Kidungan Kartoloan (dimuat di Jawapos 30 September 2013)

Kidungan Kartoloan



Bagi masyarakat pecinta karawitan Jawatimuran, tentu sudah tak asing lagi mendengar kata Jula-juli. Sejenis musik dengan menggunakan gamelan laras selendro yang biasanya dibawakan lewat pertunjukan ludruk. Terdapat vokal yang disebut sebagai kidungan. Jika kita sering menyaksikan pertunjukan lawak (dagelan) cak Kartolo di Jawapos Media Televisi (JTV), sebelum acara inti dimulai, pasti diawali dengan lantunan vokal kidungan. Biasanya berisi tentang kritik sosial, humor, nasihat, pesan dan harapan. Kidungan dalam jejak sejarahnya juga dimanfaatkan sebagai medan perjuangan oleh para seniman ludruk di Jawa Timur. Durasim, adalah salah satunya. Ia gugur karena melantunkan lirik kidungan yang pedas bagi penjajah Jepang kala itu (1940an). Bekupon omahe dara, melok nipon awak tambah sara (bekupon rumah burung dara, ikut jepang tambah sengsara). Kini, nasib kidungan semakin sulit menampakkan ujudnya secara lebih terbuka. Era ludruk telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Tergantikan dengan media digital yang lebih menghibur. Terlebih di Surabaya, telah perpacu dengan begitu cepat dalam mengafirmasi segala perubahan. Habitus akar tradisi semakin tak dapat dilacak. Namun beruntung, masih ada Cak Kartolo. Sosok seniman ludruk yang dengan teguh menziarahkan hidupnya demi keberlangsungan hidup Kidungan Jula-juli dan Ludruk. Beberapa waktu lalu, ia menerima penghargaan untuk kategori tokoh inspiratif pelestari seni tradisi pilihan para pelajar Jawa Timur 2013. Apa yang dapat kita baca dari Kartolo dan karya (kidungan) yang Kartoloan itu?

Media  
Nama Kartoloan tak serta merta menunjuk sesosok maestro ludruk bernama Kartolo yang lahir 2 Juli 1957 di Pasuruan. Namun sebutan itu merujuk pada sebuah kesan, karakter dan ciri khas dari ujud seni suara berupa kidungan. Ya! Biasanya masyarakat lebih akrab menyebutnya dengan “Gaya Kartoloan”. Kidungan Kartolo telah begitu terkenal di masyarakat Jawa Timur. Terlebih di tahun 80-an. Kaset-kaset analog hasil rekaman olah suaranya laris manis di pasaran. Mengangkat namanya untuk kemudian disejajarkan dengan para maestro, empu seni tradisi karawitan Jawa Timuran. Kidungannya unik, tak bertele-tele dan bahasanya mudah dimengerti. Ia juga yang mendobrak kebekuan kidungan dengan menawarkan bentuk lirik baru yang tak harus mengacu dari pantun. Kidungan Kartoloan kadang kala meniadakan unsur sampiran (kiasan), hanya berbentuk isi (jawaban). Hal yang awalnya dianggap aneh, namun kemudian diikuti oleh banyak pengidung dan pelawak ludruk di Jawa Timur. Tak lagi penting apakah liriknya termasuk pantun, syair, gurindam, puisi atau lain sebagainya. Yang penting pesan dapat sampai ke nurani pendengar.
Kartolo tak memiliki profesi lain selain sebagai pengidung jula-juli dan pemain ludruk. Profesi itu masih dipertahankannya hingga kini. Banyak lirik-lirik kidungan menggoda telah diciptakannya. Mulai dari berbau asmara atau cinta-cintaan, petuah, pitutur hingga banyolan. Mendengarkan kidungannya seolah membawa kita manapaki jejak-jejak kebesaran ludruk di nusantara dan khususnya di Jawa Timur. Titik kulminasi terjadi kala pergolakan antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di tahun 60-an. Kedua partai itu menggunakan kidungan jula-juli di gelaran ludruk sebagai corong dalam “dakwah” penyebaran idiologi politik. Banyak seniman dihidupi dan dicukupi kebutuhannya oleh kedua partai itu. Maklum saja, ludruk adalah hiburan yang cukup digemari oleh masyarakat Jawa Timur. Kidungan adalah salah satu babak sajian yang paling ditunggu-tunggu. Liriknya berkisah tentang keunggulan masing-masing partai itu. Soedarsono (2002) menuturkan, terjadi persaingan antar seniman dalam menciptakan bentuk kidungan jula-juli. Tidak jarang ada semacam “telik sandi” atau mata-mata yang secara khusus ditugaskan untuk mengamati, mengintai dan menganalisis kedalaman kidungan jula-juli di masing-masing kelompok yang bersebrangan.
Uninya, Kartolo tidak ikut ambil bagian dalam ruang kontestasi itu. Walau namanya belum membumi, namun ia turut merasakan panasnya idelogi politik dalam ludruk kala itu. Setelah PKI kalah dan “diharamkan”, banyak seniman ludruk yang “dihilangkan” keberadannya. Bahkan kontrol ketat dari pemerintah di rezim orde baru masih dapat dirasakan hingga dekade tahun 90-an. Tak jarang, Kartolo dan seniman pengidung jula-juli lainnya mendapat surat kaleng yang isinya mengingatkan agar tak mengkritik pemerintah jika tak ingin dianggap komunis. Kidungan Jula-juli masih dianggap sebagai media kritik yang ampuh, setara dengan lagu-lagu Iwan Fals dan Bob Marley. Di sisi lain, Kartolo justru berbeda dengan para pengidung kebanyakan. Ia mengambil jalan menyimpang, tak menggunakan jula-juli sebagai media berpolitik apalagi propaganda. Ia dengan tegas memanfaatkan jula-juli hanya untuk kepentingan pembangunan karakter, menghibur dan mendidik. Ia anti memasukkan faham-faham politik dalam lirik kidungannya. Ia selalu berkisah tentang semangat bekerja, nasihat hidup untuk rukun berumah tangga dan banyolan yang mencerdaskan. Terkesan ndeso memang, namun itulah kidungan ala kartolo yang apa adanya dan tanpa tendensi apapun.
Kartolo bukanlah politikus apalagi birokrat. Karenanya kidungan jula-juli gaya Kartoloan lebih diterima oleh masyarakat di Jawa Timur karena kepolosan dan kesederhanaannya. Sutowo lewat tulisannya Gending Jula-juli Suroboyo Gaya Kartolo (1994) menyebut Kartolo sebagai pelopor dalam mengembalikan kodrat jula-juli pada kedudukan yang semestinya, seni yang tak lagi terinvensi oleh berbagai kepentingan banal. Ia pun mengambil pilihan hidup di jantung Jawa Timur, Surabaya. Di mana tradisi yang setiap hari semakin tergerus oleh kepentingan kapitalis. Kartolo menjadi oase menyegarkan di belantara kota metropolis. Ia menjadi simpul yang mengikat kencang agar Surabaya tak lepas dari habitus akar tradisinya.

Popularitas
Titik puncak kejayaan Kartolo terjadi pada tahun 1980. Ia mendapat tawaran rekaman (audio) jula-juli dan lawakan di bawah perusahaan rekam Nirwana Record. Bersama Nelwan S. Wongsokadi dengan kelompok Karawitan Sawunggaling Surabaya, Kartolo melahirkan lakon-lakon cerita banyolan yang meledak di pasaran. Bahkan Peking Wasiat dan Welut Ndas Ireng mencapai angka penjualan fantastis hingga 10 ribu copy. Hal yang jarang dijumpai pada seni tradisi. Ia didukung oleh para pemain ludruk yang handal seperti Munawar, Sapari, Yakin, Basman, Sokran, Markeso, Umi Kalsum dan lain sebagainya. Membaca kidungan jula-juli dan ludrukan ala kartolo berarti menelisik sejarah peradaban kebudayaan akar rumput di Jawa Timur. Kisahnya senantiasa mengguratkan narasi tentang kampung. Mulai dari masalah ronda (siskamling), rebutan nasi tumpeng, sepeda ontel, pencurian jarik, jalan becek, keluarga berencana, tanam padi, mahalnya garam dan gula, hingga fenomena dukun palsu. Melihat kidungan ala kartolo tak cukup dengan hanya didengarkan lalu tertawa, namun ada pesan positif yang mencoba disampaikan. Kidungan Kartoloan menjadi bahan hiburan masyarakat yang merindukan nilai-nilai kedamaian, kebersamaan, persatuan dan toleransi.
Kidungan tak sekedar menyanyi, atau nembang. Ia tak terikat dengan hukum dan pakem. Kidungan hari ini bisa berbeda dengan sebelum atau sesudahnya. Kartolo senantiasa menggunakan tema baru agar nampak lebih segar dan kekinian. Tak jarang sebelum membuat kidungan, ia mewawancarai si penanggap seputar bisnis, isu dan kejadian lucu. Tema seputar itulah yang akan tertuang dalam lantunan kidungannya. Dengan demikian, penonton dapat tertawa terpingkal-pingkal karena lirik kidungan begitu dekat dan mengena. Ribuan lirik telah Kartolo ciptakan. Bahkan mungkin mampu menjadi “kitab” sastra Jawa Timuran dewasa ini. Ia adalah seniman yang menjadi legenda hidup di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Kidungan gaya kartoloan telah menyebar dan menjadi “virus” dalam dunia seni pertunjukan Ludruk. Ia menjadi pahlawan di tengah gersangnya kecintaan generasi masa kini pada tradisi.
Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Runtuhnya (Nilai) Keraton Solo (dimuat di Koran Wawasan 14 September 2013)

                                       Runtuhnya (Nilai) Keraton Solo



Berulang lagi, publik dikejutkan dengan kegaduhan para penguhuni Keraton Kasunanan Surakarta. Seperti yang diberitakan Wawasan secara beruntun (28 Agustus-04 September 2013), Keraton Surakarta kondisinya semakin bobrok. Tak hanya dalam konteks bangunan saja yang telah rapuh, namun juga sikap kedewasaan dan kesantunan yang tak lagi dimiliki penghuninya. Kisah-kisah adab budaya yang konon disebut adi luhung itu kemudian hanya menjadi mitos dan dongeng. Keraton telah mengalami metemorfosis, dari muara kosmis –jagat kecil- masyarakat Jawa menjadi panggung pertunjukan kekerasan. Wajar kemudian jika citra keraton mengalami kemunduran. Terlebih isu untuk menjadikan Daerah Istimewa Surakarta (DIS) semakin berhembus kencang. Tentu kegaduhan tersebut menjadi catatan tersendiri.

Nilai
Keraton menjadi pusat dari nilai-nilai masyarakat Jawa dan Surakarta pada khususnya. Kehalusan budi pekerti, kedewasaan dalam menyikapi sebuah masalah, kesantunan adalah sikap yang senantiasa didengung-dengungkan dan lahir darinya. Masyarakat memandang keraton sebagai jagat mikro, tempat bergumulnya segala adab budaya, dari yang nyata hingga transenden. Keraton tak sekedar bangunan tembok berbeton. Namun sarat akan nilai dan makna. Memasukinya berarti harus bersedia merubah prilaku, unggah-ungguh, tata krama. Tak semua orang dapat dengan bebas melenggang. Ada syarat tentang pakaian yang harus digunakan, posisi jalan, posisi duduk, bahasa dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa keraton menjunjung tinggi norma dan etika.
Ritual-ritual sakral dilangsungkan demi mempertontonkan bahwa keraton masih memiliki legitimasi kuat dalam konteks kebudayaan, walaupun domain ekonomi dan politik tak lagi mampu digenggam. Namun sayang, keraton tak lagi seperti dahulu kala. Banyak hal yang telah hilang. Kebudayaan yang selama ini masih menjadi penanda detak hidupnya juga semakin tak terbaca. Lihatlah prosesi sakral Jumenengan beberapa waktu lalu yang tak dapat dihadiri oleh Raja. Padahal ritual itu dilangsungkan untuk Raja guna menyaksikan tari Bedaya Ketawang. Masyarakat harusnya dapat langsung melihat junjungannya itu, yang selama ini diidolakannya. Ritual itu kemudian hanya menjadi agenda wajib yang semikin kehilangan makna. Masyarakat semakin lama tak lagi menggantungkan ritus kosmik hidupnya pada keraton.
Apalagi dalam beberapa waktu terakhir, begitu mudahnya seseorang mendapatkan gelar kebangsawanan. Mulai dari pejabat publik hingga artis yang tak jelas apa sumbangan besarnya bagi peradaban kebudayaan Jawa. Konon isu “komersialisasi” gelar begitu pekat didengungkan oleh publik. Keraton menjadi sarkastik. Membutuhkan supremasi untuk mengangkat pamornya kembali. Hal yang cukup menggembirakan sebenarnya terjadi saat rekonsiliasi antara raja kembar saat itu –Hanggabeni dan Tedjowulan-. Publik menyambut positif akan hal ini dan berharap kekisruhan segera dapat diakhiri. Namun selang beberapa waktu, kita kembali dikejutkan dengan peristiwa 26 Agustus 2013 lalu. Acara yang sedianya menganggat Tedjowulan sebagai Maha Patih itu dibubarkan secara paksa oleh pihak yang mengatas namakan Dewan Adat Keraton di bawah Gusti Moeng (adik dari raja saat ini).
Bahkan, logika dan tata nilai tak lagi digunakan. Pihak-pihak yang bertikai telah menjurus dalam aksi kekerasan. Parang, kayu dan batu sudah rapat digenggaman tangan. Terlebih, tak berselang lama, salah satu pintu keraton didobrak dengan menggunakan mobil jeep warna putih. Tak lagi penting pintu sebagai benda cagar budaya, sisa peninggalan kejayaan Mataram. Bagi mereka, yang paling utama adalah hasrat memuaskan diri. Ironisnya, Raja kemudian kehilangan segala atas legitimasi kekuasaannya. Dewan Adat Keraton memutuskan menon-aktifkan supremasi raja sementara waktu. Otomatis, segala hal yang berhubungan dengan raja telah digantikan oleh lembaga itu. Raja bagaikan boneka yang dapat dengan mudah dicopot dan pasang kestatusannya. Lembaga adat nampak begitu berkuasa (Wawasan, 4 September 2013)
Keraton dengan demikian telah mengalami kebangkrutan eksistensi. Banyak pihak menyayangkan terjadinya kegaduhan itu. Namun tak sedikit yang menganggapnya sebagai tontonan biasa yang sering terjadi, alias tak kaget. Hal ini menunjukkan bahwa bara permusuhan di dalam tembok keraton masih menyala terang, belum –atau mungkin tak bisa?-sirna. Setiap saat dapat muncul lagi kepermukaan. Banyak pertanyaan yang mengemuka, apa yang sebenarnya dicari oleh pihak-pihak yang bertikai itu, toh keraton tak lagi memiliki kekuatan ekonomi dan politik ideal. Apakah hanya demi kepuasan diri sehingga mengorbankan citra keraton secara keseluruhan. Wajar jika publik menilai ada sebagian orang yang memanfaatkan kegaduhan ini dalam meraih ambisi yang penuh pamrih.

Dialog
Kebudayaan Jawa senantiasa mengedepankan prinsip dialogis (rembugan). Bisa saja kedua belah pihak yang bertikai duduk bersama, rendah hati, saling nguda rasa atau berkeluh kesah terkait apa yang dirasakan. Tentu dalam proses itu tak harus merasa paling tinggi atau rendah, benar atau salah, namun setara. Mediasi dapat dilakuakan dengan mengundang kepala daerah setempat atau sosok yang dianggap memiliki kredibilitas. Rasa memiliki terhadap keraton juga harus dimunculkan. Sehingga dialog tak tak semata demi kepentigan pribadi namun keberlangsungan hidup keraton ke depan.  Tentu hal tersebut tidaklak sulit bagi orang-orang yang memegang teguh prinsip kesantunan dan tata krama, apalagi para penghuni keraton yang “darah biru” itu.
Masyarakat akan menilai sejauh mana keraton telah tumbuh semakin dewasa. Atau justru sebaliknya, keraton semakin tak tentu arah karena sikap acuh para penghuninya. Jangan salahkan publik jika semakin berjarak. Semua karena apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan terhadap keraton. Penghuni keraton seharusnya mampu menjadi tauladan berharga bagi pembentukan sikap dan karakter masyarakat Jawa dan Surakarta pada khususnya. Terlebih public hearing juga tak pernah dilakukan pihak keraton dalam menyerap aspirasi, tanggapan dan pandangan masyarakat. Keratonpun seolah menjadi bebal kritik. Para penghuninya terlenakan dengan gelar yang disandang tanpa mampu bersosialisasi dengan baik dengan masyarakat di akar rumput.
Keraton sebagai sebuah bangunan tentu masih selayaknya kita pertahankan keberadannya, terlepas dari kekisruhan yang terjadi. Jangan sampai perusakan dihalalkan hanya karena demi sebuah eksistensi segelintir pihak. Budaya dialog dan duduk bersama menjadi wajib dilakukan agar masyarakat dapat dengan gamblang menyikapi dan mengetahui duduk perkaranya. Solusi dengan tidak merugikan salah satu pihak bukanlah hal mustahil untuk dicetuskan. Namun toh jika berulang kali cara ini tak menemukan titik temu, berarti benar apa kata sejarawan muda asal Solo, Heri Pritaymoko, penghuni keraton kekanak-kanakan, tak lagi memegang nilai-nilai luhur. Harusnya malu dengan perjuangan dan nama besar yang pernah disandang keraton Surakarta di masa jayanya dahulu kala.
Kita semua tentu berharap keraton mampu kembali menjadi muara tuntunan bagi masyarakat Jawa dan Surakarta. Wacana DIS menjadi cambuk dalam melihat sejauh mana kesiapan keraton dalam berproses dan menyiapkan diri sebagai pusat pemerintahan. Atau justru wacana itu hanya menjadi penghangat yang dimanfaatkan segelintir pihak di balik kekisruhan yang terjadi. Jika demikian, masyarakat selaku penonton akan bertepuk tangan menyaksikan kegaduhan yang mungkin akan kembali lagi berulang.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta


30 tahun Gendhon Humardani (dimuat di Jawapos 1 September 2013)

30 tahun Gendhon Humardani


Nama Gendhon Humardani bagi seniman dan budayawan Indonesia angkatan tahun 1970-an hingga awal 1980-an bukanlah sebuah nama yang asing. Ia dikenal sebagai pakar dan kritikus seni pertunjukan yang sangat disegani dan berwibawa. Di tangannya kala itu, Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) menjadi pusat unggulan kreativitas kekaryaan seni di Nusantara. Banyak seniman besar lahir di kedua lembaga itu. Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra, AL, Suwardi, Pande Made Sukerta, Suprapto Suryodarmo adalah beberapa di antaranya. Mereka adalah mantan anak didik (mahasiswa) Gendhon Humardani yang dengan tekun menyemai pemikiran dan laku kreatif dari gurunya yang terkenal keras kepala itu. Akhir Agustus kmarin ini tepat 30 tahun Gendhon meninggalkan jagat seni pertunjukan Indonesia. Menuliskan kembali sosoknya tak semata menjadi usaha untuk mengenang apalagi sekadar nostalgia. Namun berusaha mendudukkan kembali arti penting kehadirannya, atas sumbangan dan jasa besar yang pernah ditorehkan bagi perkembangan kebudayaan dan terutama seni pertunjukan di Indonesia.

Pelopor
Gendhon lahir dengan nama lengkap Sedyono Djojokartiko Humardani pada 30 Juni 1923 dari pasangan Hoemardani Djojosoedarmo dengan Soenarti. Ayahnya adalah seorang usahawan kaya dan ibunya seorang putri priyayi terpandang berpangkat abdi-dalem Bupati Putri Lebet Kasunanan Surakarta bernama Nyai Tumenggung Setjapura. R.M. Soedarsono lewat tulisannya Gendhon Humardani: Pendobrak Kesenian Jawa Yang Beku (2003) menjelaskan bahwa sejatinya Gendhon tak dibesarkan sebagai seorang seniman. Ia lebih akrab bersentuhan dengan dunia intelektual yang memegang teguh prinsip logika atau rasio dari pada ‘rasa’. Kedokteran adalah minat awalnya. Bahkan ia sempat mendapatkan beasiswa dari The British Council untuk melanjutkan studi pascasarjana di Inggris bidang anatomi. Setelah berjalan satu tahun, Gendhon meminta perpanjangan studi ke Fakultas Kedokteran. Sayang, hal itu tidak disetujui. Uniknya, ia kemudian justru mendapat beasiswa dari The Rockefeller Foundation di New York, Amerika Serikat. Bukan untuk bidang kedokteran, namun seni tari.
Sepulangnya dari Amerika, Gendhon membawa perubahan besar bagi dunia seni pertunjukan Indonesia terutama Jawa. Ia menganggap bahwa tari tradisi Jawa mengalami kebekuan kreativitas, monoton, dan bahkan membosankan. Setiap di forum seminar, si perokok berat ini senantiasa menjadi perhatian utama. Bukan semata karena ide-ide frontalnya, namun juga sikapnya yang tempramental. Ekspresi pembawaan yang meledak-ledak. Tak jarang, kata-kata kasar dan umpatan keluar dari mulutnya untuk memperjelas maksud yang hendak disampaikan. Tak hanya dunia tari, seni pedalangan dan musik karawitan juga tak luput dari semprotnya. Namun, ia bukanlah orang yang hanya pandai bicara. Konsep, teori dan gagasannya tak terhenti dalam wacana, tapi diwujudkan dalam ekspresi karya seni. Rustopo dalam Gendhon Humardani Sang Gladiator (2001), Gendhon adalah pelopor dalam penciptaan pakeliran baru yang saat ini kita kenal dengan “pakeliran padat”. Ia juga memelopori sebuah garapan drama tari tanpa dialog verbal yang kemudian kita kenal sebagai “sendratari”.
Gendhon Humardani memimpin PKJT dan ASKI (sekarang Institut Seni Indonesia –ISI-) Surakarta pada tahun 1971. ASKI di bawah kepimpinannya menjadi “kawah candra dimuka” bagi calon sarjana yang nyeniman. Sejak pukul lima pagi, para mahasiswa tari diwajibkan mengikuti olah tubuh (biasa disebut injeksi) selama dua jam lebih. Mahasiswa yang tak memiliki kemampuan fisik prima, pasti tak sanggup mengikuti kegiatan itu. Bagi mahasiswa karawitan, untuk mencapai derajad Seniman Karawitan (S.Kar.) harus menampilkan karya konser sebanyak dua kali. Konser pertama berdurasi satu jam, dan yang kedua adalah karya penuh berdurasi kurang lebih dua jam. Bandingkan, saat ini ujian tugas akhir bisa dilakukan dengan hanya 10 sampai 15 menit saja.
Gendhon terkenal “angker” di kalangan mahasiswanya. Banyak yang tak lulus dan harus melakukan ujian ulang (termasuk Ben Suharto dari ASTI Yogyakarta). Di matanya, kesalahan sedikit tak dapat ditoleransi. Hasilnya memang dapat dilihat, mahasiswa dan lulusan ASKI memiliki olah kemampuan praktik yang unggul dibanding dengan yang lain. Para penari berpostur ideal, para pengrawit mampu menghafal gending dengan qatam. Dikisahkan oleh R.M. Soedarsono kala teman-temannya dari Amerika melihat ujian tugas akhir di ASKI kala itu dan berkomentar bahwa ujian seberat itu di Eropa dan Amerika sudah laku untuk meraih gelar M.F.A. (Master of Fine Arts). Gendhon mendidik tak pandang bulu. Konon salah satu doktor baru lulusan luar negeri kala itu harus mengepel pendopo ageng hanya karena menginjakkan sepatunya di lantai pendopo.

Sadra dan Panggah
Kisah pertemuan I Wayan Sadra dengan Gendhon Humardani kiranya menarik untuk kembali diungkap. Tanggal 8 Februari 1981, komponis asal Bali itu menampilkan komposisi musik berjudul “Lad-Lud-An” untuk acara Pekan Komponis Muda II di Taman Ismail Marzuki. Sadra tergolong komponis kontemporer yang gila akan kebaruan. Di tengah pertunjukan ia berdiri, berjalan pelan-pelan ke depan panggung, tangan kanannya diangkat pelan. Tepat di hadapan penonton terdepan, ia menjatuhkan genggangan yang ada ditangannya itu. Tiba-tiba bau busuk menyeruak kepermukaan. Ternyata benda padat itu adalah telur busuk. Hal itu diulangnya terus menerus. Penontonpun menjadi panik, sesekali mau muntah, tak terkecuali juga Gendhon Humardani. Karya itu menjadi diskusi dan perbincangan yang tiada usai, bahkan bertahun-tahun sesudahnya.
Di forum diskusi setelah acara berlangsung, Gendhon dengan lantang mengkritik habis karya Sadra. Tak jarang kata-kata pedas dan umpatan keluar darinya. Semua peserta diskusi diam, terhenyak, tak terkecuali Sadra. Berbagai pertanyaan dimunculkan Gendhon tentang karya itu. Uniknya, begitu mendengar jawaban Sadra, Gendhon yang awalnya menghujat karya itu kemudian memujanya. Tak disangkanya, komponis muda asal Bali itu kuat ditakaran konsep dan mampu melahap pertanyaan Gendhon dengan jawaban yang memukau. Setelah menghujat, Gendhon membisikkan rayuan pada Sadra agar mau mengajar di ASKI Surakarta dan menjadi PNS yang saat itu gajinya untuk beli beras saja tidak cukup. Melihat keseriusan Gendhon Humardani, Sadrapun tertarik dan pindah ke Surakarta pada tahun 1981.
Gendhon Humardani, di balik kata-kata kerasnya ternyata mampu melihat potensi terpendam dalam diri seorang pemuda layaknya Sadra. Setali tiga uang, Rahayu Supanggahpun demikian. Selama kuliah di ASKI ia banyak terlibat diskusi sengit dengan Gendhon. Sering tak sepaham dengan menentang ucapannya. Hal yang tak mungkin dijumpai bagi mahasiswa lain yang cenderung nurut dan manut. Panggah dengan logika berfikir yang dimilikinya kadang membuat Gendhon tak mampu lagi membantah. Bukannya beci, Gendhon justru sangat mencintainya. Di banyak forum seminar, Panggah selalu ditunjuk untuk mewakili kampus dan Gendhon jika berhalangan hadir. Gendhon memberi banyak kesempatan bagi komponis yang mengucir rambutnya itu untuk meningkatkan kemampuan intelektual. Hasilnya, Rahayu Supanggah tak hanya dikenal sebagai musisi kelas dunia, namun juga Etnomusikolog, teoritikus dan budayawan.
Sadra dan Panggah adalah contoh kecil guratan manis buah tangan Gendhon Humardani. Walaupun Sadra telah berpulang menyusul Gendhon tahun 2011, namun namanya masih membekas harum di blantika musik kontemporer hingga kini. Sepeninggal Gendhon, ASKI telah bermetamorfosis menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan ISI. Pertanyaannya kemudian, akankah muncul Gendhon-Gendhon baru? Atau justru kita saat ini hanya hidup dalam klangenan, bernostalgia bersama kenangan manis tentang sosok Gendhon Humardani tanpa mampu meneruskan jejak dan pemikirannya?
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut