Jejak (Nasib) Pengrawit
Jawa
Tema dialog antar seniman yang
dilangsungkan di Teater Arena Taman Budaya Surakarta pada akhir September lalu
cukup menarik untuk diangkat kembali. Dialog yang mengambil tema “Ngrembug
Uripe Seniman” itu berkisah tentang nasib seniman di Indonesia dan Jawa
khususnya yang masih serba kekurangan. Seniman belum sepenuhnya dianggap
sebagai sebuah profesi yang menjanjikan. Hal ini mengingatkan saya pada
perdebatan menarik tentang profesi seorang pengrawit (pemain gamelan) yang
beberapa ini juga ramai diperbincangkan di media sosial. Bukan rahasia lagi,
bayaran para penggrawit kadang tidak sebanding dengan kualitas daya dan tenaga
yang dikeluarkannya dalam bermain gamelan. Apalagi dalam dunia pertunjukan
wayang kulit, pamrih yang disemai para musisi gamelan kadang tak berbanding
lurus dengan upah yang diterima para dalang. Penghargaan terhadap pengrawit
memang menjadi isu krusial dalam jelajah wacana dunia gamelan di nusantara dan
terutama di Jawa dewasa ini. Lalu, bagaimana jejak sejarah ke-pengrawitan di
Jawa?
Sampingan
Bermain gamelan dalam takaran sejarah
awalnya bukanlah sebagai sebuah profesi utama. Kalaupun ada hanya pada kalangan
dan ruang yang terbatas, keraton misalnya. Pada masa jayanya, keraton memiliki
kuasa untuk menganggat seseorang menjadi pemain gamelan sesuai dengan bidang
kemampuan yang dimilikinya (Waridi, 2005). Tak tanggung-tanggung, keraton atau
raja menjamin kehidupan musisi gamelan di lingkungannya dengan berbagai
penghargaan, seperti materi berupa uang dan juga jenjang kepangkatan. Para
musisi gamelan keraton memiliki kedudukan yang berbeda antar satu dengan lain.
Hal itu disesuaikan dengan tingkat olah musikal yang dimiliki. Pengrawit yang
berada dalam barisan depan misalnya adalah orang-orang yang handal dalam
memainkan instrumen garap seperti rebab, gender dan kendang. Tentu saja
pengrawit dengan spesifikasi yang demikian memiliki kedudukan dan bayaran yang
lebih tinggi dibanding dengan yang lain.
Fenomena tersebut kini hanya menjadi
ratapan manis di masa lalu. Saat di mana raja dan keraton di Jawa masih mampu
menunjukkan taring legitimasi atas kekuasannya. Namun setelah keraton mengalami
kebangkrutan eksistensi dan politik, nasib para seniman karawitan menjadi tak
tentu arah. Keraton tak lagi bisa digunakan sebagai payung gantungan hidup
dalam mengukir masa depan dunia kepengrawitan. Setelahnya, pengarwit menentukan
arah hidup sendiri, tak lagi mengaitkan detak masa depannya dengan dunia
keraton. Ada yang kembali bercocok taman, berdagang dan juga banyak pekerjaan
lainnya.
Berbeda dengan di keraton, kehidupan
para pengrawit di luar tembok keraton juga menyisakan cerita tersendiri. Darsono
lewat bukunya Pengrawit Unggulan di Luar
Tembok Keraton (2002) menyatakan, kegiatan bermain gamelan tidak
diperuntukkan untuk mencari nafkah atau materi. Mereka bermain gamelan hanya
untuk bersuka cita, klangenan,
berkumpul dan saling berinteraksi. Gamelan mempertautkan masyarakat yang dalam
kesehariannya disibukkan dengan rutinitas pekerjaan, umumnya bertani. Gamelan
menjadi ruang publik bagi mereka. Berkomunikasi, membicarakan masalah panen,
pengairan, hama, pupuk dan lain sebagainya. Tak terbesit bahwa bermain gamelan
berarti menyemai pundi-pundi pamrih. Gamelan semata hanya jembatan yang menghubungkan
antar manusia satu dengan lain.
Saat bermain gamelan itulah kadang
hidangan seadaanya khas kampung disajikan seperti teh hangat, kacang godok,
pisang goreng, ubi-ubian dan hasil olah sawah lainnya. Dana yang digunakan untuk
itu kadang berasal dari kas desa, atau dibebankan pada pihak yang kebetulan
saat itu menerima arisan. Bermain gamelan hanya untuk suka cita, bagian kecil
dalam meraih ingar bingar tujuan mulia. Para pemainnyapun tak harus memakai
pakaian Jawa, berbeskap-blangkon dan jarik. Namun seadanya, bisa hanya sekedar
memakai kaos oblong, celana buntut, atau baju keseharian mereka. Ekspresi yang
natural saat itu dipertontonkan. Bukan untuk mencoba menggapai citra visual
lewat penampilan, namun justru kebersamaan dan keguyuban dalam kemunitaslah yang diutamakan. Tak seperti detak
gamelan dalam tembok keraton, di kampung-kampung, siapapun bebas memainkannya.
Tak ada status, derajad golongan atau kepangkatan di situ. Selama kemampuan
musikal dalam mengolah ricikan (istrumen)
tertentu bisa dipertanggung jawabkan, maka dengan segera seseorang dapat
langsung memainkannya.
Pada konteks inilah gamelan begitu
membumi bagi masyarat Jawa. Penghargaan disematkan kepadanya. Berbagai guratan
mitos dibuat. Maka lazim kita jumpai bahwa tabu atau saru jika melangkahkan kaki di atas gamelan tanpa menyingkirkannya
terlebih dahulu. Jika hal tersebut dilanggar, dengan segera beban kutukan akan
datang, semisal sakit demam, kemaluan yang membesar (kondor) dan lain sebagainya. Tentu saja itu semua hanya mitos,
cerita rekaan yang mencoba digulirkan agar semata gamelan dapat benar-benar
dihargai. Begitulah jejak gamelan yang mampu pekat bercengkrama dengan
kehidupan kultur keadaban budaya Jawa. Cukup sulit untuk menelisik kaitan
gamelan dengan dunia hitung-hitungan jasa, pamrih atau uang terutama bagi
musisi yang memainkannya.
Peye
Huruf “e” dalam judul di atas dibaca
layaknya membaca tempe. Masyarakat komunitas gamelan biasanya mengenal istilah
itu untuk menyebut rutinitas pentas yang mereka lakoni. Peye tak semata hanya
bermain gamelan di tempat orang yang memiliki hajat seperti nikahan, khitanan
serta bersih desa. Ada makna lain yang mencoba diukir bahwa peye sekaligus juga
sebagai sebuah laku kerja dengan konotasi untuk mendapatkan upah atau pamrih. Tak
jelas sejak kapan istilah itu bergulir, tak ada satupun referensi yang menyebut
dan membahasnya hingga paripurna. Bisa jadi istilah itu berasal dari diksi kata
“payu” yang artinya laku. Selebihnya
adapula istilah sambatan yang berarti
bermain gamelan tanpa mengharap upah. Di Bali agak serupa dengan pengertian ngayah. Sambatan berasal dari kata sambat atau disambati yang artinya dimintai tolong. Biasanya hal tersebut
dilakukan karena sudah terjalin hubungan yang dekat antara pengrawit dengan penyambat (yang meminta tolong), seperti
sahabat, saudara, atau juga pimpinan. Oleh karena itu, kebanyakan hanya ucapan
terimakasih yang dihaturkan, tak ada embel-embel lain berupa uang.
Lekatnya dunia karawitan dengan dentum
kepermisifan budaya mengakibatkan tak ada patokan dan ukuran pasti sejauh mana
para musisi gamelan tersebut harus dihargai. Para musisi gamelanpun cenderung
malu dan ragu untuk mengungkapkan tarif mereka sekali manggung. Bagi Soenarko
Setyodarmodjo dalam bukunya Menggali
Filsasfat dan Budaya Jawa (2007) menganggap persoalan itu tabu dan tak relevan
dengan adab budaya Jawa yang konon halus, santun dan tentu saja permisif. Intinya,
pengrawit gamelan seolah hanya butuh dimengerti. Tak mampu menentukan harga
atas kuasa kreativitas musikalnya. Penanggaplah (stake holders) yang berperan besar menilai dengan harga yang
sebanding. Namun sayang, karena sikap ketertutupan musisi gamelan yang demikian
sehingga kadang mendapat penghargaan kurang layak.
Lebih miris lagi jika melihat realitas
penghargaan para pengrawit gamelan dalam pertunjukan wayang kulit di Jawa. Dalang
menjadi pusat yang dengan tekun menyemai pundi-pundi keuntungan berlimpah. Jauh
dari apa yang didapat para pengrawitnya. Memang tidak semua dalang demikian.
Namun kebanyakan dalang yang hidup bergelimang harta harus bertirankan musisi
gamelan yang serba kekurangan. Pembagian upah yang kadang dianggap terlalu timpang.
Bayangkan, dari data yang penulis dapatkan, untuk ukuran dalang terkenal,
sekali manggung mereka dapat puluhan juta. Sementara pengrawit hanya puluhan
hingga ratusan ribu. Itupun masih harus dibagi dengan kualifikasi instrumen apa
yang dimainkannya. Untuk instrumen dengan tingkat kesulitan rendah, mendapat
honorarium yang rendah, begitu juga sebaliknya.
Idealnya, perkembangan zaman sudah
selayaknya diimbangi dengan berbagai keterbukaan informasi. Tak ada lagi kata
tabu untuk menghargai sebuah kreativitas bermusik. Seniman berhak menentukan
bayaran atas kualitas musikal yang dimilikinya. Ke depan, menjadi indah saat
terjadi negosiasi diberlangsungkan antara seniman atau musisi gamelan dengan
pihak stake holders. Sehingga tidak
ada penyesalan maupun kesalahpahaman di antara keduanya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar
di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar