Nyadran dan Kohesi Sosial (dimuat di Koran Tempo 27 Juni 2014)

Nyadran dan Kohesi Sosial



Poerwardarminto (1937) mengartikan nyadran sebagai ritual menziarahi makam laluhur yang waktunya telah ditentukan. Nyadran biasanya dilangsungkan secara kolektif menjelang bulan puasa atau ramadhan. Aktifitas ini tak semata ungkapan ekspresi religius masyarakat Jawa, namun juga kultural. Tradisi ini menjadi simbol yang mempertautkan masyarakat Jawa dengan leluhur atau nenek moyangnya. Di wilayah itu, orang Jawa menyadari bahwa dirinya memiliki garis keturunan, tidak lahir secara tiba-tiba. Karenanya, mereka dituntut untuk berbakti, menghargai jasa para leluhur dengan berkirim doa dan sesaji. Mengisahkan hubungan kekerabatan tidak putus walaupun ajal telah menjemput. Ritual nyadran biasanya diisi dengan aktifitas membersihkan makam, selamatan atau kenduri, membuat kue apem dan ketan. Di sisi lain, nyadran juga menjadi sarana implementasi terbentuknya kohesi sosial masyarakat Jawa. Sanak keluarga dari rantau pulang kampung untuk melakukan nyadran, sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan komunikasi.

Komunikasi sosial
Masyarakat kampung berbondong-bondong pergi menziarahi makam dan melakukan kenduri. Kenduri biasanya dilangsungkan di balai desa, atau gedung pertemuan desa. Di ruang itu, pelbagai komunikasi sosial dilangsungkan dengan bertukar makanan. Segala masalah kampung diulas dan berusaha ditemukan solusinya. Masyarakat saling bertegur sapa. Menyadarkan bahwa hidup tidak mempribadi namun saling membutuhkan. Nyadran adalah ujud pengorbanan masyarakat Jawa dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi. Dengan mendoakan arwah para leluhur merupakan ujud negosiasi pada tuhannya, agar diberi kemudahan dan kesuksesan hidup. Arwah keluarga dianggap lebih dekat pada tuhan, sehingga dirasa mampu menyampaikan segala pesan dan doa dengan lebih gamblang. Bahkan aktifitas menziarahi makam juga dilakukan oleh banyak pemimpin negeri ini. Soekarno dan Soeharto dianggap sebagai presiden yang tekun menziarahi makam-makam Jawa yang dianggap keramat. Hal itu juga masih ditiru hingga sekarang, lihatlah calon presiden kita yang juga melakukan aktifitas serupa. Prabowo nyekar di makam Soeharto dan Soekarno, begitupun Jokowi yang ke makam Gus Dur dan ayahnya.
Bagi orang Jawa, makam bukan dianggap sebagai tempat peristirahatan terakhir, namun terminal yang menghubungkan manusia dengan dunia lain, fana dan gaib. Oleh karena itu, “terminal” tersebut haruslah dirawat dan dibersihkan. Semakin indah makam atau kuburan, menunjukkan bahwa mereka merawat masa lalu dengan mengenang leluhur, dan menghargai masa depan melalui doa dan pengharapan. Nyadaran datang lewat akulturasi yang harmonis antara Islam dan Jawa. Ritual itu berada di ruang abu-abu, bukan hitam apalagi putih. Nyadran bukan sepenuhnya Islam, tidak pula seutuhnya Jawa. Ia berada di tengah-tengah, perpaduan antara keduanya. Nyadran adalah cara orang Jawa dalam memahami esensi Islam. Layaknya mendengarkan gamelan Sekaten di masjid Agung dan menonton pertunjukan wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci. Nyadran mampu mengisahkan jejak kultural masyarakat Jawa dengan indah. Di mana rasa gotong royong, guyub rukun, kekerabatan, kasih sayang masih dapat dijumpai dengan lentur.
Dengan kata lain, nyadran menghasilkan tata hubungan yang vertikal dan horizontal. Meningkatkan hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Lewat aktifitas nyadran, manusia Jawa saling berkumpul bersama tanpa adanya sekat atau kelas-kelas sosial. Tak lagi dibedakan status golongan, partai dan pilihan politik. Semua setara dan tidak ada yang lebih baik-buruk dan tinggi-rendah. Ritual nyadran menarasikan bagaimana kebudayaan Jawa dibangun atas persamaan, tidak berdasar perbedaan. Setelah ritus itu dilangsungkan, kehidupan dilangsungkan dengan semangat dan cita-cita baru. Berharap di masa kini dan yang akan datang menjadi lebih baik. Nyadran kemudian tak lebih dari usaha orang Jawa dalam memotifasi diri. Mereka bukannya menggantungkan segala doa lewat makam, namun diimbangi usaha dengan membangun jaringan lewat pertemuan sosial di ritual ini. Oleh karena itu, pelbagai kesepakatan, kerjasama, solusi masalah, saling membantu dilahirkan kala pertemuan sosial dilangsungkan. Nyadran mengakomodasi segala kemungkinan tersebut. Di bulan ini, menjelang Ramadhan, nyadran seolah berusaha mengingatkan kita tentang arti penting saling mengasihi dan menyayangi sesama demi kerukunan hidup. Di mana hal tersebut semakin sulit dijumpai dan menjadi peristiwa yang langka.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
   



Tidak ada komentar:

Pengikut