Raja Minus Kuasa (dimuat di Solopos 26 Desember 2012)


Raja Minus Kuasa


Keraton Solo senantiasa disibukkan dengan berbagai persoalan. Belum pudar ingatan kita atas kejadian perebutan kekuasaan antara dua (calon) raja, dana bantuan yang tertahan, kini malah muncul wacana untuk mengudeta sang raja. Sosok raja di Nusantara terutama Solo terlihat telah mengalami kebangkrutan eksistensi, legitimasi dan pamor.
Raja seolah menjadi pusat bulan-bulanan dari timbunan persoalan yang menghampiri keraton. Jejak kuasa dan titah raja sebagai titisan sang dewata kini hanya menjadi mitos manis masa silam. Raja adalah gelar kebangsawanan yang tak lagi prestisius. Masyarakat tak lagi mampu melihat sumbangan penting yang ditorehkan raja dan keratonnya di abad mutakhir. Persoalannya kemudian, bagaimana masyarakat masa kini mendudukkan sosok sang raja? Masihkan dirinya memiliki legitimasi atas segala kuasa?
Jejak sejarah keagungan sang raja di Jawa dapat ditelisik dari berbagai goresan yang dilukiskan oleh para punjangga lewat nyanyian, bunyi-bunyian, tetembangan berbentuk serat dan kitab. Tak ada kisah yang menarasikan kejanggalan dan keburukan sang raja. Semua selalu memuji dan menggambarkan sosok raja sebagai pribadi yang sakral dan agung. Serat Niti Sastra dan Niti Prajayang mendendangkan bagaimana seorang raja adalah unsur mutlak yang mengatur segala ketertiban masyarakat, kedudukan dan segala ucapnya lebih tinggi dari pada hukum yang berlaku.
Raja ditempa tak hanya dalam kubangan kenikmatan berupa limpahan harta namun juga berbagai laku prihatin. Menjadi raja berarti merekonstruksi diri sebagai “rumah mikro” yang harus mampu menggambarkan dan mengendalikan jagad luar (makrokosmos). Dengan demikian, tugas raja adalahmamayuhayuning bawana yakni menjaga keselamatan dunia. Dalam Islam, kehadiran raja juga bisa disebut sebagai rahmatan lil ‘alamin” (pembawa berkah). Keberadaan sosok raja bukanlah beban, namun anugerah yang diberikan Tuhan.
Begitu prestisiusnya kehadiran raja di dunia ini juga dirayakan secara besar-besaran lewat SeratWulang RehSewaka dan Serat Manu. Ketiga serat itu melukiskan raja sebagai manusia pilihan, makhluk utama yang derajad perkataannya setara dengan perintah dan wahyu Ilahi. Jika di masa milenium kita mengenal “suara rakyat sebagai suara tuhan”, maka di era sebelumnya kita mengamini bahwa kendali rakyat tersebut setara dengan ucapan dan kerja seorang raja. Artinya, segala ucap yang keluar dari sang raja telah mewakili segala harapan dari seluruh masyarakat di wilayah kekuasannya. Oleh karena itu, tak jarang dikisahkan bahwa untuk menjadi seorang raja, sang pangeran terlebih dahulu harus berkelana, menyamar, hidup berbaur dengan rakyat jelata. Otomatis, menjadi raja berarti menjadi rakyat. Mengerti akan segala persoalan dan kehidupan yang dialami rakyatnya.
Walaupun demikian, raja juga diberi kenikmatan di luar orang biasa. Hadiah berupa singasana yang megah, permaisuri cantik dan lebih dari satu, pakaian yang indah, limpahan makanan enak. Anugerah profesi yang kadang menjadi bumerang bagi sang raja. terlalu larut dalam buaian kenikmatan sehingga tak mampu mengontrol arogansi diri dengan baik. Darsiti Soeratman dalam salah satu bukunya yang berjudul Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939 (2000) menjelaskan pergantian kekuasaan seorang raja sering kali diwarnai pertikaian saudara. Adapun para calon raja merasa berhak menduduki takhta agung itu karena merasa sebagai ahli waris, keturunan, anak kandung yang sah. Hal yang beberapa saat lalu juga terjadi di Keraton Solo.
Michael Foucault (1926-1984), filsuf Prancis, memandang fenomena kekuasaan dan seksualitas memang saling mengintervensi, tak dapat dipisahkan. Hal ini yang mengakibatkan raja dengan beban-beban kekuasannya merasa perlu memiliki wanita lebih dari satu. Semakin ia berkuasa maka semakin butuh sentuhan wanita yang berbeda. Takhta dan wanita senantiasa mewarnai dalam percaturan sejarah kerajaan di Jawa. Akibatnya, raja memiliki banyak anak dari banyak wanita di sampingnya. Para keturunan itulah yang saling berebut kekuasaan. Perang saudara sudah menjadi pemandangan yang lumrah dalam telisik jejak keraton di Jawa.
Di sisi lain, Muhammad Ilham (2009) menegaskan bahwa dalam titik tersebut, raja sejatinya telah kehilangan kesadaran. Terbuai dengan kenikmatan yang didapat hingga tidak menyadari akibat di balik itu. Ia tak paham bahwa keturunan raja yang lain (saudaranya) juga menginginkan kenikmatan dalam keraton. Merasa memiliki hak dan keistimewaan yang tak jauh beda. Dengan demikian, wajar jika isu kudeta sering kali berembus. Namun, semakin lama antusiasme dan kepercayaan masyarakat juga semakin pudar dalam menempatkan raja dan keratonnya sebagai muara dari jagat mikro, gantungan hidup, sesembahan dan imajinasi kultural.

Minus Kuasa
Kasus di Keraton Solo seolah menunjukkan bagaimana wibawa raja telah mengalami kemerosotan yang tajam. Hermanu lewat tulisannya yang berjudul Jatuhnya Elit Keraton dalam Politik Pergerakan (2008) secara rinci menjelaskan bagaimana pamor Raja Surakarta (Paku Buwana) semakin surut yang salah satu penyebabnya juga karena intrik politik yang terjadi di dalam tembok keraton itu sendiri. Masalah yang lain adalah perebutan kekuasaan, kebijakan politik, serta tak mampu menanggapi situasi nasional kala Indonesia berdiri dan keraton menjadi bagiannya.
Namun demikian, walaupun surut dalam skala legitimasi kekuasaan politik, sejatinya raja dan keraton masih kuat dalam kuasa kebudayaan. Situasi ini yang menurut Waridi (2005) berhasil dimanfaatkan Paku Buwana X untuk mengangkat elektabilitas namanya di mata masyarakat dengan menggelar berbagai seremoni yang megah dan berkesan. Detak kultural adalah satu-satunya episentrum yang dapat menarik hati masyarakat untuk saat ini. Otomatis, kedudukan raja dan keraton kemudian dibelokkan menjadi “benda” cagar budaya yang keberadaannya hanya dilihat dan dikunjungi dalam urusan pamrih bisnis pariwisata dan pelancongan semata.
Prahara yang mewarnai Keraton Solo tak lagi mampu menyedot antusiasme publik. Masyarakat seolah telah bosan dengan berbagai suguhan drama itu. Sayangnya hingga detik ini, raja dan pihak dalam tembok keraton belum berminat untuk mengakhiri konflik yang terjadi. Usaha mengakhiri keributan itu harusnya tidak diperuntukkan demi stabilitas kedamaian penghuni keraton semata, namun juga wujud tanggung jawab moral kepada masyarakat luas.
Dari lemahnya kuasa yang dimiliki raja, mengakibatkan sosoknya rentan untuk dipermainkan. Raja tak lagi dihargai seperti dulu kala, bahkan oleh para saudaranya. Titahnya tak lagi manjur, bahkan ditentang dan diperdebatkan. Nama raja kemudian seolah hanya formalitas untuk mengisi kelengkapan perangkat penghuni keraton. Apalagi berembus rumor, nama raja diperjualbelikan dalam pemberian gelar untuk seseorang yang mampu membayar. Ironi raja masa kini yang keberadaannya menjadi orientasi bisnis penuh pamrih bagi pihak-pihak tertentu.
Raja di abad XXI seolah terkungkung dalam belenggu kekuasaan. Derajad kuasa yang dimiliki tak lagi mampu dijabarkan di zaman milenium. Setidaknya jika kuasa atas supremasi politik dan kekuasaan tak lagi mampu diraih, bekal satu-satunya hanya cermin kesantunan perilaku dan penegakan norma-norma sosial. Bukan satu hal yang aneh, jika masalah masih senantiasa muncul, maka dapat dipastikan impian untuk menjadi Daerah Istimewa Surakarta (DIS) yang selama ini didengung-dengungkan hanya menjadi isapan jempol semata

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta

Jaran Kepang Mengisahkan Jawa (dimuat di Suara Merdeka 2 Desember 2012)


Jaran Kepang Mengisahkan Jawa



Ada yang unik dari gelaran seni pertunjukan yang diadakan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Surakarta. Acara yang bertajuk "Festival Seni Pertunjukan Tradisional Indonesia 2012" itu menghadirkan 300 Jaran Kepang dari berbagai kelompok pada 25 November 2012 kemarin. Menurut panitia pelaksana, forum itu dikhususkan guna memperkenalkan kembali kesenian Jaran Kepang kepada masyarakat luas. Terlebih, momen itu menjadi pas karena kesenian ini sedang mengalami sebuah masa ujian hidup yang cukup memprihatinkan. Tentunya kita masih ingat akan ucapan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, yang dengan lantang mewacanakan bahwa Jaran Kepang adalah kesenian yang paling jelek sedunia (Radar Solo, 12/9/2012). Antusiasme kelompok kesenian jaran kepang begitu terlihat guna menunjukkan bahwa denyut estetikanya masih mampu berdetak selaras dengan zaman. Jaran Kepang mengawali sebuah masa baru dalam babak sejarah seni pertunjukan tradisi Indonesia dewasa ini. Mengguratkan kenangan bahwa stereotip negatif masih saja senantiasa melekat dan dilekatkan oleh banyak pihak tak terkecuali penguasa.

Kesenian Akar Rumput
Jaran Kepang di banyak tempat memiliki nama yang bervariasi, ada yang menyebutnya Kuda Lumping, Jaranan, Jathilan dan juga Ebeg. Soedarsono (1983) dengan gamblang menjelaskan bahwa Jaran Kepang merupakan satu kesenian yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara terutama Jawa, yakni sekitar abad ke XV. Kesenian ini menggunakan anyaman bambu berbentuk menyerupai kuda (jaran) yang diselipkan di antara kaki para penari. Awal keberadaan kesenian Jaran Kepang bukanlah untuk hiburan seperti sekarang, namun sebagai sarana ritual. Sebuah perayaan ritus (upacara) dengan berusaha menghadirkan dewa, atau roh leluhur untuk bersemayam, merasuki diri pada salah satu penari. Konon, jaran atau anyaman bambu yang digunakan tersebut berfungsi sebagai medium yang menghantarkan pemain untuk lekas bertemu arwah para leluhur. Singkatnya, anyaman bambu dianalogikan sebagai kuda yang dinaiki para penari menuju alam nir sadar, kesurupan alias ndadi (trance).
Hampir semua daerah, terutama Jawa, memiliki kesenian ini. Soerjo Wido Minarto dalam tulisannya berjudul Jaran Kepang dalam Tinjauan Interaksi Sosial (2007) memandang Jaran Kepang adalah representasi detak kultural masyarakat Jawa. Melihat Jaran Kepang berarti melihat timbunan makna tentang Jawa yang terkandung di dalamnya. Jaran Kepang lebih daripada fenomena kebendaan atau fisik semata seperti gerak, musik dan kostum. Namun juga bertaburan mitos, esensinya sebagai ruang pengharapan, tujuan dan cita-cita, serta ‘komunikasi maya’ yang hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh masyarakat pendukung kesenian itu. Sebelum Islam masuk, Jaran Kepang adalah ritus sakral, tak semua orang mampu dan terpilih untuk menarikannya. Adalah orang-orang yang dianggap suci, bersih diri dan hati sehingga tubuhnya layak menjadi persemayaman para dewa dan roh leluhur.
Oleh karena itu, Jaran Kepang mampu berbicara banyak tentang sejarah perjalanan masyarakat Jawa. Yang nampak bukanlah apa yang bisa dilihat dan didengar, namun apa yang bisa dirasakan. Jaran Kepang adalah bagian penting dari degub kebudayaan, yang tak semata bisa dilihat dalam domain hasil ciptaan manusia berupa produk dan benda, namun berupa simbol yang berusaha menarasikan “sesuatu tentang sesuatu”. Muhammad Nur Salim (2011) menyingkap tabir mitos dalam Jaran Kepang, terutama saat adegan ndadi atau kesurupan. Menurutnya, bagi masyarakat pendukung Jaran Kepang, terutama daerah Magelang dan sekitar, hingga saat ini masih mempercayai bahwa roh leluhur yang merasuki para pemain membawa pesan-pesan positif. Sehingga keberadaannya harus senantiasa dihidupi dengan aneka ragam sesaji baik berupa bunga, kemeyan maupun dupa.
Lambat laun, kesenian Jaran Kepang tak hanya bermukim di Jawa. Heristina Dewi (2007) pernah mengulas bagaimana kesenian Jaran Kepang hidup subur di daerah Medan. Begitu juga dengan Frans Sartono (2010), menceritakan dengan detail tentang Jaran Kepang yang menjadi menu sajian utama dalam kancah kesenian di Suriname. Jaran kepang kemudian tak hanya menjadi milik Jawa namun juga Indonesia bahkan Dunia. Dalam peta perjalananya, Jaran Kepang menyublim menjadi wujud kesenian yang dihadirkan pada berbagai perayaan seperti nikahan, khitanan, bersih desa dan lain sebagainya. Beberapa masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-hari masih kuat memegang akar tradisi leluhurnya. Mereka tak dapat dilepaskan begitu saja dengan kekuatan-kekuatan transendeltal, yang gaib dan sakral di sekelilingnya. Kehadiran Jaran Kepang dengan aneka sesaji (sajen) kadang masih diperlukan sebagai sarana ruwat (penangkal), agar terhindar dari godaan berbau negatif yang nir mata itu.

Kisah
Namun kini zaman telah berubah. Benturan kebudayaan terjadi. Jaran Kepang berada dalam posisi poros tersudutkan oleh aneka sajian hiburan yang lebih glamour dan gemerlap. Pernyataan sang Gubernur mencoba mengamini akan realitas tersebut. Jaran Kepang tak ubahnya kesenian purba yang telah basi, kuno, udik dan ketinggalan zaman. Tak pantas bercengkrama dengan waktu yang serba canggih dan moderen seperti saat ini. Penilaian Bibit mengingatkan kita akan rona sejarah kala para misionaris Barat datang pertama kali di bumi pertiwi terutama Jawa. Santosa (2005) menandaskan kaum Barat (Eropa) pada awalnya menilai kebudayaan Jawa seperti gamelan adalah musik primitif yang tak beradab. Sementara kebudayaan Eropa dengan musik klasiknya adalah adi luhung, beradab dan moderen. Brandts Buys, pemusik asal Belanda, pada tahun 1926 juga pernah menuliskan bahwa musik dan bahasa Madura sebagai suara kodok, kasar menyerupai bajak laut.
Padahal penilaian dengan memandang bahwa kebudayaan satu lebih jelek dari pada yang lain, banyak digugat oleh para pemikir kontemporer. Setiap kebudayaan dan tertutama dalam hal ini kesenian memiliki sisi estetika yang tak bisa begitu saja disepadankan, disamaratakan, apalagi dibanding-bandingkan. Satu kesenian memiliki sisi fungsi, keunikan, pemaknaan yang berbeda dan harus dilihat dalam kacamata pemiliki kesenian itu. Oleh karenanya, tak bisa menilai gamelan dengan menggunakan lensa musik barat, atau sebaliknya. Tak bisa pula dengan serta merta menuding bahwa kesenian Jarang Kepang merupakan kesenian paling jelek sedunia tanpa alasan dan dasar yang kuat.
Jaran Kepang memang tak lagi mampu menampakkan ujudnya secara lebih terbuka terutama lewat media elektronik. Kesenian itu hidup dari satu panggung desa ke desa lainnya. Semangat masyarakat akar rumputlah yang menjadikan kesenian Jaran Kepang masih berdetak hidup. Uluran tangan pemerintah yang selama ini ditunggu-tunggu bukannya datang menghampiri, malah menghardik dan menusuknya agar lekas mati. Oleh karena itu gelaran 300 Jaran Kepang di TBJT kemarin seolah menjadi oase yang menyegarkan dalam denyut hidup kesenian ini. yang lebih menggembirakan lagi, salah satu kelompok Jathilan dari Magelang tengah dipersiapkan tampil di World of Musik, Arts and Dance (WOMAD) di New Zealand, tahun depan. WOMAD adalah salah satu forum internasional yang berusaha menganggkat seni-seni tradisi unggulan di dunia untuk dipentas dan pamerkan. Dipilihnya jaran kepang seolah menandaskan bahwa kesenian ini mampu berdiri sejajar dengan kesenian unggulan dunia lainnya. Jaran Kepang bagaimanapun juga adalah tolok ukur objektif dalam melihat determinasi adab budaya di Indonesia dan Jawa pada khususnya. Otomatis, dengan matinya kesenian itu, maka peradaban kebudayaan Jawapun akan semakin sayup-sayup tak mampu dilihat lagi.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Rhoma, Dangdut dan Kisah Indonesia (dimuat di Jawapos 24 November 2012)


Rhoma, Dangdut dan Kisah Indonesia


DANGDUT tak semata musik yang mengisahkan goyang, apalagi lirik yang berbau sensual. Dangdut lebih dari sekadar urusan raga dan erotika. Sejarah mencatat, gema dangdut lewat tangan Rhoma Irama menjadi denting bunyi yang bukan semata urusan asmara, namun juga titian doa, nasionalitas, luapan agama, penghormatan, pengorbanan, serta kritik sosial. Tak ada dendang di antero panggung dangdut di negeri ini yang alpa menggunakan jasa lagu ciptaannya.
Dalam lirik itu, Rhoma banyak berkisah tentang Indonesia, jejak peradaban bangsa Indonesia. Bekal itulah yang ''konon'' dianggap layak oleh sebagian kalangan untuk mencalonkan Satria Bergitar tersebut sebagai presiden Republik Indonesia. Rhoma dianggap mengerti seluk-beluk masalah Indonesia yang tecermin lewat ziarah lirik lagunya (Jawa Pos, 11/11/2012).
Namun, dalam konteks ini, hendak dibicarakan hubungan Rhoma dengan dangdut dalam menarasikan Indonesia. Sejauh mana laju lagu dangdut ala Rhoma dan dangdut masa kini mampu berbicara banyak akan Indonesia? Apakah dominasi Rhoma masih begitu besar? Atau sebaliknya, Rhoma hanya menjadi kerikil kecil dari ingar-bingar perkembangan dangdut muthakir karena telah mengalami kebangkrutan dalam eksistensi dan narasi penciptaan warna baru. Bagaimana kedudukan sosok Rhoma dalam konstelasi ke-Indonesia-an masa kini?


Akar Rumput
Kehadiran Rhoma dalam jelajah musik dangdut tanah air di tahun 70-an boleh dikata terjadi dalam momentum yang pas. Suka Hardjana (2004) mencatat, Rhoma muncul dengan lagunya di kala masyarakat Indonesia pada masa itu merindukan terjadinya pembalikan antiphonal yang drastis dari impian-impian politis masa lalu ke impian-impian realistis yang lebih mampu memberikan harapan. Lagu-lagunya berada dalam poros putaran arus masyarakat kelas bawah. Tampilan lagunya dibentuk dari etalase masyarakat kampung, pedesaan, kerabat rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia kala itu. Rhoma mampu mengakomodasi citra lagu yang menggambarkan harapan dan cita-cita masyarakat dengan lebih realis dan tak muluk-muluk. Lewat dangdut Rhoma, masyarakat seolah menemukan oase yang menyegarkan dalam mengisahkan pelik dan susahnya himpitan kehidupan. Jangan heran kemudian jika Begadang (1978), Perjuangan dan Doa (1980) adalah salah satu lagu yang begitu populer bagi masyarakat Indonesia.
Kisah Rhoma adalah kisah dangdut. Tak ada yang menarik dalam sisi kehidupan Rhoma selain keterkaitannya dengan jenis musik ini. Dangdut yang awalnya disebut sebagai musik kampungan kemudian menjadi selebrasi cita-cita. Jejak sejarah dangdut tak lebih dari ‘musik kumuh’ yang peluh dengan citra negatif namun begitu beruntung saat dielaborasi oleh Rhoma Irama. Lewat kuasa dalam bermain musik rock, Rhoma dengan serta merta mengkonversi musik rakyat yang paling terbelakang (dangdut) dengan ramuan selera zaman yang paling kekinian (rock). Terobosan Rhoma ini boleh dikata frontal karena tak terjadi dalam musik-musik lain sezamannya. Begitu harum namanya hingga masyarakat menyematkan nama “raja dangdut”.
Masyarakat kelas bawah yang awalnya hanya menjadi saksi kelahiran sebuah musik kemudian harus menjadi lakon dalam kisah lagu Rhoma. Gelandangan, Kiamat, Gali Lubang Tutup Lubang adalah salah satunya. Dangdut menjadi kendaraan imajinasi dalam usaha meraih supremasi kehidupan yang lebih baik. Dangdut ala Rhoma juga mengisahkan Islam. Banyak dari liriknya yang berkisah doa (voice of Moslem). Hal ini yang menyebabkan banyak dari kalangan ulama yang merangkulnya. Dakwah lewat lagu dirasa lebih mengena daripada orasi seratus ulama. Oleh karenanya, kultur musik dangdut yang begitu kuat itu bahkan berpengaruh terhadap visi dan misi Rhoma sebagai calon presiden. Rhoma menyatakan, visi dan misinya sebagai capres nantinya tidak akan jauh berbeda dari lirik-lirik lagu dangdut yang selama ini dibawakannya (Tempo, 12/11/2012).

Kisah Indonesia
Sayangnya, ritus pengharapan dalam lirik dangdut ala Rhoma kadang tak seutuhnya berjalan dalam realitas kehidupan nyata. Kuasa dalam pesan lirik dangdutnya seolah tak serta merta mempresentasikan siapa penciptanya. Rhoma berlirik merdu dalam kisah keragaman Indonesia, namun tak juga menghendaki perbedaan sepenuhnya. Fenomena yang dapat kita lihat saat isu sara dihembuskan kala pemilihan gubernur Jakarta lalu. Indonesia menjadi begitu manis dalam setiap jengkal liriknya namun masih terasa pahit dalam senyatanya. Narasi lirik dangdut Rhoma terlihat hanya menjadi angan-angan dan doa semata.
Terlebih bagi perjalanan musik dangdut sekarang yang justru tak mampu dikontrol dalam kuasa ideal seperti yang diharapkan Rhoma. Persentuhan dangdut muthakir adalah kisah tubuh dan sensualitas semata, tak lebih dari itu. Perdebatan sengit dengan Inul beberapa waktu silam menjadi masa yang justru mengawali gerak eksploitasi tubuh itu untuk semakin tumbuh subur di musik dangdut. Panggung-panggung dangdut tanah air begitu banyak menciptakan ragam goyangan daripada memproduksi lagu dengan judul yang baru. Era Rhoma dengan gapaian cipta lagu -685 judul- yang menumentalpun telah mengalami kebangkrutan. Rhoma kini seolah mengalami kemandulan dalam mengisahkan Indonesia lewat lagu-lagunya. Jejak-jejak perjalanan sejarah Indonesia masa kini telah banyak yang terbuang dalam musik dangdut. Tak begitu menarik lagi sebagai sebuah titian ide dan rangsangan cipta. Rhoma justru disibukkan dengan kisah pelik politik yang berusaha melenakan dirinya dari dunia musik dangdut mutakhir.
Kini tak ada lagi dentum keragaman indonesia, ritus doa, kritik sosial dalam musik dangdut. Yang ada kemudian selebrasi kedangkalan tema. Tak dijumpai lagi GelandanganBegadang, 135 Juta, Judi, Monas masa kini, yang nampak kemudian hanya Belah DurenCinta Satu MalamKeong Racun, Hamil Duluan, Pengen Dibolongin dan lagu sejenis lainnya. Dangdut muthakir diwujudkan sebagai perayaan goyang, bukan lagi cita-cita Indonesia. Keadaan yang harusnya menjadi kesempatan bagi Rhoma untuk kembali meluruskan musik ini, sejalan dengan kisah sejarah yang pernah dibuatnya dulu kala. Artinya, dalam musik dangdut sendiri masih membutuhkan sentuhan perjuangan Rhoma Irama. Sebagai seorang ‘raja’ tentunya ia memiliki kuasa dalam legitimasi jalur dangdut masa kini. Sayangnya, hal itu tak terjadi. Politik telah melenakannya, politik mengalihkan pandangannya, politik memang cenderung menggiurkan.
Dangdut dalam mengisahkan Indonesia semakin sayup-sayup tak terdengar seperti sedia kala. Sementara Rhoma lebih memilih lepas tangan dengan mencari gapaian dunia lain yang dirasa lebih menggairahkan. Keagungan sejarah musik dangdut sebagaimana dikisahkan oleh Philip Yampolsky lewat Smithsonian Folksways (1991) yang menyatakan dengan jelas bahwa dangdut adalah ‘musik nasional’ Indonesia semakin tak bisa dilacak lagi. Lajur Rhoma dalam musik dangdut seolah hanya menjadi mitos yang pernah tergores panjang.
Rhoma tak harus menjadi presiden Indonesia, karena tanpa disadari bahwa ia sejatinya sudah menjadi ‘presiden’ di dunianya sendiri. Dunia yang justru mampu mengisahkan Indonesia dengan lebih indah, yang belum tentu dapat diwujudkannya dalam realitas kehidupan nyata. Dunia Rhoma bukanlah dunia politik, dunia Rhoma adalah dunia dangdut.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Sinden di Ambang Zaman (dimuat di Suara Merdeka, 3 November 2012)




Sinden di Ambang Zaman

Hal yang cukup ‘mencengangkan’ sekaligus juga menggembirakan saat Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (Unnes), Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unnes, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng akan menggelar acara kompetisi bertajuk “Sinden Idol 2012”. Pendaftaran dan penjaringannya dibuka pada 15 Oktober-15 November 2012 mendatang. Sebuah ajang pencarian sinden-sinden berbakat di Jawa Tengah. Tak main-main hadiahnya sangat menggiurkan. Untuk pemenang pertama mendapatkan 20 juta, kedua 15 juta dan ketiga 10 juta.
Sinden sendiri berarti vokal tunggal yang (kebanyakan) dibawakan oleh wanita. Namun, agak berbeda pengertian sinden dengan vokalis dalam musik pada umumnya. Sinden bukanlah vokalis. Vokalis adalah orang yang bernyanyi dan diiringi dengan instrumen musik. Vokalis menjadi pusat perhatian karena tema dan pesan utama tertampung dalam balutan lirik-liriknya. Dengan demikian, vokalis menjadi acuan dalam sebuah pertunjukan musik. Sementara pengertian sinden tidak demikian. Kedudukan sinden setara dengan instrumen gamelan lain. Tidak mencoba diiringi maupun mengiringi. Singkatnya, sinden juga dianggap sebagai satu kesatuan instrumen gamelan. Agar terwujudnya capaian rasa gending yang ideal, maka semua instrumen harus saling bersinergi antara satu dengan yang lain, tak terkecuali sinden.

Warna Lain
Susan Pratt Walton dalam disertasinya yang berjudul “Heavenly Nymphs and Earthy Delights: Javanese Female Singers, Their Music and Their Lives” (1996) dengan lugas menyatakan, walaupun suara sinden lebih terdengar nyaring daripada instrumen gamelan lainnya tapi bukan berarti ia menjadi panutan dan dasar acuan. Karena dalam hampir keutuhan sajian, sinden tidak berperan sebagai pemimpin bagi keseluruhan ansambel layaknya vokalis dalam orkestra musik Barat. Namun, sinden menjadi begitu istimewa karena boleh dikata ialah satu-satunya yang memberi ‘warna lain’ dalam pertunjukan karawitan. Bukan karena apa yang disajikan, namun oleh siapa yang melagukannya. Membicarakan sinden berarti membicarakan gender –jenis kelamin-. Ya! Sinden adalah wanita yang kadang memberi guratan nuansa lain dalam ingar-bingar kuasa laki-laki atas gamelan.
Bukan satu hal yang aneh, fenomena tergusurnya wanita dalam jagat “musik tradisi” kita sudah lama diberlangsungkan. Kuasa laki-laki masih sangat dominan. Musik-musik tradisi Nusantara dan khususnya Jawa menempatkan supremasinya sebagai satu dari sekian banyak olah kebudayaan yang memiliki wajah dan jiwa kekerasan kalau bukannya kelelakian. Wanita hanya menjadi simbol yang mengguratkan aura feminisitas sehingga kehadirannya kadang dianggap kurang layak jika menghuni ruang-ruang dengan imaji yang maskulin. Wanita mengalami kebangkrutan eksistensi dalam jagat musik tradisi di Jawa. Adanya sinden seolah memberi oasis yang menyegarkan bagi denyut hidup wanita dalam musik tradisi terutama karawitan Jawa.
Apa yang unik dari (pe)sinden? Pertama, lihatlah posisi duduknya, mereka bersimpuh dalam balutan kain jarik dengan posisi punggung yang tegak. Tak cukup dengan hanya hitungan menit, namun jam. Bahkan semalam suntuk mereka harus duduk dengan posisi demikian untuk menemani sang dalang mempergelarkan pertunjukan wayang kulit. Adakalanya terjadi interaksi yang harmonis antara sinden dan dalang. Sinden tak dibekali ruang untuk berolah tubuh layaknya penyanyi-penyanyi lain di abad ini. Kuasa sinden tak dilihat dalam domain fisiknya, namun olah dan kemerduan vokalnya. Jangan heran kemudian jika sinden-sinden idola dari masa ke masa bertubuh bongsor namun memiliki dentuman suara yang mampu memikat hati kaum adam.
Era Narto Sabdo -dalang kondang-, banyak mengubah citra sinden di mata masyarakat. Sinden, tidak lagi harus duduk di belakang dalang. Sinden kemudian berada di samping kanan sang dalang, namun bertolak belakang arah hadap. Sinden secara langsung menjadi etalase bagi mata penonton. Dengan arah hadap yang demikian, mengharuskan para pesinden untuk tampil cantik dan menawan. Era suara kemudian harus diimbangi dengan citra visual. Walhasil, banyak sinden yang kemudian merawat tubuhnya untuk tampil ‘seseksi’ mungkin dengan dandanan yang menor.
Kedua, seorang sinden harus memiliki penguasaan bekal musikal yang mumpuni. Pesinden berada dalam pusaran tafsir dan imajinasi musikal tinggi. Karenanya, tak semua vokalis wanita mampu menjadi pesinden. Ia harus sadar betul cara mengornamentasi sebuah gending dengan tafsir teks (cakepan), irama, rasa, tempo dan tentu saja garap. Sinden yang handal berarti telah qatam akan semua itu. Seorang sinden diuji bukan dari kualitas suara semata, namun kesatuan yang terjalin dengan gending yang dibawakan. Oleh karena itu, pesinden berbeda dengan penembang. Disebut sinden karena kehadirannya yang menyertai sebuah gending walaupun teks vokal yang disajikan adakalanya berupa tembang. Sementara penembang bisa melagukan vokal secara mandiri tanpa adanya (iringan) gending gamelan. Singkatnya, pesinden sudah pasti penembang, namun penembang bukan berarti seorang pesinden. Hal ini wajib diketahui agar keduanya tidak saling silang pengertian.

Kompetisi
Sinden Idol 2012 seolah berusaha memberikan sejumlah tawaran alternatif akan pemikiran dan generasi penerus sinden di Jawa pada umumnya. Diharapkan, kompetisi ini mampu memunculkan dan sekaligus mencetak generasi baru sinden yang bermutu. Mengembalikan kodrat sinden dalam takaran penilaian auditif (suara) bukan lagi glamournya visual yang selama ini banyak menghiasi wajah pertunjukan wayang kulit muthakir. Namun sayang, ada beberapa catatan yang kurang diperhatikan dalam kompetisi itu.
Dari press release di media serta informasi yang didapat dari website Unnes, tak ada batasan usia bagi peserta. Hal ini mengingatkan jenis kompetisi serupa yang beberapa waktu lalu (September) diberlangsungkan di ISI Yogyakarta dalam mencari sosok pemain -instrumen- gender berbakat. Tak ada batasan usia. Peserta terdiri dari para empu gender di Jawa Tengah dan Yogya. Bahkan tim penilai konon adalah anak didiknya, kalah senior. Akibatnya, hampir semua pemenang adalah generasi penggender yang sudah dikenal publik. Tak satupun peserta muda yang mendapatkan nomor di ajang itu.
Bisa jadi pula, banyak pesinden yang sudah mahsyur dan ternama akan mengikuti lomba Sinden Idol 2012. Jika demikian ambisi dalam mencari bibit-bibit sinden baru akan mengalami kebuntuan. Karena tak diragukan lagi, para senior sinden tersebut telah teruji di mata masyarakat, sehingga menjadi tabu jika dipersaingan itu ia kalah. Di sisi lain, batasan wilayah sindenan juga tidak dijelaskan secara spesifik, hanya berkisar pada gaya Jawa Tengahan. Padahal kita tahu, sindenan banyak variasi dan gayanya. Ada versi Surakarta, Semarangan, Sragenan, bahkan Banyumas dan Tegal. Suraji dalam tesisnya yang berjudul “Sindenan Gaya Surakarta” (2005) mencirikan dengan spesifik gaya sindenan Surakarta dibanding dengan lainnya. Bahkan di wilayah Surakarta sendiri banyak ragam dan versi yang tidak bisa dikomparasi baik buruk antar satu dengan lainnya.
Pertanyaannya kemudian bagaimana jika peserta Sinden Idol 2012 membawakan sinden dengan versi yang beraneka ragam tersebut? Satu sinden memiliki citra penilaian yang berbeda. Bisa jadi, apa yang dianggap bagus bagi gaya A adalah sepele di gaya B, atau sebaliknya. Sampai di sini, batasan dan kriteria penilaian harus lebih dapat diperjelas. Hal itu menjadi “pekerjaan rumah” bagi panitia. Walaupun demikian, Sinden Idol 2012 patut untuk diapresiasi sebagai sebuah langkah kongkrit institusi, terkait pembelaan terhadap kesenian tradisi. Karena bukan rahasia lagi, denyut hidup kesenian tradisi dewasa ini semakin tak mampu menunjukkan detaknya. Tertimbun dalam tumpukan jerami seni-seni populis yang glamour dan gemerlap.
Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Indonesia Raya di Mata Zaman (dimuat di Solopos, 30 Oktober 2012)



Indonesia Raya di Mata Zaman

Bulan Oktober menjadi ritus sakral kelahiran lagu Indonesia Raya. Bulan yang menjadi tonggak awal dalam memperkenalkan lagu kebangsaan itu kepada publik. Namun sayang, Purwa Caraka, komponis musik ternama Indonesia, pada perayaan kemerdekaan Agustus lalu mengkritik kebekuan lagu negara kita Indonesia Raya. Menurutnya, lagu itu kini cenderung sakral dan mistis, hingga tak ada satupun musisi masa kini yang berniat dan berani mengaransemen ulang. Atau bukannya tak mau, tapi takut karena lagu itu telah dipagari dengan tembok tempurung yang ketat. Indonesia Raya telah dikurung dalam semaian undang-undang. Menyanyikan, membawakan dan mengaransemennya harus sesuai dengan juklak yang ada, tak boleh sembarangan. Batasan yang justru mengekang. Membuat Indonesia Raya berjalan di tempat, jauh tertinggal dalam ingar-bingar perkembangan musik dewasa ini.
Lagu yang berdengung kencang di antero negeri lewat ritual upacara tujuh belasan itu lebih dari sekedar nada dan lirik, tapi bangunan nalar yang menarasikan rasa patriotis rakyat Indonesia. Namun di sisi lain juga menjadi ironi. Lagu yang awalnya berdendang dalam mengafirmasi semangat nasionalis dan kepahlawanan, kini seolah menjadi barang usang yang membosankan. Rutinitas ruang kemunculannya dapat dihitung dengan jari. Tertimbun dalam tumpukan jerami lagu-lagu populis masa kini.

Indonesia Raya
Sejarah perjuangan Indonesia tak dapat dipisahkan dari sejarah dalam mengolah nada dan bunyi.  Komponis Wage Rudolf Supratman adalah aktor penting di balik peristiwa itu. Kebebasan yang sempit, pengawasan dan kontrol kolonial yang ketat, tak menciutkan niatnya dalam meniti lagu yang menggugah semangat patriotis. Pria yang lahir pada 9 Maret 1903 itu tak takut dengan senapan Belanda, apalagi dinginnya jeruji prodeo. Titik kulminasinya terjadi saat Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Lagu ciptaannya yang kemudian dinamakan “Indonesia Raya” berkumandang merdu disertai lantunan biola yang dimainkan oleh Supratman sendiri. Lagu yang mengundang decak kagum, menyemai banjir air mata para peserta kongres. Tak berselang lama, lagu Indonesia Raya menyebar, menyelinap dari satu telinga ke telinga yang lain.
Kumandang lagu itu menambah getir nyali Belanda. Pembredelan bunyi dilakukan lewat bermacam kebijakan yang secara serentak disiarkan dari berbagai media seperti radio, koran dan majalah. Layaknya Kitab Kama Sutra di India, dilarang namun kemudian menjadi buku terbajak paling laris di dunia. Begitupun Indonesia Raya, dilarang namun tetap menggema di setiap batin masyarakat Indonesia. Lagu itu mengimajinasikan secercah harapan dan ambisi penuh nafsu untuk menjadi negara merdeka, tak terjajah. Sebagaimana luapan lirik atau teks dalam lagu itu. Nyanyian Indonesia Raya tak ubahnya timbunan doa.
Perjuangan yang dilakukan Supratman menggambarkan makna bahwa bunyi mampu menjadi pedang tajam yang menghunus penguasa saat itu. Bunyi yang kehadirannya tak semata kumpulan nada dan harmoni, namun seperti yang diungkapkan Wisnu Mintargo lewat bukunya Musik Revolusi Indonesia (2008), bunyi secara langsung menyerang nalar pikiran manusia untuk terlibat dan turut larut merasakannya. Sampaian pesan yang dimunculkan kadang lebih mampu didedengar daripada suara beribu bunyi senapan. Musik-musik revolusi Indonesia membuktikan akan kekuatan itu. Jejak sejarah Indonesia Raya hampir sama dengan telisik musik-musik kritik masa orde baru. Saat di mana lirik Iwan Fals dianggap sebagai pengkafiran dalam musik. Bob Marley, John Lennon juga senasib sepenanggungan. Berjuang lewat ikhtiar doa dalam balutan nada.
Indonesia Raya kemudian terkultuskan sebagai Musik Nasional Indonesia. Secara aklamasi dilagukan dalam peringatan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Lagu itu berdiri sejajar dengan bendera merah putih dan bahasa persatuan. Hingga kini kehadirannya dianggap penting dalam upaya katalisator, mempertautkan masyarakat Indonesia dengan benang sejarah masa lalunya. Menyanyikan Indonesia Raya berarti melihat titian perjuangan dan ritus doa. Tak heran jika banyak air mata yang tumpah karena lagu ini. Indonesia Raya karya agung dari Wage Rudolf Supratman. Menjadi bunyi yang menggoreskan kekuatan sebuah negara dengan berbagai pengharapan dan angan-angannya.
Ironisnya, justru lagu itu kini hanya menjadi klangenan semata. Begitu sakral hingga kadang tak mampu menunjukkan jati dirinya secara lebih terbuka. Indonesia Raya hanya berkumandang nyaring saat perayaan ritus upacara. Selebihnya lenyap, sayup-sayup dan tak terdengar lewat senandung lagu pilihan generasi masa kini maupun menu bidikan media elektronik. Dirasa tak menarik dan monoton. Bukan hal yang mengherankan jika banyak anak Indonesia mutakhir tak mampu menghafal Indonesia Raya dengan baik dan benar. Indonesia Raya menjadi bahan tawa dan cerca, tak ada lagi semaian air mata. Generasi yang tak lagi malu karena tak mampu melagukannya. Indonesia Raya menjadi ironi musik nasionalis masa kini. Bangkrut eksistensi karena terkungkung dalam batas musikalnya.

Terlupa
Ironi Indonesia Raya tak hanya terjadi dalam generasi muda masa kini. Sejarah mencatat saat rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (14 Agustus 2009) lagu Indonesia Raya alpa untuk dinyanyikan. Harusnya mejadi lagu pembuka kemudian berubah menjadi lagu penutup. Atau lihat pula saat perayaan upacara di Istana Negara, lagu Indonesia Raya menjadi lagu yang paling miskin aransemen jika dibanding dengan lagu-lagu baru ciptaan presiden. Indonesia Raya seolah menjadi menu pelengkap, pemanis dari glamournya lagu-lagu yang kala itu mengalun. Sebuah era baru dalam kisah pembabakan sejarah lagu Indonesia Raya telah dimulai. Era yang cukup memprihatinkan, nasib yang tertepikan.
Aransemen musik-musik masa kini kemudian menjadi teror baru dalam denyut hidup Indonesia Raya. Jika daya tahan lagu kabangsaan semakin goyah, lalu bagaimana dengan lagu-lagu nasionalis lainnya? Hal yang tidak banyak diperhatikan. Lagu-lagu nasionalis di era kini telah dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Kalah bersaing dengan dominasi lagu-lagu populis yang glamour. Semangat dan rintihan doa yang dibangun Wage Rudolf Supratman tak lagi mampu bercengkrama dengan masa dan zamannya. Masa di mana manusia Indonesia lebih dimanjakan dengan kuasa estetika gemerlap bunyi yang hanya bertema cinta dan asmara semata.
Manusia Indonesia menjadi mayarakat melankolis. Lebih mampu menghayati syahdunya lirik asmara dari pada semangat doa dan cita-cita Indonesia Raya. Ritual pembuatan teks Indonesia Raya tak sepadan dengan ambisi pamrih yang diterimanya. Padahal sejak awal ziarah penyempurnaan estetika musik dan kata dalam teks musikal Indonesia Raya dapat melaju dengan kencang menuruti pelbagai tanggapan serta iklim sosial dan politik yang terjadi. Lagu itu dianggap begitu penting dan krusial hingga pada tahun 1944 dibentuklah Panitia Lagu Kebangsaan yang tugasnya melakukan beberapa perubahan dalam segi lirik dan musikal. Di sisi lain juga membuat ketentuan-ketentuan resmi dalam tata cara penyajiannya. Tak main-main, panitia terdiri dari tokoh-tokoh penting Indonesia seperti Ir. Soekarno, Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. Mohammad Yamin, dan lain sebagainya (Sularto, 1982).
Tahun 1958 pemerintah kembali membentuk Panitia Peninjauan Lagu Indonesia Raya. Akhirnya pada 26 Juni 1958 presiden menetapkan PP No.44/1958 tentang nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan lagu. Dengan melihat semangat yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh krusial pendiri Indonesia terhadap lagu Indonesia Raya, setidaknya menjadi cerminan bagi masyarakat saat ini tentang bagaimana lagu ini harus didudukkan dan diperlakukan kembali.
Indonesia Raya yang awalnya menjadi teror bagi kolonial kini menjadi barang langka musik Indonesia. Kehadirannya semakin mahal untuk diwujudkan. Indoesia Raya beku aransemen sejak 54 tahun lalu. Tak berlebihan kiranya jika ada harapan besar untuk mencoba melihat kembali posisi lagu Indonesia Raya dalam persimpangan lalu-lalang bunyi masa kini. Tak menutup kemungkinan jika usaha-usaha dalam mengkonstruksi ulang termasuk mengaranseman dan mengenalkan kembali Indonesia Raya dengan cara dan metode baru dapat segera digelar sebagaimana satir Purwacaraka di atas.
Aris Setiawan
Pengajar Etnomusikologi di Institut Seni Indonesia Surakarta

Musik Mengisahkan Rezim (Aris Setiawan, dimuat di Koran Joglosemar 13 Oktober 2012)

Musik Mengisahkan Rezim

Setiap pembabakan sejarah Indonesia senantiasa ditandai dengan lahirnya sebuah musik. Lihatlah tragedi Bandung dengan lahirnya “Bandung Lautan Api”, begitu pula Surabaya dengan lagu “Surabayanya”, atau masa PKI dengan berdengungnya lagu “Genjer-genjer”. Namun dewasa ini musik tidak lagi mampu berbicara lantang tentang fakta dan realitas dalam mengguratkan sejarah zaman untuk dikenang di masa depan. Musik kini justru menjelma sebagai katalisator dalam melukiskan supremasi penguasa dan mengisahkan keagungan sebuah rezim. Pelaku musiknya bukan lagi musisi musik ansih layaknya Iwan Fals, Rhoma Irama, Ebiet G Ade, atau lainnya. Tugas itu justru diemban oleh sang presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak SBY berkuasa, setidaknya telah lahir empat album musik karyanya seperti “Rinduku Padamu” (2007), “Evolusi” (2009), “Ku Yakin Sampai di Sana” (2010) dan yang terakhir “Harmoni Alam, Cinta dan Kedamaian”. Lagu dari album-album itu senantiasa menggema dalam setiap prosesi acara penting di negeri ini, termasuk pada hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober kemarin.

Istimewa
Sosok SBY begitu langka. Karena boleh dikata hanya dialah satu-satunya presiden di dunia ini yang rajin mencipta lagu saat menjabat. Begitu produktif hingga mampu melahirkan empat album. Lagu-lagunyapun dibawakan oleh penyanyi-penyanyi kenamaan tanah air seperti Sandhy Sandoro, Agnes Monica, Afgan, Joy Tobing dan lain sebagainya. Tentu tema musik yang dibawakannya berbeda dengan tema musik yang dewasa ini menghiasi televisi kita. Di saat musik-musik kini berlomba-lomba dalam melukiskan tema cinta-cintaan dan asmara semata, SBY justru bercerita tentang perjuangan dan semangat hidup, cinta alam dan kasih sayang sesama.
Sebenarnya lagu-lagu jenis demikian juga banyak lahir dalam khasanah musik tanah air. Hanya saja, kadang gaungnya tidak terdengar karena media tak mau menjamahnya, dianggap jauh menyimpang dari pasar. Namun karena yang mencipta adalah orang nomor satu negeri ini, otomatis menjadi perbincangan hangat di berbagai media. Tapi jangan salah, perbincangan bukan seputar estetika yang dimunculkan dari lagu-lagu pada album SBY, namun lebih disibukkan dengan persoalan etika saat seorang presiden mencipta lagu di mana kondisi berbagai sektor negara masih menuai kritik yang pedas.
Dalam pandangan politis, apa yang dilakukan SBY tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai realitas yang terjadi dalam masyarakat. Logikanya, seni atau musik akan dapat dinikmati dengan layak ketika masyarakat penikmatnya dalam kalkulasi pencapaian kondosi ekonomi yang mapan. Mereka tidak lagi harus berfikir tentang beban kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga suplemen asupan bunyi dapat mudah dihayati dan masuk mengkonstruksi otak. Namun dalam pandangan musi(kologi) atau ilmu (budaya) musik, apa yang dilakukan SBY dalam mencipta lagu adalah wujud dalam upaya legitimasi perjuangan yang ideal. Justru di saat kondisi negara dalam berbagai sektor seperti politik, hukum dan ekomoni yang senantiasa menui banyak kritik, tema lagu-lagu SBY adalah medan atau ruang kontemplasi yang mampu melukiskan satu zaman yang ideal. Lagu-lagu dengan temanya yang demikian adalah lahir dari buah keadaan realitas kehidupan yang sebenarnya timpang atau bahkan chaos.
Lagu-lagu Iwan Fals lahir sebagai medan kritik pada orde baru dengan dominasi Soeharto yang dianggap absolud. Lagunya John Lennon sebagai buah dari ketimpangan oleh intrik-intrik penguasa di Amerika. Bob Marley dengan lagunya yang menghardik pemerintah Jamika yang masih menganut rasisme. Bagitu pula dengan lagu-lagu SBY yang secara tak langsung bersuara lantang mengkritik kekacauan yang terjadi di negeri ini. Persoalannya apakah disadari oleh SBY bahwa lagunya dengan tema-tema perjungan hidup tersebut justru sebaliknya mengisahkan sebuah kepahitan dalam struktur dan realitas yang sejatinya. Bukan hal yang baru lagi jika inspirasi sebuah lagu kritik, balada, perjuangan, tercipta dengan didasari atas pergulatan dan pengalaman hidup yang dirasa menyakitkan.
Namun seberapa besar efek yang disandang oleh lagu ciptaan SBY dapat dipastikan sangat kecil kalau bukannya tidak ada. Senantiasa akan tergilas oleh lagu-lagu populis yang selama ini menguasai jepretan kamera media. Padahal bukan satu hal yang mustahil jika SBY akan tampil menyapa kita lewat acara-acara musik seperti Dahsyat di RCTI, Dering di Trans TV atau In Box di SCTV sesudah dirinya pensiun menjadi presiden kelak. Atau justru sebaliknya lagu-lagu SBY akan dipasung setelah berganti rezim, layaknya karya-karya musik dalam transisi orde lama ke orde baru.

Mengisahkan Rezim
Oleh karena tak mampu bersaing secara jantan dengan musik-musik populis tanah air saat ini, lagu-lagu SBY kemudian menjadi begitu sakral. Regulasi munculnya justru pada puncak peristiwa-peristiwa penting. Tentu masih ingat dalam benak kita bagaimana lagu SBY muncul dalam soal penerimaan CPNS beberapa waktu lalu. Lagunya juga dinyanyikan di hadapan para peserta, tamu, dan undangan Lomba Cipta Seni Pelajar Tingkat Nasional Tahun 2011 yang digelar di halaman Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Sabtu (17/9/2011). Lagu "Kuyakin Sampai di Sana", dinyanyikan di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada 16 Agustus 2011 ketika SBY menyampaikan pidato kenegaraan, RAPBN 2012, dan nota keuangan di hadapan sidang bersama DPD dan DPR. Keesokan harinya, lagu SBY yang berjudul "Dari Jakarta ke Oslo untuk Bumi Kita" dinyanyikan pada peringatan HUT ke-66 Kemerdekaan RI.
Tak cukup sampai disitu, lagu tersebut juga turut dinyanyikan pada acara pembukaan Rapat Pimpinan Nasional Kadin Indonesia di Hotel Ritz- Carlton, Jakarta, pada awal April 2011. Lagu SBY juga sekali lagi didendangkan pada pembukaan pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara, SEA Games XXVI, 11 November 2011, di Palembang, Sumatera Selatan. Lagunya dinyanyikan dalam sesi ketiga pertemuan para CEO Asia Pasifik yang menjadi salah satu rangkaian kegiatan KTT ke-19 Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Honolulu, Kepulauan Hawaii pada 13 November 2011 waktu Indonesia. Yang terakhir, lagunya dinyanyikan dalam pembukaan Pekam Olahraga Nasional Riau 2012, serta pada upacara Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti pada 1 Oktober 2012 kemarin. Jangan heran jika kelak kemudian lagu SBY juga akan menjadi lagu wajib menggantikan lagu-lagu nasionalis dan akan menyapa kita dalam setiap acara atau prosesi kenegaraan seperti upacara hari senin misalnya.
Sampai di sini musik telah mengisahkan keangkuhan sebuah rezim. Musik kini bukan lagi persoalan nada dan alur melodi semata, musik telah menjadi alat legitimasi penguasa dalam mengguratkan sejarah dan kekuasaan. Musik yang dulu berbicara lantang dalam menentang ketertindasan kini semakin sayup-sayup tak terdengar, tergusur oleh kuatnya supremasi penguasa.
SBY dengan lagu-lagunya seolah menyindir kaum-kaum musisi idealis masa kini. Jika dulu lagu kritik era Iwan Fals mampu berdengung panjang walau tak jarang terpasung. Kini musik-musik jenis demikian semakin membisu, mengalami kebangkrutan penciptaan alias mandul karena tergilas ramainya pasar. Atau sebaliknua, musik-musik jenis itu masih hidup dan berdetak, namun tak terjamah media karena kurang kuatnya supremasi kekuasaan yang dimiliki musisinya. SBY memberi tauladan berharga dalam hal ini.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Matah Ati dan Renaisans Kebudayaan Jawa (dimuat di Jawapos edisi 23 September 2012)

Matah Ati dan Ranaisans Kebudayaan Jawa




Fenomena Matah Ati (Solo, 8/9/10 September 2012) dalam beberapa waktu terakhir begitu menyedot perhatian publik. Bahkan berbagai media menjadikannya head line pemberitaan. Sebuah wacana baru dalam jagad seni pertunjukan Indonesia masa kini. Jika penonton dapat digunakan sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah even pertunjukan, maka dengan dibanjiriannya lima ribu lebih tiap malamnya adalah sebuah pencapaian yang menomental. Bagaimanapun juga fenomena Matah Ati tak terhenti dalam domain seni pertunjukan semata, namun juga menyimpan pesan tersendiri sebagai tonggak bangkitnya kembali epos kebudayaan Jawa yang selama ini tertidur lelap.

Renaisans Kebudayaan Jawa
Syahdan, Raden Said atau biasa disebut juga sebagai Pangeran Samber Nyawa bertapa untuk meminta wahyu Ilahi agar dimudahkan jalan dalam memerangi penjajah Belanda. Suksmanya keluar meninggalkan raga, tiba-tiba datanglah Rubiyah memeluknya. Di alam nir sadar itu, Samber Nyawa bermadu kasih dengan Rubiyah, gadis dari desa Matah Ati putri dari guru ngajinya. Tak berselang lama ia tersadar dari laku semedi. Pergulatan dengan gadis desa itu menjadi secercah wahyu, pertanda pesan yang disampaikan Tuhan, bahwa dialah jodoh yang selama ini dinantikannya. Siapa sangka, Rubiyah yang pandai mengaji, feminim, lemah gemulai itu ternyata mahir berperang. Ia didaulat oleh Raden Said memimpin pasukan (legiun) prajurit wanita bertempur melawan penjajah Belanda. Dan hebatnya lagi, menang!
Tak dinyana, detail lika-liku kehidupan Raden Said dan Rubiyah kala itu menjadi guratan cerita yang menarik di masa kini. Bukan lagi sebuah karangan atau rekaan cerita, itu diambil dari kisah nyata. Beruntunglah kita di masa kini, mampu menikmati suguhan cerita kehidupan sambil bertepuk tangan. Lika-liku derita dan perjuangan ‘manusia Jawa penting’ di masa silam menjadi aset lukisan sanggit cerita yang menggiurkan oleh seniman-seniman masa kini. Tak hanya kisah Matah Ati yang mengangkat kehidupan seorang tokoh penting dalam detak hidup sejarah dan kebudayaan Jawa. Sardono W Kusumo juga pernah mengemas detail cerita kehidupan Dipenegoro lewat Opera Diponegoro November tahun lalu. Bagi Sardono, Perang Diponegoro bukanlah sekadar perang personal sang pangeran terhadap kesewenang-wenangan Belanda, melainkan sebagai pertempuran sengit yang tak kunjung usai antara kemanusiaan dan kesewenang-wenangan yang lebih luas. Bahkan perang itu tidak hanya dalam bingkai teritorial sepetak tanah milik pangeran, tetapi meluas ke Jawa dan juga Indonesia. Untuk menggarap dan merangkai sisi kehidupan Diponegoro dalam pertunjukan opera itu, Sardono meniti waktu lebih dari 20 tahun. Sebuah kerja kesenimanan yang luar biasa. Diponegoro lebih dari sekedar sosok yang memberi ilham, namun telah menjadi laku kreatif seniman.
Tentu kita masih ingat pula saat Sahita, kelompok tari asal Solo mementaskan karyanya yang terilhami dari kehidupan pujangga Jawa, Ranggawarsito dan serat Kalatidha. Karya itu dipentaskan lebih dari 80 panggung, baik di Indonesia maupun luar negeri. Belum lagi tentang eksplorasi cerita-cerita yang berbalut mitos semacam Lutung Kasarung, Sangkuriang serta Roro Mendhut dan Babad Tanah Jawi yang distradarai oleh Ida Soeseno, dipentaskan pada April kemarin di Taman Ismail Marzuki. Panggung seni pertunjukan Indonesia dewasa ini kuyup dengan aroma kisah para pendiri dan penggagas ‘makna’ Jawa.
Di satu sisi, fenomena itu menyemai penekanan mendasar bahwa Jawa mampu memberi segudang pilihan dan tafsir atas imajinasi estetik. Jejak-jejak cerita yang selama ini hanya menjadi medan mitos penghantar tidur anak, kemudian mampu menyublim dengan indah lewat panggung-panggung pertunjukan. Matah Ati adalah sebuah babak baru dalam rangkaian sinergi kerja kreatif seni pertunjukan dengan basis eksplorasi akar tradisi yang pekat. Tak hanya dentum dalam tafsir cerita yang lebih menggoda, namun juga tata artistik, panggung, kostum bahkan gerak yang digarap sempurna. Era ketoprak, wayang orang seolah telah bermetamorfosis menjadi suguhan baru yang lebih menggairahkan.

Gamelan
Ekspos besar-besaran terhadap Matah Ati seolah menjadikan pertunjukan tersebut elite dan berkelas. Sayangnya, domain yang dibidik seringkali hanya persoalan artistik, panggung, gerak dan kostum. Persoalan-persoalan krusial lainnya seperti musik jarang didudukkan sebagai satu episentrum penting dalam totalitas seni pertunjukan secara utuh. Gamelan, mau tak mau adalah bagian krusial dari segala pertunjukan yang bertema tentang Jawa selama ini. Baik di panggung-penggung megah ibu kota maupun Matah Ati di Solo.
Gamelan kemudian menjadi alat musik paling muthakir. Keberadaanya diterima dan mampu diapresiasi oleh segala lapisan masyarakat. Anggapan yang menempatkan alat musik ini tak lagi kongruen dengan zaman, kuno dan ketinggalan, secara tak langsung terdekonstruksi. Terbukti, antusiasme masyarakat yang datang kala pertunjukan Matah Ati digelar, tak hanya mampu menikmati glamournya panggung dan gemerlapnya lampu, namun juga indahnya denting bunyi gamelan. Walau jika boleh jujur diakui, garapan yang dilekatkan pada pertunjuakan Matah Ati tak semerdu pemberitaannya.
Tidak banyak warna baru yang bisa dijumpai dari karya Blacius Subono sebagai komposer. Ia masih mencoba mengais-ngais karya-karya lama seperti Subokastawanya Narto Sabdo, karya musiknya yang diperuntukkan untuk Hari Kebenagkitan Nasional di Jakarta tahun 1993, serta komposisi musik Dalang Goyang Gendeng yang dipentaskan tahun 1998. Karya-karya tersebut dimunculkan kembali dengan alih-alih memberi kesan lain. Namun bagi penonton dan penikmat yang tak pernah mengikuti rakam jejak Subono tentu akan menganggap karya itu sebagai musik baru yang memukau telinga.
Subono terkesan terburu-buru dalam eksplorasi gamelan dengan dua laras, slendro dan pelog. Adakalanya dua laras itu dibenturkan, namun ia tak menyadari noise (maxing, suara terselubung, tak jelas nada pokoknya) yang muncul. Jembatan peralihan di antara keduanyapun sering kali tidak tergapai dengan indah dan lancar, alias main tabrak. Nada-nada gamelan seolah tereksploitasi tanpa pertimbangan yang matang. Dalam pentas Matah Ati malam itu, kreativitas Subono seolah terkungkung, tidak seperti karya-karyanya terdahulu yang penuh greget. Kadang kala musik berjalan tidak konstekstual dengan sajian tari di atas panggung. Saat Rubiyah dan prajurit wanita berlatih beladiri, musik justru tidak mendukung suasana, sepi dan tak lagi beringas.
Di beberapa titik memang kelihatan timpang. Namun di sisi lain faktor sound system untuk panggung pertunjukan terbuka kurang begitu mendukung. Walaupun dua perangkat gamelan dijadikan satu, namun masih belum mampu mendongkrak karakter dan suasana yang ingin dibangun di atas panggung terbuka. Singkatnya, masih kelihatan feminim walaupun kesan yang ingin dicapai adalah maskulin. Subono seolah terbentur dengan waktu untuk eksplorasi ide-ide musikal yang lebih menggoda.
Terlepas dari itu semua, gamelan adalah orkestra musik etnik terbesar di dunia. Perbendaharaan wilayah nadanya memungkinkan seniman dan musikus untuk larut dalam pencarian-pencarian bentuk kompisisi anyar. Kemegahan gamelan seolah baru tersadari dalam beberapa waktu kini, setelah lama tertidur pulas di kandangnya sendiri. Semangat baru pertunjukan Indonesia dengan membawa warna Jawa lewat gamelan tak hanya dikagumi oleh kaum pribumi, namun juga dunia. Matah Ati dan pertunjukan lain sejenis boleh jadi hanya titik awal renaisans gamelan dalam menjadi menu bunyi utama, menggantikan suplai suara musik yang selama ini telah mendistorsi telinga kita.
Selanjutnya tentu akan muncul karya-karya baru serupa dengan lebih monumental. Diproses, digodog dan dieksplorasi dengan lebih matang. Gamelan sekali lagi akan nangkring menghantui dan menyerang telinga untuk lebih mendekatkan kita mengenal habitus akar tradisi di Nusantara. Renaisans kebudayaan Jawa dan Indonesia telah tiba.

Aris Setiawan
Pengajar di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut