dan nafasnya. Kepergiannya kini menarasikan kepedihan yang dalam bagi pecinta kebudayaan dan seni tradisi Jawa Timur. Penjaga gawang tradisi itu telah gugur. Menyisakan segumpal tanya, siapa pewaris sesudahnya?

Mengais Tradisi
Chattam bukanlah semata penari. Ia juga mampu memberi warna lain dalam gerak yang dibawakannya. Ia membuat tari Remo, Topeng Patih, Kebar, Kembang Genjet, Grebeg Sabrang, Klono, Sembran, Gelang Alit, Baskalan selalu nampak baru dibawakannya. Ia tak terhenti dalam gerakan-gerakan yang selama ini dianggap pakem. Namun mampu memunculkan improvisasi gerak yang menggoda. Improvisasi yang masih berada dalam batas-batas logika estetika tari. Penari yang baik adalah penari yang mampu mencairkan tradisi kebekuan gerak agar nampak baru. Cara Chattam menari kemudian membawa derajadnya sebagai satu gaya tersendiri. Ujud geraknya tak semata dikenal sebagai Tari Topeng Malangan, namun Tari Topeng gaya Chattam. Namanya melegenda, menjadi gaya personal mengalahkan gaya kedaerahan. Ia memberi satu pelajaran berharga, bahwa tradisi tidaklah beku apalagi membatu. Tradisi adalah bahan, pijakan dan sumber inspirasi baru.
Jawa Timur dalam beberapa waktu terakhir memang telah banyak kehilangan maestro seni pertunjukan. Sebelum Chattam, di dunia tari, Karimun telah terlebih dahulu berpulang (2010), di dunia pedalangan ada Soelaiman yang tutup usia di tahun 2011. Sementara di dunia karawitan, Jawa Timur telah kehilangan Diyat Sariredjo (2008) dan Silan (2012). Kisah Maestro-maestro itu hanya menjadi kenangan manis pelipur lara di balik semakin abainya generasi muda masa kini pada seni tradisi. Jangan heran kemudian jika ke depan Jawa Timur krisis sosok empu. Sementara di sisi lain, banyak institusi pendidikan seni semacam Universitas Negeri Malang, Universitas Negeri Surabaya dengan Jurusan Pendidikan Seni Tari Drama dan Musiknya, serta STKW Surabaya dengan Jurusan Kesenimanan Tarinya belum mampu melahirkan Chattam-Chattam baru.
Para sarjana seni (pertunjukan) mutakhir lebih disibukkan dengan urusan seni eksperimentatif. Tak lagi genting dalam mengais tradisi sebagai sumber. Gaya kontemporer yang sedang ramai di pasar menjadi rujukan utama. Dengan pola gerak yang kadang tak teratur alias acak-acakan, musik dari bunyi noise gergaji atau batu, dan kostum yang hanya memakai celana dalam adalah citra seni yang konon dianggap lebih menjanjikan untuk hidup. Jangan kaget kemudian jika penyajian tugas akhir di kampus-kampus pendidikan seni tersebut tak lagi dapat dijumpai Tari Remo, Topeng Malangan, Muang Sangkal maupun Baskalan dan Bapang.
Dengan demikian, kepergian Chattam Amat Redjo kemudian juga menjadi satir bagi pelaku seni tradisi dan pemangku kebijakan pendidikan seni di Jawa Timur. Jika proses regenerasi tak dilakukan dengan baik, maka dalam beberapa waktu ke depan, tak hanya krisis empu, tapi kesenian tradisi (pertunjukan) juga akan menjadi mitos pelengkap dalam ingar-bingar cerita kebudayaan populer. Selamat jalan Cak Chattam Amat Redjo, menarilah di alam sana, hiburlah Tuhan dengan kehadiran gerakmu.

Aris Setiawan
Etnomusikolog Asal Surabaya, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Selamat jalan Maestro tari tradisi Jawa Timur..semoga akan ada pengganti seniman-seniman tradisi yang mumpuni untuk memajuan dan mengembangkan kebudayaan bangsa tercinta ini..

Pengikut