Museum(kan) Musik Indonesia (dimuat di Kompas, 11 Agustus 2013)

Museum(kan) Musik Indonesia


Pelaksana tugas Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan berencana mendirikan Museum Musik Indonesia di Lokananta, Solo. Lokananta merupakan perusahaan rekam yang menjadi saksi penting pembabakan sejarah musik Tanah Air.
Ironisnya, wacana ”memuseumkan” Lokananta tak berangkat dari urgensi persoalan yang menghantui denyut hidup musik Tanah Air, tetapi semata karena kondisi perusahaan rekam itu yang kian memprihatinkan. Ketakutan akan rusaknya koleksi berharga Lokananta menyebabkan kebijakan itu diambil. Persoalannya kemudian, bagaimana wujud dan format museum musik itu? Perlukah musik untuk dimuseumkan? Musik-musik seperti apakah yang layak untuk menghuni museum?
Museum
Museum adalah kata yang masih cenderung diartikan secara salah kaprah. Kebanyakan masyarakat kita memandang museum sebagai kumpulan benda-benda purbawi, kuno, berdebu, tak terpakai alias bekas. International Council of Museum mendefinisikan museum sebagai institusi permanen dan nirlaba yang melayani kebutuhan publik dengan sifat terbuka, dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengonservasi, meriset, menginformasikan, dan memamerkan benda materi kepada masyarakat untuk kebutuhan studi penelitian, pendidikan, dan kesenangan (Al-Mujabudda’wat, 2011). Poin terakhir, kesenangan, agaknya yang selama ini belum sepenuhnya terpenuhi. Masyarakat lebih suka menghabiskan waktu liburnya untuk berlama-lama di mal daripada ke museum.
Di sisi lain, museum di Indonesia cenderung ”pasif” dengan hanya mengandalkan satu sumber pembiayaan dari pemerintah yang jumlahnya tidak banyak. Tentu kita masih ingat polemik Museum Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin (HB Jassin) yang kekurangan dana operasional. Museum yang memiliki 50.000 lebih koleksi karya sastra itu hanya disokong dengan dana Rp 50 juta per tahun. Akibatnya, museum-museum di Indonesia kembang kempis, hanya mampu menjaga dan memamerkan benda koleksinya tanpa berupaya untuk mengembangkan. Di Jakarta sendiri bahkan terdapat 60 lebih museum dan menjadi provinsi dengan jumlah museum terbanyak. Namun, sayang, tak banyak yang mengetahuinya, Jakarta justru lebih dikenal sebagai kota fashion, metropolis, industri, megapolitan, daripada kota museum atau sejarah.
Oleh karena itu, mau tak mau wacana untuk mendirikan museum musik Indonesia (MMI) tak bisa dilepaskan dari persoalan yang selama ini menghantui museum di Indonesia. Terlebih dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 18 yang menyebutkan museum sebagai lembaga penyimpan benda-benda dengan kategori ”cagar budaya”. Hal ini memunculkan kesan benda koleksi yang cenderung tua, monoton, membosankan, dan tak menyenangkan. Mendatangi museum tak jauh beda dengan menziarahi makam. Wajar kemudian jika banyak tontonan di televisi yang menjadikan museum sebagai tempat syuting acara mistis atau horor. Kesan suram dan menakutkan muncul kala mendatangi museum.
Di sisi lain, pertanyaan yang cukup menggelitik, perlukah musik dengan kodratnya sebagai sebuah bunyi atau suara dimuseumkan? Bukankah selama ini musik telah ”termuseumkan” dengan sendirinya lewat internet. Berbagai macam bunyi dapat kita jumpai di situ. MMI mungkin hanya mampu mempertontonkan alat-alat rekam, piringan hitam, dan kaset analog. Selebihnya untuk materi musik dapat dengan mudah kita dengar kapan pun dan di manapun. Otomatis, tak harus mengunjungi MMI untuk menemukan lagu-lagu karya Gesang. Cukup ketik nama judul lagunya di situs pencari Google, maka dengan sendirinya kita dapat memilikinya setiap saat.
Sejarah mencatat, era teknologi dunia digital pula yang sejatinya menghentikan denyut hidup Lokananta. Perusahaan yang berdiri tahun 1956 itu tak mampu bercengkerama dengan perubahan zaman. Pembajakan musik terjadi di mana-mana. Hari ini musik direkam, besok sudah dapat diunduh secara gratis dan bebas lewat internet. Tak hanya Lokananta, tetapi juga banyak perusahaan musik yang mengalami nasib serupa alias bangkrut karena masalah tersebut. Biaya produksi merekam dam memublikasikan musik tak mampu tertutupi dengan hasil penjualan kaset yang terus menurun. Setiawan (2012) menuturkan, akibat dari pembajakan besar-besaran, negara dirugikan lebih dari Rp 600 miliar per tahun. Tercatat tak kurang dari 117 label rekaman lokal dan nasional telah gulung tikar.
Lokananta
Tak banyak yang mengetahui sumbangan besar Lokananta bagi kehidupan musik Indonesia. Lokananta adalah gerbang utama yang memelopori bangkitnya lagu-lagu bercita rasa Indonesia untuk lebih dikenal masyarakat luas termasuk dunia. Keberadaan Lokananta dirasakan dampak besarnya bagi seniman tradisi. Karawitan dan wayang, misalnya, di kala perusahaan rekam lain menaruh cemas akan kebangkrutan karena merekam gamelan—dianggap tak disukai masyarakat—Lokananta dengan gagah mendekonstruksi anggapan itu. Gending-gending gamelan dengan berbagai versi direkam, dipublikasikan, dan secara otomatis membantu denyut hidup gamelan dikenal masyarakat dunia.
Heri Priyatmoko (2008) menjelaskan bahwa di Lokananta banyak tersimpan rekaman awal dari penyanyi-penyanyi terkenal, seperti Gesang, Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, dan Sam Saimun. Bahkan, pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1945 serta acara KTT Nonblok di Bandung tahun 1955 juga ada. Jejak sejarah yang dimilikinya menjadikan Lokananta ”barang antik” yang langka, tetapi tak lagi terurus. Ide menjadikannya MMI di satu sisi memang harus disambut baik dalam upaya menyelamatkan Lokananta dari kematian. Namun, di sisi lain, juga harus disadari bahwa persoalan karut-marut permuseuman di Indonesia yang terjadi selama ini tentu akan berimbas pula pada Lokananta kala menjadi MMI.
Musik-musik seperti apa yang layak dimuseumkan juga menjadi catatan penting tersendiri. Hal yang tentu dapat kita tebak, musik-musik tradisi Nusantara pastilah menjadi penghuni utama. Alasannya klasik, musik-musik tradisi dianggap sebagai bagian dari peninggalan masa lalu, atau sebut saja sebagai benda antik cagar budaya. Sementara musik-musik yang konon dianggap ”modern” tak layak untuk menghuni museum musik. Dikotomi antara yang termuseumkan dan yang tak termuseumkan justru akan semakin memperuncing pandangan masyarakat dalam menilai musik tradisi sebagai sesuatu yang kuno, kolot, dan tertinggal. Generasi masa kini pun semakin malu untuk menjamahnya.
Perlu diketahui, sebelum Kacung Marijan mewacanakan isu MMI, sebenarnya MMI telah terbentuk di Kota Malang, Jawa Timur, tahun 2012 yang dikelola oleh teman-teman dari komunitas Gallery Malang Bernyanyi. MMI versi mereka telah menyimpan lebih dari 7.000 kaset dan berbagai benda yang pernah bersentuhan dengan sejarah dunia musik di Indonesia dan dunia. Bahkan, Lokananta telah menjadi salah satu mitra kerja dari museum musik itu. Uniknya, MMI nonpelat merah itu dihidupi oleh masyarakat dan komunitas pencinta musik Tanah Air dan dunia. Mereka dengan rela hati memberikan koleksinya untuk dipajang di museum. Pengunjung dapat mendengarkan ribuan koleksi musik dari berbagai zaman dengan gratis. Suasana dibuat semenyenangkan mungkin, birokrasi yang tak ribet dan berbelit. Lebih penting lagi tidak angker dan wingit. Tidak ada batas antara musik tradisi dan baru, semua didudukkan dalam satu ruang yang sama.

Dengan demikian, isu untuk mendirikan MMI sebenarnya bukan barang baru. Alangkah baiknya jika pejabat terkait mengerti dengan peta dan ruang lingkup persoalan yang terjadi wilayah di akar rumput agar tak gagap dalam mengambil serta mewacanakan suatu keputusan. Semangat dalam mendirikan MMI oleh pemerintah seolah mengingatkan kita pada upaya membakukan Hari Musik Nasional beberapa waktu lalu yang tak jelas ujud serta tujuannya. Dibutuhkan dialog dalam menampung pemikiran serta saran dan kritik agar MMI tak semata menyelamatkan hidup Lokananta, tetapi juga musik Indonesia seutuhnya. Semoga saja Lokananta tak sekadar digunakan sebagai ajang proyek yang akan menghamburkan banyak anggaran

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Lagu lawas tetap eksis di dunia kita...ada proyek pasti akan bergandengan tangan dengan korupsi..semoga sj SDM sekarang akan lebih baik dari tahun lalu....

Aris Setiawan mengatakan...

:)

Pengikut