Ibu men-Jawa
Hari Ibu menjadi menjadi hari untuk
puja-puji sosok ibu. Ibu tak semata faktor ketubuhan dengan menempatkan ujudnya
dalam narasi female, feminisitas, perempuan dan wanita. Lebih dari itu, kisah
ibu kemudian juga berbunyi tentang pengorbanan, doa, perjuangan dan air mata.
Sosoknya menjadi penting diabadikan dalam kuasa “hari nasional” untuk mengenang
dan wujud penghormatan atas kodratnya. Menjadi ibu berarti bersedia mentasbihkan
diri dalam pertarungan hidup dan kerelaan untuk mati. Mengandung, bertarung
nyawa demi sang anak dan keluarga. Segala ucapan terimaksih berdatangan.
Iklan-iklan di layar kaca silih berganti mengisahkan ibu. Namun kita justru
semakin alpa dalam memaknai sosok ibu, semata hanya makhluk yang telah memiliki
anak. Ibu tak lagi memiliki kuasa dalam narasi kebudayaan, terutama Jawa.
Jawa
Dalam budaya Jawa, ibu lewat kodratnya
dipanggil sebagai wanita yang berarti
wani nata dan wani ditata. Atau bahkan perempuan yang berasal dari kata “empu”
alias orang yang telah memiliki kekuatan paripurna untuk membuat, mengolah dan
melahirkan sesuatu. Nama-nama itu disandang ibu sebagai pelengkap dalam narasi sejarah
hidupnya. Bagi seorang suami, ibu lewat kuasa budaya Jawa disebut sebagai garwa yang bermakna sigarane nyawa atau belahan Jiwa. Ester Lianawati (2008)
mendekonstruksi anggapan bahwa ibu di Jawa berada dalam ketiak kaum Adam alias
suami. Stereotipe yang seolah menepikan kuasa ibu itu justru dapat dimaknai
secara berbeda. Pandangan yang menempatkan ibu tak lebih dari kanca wingking dan suwarga nunut neraka katut sejatinya justru merupakan “kekuatan”
terbesar seorang ibu untuk mengontrol dan mensejajarkan diri dengan kaum Adam
selaku suaminya. Seperti halnya lirik lagu Titiek Puspa, “wanita dijajah pria sejak dulu,” memperlihatkan dominasi lelaki yang begitu
tampak kuat dan menindas. Namun tunggu dulu, jangan lewatkan lirik selanjutnya
yang justru memutarbalikkan fakta, bahwa lelaki "..tekuk lutut di sudut
kerling wanita." Lirik itu melukiskan kekuatan tersembunyi wanita yang
mampu membikin lelaki bertekuk lutut tak berdaya.
Tentu saja “kekalahan” itu
tak diperlihatkan di depan umum. Hanya pada ruang-ruang tertentu yang dianggap
penting kuasa kemenangan wanita atau ibu itu begitu nampak nyata. Dalam pepatah
Jawa hal itu biasa disebut sebagai nglurug tanpa bala, menang tanpa
ngasorake. Mengalahkan tanpa
terlihat menindas dan menang tanpa terlihat menjatuhkan. Ibu di Jawa memiliki
kemampuan tersebut. Kebudayaan Jawa dalam konteks ini menjadi medium
untuk menghubungkan Ibu menjadi “sutradara” yang mengatur perputaran roda rumah
tangga. Dari persoalan ekonomi, sosial hingga harga diri. Ia tak hanya terjuluk
sebagai kanca wingking yang bertugas
di dapur dan kamar, semata hanya melayani suami dan anak-anaknya. Namun justru
di ruang itu ibu menunjukkan kuasa atas keberhasilan menjaga keutuhan keluarga.
Ia adalah sosok di balik layar. Keputusan boleh diambil seorang suami, namun
akan sangat besar dipengaruhi oleh kehadiran seorang ibu. Dengan demikian ia
menjadi orang terpenting yang keberadaanya tak dapat dilihat secara verbal
namun dapat dirasakan legitimasinya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak
berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama
kelamaan suami akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada
posisi inilah, ibu di Jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia
publik melalui suaminya (Handayani dan Novianto, 2004).
Jangan heran kemudian jika
ibu dalam lingkaran budaya Jawa (kultureisme) bertindak halus, lemah lembut dan
sopan santun tutur katanya, namun tegas dan konsisten kala mengambil keputusan.
Ia juga mengabdikan diri sepenuhnya bagi suami. Salah benar seorang suami,
tetaplah ia menjadi imam untuk keluarganya. Narasi yang kemudian dalam budaya
Jawa disebut sebagai suwarga nunut
neraka katut
atau pejah gesang tumut. Hal yang justru telah mengalami kebangkrutan
eksistensi di abad mutakhir. Pribahasa itupun telah beralih menjadi “ada uang abang
disayang, tak ada uang abang ditendang”. Sehingga pribahasa “di balik suami
yang sukses ada istri yang hebat” sudah tak lagi konsisten jika dihadapkan pada
“di balik suami koruptor ada istri....?
Jawa memberi tauladan berharga tentang
sosok ibu. Bahkan di Suluk Tembangraras yang ditulis tahun 1809 atas permintaan
Paku Buwana V berdendang merdu tentang sosok ibu. Di kidung itu, sosok ibu
digambarkan sebagai lima jari yang membasuh, merawat, memberi sentuhan dan
belaian hangat pada keluarga, suami dan anak-anaknya. Ibu menjadi benteng
terakhir kehormatan keluarga. Yuliarso (2012) mencirikan tiga kategori ibu
dalam peradaban kultur di Jawa yakni wedi,
gemi dan gemati. Pertama, wedi yang berarti takut untuk
mempublikasikan rahasia dan aib keluarga, semata dipendamnya jauh di lupuk
hati. Takut untuk berkata kasar dan tak santun kepada suami terlebih di depan
umum. Kedua, gemi berarti hemat dan
pandai dalam mengatur roda perekonomian keluarga. Mampu mengolah seberapapun uang
yang diberikan oleh suami. Tak menunjukkan raut kekurangan apalagi mengiba
dengan meminta lebih. Ketiga, gemati
yang memiliki maksud penuh kasih sayang, pengertian pada suami dan
anak-anaknya.
Ironi
Zaman telah banyak mendekontruksi makna
ibu dalam kultur masyarakat Jawa. Ibu-ibu masa kini cenderung mendandani
tubuhnya dengan pelbagai prestise perangkat sosial. Ibu dikatakan mampu menjadi
tauladan kala ia berhasil mempertontonkan citra atas dirinya dalam struktur
penekatan status terkini. Akbibatnya, ibu yang ideal adalah seorang dokter,
arsitek, polisi dan pengusaha sukses. Kisah ibu di masa kini jarang dilihat
dalam ruang persentuhannya dengan anak dan suami dalam bangunan keluarga. Ibu
di Jawa tak lagi rela untuk menembang tak
lelo-lelo-ledung pada anaknya kala malam mendekati peraduan tidur. Ibu juga
malas untuk mengisahkan segala cerita tentang Jawa. Tak ada lagi timun mas, keong mas, kancil nyolong timun, bandung bandawasa, joko tarup dan jaka tingkir. Anak-anak kemudian lebih
khusyuk untuk bertafakur lewat tablet, blackberry, dan playstation.
Ibu di Jawa semakin kehilangan kuasa
atas anak, suami dan keluarga. Ia mempribadi, semata hanya memanjakan diri
sendiri. Konsep-konsep ke-Jawaan yang konon adi luhung itu semakin luntur dan
tak berbekas. Kita lupa untuk menelisik sejarah tentang perempuan Jawa. Kita
pun tak qatam dalam mengaji kisah Kartini yang seolah hanya berisi tentang
pertentangan dan pembebasan diri dari belenggu kultur ke-Jawaan yang konon
feodal itu. Kita kehilangan jejak bahwa sejatinya Kartini justru seorang ibu
yang sangat Jawa. Kita melewatkan adegan kala Kartini menjadi istri dan ibu,
bukan semata pejuang emansipasi.
Hari ibu membeku dalam tanggal yang
rutin kita peringati setiap 22 Desember. Puja-puji kita lakukan dengan
menempatkan ibu sebagai pemeran utama. Semangat Hari Ibu kemudian menjadi
pemberitaan yang tiada habis disuluh. Namun, kita tak lagi melihat ibu dalam
konstelasi kebudayaan. Kita luput menyibak makna dan gugusan pesan yang
terkandung dalam kodrat ibu dalam kultur Jawa. Semata berisi tentang ujud dan
ketubuhannya sebagai wanita yang telah bersuami dan memiliki anak. Padahal, ibu
bukan semata pejuang keluarga, namun juga pewaris atas adab budaya. Narasi ibu
di Jawa dewasa ini semakin sayup-sayup bias definisi. Kisah hari ibu hanya
berisi selebrasi sesaat. Anak-anak mencium tanggannya, berlomba berucap selamat
lewat sms dan telepon lalu abai setelahnya. Ibu menjadi makhluk yang tak lebih
dari faktor genetika dan urusan garis darah, bukan lagi keterikatan kultur dan
jejak peradaban. Dengan demikian, sebenarnya kebudayaan Jawa telah menjadi
simpul yang mengikat kencang ibu agar tak keluar dari batas-batas kodratnya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog,
Pengajar di Institut Seni Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar