Ibu dalam Narasi Tembang Pengantar Tidur (dimuat di Jawapos edisi 22 April 2012)

 Ibu dalam Narasi Tembang Pengantar Tidur




Tak lelo lelo lelo ledung, cup menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane, nek nangis ndak ilang ayune, tak gadang bisa urip mulyo, dadiyo wanito utomo, ngluhurake asmane wong tuwa, dadiyo pendekaring bangsa, wis cup menenga anakku, kae mbulane ndadari....

Sepenggal tembang di atas tentu sangat lekat dalam memori masyarakat Jawa untuk menghantarkan mereka ke peraduan tidur di masa kecilnya. Aktor di balik lagu tersebut adalah seorang ibu. Semangat emansipasi yang ditorehkan Kartini tentu tidak hanya berusaha menjadikan wanita dalam militansi upaya kesetaraan dengan laki-laki. Tapi juga menjadikan wanita kembali pada kodratnya yang paling hakiki, yakni seorang ibu. Ironisnya, peran ibu kini terdekonstruksi dengan stereotip yang melekat atas nama emansipasi. Ibu di masa kini bukan lagi seorang ‘artis’ yang mampu memberi guratan pesan lewat kuasa tembang-tembang indah dalam ‘kamar imajiner’ bagi sang anak.
Persoalan musik pengantar tidur yang dilantunkan oleh seorang ibu mungkin terlihat sepele dan mampu tergantikan dengan kuasa teknologi di masa kini. Namun lebih dari itu, tembang pengantar tidur tidak sebatas untaian nada dan teks musikal. Tembang pengantar tidur adalah medium yang menyatukan ibu dengan anak dalam bingkai pertalian kehidupan. Ruang untuk mendekatkan aura kebersamaan, psikologis, dan kasih sayang. Medan yang berusaha menjejalkan berbagai ajaran dalam mencerna kehidupan dunia lewat kekuatan tema dan liriknya.

Lebih dari Sekedar Bunyi
Sengaja saya sebut tembang untuk lebih membatasi bahwa lagu di atas dan lagu-lagu pengantar tidur lainnya dinyanyikan secara solo oleh seorang ibu dengan materi bahasa atau teks musikal yang kebanyakan bersumber dari bahasa (akar rumput) daerah setempat. Jika di Jawa ada leloledung, di Madura ada dung endung, kiwak ruta-riti di Banyumas.
Komunikasi yang dibangun melalui tembang pengantar tidur tidak hanya mampu menghantarkan anak ke peraduan tidurnya. Namun juga mampu dalam membentuk karakter, intelejensia, wawasan dalam diri anak. Pada konteks inilah tembang pengantar tidur menjadi jenis lagu paling radikal bagi sang ibu untuk mengolah suplemen musikal dalam takaran imajinasi yang bebas, penuh fantasi dan daya pikat yang mandiri. Tembang pengantar tidur membuka peluang bagi ibu untuk menjadi kreator musik paling hakiki dengan kebebasan kreativitas yang mutlak dan sah tanpa harus takut terusut dengan hukum baku nada dan bunyi.
Lewat tembang itu, kedekatan yang terjalin antara ibu dan anak tidak semata hanya kedekatan darah, namun juga artistik dan estetika. Lirik yang tidak semata harus puisi, pantun bahkan macapat dan dandang gula. Terkadang masalah anak dan solusinya menjadi medium yang pas dalam mengkonstruksi tema tembang pengantar tidur ini. Otomatis, selain berusaha memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi anak, tembang yang dilantunkan ibu juga mampu mengguratkan aura bunyi yang menenangkan secara psikologis. Tembang pengantar tidur menjadi asupan nada dan bunyi paling awal yang dikenalkan pada sang anak sebelum memasuki kelindan belantara bunyi yang sesungguhnya. Di sinilah ibu menunjukkan peran yang sejatinya. Mampu menjadi komponis musik lewat tembang-tembangnya, menjadi sastrawan lewat lirik musikalnya, menjadi aktris lewat mimik muka dan sekaligus menjadi badan sensor yang hanya memberi asupan berguna bagi sang anak.
Di tangan ibu, semua tema bisa menjadi tembang yang indah. Isi biasanya berkisar tentang budi pekerti, kebaikan, tuntunan sekaligus harapan dan doa bagi sang anak agar menjadi manusia utama. Manusia pilihan yang dirajut lewat lirik tembang. Hal tersebut seolah mengajak kita untuk berkontemplasi dan merenungkan kembali arti serta makna musik dewasa ini. Musik sejatinya tak hanya berhenti dalam takaran nada dan melodi yang indah. Musik sebagai sebuah bunyi mencoba menarasikan alam imajinasi personal yang subjektif dalam diri pelantun menjadi alam sosial yang objektif bagi pendengar atau audiens. Pada titik inilah musik membutuhkan katalisator yang tepat, dan ibu adalah salah satunya. Melalui otak-atik nada, lirik, melodi, tembang pengantar tidur tidak membeku dalam takaran normatif semata. Namun mencair dalam kehangatan kasih sayang yang dibangun dengan sang anak.
Sayangnya, pola interaksi yang dibangun lewat tembang pengantar tidur menjadi kurang begitu terbuka untuk dihadirkan di masa kini. Masa di mana anak lebih asyik berkutat dengan televisi, hp, laptop, tablet dan sejenisnya. Kuasa sang ibu tergantikan dengan tembang-tembang masa kini yang keluar dari mesin-mesin canggih tersebut. Ibu kehilangan satu momen berharga dalam meletakkan pondasi dialektika dan pertemuan nalar imajinasi positif dengan sang anak. Semangat emansipasi yang didengung-dengungkan selama ini justru mendekostruksi peran wanita yang sesungguhnya sebagai ibu. Titik tolak keberhasilan wanita masa kini tidak lagi diukur sebagaimana kuasanya dalam menjadi ‘artis’ yang baik bagi anaknya. Namun dengan berbagai posisi dan jabatan penting dalam ruang lingkup sosial yang diraihnya. Jangan heran jika kemudian profil ideal emansipasi wanita masa kini adalah seorang pedagang yang sukses, pembisnis, pejabat publik, ekonom, pilot, arsitek, dokter, bukan ibu dan penembang yang baik.

Musik Anak
Tembang pengantar tidur sejatinya mencoba membangkitkan spirit musik anak yang saat ini telah bangkrut tergusur dengan bunyi-bunyian glamour dengan kisah cinta-cintaan dan asmara semata. Di sisi lain, apabila diolah dengan cara dan pendekatan tema yang lebih canggih bukan mustahil akan menghasilkan perspektif baru bagi anak dalam memandang dan membentuk dunianya. Maka meminjam pandangan yang dibangun Faisal Kamandobat (2005), kembalikan kodrat seorang ibu sebagai vokalis, artis, sastrawan dan pendongeng yang bijak bagi anaknya. Tembang pengantar tidur bukanlah sebuah pertunjukan musikal yang dipertontonkan di atas pangung, tapi menari-nari di atas kehidupan.
Ibu dapat berhayal sejauh dalam dosisnya yang tepat untuk meramu dan meracik tema tembang bagi sang anak. Momen inilah yang dapat mendekostruksi bahwa lagu anak masa kini telah mati. Hilang dalam kuasa teknologi dan media bukan berarti hilang pula dalam kuasa seorang ibu. Kamar anak menjadi laboratorium yang berisi berbagai penemuan dan eksplorasi kreativitas tanpa batas. Sebuah karya musik besar sesungguhnya telah lahir di kamar itu. Karya yang lebih menggema merdu di telinga sang anak, kedudukannya belum tentu mampu tergantikan dalam berbagai bunyi yang keluar lewat mesin-mesin abad muthakir.
Anak-anak diperkenalkan dengan dunianya. Dipertemukan dengan bunyi yang sesungguhnya. Bunyi yang tulus dan keluar dari hati seorang ibu. Bahkan tak jarang asupan bunyi tersebut akan berkelindan hingga sang anak dewasa. Mengenang seorang ibu bukan dari jabatan, harta serta kuasa publik yang dimilikinya, tapi lewat suara dan sentuhan bunyi nada dari mulutnya. Musik mampu menyatukan, mampu membuat manusia lebih arif dalam menyikapi dunianya. Otomatis, seberat dan secapek apapun dunia kerja yang dilakukan seorang ibu, ia harus tersenyum dan penuh kehangatan bagi anaknya. Dan musik –tetembangan pengantar tidur- mampu menarasikan dan menjembatani batas-batas itu semua.
Semangat hari Kartini tidak hanya mampu digairahkan dan dirayakan dengan berbagai capaian glamour keberhasilan seorang wanita. Namun juga dirayakan lewat musik dan tembang. Dengan demikian wajar jika di Solo menggelar festival lagu pengantar tidur bagi ibu tepat pada hari Kartini tanggal 21 April 2012 di Taman Balekambang. Bagaimanapun, ibu adalah muara bakat, panutan bagi anaknya. Selamat hari Kartini dan selamat menembang kembali.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Kuasa Negara dalam Erotika (dimuat di Koran Joglosemar edisi 18 April 2012)

Kuasa Negara dalam Erotika


 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah berupaya mendaftarkan seni tayub dan dangdut sebagai warisan budaya dunia (UNESCO). Hal itu dikemukakan Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam Seminar Nasional Seni Tayub Nusantara yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Yayasan Kertagama, dan Sritex, Sabtu (7/4/2012).
Bukan satu hal yang baru, saat ini pemerintah gencar mengurus legalitas kepemilikan secara formal terkait dengan eksistensi seni-seni yang ada di Nusantara lewat badan hukum internasional. Setelah angklung, batik, keris, wayang, tari saman, saat ini giliran tayub dan dangdut yang diusulkan. Tak berlebihan kiranya jika sejumlah pertanyaan dilontarkan terkait dengan wacana tersebut. Apa yang terjadi setelah seni-seni tersebut diakui sebagai warisan dunia? Adakah perkembangan yang berarti? Atau justru hanya sekedar labirin politik dalam meraih ambisi yang penuh pamrih.
Sementara terkait dengan dangdut dan tayub justru agak berbeda dengan deretan seni lainnya. Bukankah dua kesenian tersebut selama ini cenderung kontroversial dengan balutan erotika ketubuhan. Atau justru ada tujuan yang mencoba disemai dalam wacana tersebut. Persoalan erotika dan raga dalam seni bukanlah satu hal yang baru. Pedebatan tentang kuasa pornografi dan erotika tak pernah lekang hingga detik ini.
Persoalan yang dianggap krusial bahkan oleh presiden sekalipun. Agus T Darmawan (Koran Tempo, 31 Maret 2012) mencatat bahwa khusus untuk masalah ini, presiden membentuk Satgas baru. Satgas itu bernama Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, yang dituangkan melalui Peraturan Presiden Nomor 25/2012. Pembentukan satgas yang diketuai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Sesuai amanat dari Undang-Undang Nomor 44/2008 tentang pornografi, dengan tugas pokok mengkoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan pornografi termasuk dalam produk kebudayaan seperti kesenian misalnya.
Agaknya negara mencoba mendisiplinkan kesenian-kesenian yang dianggap ‘nakal’ lewat kuasa kontrol-mengontrol secara legal formal. Negara melakukan pengawasan secara panoptisme, dengan membuat seolah-solah seni-seni tersebut milik negara, mencerminkan jati diri bangsa sehingga harus dilakukan pengetatan dan kontrol yang efisien. Dengan demikian segala nilai yang dianggap melenceng dengan serta-merta harus dihapuskan dalam seni tersebut. Banyak pihak yang menilai bahwa erotika atau pronografi menjadi salah satu agenda besarnya. Seperti pandangan Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977), negara saat ini sedang mencoba melakukan penjinakan dengan menciptakan wacana bahwa segala sesuatunya termasuk tubuh sedang diawasi, dikontrol dan dikendalilan secara masif.

Ketubuhan.
Erotika raga sejatinya tak luput dalam jepretan lensa sejarah pembentukan negeri ini. Lihatlah patung Datonta di desa Trunyan Kintamani yang telanjang bulat itu. Hal serupa juga dipahatkan di Candi Sukuh Jawa Tengah yang memamerkan relief lingga (kelamin laki-laki) yang berhadapan dengan yoni (kelamin wanita). Di candi itu pula berdiri gagah dan kokoh patung seorang pria yang memegang kelaminnya dalam keadaan tegak. Tak hanya dalam bentuknya yang tangible, erotika juga dirayakan dalam berbagai tetembangan di Jawa yang tertulis manis lewat Serat Centini. Martapangrawit, seorang komposer gamelan di Jawa pernah mencipta satu gending yang sangat ‘menggairahkan’. Namun toh tak semua orang mampu menangkapnya karena terbalut dengan teks sastra Jawa yang tinggi. Lewat nomor gending “Rembun”, ia menceritakan keindahan rambut kemaluan wanita dengan mempesona. Bak menguak misteri dalam lukisan Davinci seperti digambarkan dalam film ‘Davinci Code’ besutan sutradara Ron Howard, karya Martapangrawit itu terselubung namun bernas arti. Bahkan bagi para pengrawit di Jawa, karya itu lebih membuat bulu kuduk berdiri dari pada erotika tubuh yang kita lihat secara visual.
Seni tradisi mengamini aroma erotika, dirayakan secara besar-besaran. Pengejawantahannya tertuang lewat dentum gamelan, gerak Tayub (seperti Gandrung, Joget Bumbung, Lengger, Tandakan) bahkan hingga Dangdut. Pornografi berulangkali mencoba untuk dirumahkan namun toh selalu saja dirayakan di berbagai kesempatan. Tubuh adalah agen utama. Negara kemudian dianggap berkepentingan untuk mengatur gerak, pakaian, dandanan secara visual. Lihatlah kemudian tari tayub garapan ISI Solo dalam acara Festival Tayub Nusantara 8-9 April 2012 kemarin. Tayub digubah, didekontruksi menurut tatacara dengan alih-alih yang lebih mendidik, sopan dan santun. Tayub versi kaum intelektual yang justru malah lebih lucu, banal, digarap seolah menyerupai kesenian keraton bukan lagi kerakyatan.
Tubuh bukan semata kumpulan tulang dan daging yang dirangkai sedemikian rupa hingga menjadi keajaiban medis, tapi tubuh juga sebuah ‘diri’. Dengan demikian, tubuh tidak hanya sebatas kumpulan makna bendawi semata, namun tubuh memiliki berbagai sisi yang sosial. Kemudian berbagai pergulatan untuk menempatkan tubuh sebagai diri diberlangsungkan, mengenai ikatan-ikatan, makna, nilai, kriteria hidup dan mati, serta bagaimana ia harus dicintai, digerakkan sekaligus dikekang dengan pengawasan.

Panoptisisme
Foucault menyebut panotisisme (panopticism) sebagai suatu model penerapan teknologi disiplin, baik metode-metode maupun sarana-sarananya, yang keras dan ketat menurut pemikiran yang sebelumnya dirancang oleh J. Bentham (1785) untuk lingkungan lembaga pemasyarakatan di Inggris. Gagasan dasarnya bahwa panoptisisme merupakan bentuk pengendalian tubuh, ruang, sosial, dan ekonomi, yang dilakukan oleh agen sosial yakni pemerintah untuk menciptakan kesan pendisiplinan.
Panoptisisme membuat si target kelihatan senantiasa diawasi. Caranya dengan membuat simbol-simbol atau aturan yang seolah membina namun secara tak langsung juga mengontrol bahkan berperan serta untuk menghakimi. Panoptic dirasa efisien dan tak membutuhkan banyak tenaga. Semisal penempatan CCTV di lembaga pemasyarakatan. Tanpa harus ada penjaga (sipir), tahanan seolah selalu diawasi gerak-geriknya lewat layar monitor. Padahal bisa jadi CCTV itu tak berfungsi, hanya sebagai gertak ‘kuasa kesan’ semata. Begitulah teori panoptic bekerja. Senantiasa menumbuhakan kesan bahwa negara selalu hadir dan mengetahui setiap detak kegiatan. Sama halnya kasus petrus (penembak misterius) era Orde Baru yang tiba-tiba menciduk orang-orang tertentu, membuang mayatnya di tengah jalan dengan sayatan dan tembakan peluru di kepalanya. Negara menggoreskan pesan tersirat bahwa semua diawasi, ‘jangan macam-macam’.
Dibentuknya satgas anti pornografi beberapa waktu lalu tentu tak kuasa memantau semua kegiatan yang berbau erotika. Kalaupun dirumuskan dalam jabaran undang-undang juga terlalu sumir. Mentok jika dihadapkan pada pertanyaan, bagaimana kriteria seseorang disebut porno dan tidak? Bukankah semua ada di kepala masing-masing individu yang melihatnya? Apa negara mau mengatur isi kepala seseorang? Sulit untuk diterapkan karena tak berdasar logika yang jelas. Jalan keluarnya mudah, membuat panoptic berupa kesan bahwa ruang-ruang (kesenian) yang selama ini nampak erotik adalah produk cerminan dari budaya jati diri kita. Tayub dan dangdut atau bahkan mungkin lukisan telanjang tubuh wanita merupakan bagian dari salah satu di antaranya. Negara atau institusi seni semacam ISI menjadi seolah berkepentingan untuk mengontrol dan mengawasi selalu. Memprihatainkan memang.  
Awas, jangan-jangan anda sekarang juga dalam pengawasan.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Dangdut dalam Perayaan Mata Lelaki (dimuat di Jawapos edisi 13 April 2012)

 Dangdut dalam Perayaan Mata Lelaki 



Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah berupaya mendaftarkan dangdut sebagai warisan budaya dunia (UNESCO). Hal itu dikemukakan Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam Seminar Nasional Seni Tayub Nusantara yang diselenggarakan Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Yayasan Kertagama, dan Sritex, Sabtu (7/4/2012).
Pertanyaannya kemudian, apa yang dapat kita amati dalam musik dangdut mutakhir? Selain menempatkan derajadnya sebagai salah satu musik rakyat, musik yang banyak digemari, dangdut juga mengguratkan pengertian akan feminitas wanita dalam bingkai erotika dan raga. Denyut dangdut tak lepas dari peran wanita yang memolesnya menjadi musik penuh ekspresi ketubuhan. Otomatis berbicara dangdut adalah berbicara ketubuhuan wanita. Hal ini bukanlah tema dan wacana baru, namun toh masih saja hangat untuk didiskusikan hingga detik ini.
Lewat musik dangdut, wanita menemukan sisi erotika yang kadang terselubung dan tertutup selambu dalam alih-alihnya sebagai luapan estetika. Dalam realitas nyata, erotika (pornografi) dirumahkan lewat dengung surau-surau dan dokma religius tapi dirayakan dalam panggung dangdut Nusantara. Goyangan dalam musik dangdut yang awalnya oleh Rhoma Irama dianggap sebagai virus yang harus dihindari kini malah tumbuh subur dan seolah abadi. Pelaku-pelaku dangdut ketubuhan adalah wanita yang awalnya dipelopori oleh Inul Daratista, Uut Permatasari, Anisa Bahar, Dewi Persik hingga Trio-Tiga Macan dan Julia Peres serta belum lagi pelaku di panggung-panggung rakyat. Otomatis dangdut mutakhir lebih memanjakan mata penonton daripada estetika bunyi asupan telinga. Makna dangdut terdekonstruksi, penampilan wanita bukan untuk belomba mencari kualitas ideal suara, namun eksploitasi goyangan. Ngebor, ngecor, patah-patah, gergaji, kayang adalah julukan yang menempatkan gerakan ketubuhan wanita menjadi tontonan yang kadang ekpresinya di luar batas estetika, menjurus pada erotika.
Hal ini diperkuat oleh klaim musikal yang mampu mengakomodasi gejolak gerakan tubuh dengan nama ‘dangdut koplo’ (Ari Nugroho, 2007). Dangdut jenis demikian lebih menempatkan kualitas musikal yang cenderung ‘keras’, ‘cepat’, ‘enerjik’,’menghentak’, dan penuh dinamika. Oleh karena itu, sesedih apapun lagu yang dibawakan, ujung-ujungnya dapat digoyangi. Dalam dangdut, kadang tak mengenal tema liriknya, yang penting goyang. Wanita menjadi subjek, yang kadang menghibur dan adakalanya juga miris.

Dari dan Untuk
Pembahasan tentang wanita (perempuan) digelar di manapun. Dari kolom surat kabar hingga tema acara di layar kaca. Hal itu semata demi menunjukkan bawa semangat diri wanita patut untuk diapresiasi, dihargai. Namun kadang, eksploitasi ruang pembahasan tentang wanita seolah menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk asing, aneh, berbeda, sehingga keberadaannya harus senantiasa dijelaskan. Wanita didengungkan masih menyimpan sejuta misteri. Laki-laki menjadi konsumen utama yang menikmatinya. Segala hasrat tentang wanita seolah memanjakan lelaki untuk lebih tau tentang sepak terjangnya. Otomatis, wanita kadang menjadi makhluk rekaan demi memenuhi imaji lelaki. Tak terkecuali –membahas- wanita dalam musik dangdut.
Awalnya, wanita hadir dalam musik dangdut dengan keanggunan, kesantunan dan feminitas dalam batasnya yang konon disebut ketimuran. Ida Laela, Elvi Sukaesi, Ike Nurjanah, Camelia Malik, Cici Paramida dan Ine Sintia menjadi simbol wanita dalam dangdut yang senyampang dengan kategori ‘ideal’ menurut tata dan norma emansipasi. Ekspresi tema lagu menjadi ekspresi ketubuhan mereka. Tak heran kadang mereka harus menitihkan air mata, sedih, suram tergambar dalam hayatan estetika musikalnya. Wanita dalam dangdut menjadi idaman dan idola yang kehadirannya tak kalah dengan pelaku di genre musik lain kala itu.
Namun dangdut mutahir tak lagi mampu menarasikan itu semua. Berbicara dangdut masa kini berarti berbicara tentang life style. Gaun malam yang biasanya menemani penyanyi dangdut era lama tertepikan dengan gaun yang super ketat dan rambut yang beraneka ragam warna. Semakin ketat semakin menambah dentum tepuk tangan penonton yang tentu saja mayoritas laki-laki. Wanita dan ketubuhannya tereksploitasi sedemikian rupa menuruti naluri dan sosok ideal dalam imaji laki-laki yang berhasrat semata demi erotika raga dan menggusur estetika.
Akibatnya, pelaku wanita dalam musik dangdut, baik di layar televisi, maupun panggung-panggung yang bertebaran di Nusantara (Jawa khususnya) banyak menempati posisi penilaian yang cenderung negatif oleh otoritas pengendali kuasa atas etika. Dicekal, diboikot, diharamkan, dilarang tampil di suatu tempat sudah menjadi makanan sehari-hari. Padahal, jika dicermati dengan bijak, wanita dalam konteks itu hanya menjadi biduk yang dikurbankan demi kepentingan beberapa pihak yang dengan tekun menyemai pundi-pundi keuntungan penuh pamrih. Media yang selama ini menjadi katalisator tak pernah tersentuh. Kenapa harus Inul kala itu yang menjadi bulan-bulanan sementara SCTV yang mengontrak dan menyiarkannya tak terkena getahnya. Sama halnya kenapa peminum dipenjarakan semetara pabrik minuman dibiarkan.
Banalitas wanita dalam musik dangdut muthakir menjadi ironi emansipasi yang selama ini didengung-dengungkan. Abad dangdut masa kini adalah abad wanita yang berbalut erotika. Tumbuh subur di panggung-panggung rakyak yang kehadirannya diamini, tak mampu diredam pasca pedebatan sengit saat Rhoma dan Inul dulu. Feminitas dirajut, dipermainkan sedemikian rupa memanjakan mata laki-laki yang melotot takjub karena besarnya aura seksualitas.
Tak hanya life style, demi menopang hasrat erotika wanita, lirik dangdutpun diolah. Semua dikonstruk, dibuat dan diselaraskan untuk mengamini misi erotika atau pronografi yang bersemayam pada musik dangdut. Siapa penciptanya? Semuanya adalah laki-laki. Pelantunnya? Tentu saja wanita. Penikmatnya? Tentu saja laki-laki. Dari laki-laki untuk laki-laki. Wanita hanya menjadi jembatan semata yang tanpa sadar telah tereksploitasi. Lirik lagu religi, persatuan, semangat kebersamaan ala Rhoma Irama tak lagi kontekstual dengan zaman masa kini, tergusur oleh misi yang lebih glamour dan populis.
Padahal dangdut sebagai suara musik pribumi harusnya mampu mewacanakan cita rasa ala Indonesia. Cita rasa yang dibangun atas dasar kesadaran kolektif guna mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Semangat mengembalikan dangdut dan wanita dalam garis estetika Nusantara bukan mustahil untuk kembali dikobarkan. Atau, jangan-jangan justru dangdut yang saat ini berbumbu erotika adalah sejatinya mencerminkan siapa kita? Mahkluk yang dilanda kegamangan antara kuatnya etika dan norma dengan pengaruh glamournya budaya kapilatis.
Ketubuhan wanita sekali lagi menjadi korban. Nah, masihkan bersemangat menjadikan dangdut masa kini sebagai warisan dunia?

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Pengikut