Jejak (Nasib) Pengrawit Jawa (dimuat di Solopos, 15 Desember 2013)

Jejak (Nasib) Pengrawit Jawa


Tema dialog antar seniman yang dilangsungkan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta pada akhir September lalu cukup menarik untuk diangkat kembali. Dialog yang mengambil tema “Ngrembug Uripe Seniman” itu berkisah tentang nasib seniman di Indonesia dan Jawa khususnya yang masih serba kekurangan. Seniman belum sepenuhnya dianggap sebagai sebuah profesi yang menjanjikan. Hal ini mengingatkan saya pada perdebatan menarik tentang profesi seorang pengrawit (pemain gamelan) yang beberapa ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Bukan rahasia lagi, bayaran para penggrawit kadang tidak sebanding dengan kualitas daya dan tenaga yang dikeluarkannya dalam bermain gamelan. Apalagi dalam dunia pertunjukan wayang kulit, pamrih yang disemai para musisi gamelan kadang tak berbanding lurus dengan upah yang diterima para dalang. Penghargaan terhadap pengrawit memang menjadi isu krusial dalam jelajah wacana dunia gamelan di nusantara dan terutama di Jawa dewasa ini. Lalu, bagaimana jejak sejarah ke-pengrawitan di Jawa?

Sampingan
Bermain gamelan dalam takaran sejarah awalnya bukanlah sebagai sebuah profesi utama. Kalaupun ada hanya pada kalangan dan ruang yang terbatas, keraton misalnya. Pada masa jayanya, keraton memiliki kuasa untuk menganggat seseorang menjadi pemain gamelan sesuai dengan bidang kemampuan yang dimilikinya (Waridi, 2005). Tak tanggung-tanggung, keraton atau raja menjamin kehidupan musisi gamelan di lingkungannya dengan berbagai penghargaan, seperti materi berupa uang dan juga jenjang kepangkatan. Para musisi gamelan keraton memiliki kedudukan yang berbeda antar satu dengan lain. Hal itu disesuaikan dengan tingkat olah musikal yang dimiliki. Pengrawit yang berada dalam barisan depan misalnya adalah orang-orang yang handal dalam memainkan instrumen garap seperti rebab, gender dan kendang. Tentu saja pengrawit dengan spesifikasi yang demikian memiliki kedudukan dan bayaran yang lebih tinggi dibanding dengan yang lain.
Fenomena tersebut kini hanya menjadi ratapan manis di masa lalu. Saat di mana raja dan keraton di Jawa masih mampu menunjukkan taring legitimasi atas kekuasannya. Namun setelah keraton mengalami kebangkrutan eksistensi dan politik, nasib para seniman karawitan menjadi tak tentu arah. Keraton tak lagi bisa digunakan sebagai payung gantungan hidup dalam mengukir masa depan dunia kepengrawitan. Setelahnya, pengarwit menentukan arah hidup sendiri, tak lagi mengaitkan detak masa depannya dengan dunia keraton. Ada yang kembali bercocok taman, berdagang dan juga banyak pekerjaan lainnya.
Berbeda dengan di keraton, kehidupan para pengrawit di luar tembok keraton juga menyisakan cerita tersendiri. Darsono lewat bukunya Pengrawit Unggulan di Luar Tembok Keraton (2002) menyatakan, kegiatan bermain gamelan tidak diperuntukkan untuk mencari nafkah atau materi. Mereka bermain gamelan hanya untuk bersuka cita, klangenan, berkumpul dan saling berinteraksi. Gamelan mempertautkan masyarakat yang dalam kesehariannya disibukkan dengan rutinitas pekerjaan, umumnya bertani. Gamelan menjadi ruang publik bagi mereka. Berkomunikasi, membicarakan masalah panen, pengairan, hama, pupuk dan lain sebagainya. Tak terbesit bahwa bermain gamelan berarti menyemai pundi-pundi pamrih. Gamelan semata hanya jembatan yang menghubungkan antar manusia satu dengan lain.
Saat bermain gamelan itulah kadang hidangan seadaanya khas kampung disajikan seperti teh hangat, kacang godok, pisang goreng, ubi-ubian dan hasil olah sawah lainnya. Dana yang digunakan untuk itu kadang berasal dari kas desa, atau dibebankan pada pihak yang kebetulan saat itu menerima arisan. Bermain gamelan hanya untuk suka cita, bagian kecil dalam meraih ingar bingar tujuan mulia. Para pemainnyapun tak harus memakai pakaian Jawa, berbeskap-blangkon dan jarik. Namun seadanya, bisa hanya sekedar memakai kaos oblong, celana buntut, atau baju keseharian mereka. Ekspresi yang natural saat itu dipertontonkan. Bukan untuk mencoba menggapai citra visual lewat penampilan, namun justru kebersamaan dan keguyuban dalam kemunitaslah yang diutamakan. Tak seperti detak gamelan dalam tembok keraton, di kampung-kampung, siapapun bebas memainkannya. Tak ada status, derajad golongan atau kepangkatan di situ. Selama kemampuan musikal dalam mengolah ricikan (istrumen) tertentu bisa dipertanggung jawabkan, maka dengan segera seseorang dapat langsung memainkannya.
Pada konteks inilah gamelan begitu membumi bagi masyarat Jawa. Penghargaan disematkan kepadanya. Berbagai guratan mitos dibuat. Maka lazim kita jumpai bahwa tabu atau saru jika melangkahkan kaki di atas gamelan tanpa menyingkirkannya terlebih dahulu. Jika hal tersebut dilanggar, dengan segera beban kutukan akan datang, semisal sakit demam, kemaluan yang membesar (kondor) dan lain sebagainya. Tentu saja itu semua hanya mitos, cerita rekaan yang mencoba digulirkan agar semata gamelan dapat benar-benar dihargai. Begitulah jejak gamelan yang mampu pekat bercengkrama dengan kehidupan kultur keadaban budaya Jawa. Cukup sulit untuk menelisik kaitan gamelan dengan dunia hitung-hitungan jasa, pamrih atau uang terutama bagi musisi yang memainkannya.



Peye
Huruf “e” dalam judul di atas dibaca layaknya membaca tempe. Masyarakat komunitas gamelan biasanya mengenal istilah itu untuk menyebut rutinitas pentas yang mereka lakoni. Peye tak semata hanya bermain gamelan di tempat orang yang memiliki hajat seperti nikahan, khitanan serta bersih desa. Ada makna lain yang mencoba diukir bahwa peye sekaligus juga sebagai sebuah laku kerja dengan konotasi untuk mendapatkan upah atau pamrih. Tak jelas sejak kapan istilah itu bergulir, tak ada satupun referensi yang menyebut dan membahasnya hingga paripurna. Bisa jadi istilah itu berasal dari diksi kata “payu” yang artinya laku. Selebihnya adapula istilah sambatan yang berarti bermain gamelan tanpa mengharap upah. Di Bali agak serupa dengan pengertian ngayah. Sambatan berasal dari kata sambat atau disambati yang artinya dimintai tolong. Biasanya hal tersebut dilakukan karena sudah terjalin hubungan yang dekat antara pengrawit dengan penyambat (yang meminta tolong), seperti sahabat, saudara, atau juga pimpinan. Oleh karena itu, kebanyakan hanya ucapan terimakasih yang dihaturkan, tak ada embel-embel lain berupa uang.
Lekatnya dunia karawitan dengan dentum kepermisifan budaya mengakibatkan tak ada patokan dan ukuran pasti sejauh mana para musisi gamelan tersebut harus dihargai. Para musisi gamelanpun cenderung malu dan ragu untuk mengungkapkan tarif mereka sekali manggung. Bagi Soenarko Setyodarmodjo dalam bukunya Menggali Filsasfat dan Budaya Jawa (2007) menganggap persoalan itu tabu dan tak relevan dengan adab budaya Jawa yang konon halus, santun dan tentu saja permisif. Intinya, pengrawit gamelan seolah hanya butuh dimengerti. Tak mampu menentukan harga atas kuasa kreativitas musikalnya. Penanggaplah (stake holders) yang berperan besar menilai dengan harga yang sebanding. Namun sayang, karena sikap ketertutupan musisi gamelan yang demikian sehingga kadang mendapat penghargaan kurang layak.
Lebih miris lagi jika melihat realitas penghargaan para pengrawit gamelan dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa. Dalang menjadi pusat yang dengan tekun menyemai pundi-pundi keuntungan berlimpah. Jauh dari apa yang didapat para pengrawitnya. Memang tidak semua dalang demikian. Namun kebanyakan dalang yang hidup bergelimang harta harus bertirankan musisi gamelan yang serba kekurangan. Pembagian upah yang kadang dianggap terlalu timpang. Bayangkan, dari data yang penulis dapatkan, untuk ukuran dalang terkenal, sekali manggung mereka dapat puluhan juta. Sementara pengrawit hanya puluhan hingga ratusan ribu. Itupun masih harus dibagi dengan kualifikasi instrumen apa yang dimainkannya. Untuk instrumen dengan tingkat kesulitan rendah, mendapat honorarium yang rendah, begitu juga sebaliknya.
Idealnya, perkembangan zaman sudah selayaknya diimbangi dengan berbagai keterbukaan informasi. Tak ada lagi kata tabu untuk menghargai sebuah kreativitas bermusik. Seniman berhak menentukan bayaran atas kualitas musikal yang dimilikinya. Ke depan, menjadi indah saat terjadi negosiasi diberlangsungkan antara seniman atau musisi gamelan dengan pihak stake holders. Sehingga tidak ada penyesalan maupun kesalahpahaman di antara keduanya.

Aris Setiawan

Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut