Kidungan
Kartoloan
Bagi masyarakat pecinta karawitan
Jawatimuran, tentu sudah tak asing lagi mendengar kata Jula-juli. Sejenis musik dengan menggunakan gamelan laras selendro
yang biasanya dibawakan lewat pertunjukan ludruk. Terdapat vokal yang disebut
sebagai kidungan. Jika kita sering menyaksikan
pertunjukan lawak (dagelan) cak Kartolo di Jawapos Media Televisi (JTV),
sebelum acara inti dimulai, pasti diawali dengan lantunan vokal kidungan. Biasanya berisi tentang kritik
sosial, humor, nasihat, pesan dan harapan. Kidungan
dalam jejak sejarahnya juga dimanfaatkan sebagai medan perjuangan oleh para
seniman ludruk di Jawa Timur. Durasim, adalah salah satunya. Ia gugur karena
melantunkan lirik kidungan yang pedas
bagi penjajah Jepang kala itu (1940an). Bekupon
omahe dara, melok nipon awak tambah sara (bekupon rumah burung dara, ikut
jepang tambah sengsara). Kini, nasib kidungan
semakin sulit menampakkan ujudnya secara lebih terbuka. Era ludruk telah
mengalami kebangkrutan eksistensi. Tergantikan dengan media digital yang lebih
menghibur. Terlebih di Surabaya, telah perpacu dengan begitu cepat dalam
mengafirmasi segala perubahan. Habitus akar tradisi semakin tak dapat dilacak.
Namun beruntung, masih ada Cak Kartolo. Sosok seniman ludruk yang dengan teguh
menziarahkan hidupnya demi keberlangsungan hidup Kidungan Jula-juli dan
Ludruk. Beberapa waktu lalu, ia menerima penghargaan untuk kategori tokoh
inspiratif pelestari seni tradisi pilihan para pelajar Jawa Timur 2013. Apa
yang dapat kita baca dari Kartolo dan karya (kidungan) yang Kartoloan itu?
Media
Nama Kartoloan tak serta merta menunjuk sesosok
maestro ludruk bernama Kartolo yang lahir 2 Juli 1957 di Pasuruan. Namun
sebutan itu merujuk pada sebuah kesan, karakter dan ciri khas dari ujud seni
suara berupa kidungan. Ya! Biasanya
masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan “Gaya Kartoloan”. Kidungan Kartolo telah begitu terkenal
di masyarakat Jawa Timur. Terlebih di tahun 80-an. Kaset-kaset analog hasil
rekaman olah suaranya laris manis di pasaran. Mengangkat namanya untuk kemudian
disejajarkan dengan para maestro, empu seni tradisi karawitan Jawa Timuran. Kidungannya unik, tak bertele-tele dan bahasanya
mudah dimengerti. Ia juga yang mendobrak kebekuan kidungan dengan menawarkan bentuk lirik baru yang tak harus mengacu
dari pantun. Kidungan Kartoloan
kadang kala meniadakan unsur sampiran
(kiasan), hanya berbentuk isi (jawaban).
Hal yang awalnya dianggap aneh, namun kemudian diikuti oleh banyak pengidung
dan pelawak ludruk di Jawa Timur. Tak lagi penting apakah liriknya termasuk
pantun, syair, gurindam, puisi atau lain sebagainya. Yang penting pesan dapat
sampai ke nurani pendengar.
Kartolo tak memiliki profesi lain selain
sebagai pengidung jula-juli dan
pemain ludruk. Profesi itu masih dipertahankannya hingga kini. Banyak
lirik-lirik kidungan menggoda telah
diciptakannya. Mulai dari berbau asmara atau cinta-cintaan, petuah, pitutur
hingga banyolan. Mendengarkan kidungannya
seolah membawa kita manapaki jejak-jejak kebesaran ludruk di nusantara dan
khususnya di Jawa Timur. Titik kulminasi terjadi kala pergolakan antara Partai
Komunis Indonesia (PKI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di tahun 60-an.
Kedua partai itu menggunakan kidungan
jula-juli di gelaran ludruk sebagai
corong dalam “dakwah” penyebaran idiologi politik. Banyak seniman dihidupi dan
dicukupi kebutuhannya oleh kedua partai itu. Maklum saja, ludruk adalah hiburan
yang cukup digemari oleh masyarakat Jawa Timur. Kidungan adalah salah satu babak sajian yang paling
ditunggu-tunggu. Liriknya berkisah tentang keunggulan masing-masing partai itu.
Soedarsono (2002) menuturkan, terjadi persaingan antar seniman dalam
menciptakan bentuk kidungan jula-juli. Tidak jarang ada semacam
“telik sandi” atau mata-mata yang secara khusus ditugaskan untuk mengamati,
mengintai dan menganalisis kedalaman kidungan
jula-juli di masing-masing kelompok
yang bersebrangan.
Uninya, Kartolo tidak ikut ambil bagian
dalam ruang kontestasi itu. Walau namanya belum membumi, namun ia turut
merasakan panasnya idelogi politik dalam ludruk kala itu. Setelah PKI kalah dan
“diharamkan”, banyak seniman ludruk yang “dihilangkan” keberadannya. Bahkan
kontrol ketat dari pemerintah di rezim orde baru masih dapat dirasakan hingga
dekade tahun 90-an. Tak jarang, Kartolo dan seniman pengidung jula-juli lainnya mendapat surat kaleng
yang isinya mengingatkan agar tak mengkritik pemerintah jika tak ingin dianggap
komunis. Kidungan Jula-juli masih dianggap sebagai media
kritik yang ampuh, setara dengan lagu-lagu Iwan Fals dan Bob Marley. Di sisi
lain, Kartolo justru berbeda dengan para pengidung kebanyakan. Ia mengambil
jalan menyimpang, tak menggunakan jula-juli
sebagai media berpolitik apalagi propaganda. Ia dengan tegas memanfaatkan jula-juli hanya untuk kepentingan
pembangunan karakter, menghibur dan mendidik. Ia anti memasukkan faham-faham
politik dalam lirik kidungannya. Ia selalu
berkisah tentang semangat bekerja, nasihat hidup untuk rukun berumah tangga dan
banyolan yang mencerdaskan. Terkesan ndeso memang, namun itulah kidungan ala kartolo yang apa adanya dan
tanpa tendensi apapun.
Kartolo bukanlah politikus apalagi
birokrat. Karenanya kidungan jula-juli
gaya Kartoloan lebih diterima oleh masyarakat di Jawa Timur karena kepolosan
dan kesederhanaannya. Sutowo lewat tulisannya Gending Jula-juli Suroboyo Gaya Kartolo (1994) menyebut Kartolo
sebagai pelopor dalam mengembalikan kodrat jula-juli
pada kedudukan yang semestinya, seni yang tak lagi terinvensi oleh berbagai
kepentingan banal. Ia pun mengambil pilihan hidup di jantung Jawa Timur,
Surabaya. Di mana tradisi yang setiap hari semakin tergerus oleh kepentingan
kapitalis. Kartolo menjadi oase menyegarkan di belantara kota metropolis. Ia
menjadi simpul yang mengikat kencang agar Surabaya tak lepas dari habitus akar
tradisinya.
Popularitas
Titik puncak kejayaan Kartolo terjadi
pada tahun 1980. Ia mendapat tawaran rekaman (audio) jula-juli dan lawakan di bawah perusahaan rekam Nirwana Record.
Bersama Nelwan S. Wongsokadi dengan kelompok Karawitan Sawunggaling Surabaya, Kartolo
melahirkan lakon-lakon cerita banyolan yang meledak di pasaran. Bahkan Peking Wasiat dan Welut Ndas Ireng
mencapai angka penjualan fantastis hingga 10 ribu copy. Hal yang jarang
dijumpai pada seni tradisi. Ia didukung oleh para pemain ludruk yang handal
seperti Munawar, Sapari, Yakin, Basman, Sokran, Markeso, Umi Kalsum dan lain
sebagainya. Membaca kidungan jula-juli dan ludrukan ala kartolo
berarti menelisik sejarah peradaban kebudayaan akar rumput di Jawa Timur. Kisahnya
senantiasa mengguratkan narasi tentang kampung. Mulai dari masalah ronda
(siskamling), rebutan nasi tumpeng, sepeda ontel, pencurian jarik, jalan becek,
keluarga berencana, tanam padi, mahalnya garam dan gula, hingga fenomena dukun
palsu. Melihat kidungan ala kartolo tak
cukup dengan hanya didengarkan lalu tertawa, namun ada pesan positif yang
mencoba disampaikan. Kidungan Kartoloan
menjadi bahan hiburan masyarakat yang merindukan nilai-nilai kedamaian,
kebersamaan, persatuan dan toleransi.
Kidungan tak sekedar
menyanyi, atau nembang. Ia tak terikat dengan hukum dan pakem. Kidungan hari ini bisa berbeda dengan
sebelum atau sesudahnya. Kartolo senantiasa menggunakan tema baru agar nampak
lebih segar dan kekinian. Tak jarang sebelum membuat kidungan, ia mewawancarai si penanggap seputar bisnis, isu dan
kejadian lucu. Tema seputar itulah yang akan tertuang dalam lantunan kidungannya. Dengan demikian, penonton
dapat tertawa terpingkal-pingkal karena lirik kidungan begitu dekat dan mengena. Ribuan lirik telah Kartolo
ciptakan. Bahkan mungkin mampu menjadi “kitab” sastra Jawa Timuran dewasa ini. Ia
adalah seniman yang menjadi legenda hidup di Surabaya dan Jawa Timur pada
umumnya. Kidungan gaya kartoloan
telah menyebar dan menjadi “virus” dalam dunia seni pertunjukan Ludruk. Ia
menjadi pahlawan di tengah gersangnya kecintaan generasi masa kini pada
tradisi.
Aris
Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta