Diseminasi Seni Tradisi (dimuat di Koran Joglosemar 27 Agustus 2013)



Diseminasi Seni Tradisi

Seni tradisi nusantara selama ini kurang dapat menunjukkan ujudnya secara lebih terbuka. Bukan satu hal yang aneh, ia kalah bersaing dengan bentuk kesenian baru yang lebih gemerlap dan konon dianggap “modern”. Usaha untuk menyuplai detak hidup seni tradisi bukannya tak ada. Banyak kantung-kantung kebudayaan, semacam taman budaya dan sejenisnya, namun selama ini banyak dikelola oleh sosok yang tak memiliki kompetensi. Kehadiran kantung-kantung kebudayaan ber-pelat merah dan berada di bawah dinas pariwisata menyebabkan ujudnya sebagai etalase seni tradisi. Memajang dan berusaha menawarkannya sebagai barang dagangan. Untuk tampil di kantung kebudayaan itu, seni-seni tradisi harus dipoles sedemikian rupa yang kadang justru nampak sarkastik dan banal. Jikapun tampil apa adanya, tak jarang cercaan dan hinaan menghampiri. Tentu kita masih ingat kala Jaran Kepang dianggap sebagai kesenian paling jelek sedunia oleh gubernur Jawa Tengah kala itu. Dengan demikian, wajar jika seni tradisi nusantara berada di persimpangan zaman. Mati segan, hidupun tak mau. Dibutuhkan usaha yang kongkrit untuk merevitalisasi dan mendudukkan kehadirannya di tengah kehidupan bermasyarakat. Desiminasi –menyebar luaskan pemikiran positif tentang seni tradisi- dalam konteks ini menjadi satu hal yang tak bisa dihindari.

Format Baru
Ada satu hal menarik yang dilakukan oleh Bondet Wrahatnala dan beberapa peneliti dari Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Mereka disibukkan dengan pembuatan program audio-visual tentang kesenian Emprak di Jepara Jawa Tengah. Uniknya, kesenian yang hampir punah itu mencoba diangkat kembali. Bukan sebagai film layaknya yang kita lihat di layar televisi. Namun dokumentasi untuk mendiseminasikan kesenian tersebut kepada masyarakat, generasi muda, lembaga pendidikan –sarana belajar sekolah- di Jepara dan Nusantara pada umumnya. Langkah itu dilakukan sebagai wujud keprihatinan karena kesenian Emprak semakin tersudut dan langka. Padahal banyak nilai-nilai filosofis positif yang terkandung dalam kesenian ini. Emprak masih bertahan. Hanya saja terbata-bata, alias kembang kempis. Sementara di sisi lain, kebertahanan kesenian Emprak menunjukkan bahwa kehadirannya masih dibutuhkan, walaupun tak sepekat seperti dulu.
Oleh karenanya, usaha dalam membumikan kembali kesenian semacam Emprak dapat dilakukan dengan berbagai hal, tak terkecuali memanfaatkan perkembangan teknologi audio-visual. Tentu saja format yang ada haruslah dibuat semenarik mungkin, agar menggugah publik untuk turut terlibat secara emosional dalam mempertahankan dan merevitalisasi kesenian ini. Bagaimanaun juga, kebudayaan dan dalam konteks ini kesenian tradisi adalah tolok ukur objektif dalam melihat akar habitus peradaban manusia. Berbagai usaha dalam upaya penyelamatan patut untuk diapresiasi setinggi-tinggginya. Namun demikian, usaha yang ada tak cukup dengan hanya mempertahankan atau bersifat konservatif semata. Dibutuhnya langkah kongkrit untuk menyelaraskan kesenian-kesenian tradisi dengan zaman yang semakin berkembang.
Kolaborasi dengan berbagai episentrum kebudayaan lain menjadi sebuah keniscayaan. Seni-seni tradisi tak dapat menghindar atau terhindarkan dari jerat dunia teknologi. Perkembangan teknologi tak bisa disikapi dengan apatis apalagi negatif. Kesenian-kesenian tradisi banyak gulung tikar karena tak mampu mengakomodasi gejala kebaruan termasuk teknologi. Padahal bisa saja keduanya luruh bersinergi untuk menghasilkan tontonan yang memukau dan menghibur. Panggung wayang kulit misalnya, di setiap pembabakan zaman senantiasa berusaha menggandeng teknologi sebagai mitranya. Dari tata lampu yang gemerlap, efek suara, penggunaan visualiasi pada layak kelirnya hingga perangkat musik elektronik. Walaupun hal tersebut bagi beberapa orang dianggap sebagai pengingkaran terhadap pakem, namun di sisi lain justru mampu memberi warna baru dan memperpanjang denyut hidup wayang kulit di Nusantara.
Di sisi lain, teknologi juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana publikasi serta desiminasi seni tradisi. Banyak perekaman dilakukan namun semata hanya bersifat dokumentatif, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain yang bisa dilakukan. Dengan penggunaan teknologi audio-visual misalnya, kita bisa melakukan metode dan cara pembelajaran suatu kesenian dengan lebih fleksibel. Cara belajar yang demikian selama ini telah dilakukan oleh banyak institusi keagaaman dalam upaya membaca dan mengerti arti ayat dalam kitab suci (Al-Quran misalnya). Dengan memiliki keping compact disc (cd) atau berformat digital, kita bisa melakukan pembelajaran di rumah tanpa harus mendatangkan ustad atau guru ngaji. Metode yang sama seharusnya juga bisa dilakukan bagi kesenian tradisi di nusantara.

Gagap
Diseminasi kesenian tradisi tentu tak semata ajang publikasi. Namun juga harus memuat konsep-konsep pemikiran kebaruan yang dapat ditawarkan kepada khalayak luas. Hal ini sekaligus sebagai jawaban atas ketakutan bahwa keberadaan kesenian tradisi tak lagi dibutuhkan oleh masyarakat. Kemasan diseminasi adalah hal terpenting. Ambillah contoh kerja “film dokumenter” yang dilakukan Bondet dan para peneliti muda dari Solo terhadap kesenian Emprak di Jepara. Kemasan yang ada mencoba menunjukkan bagaimana nilai-nilai kesenian Emprak masih selaras dengan zaman. Pergulatan hidup dan perjalanan panjang para pelakunya menjadi kisah utama yang tak jarang akan menyemai senyum dan sekaligus air mata. Film tersebut dapat dipublikasikan lewat ruang-ruang pendidikan, untuk ditonton dan dimaknai kembali oleh generasi muda masa kini.
Diseminasi kesenian tradisi hanya dapat menemukan ruang jika timbul kesadaran bersama akan arti penting kehadirannya di tengah masyarakat. Ironisnya, kantung-kantung kebudayaan dan instansi pemerintah berpelat merah selama ini lebih disibukkan dengan urusan birokratif yang cenderung mendudukkan kesenian sebagai objek bukan lagi subjek. Otomatis, kesenian tak lagi mampu menyentuh seluruh lapisan publik. Terutama generasi muda yang lebih senang menziarahi mal dan gedung bioskop dari pada menonton pertunjukan seni tradisi di kantung kebudayaan yang ada.
Gejala seperti di atas menyebabkan generasi masa kini teraleniasi dari akar kebudayaannya. Sementara di sisi lain, penghargaan justru muncul dari dunia internasional. Banyak kesenian tradisi kita yang mampu berkiprah dengan membanggakan di kancah internasional. Jaran Kepang misalnya yang beberapa waktu lalu tampil memukau di acara World of Musik, Arts and Dance (WOMAD) di New Zealand. Bahkan kabarnya, tahun ini diundang untuk yang ketiga kalinya. Sebuah prestasi yang prestisius. Hal ini sekaligus mendekonstruksi anggapan Gubernur Jawa Tengah kala tentang kesenian ini. Atau masih banyak kisah lain yang menyertai denyut hidup seni tradisi di Indonesia. Angklung dan Reog yang awalnya tak mendapat perhatian kemudian menjadi bahan hangat perbincangan kala negara tetangga berusaha mengakui atas kepemilikannya. Pada titik ini, kita seolah gagap dalam menjaga harta yang sebenarnya telah lama kita miliki. Tak di rawat, namun marah ketika kehilangan.
Saya hanya menggarisbawahi, bagaimana pentingnya menghargai kesenian tradisi yang telah kita miliki. Diseminasi terhadapnya harus terus dilakukan agar tetap mampu bercengkrama dengan zaman dan terwariskan secara sempurna dalam alih setiap gerenari. Jangan sampai kesenian tradisi hanya menjadi mitos, keberadannya tak lagi mampu untuk dilihat, apalagi dipetik nilai-nilai filosofisnya. Seperti kata Kunts (1964), kesenian –tradisi- adalah representasi objektif dari sebuah peradaban manusia. Melihat kesenian tradisi, berarti menelisik tentang karakter, sikap, prilaku dan norma yang berkembang dari masyarakat pemiliknya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog

Tidak ada komentar:

Pengikut