Ibu men-Jawa (dimuat di Jawa Pos 22 Desember 2013)



Ibu men-Jawa


Hari Ibu menjadi menjadi hari untuk puja-puji sosok ibu. Ibu tak semata faktor ketubuhan dengan menempatkan ujudnya dalam narasi female, feminisitas, perempuan dan wanita. Lebih dari itu, kisah ibu kemudian juga berbunyi tentang pengorbanan, doa, perjuangan dan air mata. Sosoknya menjadi penting diabadikan dalam kuasa “hari nasional” untuk mengenang dan wujud penghormatan atas kodratnya. Menjadi ibu berarti bersedia mentasbihkan diri dalam pertarungan hidup dan kerelaan untuk mati. Mengandung, bertarung nyawa demi sang anak dan keluarga. Segala ucapan terimaksih berdatangan. Iklan-iklan di layar kaca silih berganti mengisahkan ibu. Namun kita justru semakin alpa dalam memaknai sosok ibu, semata hanya makhluk yang telah memiliki anak. Ibu tak lagi memiliki kuasa dalam narasi kebudayaan, terutama Jawa.

Jawa
Dalam budaya Jawa, ibu lewat kodratnya dipanggil sebagai wanita yang berarti wani nata dan wani ditata. Atau bahkan perempuan yang berasal dari kata “empu” alias orang yang telah memiliki kekuatan paripurna untuk membuat, mengolah dan melahirkan sesuatu. Nama-nama itu disandang ibu sebagai pelengkap dalam narasi sejarah hidupnya. Bagi seorang suami, ibu lewat kuasa budaya Jawa disebut sebagai garwa yang bermakna sigarane nyawa­­ atau belahan Jiwa. Ester Lianawati (2008) mendekonstruksi anggapan bahwa ibu di Jawa berada dalam ketiak kaum Adam alias suami. Stereotipe yang seolah menepikan kuasa ibu itu justru dapat dimaknai secara berbeda. Pandangan yang menempatkan ibu tak lebih dari kanca wingking dan suwarga nunut neraka katut sejatinya justru merupakan “kekuatan” terbesar seorang ibu untuk mengontrol dan mensejajarkan diri dengan kaum Adam selaku suaminya. Seperti halnya lirik lagu Titiek Puspa, “wanita dijajah pria sejak dulu, memperlihatkan dominasi lelaki yang begitu tampak kuat dan menindas. Namun tunggu dulu, jangan lewatkan lirik selanjutnya yang justru memutarbalikkan fakta, bahwa lelaki "..tekuk lutut di sudut kerling wanita." Lirik itu melukiskan kekuatan tersembunyi wanita yang mampu membikin lelaki bertekuk lutut tak berdaya.
Tentu saja “kekalahan” itu tak diperlihatkan di depan umum. Hanya pada ruang-ruang tertentu yang dianggap penting kuasa kemenangan wanita atau ibu itu begitu nampak nyata. Dalam pepatah Jawa hal itu biasa disebut sebagai nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Mengalahkan tanpa terlihat menindas dan menang tanpa terlihat menjatuhkan. Ibu di Jawa memiliki kemampuan tersebut. Kebudayaan Jawa dalam konteks ini menjadi medium untuk menghubungkan Ibu menjadi “sutradara” yang mengatur perputaran roda rumah tangga. Dari persoalan ekonomi, sosial hingga harga diri. Ia tak hanya terjuluk sebagai kanca wingking yang bertugas di dapur dan kamar, semata hanya melayani suami dan anak-anaknya. Namun justru di ruang itu ibu menunjukkan kuasa atas keberhasilan menjaga keutuhan keluarga. Ia adalah sosok di balik layar. Keputusan boleh diambil seorang suami, namun akan sangat besar dipengaruhi oleh kehadiran seorang ibu. Dengan demikian ia menjadi orang terpenting yang keberadaanya tak dapat dilihat secara verbal namun dapat dirasakan legitimasinya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, ibu di Jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia publik melalui suaminya (Handayani dan Novianto, 2004).
Jangan heran kemudian jika ibu dalam lingkaran budaya Jawa (kultureisme) bertindak halus, lemah lembut dan sopan santun tutur katanya, namun tegas dan konsisten kala mengambil keputusan. Ia juga mengabdikan diri sepenuhnya bagi suami. Salah benar seorang suami, tetaplah ia menjadi imam untuk keluarganya. Narasi yang kemudian dalam budaya Jawa disebut sebagai suwarga nunut neraka katut atau pejah gesang tumut. Hal yang justru telah mengalami kebangkrutan eksistensi di abad mutakhir. Pribahasa itupun telah beralih menjadi “ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang”. Sehingga pribahasa “di balik suami yang sukses ada istri yang hebat” sudah tak lagi konsisten jika dihadapkan pada “di balik suami koruptor ada istri....?
Jawa memberi tauladan berharga tentang sosok ibu. Bahkan di Suluk Tembangraras yang ditulis tahun 1809 atas permintaan Paku Buwana V berdendang merdu tentang sosok ibu. Di kidung itu, sosok ibu digambarkan sebagai lima jari yang membasuh, merawat, memberi sentuhan dan belaian hangat pada keluarga, suami dan anak-anaknya. Ibu menjadi benteng terakhir kehormatan keluarga. Yuliarso (2012) mencirikan tiga kategori ibu dalam peradaban kultur di Jawa yakni wedi, gemi dan gemati. Pertama, wedi yang berarti takut untuk mempublikasikan rahasia dan aib keluarga, semata dipendamnya jauh di lupuk hati. Takut untuk berkata kasar dan tak santun kepada suami terlebih di depan umum. Kedua, gemi berarti hemat dan pandai dalam mengatur roda perekonomian keluarga. Mampu mengolah seberapapun uang yang diberikan oleh suami. Tak menunjukkan raut kekurangan apalagi mengiba dengan meminta lebih. Ketiga, gemati yang memiliki maksud penuh kasih sayang, pengertian pada suami dan anak-anaknya.


Ironi
Zaman telah banyak mendekontruksi makna ibu dalam kultur masyarakat Jawa. Ibu-ibu masa kini cenderung mendandani tubuhnya dengan pelbagai prestise perangkat sosial. Ibu dikatakan mampu menjadi tauladan kala ia berhasil mempertontonkan citra atas dirinya dalam struktur penekatan status terkini. Akbibatnya, ibu yang ideal adalah seorang dokter, arsitek, polisi dan pengusaha sukses. Kisah ibu di masa kini jarang dilihat dalam ruang persentuhannya dengan anak dan suami dalam bangunan keluarga. Ibu di Jawa tak lagi rela untuk menembang tak lelo-lelo-ledung pada anaknya kala malam mendekati peraduan tidur. Ibu juga malas untuk mengisahkan segala cerita tentang Jawa. Tak ada lagi timun mas, keong mas, kancil nyolong timun, bandung bandawasa, joko tarup dan jaka tingkir. Anak-anak kemudian lebih khusyuk untuk bertafakur lewat tablet, blackberry, dan playstation.
Ibu di Jawa semakin kehilangan kuasa atas anak, suami dan keluarga. Ia mempribadi, semata hanya memanjakan diri sendiri. Konsep-konsep ke-Jawaan yang konon adi luhung itu semakin luntur dan tak berbekas. Kita lupa untuk menelisik sejarah tentang perempuan Jawa. Kita pun tak qatam dalam mengaji kisah Kartini yang seolah hanya berisi tentang pertentangan dan pembebasan diri dari belenggu kultur ke-Jawaan yang konon feodal itu. Kita kehilangan jejak bahwa sejatinya Kartini justru seorang ibu yang sangat Jawa. Kita melewatkan adegan kala Kartini menjadi istri dan ibu, bukan semata pejuang emansipasi.
Hari ibu membeku dalam tanggal yang rutin kita peringati setiap 22 Desember. Puja-puji kita lakukan dengan menempatkan ibu sebagai pemeran utama. Semangat Hari Ibu kemudian menjadi pemberitaan yang tiada habis disuluh. Namun, kita tak lagi melihat ibu dalam konstelasi kebudayaan. Kita luput menyibak makna dan gugusan pesan yang terkandung dalam kodrat ibu dalam kultur Jawa. Semata berisi tentang ujud dan ketubuhannya sebagai wanita yang telah bersuami dan memiliki anak. Padahal, ibu bukan semata pejuang keluarga, namun juga pewaris atas adab budaya. Narasi ibu di Jawa dewasa ini semakin sayup-sayup bias definisi. Kisah hari ibu hanya berisi selebrasi sesaat. Anak-anak mencium tanggannya, berlomba berucap selamat lewat sms dan telepon lalu abai setelahnya. Ibu menjadi makhluk yang tak lebih dari faktor genetika dan urusan garis darah, bukan lagi keterikatan kultur dan jejak peradaban. Dengan demikian, sebenarnya kebudayaan Jawa telah menjadi simpul yang mengikat kencang ibu agar tak keluar dari batas-batas kodratnya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia

Tidak ada komentar:

Pengikut