Media Baru Pertunjukan Wayang (dimuat di Koran Joglosemar edisi 15 Juni 2012)

Media Baru Pertunjukan Wayang 


 
Kuasa wayang kulit dalam menempatkan derajadnya sebagai media pendidikan sebenarnya bukanlah barang baru. Sejak dahulu kala kita sudah mengenal wayang kulit dalam fungsinya yang tak hanya sekadar tontonan, namun juga tuntunan (Sena Sastra Amidjaja, 1964). Persoalannya kemudian, wayang dalam perjalanan waktu semakin tidak menemukan ruang untuk mempresentasikan fungsi tuntunannya secara lebih terbuka. Terdekonstruksi dengan tontonan (sebut juga hiburan) lain yang lebih glamour dan populis. Otomatis, wayang dengan fungsinya sebagai “tuntunan budi pekerti” yang luhur tidak mampu ditampilkan dalam formatnya yang lama, dengan hanya disajikan semalam suntuk semata tanpa ada usaha dan kreativitas baru dalam memecah kebuntuan katalisator dalam mendistribusikan nilai-nilai kehidupan yang ideal.

Tak Sekedar Ketubuhan
Melihat wayang kulit tak cukup dengan hanya berbekal telinga dan mata, namun juga imajinasi dan rasa. Dua persoalan terakhir yang saat ini cukup sulit untuk diurai dan diterima oleh genarasi muthakir. Penyebabnya tentu bisa banyak hal semisal persoalan kebuntuan bahasa dan rupa. Bahasa wayang misalnya, menggunakan bahasa Jawa yang kadang kala dianggap kurang begitu relevan di era saat ini. Masalah yang sebenarnya telah lama disadari, muncullah kemudian gerakan untuk membuat bahasa wayang dalam versi Indonesia. Apakah dengan demikian telah paripurna persoalan yang melingkupinya? Tentu saja jawabnya belum.
Hal yang seringkali tidak dipahami bahwa wayang kulit dengan bahasa Jawa bukanlah persoalan teknis yang mudah dicopot dan diganti begitu saja. Wayang dan bahasa Jawanya tersatukan dengan adanya “rasa” yang saling menguatkan. Ibarat sepasang suami istri yang telah berpuluh tahun menikah, tiba-tiba harus diceraikan dan diganti dengan pasangan yang baru. Hasilnya kadang pencapaian estetika yang tak terpegang, terkesan memaksakan unsur baru yang sebenarnya butuh proses dan pendekatan yang panjang. Otomatis, merubah bahasa wayang adakalanya bukanlah menjadi solusi yang relevan dalam menyuplai jembatan pemahaman pada publik dan utamanya generasi muda saat ini.
Padahal bukan rahasia umum lagi, dengung nilai-nilai dalam pertunjukan wayang kulit sarat akan berbagai manifestasi budi pekerti. Hal yang kemudian oleh berbagai pihak termasuk organisasi wayang nusantara dianggap cukup penting untuk ditransformasikan dalam berbagai media baru. Lahirlah berbagai buku-buku wayang yang mengulas tema itu. Tujuan utamanya tentu berpusat pada misi membumikan nilai-nilai luhur wayang. Pertanyaanya kemudian, sejauh mana buku tersebut mampu menarik minat dan dibaca oleh publik. Ataukah justru buku-buku yang mengulas nilai-nilai wayang hanya berhenti pada pajangan perpustakaan dan referensi studi semata. Jika demikian, sebenarnya upaya itu juga belum sepenuhnya berhasil. Tolok ukur keberhasilan dalam pembuatan buku pewayangan cukup sederhana. Jika buku tersebut mampu menarik minat baca generasi muda dan menjadi buku pegangan utama mereka, baru boleh dikatakan sebuah usaha tersebut berhasil.
Namun, segala usaha yang telah dilakukan oleh banyak pihak patut mendapat apresiasi yang setinggi-tingginya. Setidaknya buku-buku dan usaha pembaharuan wayang dalam beberapa dekade terakhir merupakan sebuah sikap yang menunjukkan detak ingar-bingar semangat dalam menarasikan nilai-nilai wayang masih belum padam. Hal ini menunjukkan bahwa wayang masih dianggap penting sebagai entitas seni nusantara bahkan mungkin dunia. Terlebih beberapa waktu lalu wayang telah dikultuskan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Dikultuskannya wayang tentu tidak semata dipandang dalam persoalan kebendaan atau fisik (tangible) semata, namun juga nilai-nilai (intangible) yang terkandung di dalamnya. Wayang mampu menjadi tolok ukur objektif dalam melihat detak dan determinasi sebuah peradaban lewat pusaran nilainya yang sastrawi (Anderson, 1996). Walau tak jarang pula kita jumpai pertunjukan wayang kulit masa kini yang lebih mengedepankan aspek hiburan, banyolan, lawakan, dagelan semata dengan mengeliminir kandungan nilai-nilai luhurnya.
Hal yang memang tak dapat dipersalahkan. Kebutuhan zaman saat ini menuntut demikian. Banyak dalang beranggapan bahwa menyajikan wayang secara verbal dan apa adanya tidak relevan lagi dalam menarik minat penonton untuk saat ini. Strategi dalam mencari pasar pun dengan deras dilakukan. Menambah durasi lawakan dan menempatkan formasi duduk pesindhen (vokalis wanita) adalah salah satunya. Bagi sebagian orang dan pengamat pertunjukan wayang, tentu hal tersebut dianggap mendistorsi idealisme pertunjukan. Namun bagi banyak masyarakat hal tersebut cukup memberi angin segar, agar detak hidup wayang kulit masih dapat kita nikmati hingga saat ini. Bukan hal yang aneh jika kontradiksi senantiasa mewarnai dalam setiap bangunan kreatif dan kebaruan karya.
Pada dasarnya, berbicara wayang tidak terhenti dalam domain estetika semata, namun juga berbicara industri, manajemen, bahkan mungkin politik dan ekonomi serta muatan nilai. Wayang adalah medium seni yang paling kompoleks. Mengawinkan berbagai unsur seperti gerak tari, kesenirupaan, musik dan tentu saja sastra. Kompleksitas episentrum artistik yang demilikinya menyebabkan pelaku wayang dianggap sebagai orang mumpuni, bahkan tak jarang pula dianggap sebagai juru nujum dan ruwat. Semua berpusat dalam permainan boneka dan bayang-bayang. Seorang pemain wayang dengan demikian adalah orang yang menguasai pusaran medan estetika seni dan nilai-nilainya secara qatam.

Eksporasi Media Baru
Seperti dijelaskan di atas, mendistribusikan nilai-nilai dalam pertunjukan wayang tak cukup dengan hanya melangsungkan pertunjukkannya semalam suntuk. Dibutuhkah gebrakan yang lebih frontal agar nilai-nilai tersebut mampu cair dan terwadahi dengan baik terutama bagi generasi muda saat ini. Beberapa hari yang lalu (11-13 Juni 2012) di Taman Budaya Surakarta dihadirkan pertunjukan wayang unik seperti wayang Hip Hop dan Wayang Kampung Sebelah. Kreasi baru dalam pertunjukan wayang merupakan cerminan gerak transformasi media yang lebih terbuka dan glamour.
Walaupun tak jarang eksploitasi sisi humoritas yang terlalu berlebihan. Hal yang sama juga seringkali kita jumpai dalam layar kaca di mana cerita-cerita wayang mulai digelar dan diperankan oleh artis-artis (komedian) terkenal ibukota. Namun justru bukan mendapat tempat dalam muara estetika dan pencapaian nilai yang luhur. Epos pewayangan kemudian dirasa menjadi semakin banal arti dan miskin artikulasi kultural, karena yang dikejar hanya rating dan gelegar tawa. Secara tak langsung pula sebenarnya kita sedang menertawakan jagat pewayangan kita, walaupun di satu sisi sedang meratap dan menangisinya.
Menonton pertunjukan wayang sama layaknya menonton drama dalam layar kaca. Senantiasa terjadi pertarungan antara yang baik dan sosok yang jahat. Pada akhirnya akan dapat ditebak bahwa sisi baiklah yang akan menang. Persoalannya bukan pada ending cerita yang digulirkan namun bagaimana mengemas dan menyampaikan lajur cerita dengan menarik. Lebih penting lagi mampu menularkan nilai-nilai budi perkerti luhur dalam setiap pembabakan ceritanya. Hal itu yang hingga detik ini masih dicari, didiskusikan, diteliti bahkan bermuara pada proses pembentukan yang panjang.
Jangan heran kemudian, jika wadah-wadah baru dalam menyuplai nilai-nilai wayang kelak akan lahir dengan bentuknya yang baru dan tentu lebih kreatif. Bisa lewat kesenirupaan yang visual, gerak, auditif bahkan perpaduan di antara kesemuanya. Hasilnya tentu senantiasa ditunggu mengingat generasi saat ini terutama anak-anak lebih mengkultuskan sosok pahlawan muthakir seperti Superman, Sepiderman, Batman, Ironman, dari pada Rama, Arjuna, Bima maupun tokoh pandhawa lainnya.
Tentu akan sangat menarik jika generasi saat ini lebih meneladani figur-figur ideal dalam jagat pewayangan kita dengan berbagai pernak-pernik nilai positif sosoknya. Atau justru sebaliknya, nilai-nilai dalam pertunjukan wayang semakin bangkrut tergusur waktu dan tergantikan dengan canda dangkal yang hanya mengedepankan gemerlap fisik semata.

Catatan: Artikel di atas adalah perasan dari makalah yang dibawakan penulis dalam seminar wayang di Institut Seni Indonesia Surakarta dan Yogyakarta dan bedah buku 'Pendidikan Budi Pekerti dalam Pertunjukan Wayang' (13-15 Juni 2012).

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar dii Institut Seni Indonesia Surakarta

Indonesia Terjajah Lewat Musik (dimuat di Solopos edisi 29 Mei 2012)

Indonesia Terjajah Lewat Musik


Judul di atas disadur dari pernyataan salah seorang wakil ormas Islam Indonesia saat debat berlangsung dalam sebuah acara Indonesia Lawyers Club dengan tema FPI versus Lady Gaga di TV One (16 Mei 2012) lalu. Kata terjajah tentu saja menunjuk pada sebuah pemaknaan yang tak lain adalah budak, kaum lemah, terkontrol dan terkuasai. Uniknya, dari kalimat judul di atas berusaha menjelaskan bahwa Indonesia jusru tak terkuasai dalam makna kebendaan atau ketubuhan (tangible) layaknya zaman kolonial (perjuangan kemerdekaan) dan perang seperti dahulu kala, namun lewat bunyi-bunyian.
Hal tersebut berkait dengan tema hangat dalam beberapa pekan ini. Selain persoalan hiruk pikuk politik dan ekonomi, ternyata juga menyisakan persoalan musik. Lady Gaga adalah trending topicnya. Ia menjadi hot news di berbagai media baik cetak maupun elektronik tertaut pembatalan konser yang sebelumnya dipanaskan dengan kontrovensi perizinan. Pada konteks ini, saya tidak berniat mengulas lebih dalam tentang undang-undang atau aturan hukum yang mengekang pada penyelenggaraan konser tersebut. Saya justru lebih tertarik memusatkan perhatian pada kuatnya daya pengaruh musik, bunyi atau suara.
Musik ternyata bukanlah persoalan rangkaian nada dan harmoni semata. Lebih dari itu, musik mampu berbicara banyak dalam memberikan narasi adab budaya sebuah negara. Musik mampu mencerminkan kualitas sebuah peradaban. Selain medan estetika, musik banyak bertolak menjadi sebuah alat, katalisator dalam varian persoalan tak terkecuali politik, sosial, hukum, dan ekonomi. Lihatlah berkembanganya isu konser Lady Gaga, tak hanya berhenti dalam dentum estetika dan artistik semata. Namun menyangkut ideologi, politik bahkan tak jarang menjurus wacana kekerasan.

Lady Gaga(l) dan Ngak-Ngik-Ngok.
Berbicara musik tak cukup dengan hanya meletakkan dikotomi dalam dualisme nada dan tak bernada atau bunyi dan tak bunyi. Persoalannya kemudian musik adalah ‘ruang imajiner’. Laboratorium bergumulnya berbagai medan estetika seni. Dengan demikian menikmati musik tak terhenti dalam domain auditif semata, namun menyangkut persoalan visual. Melihat musik berarti melihat gemulainya gerak, menikmati gemerlapnya panggung, glamornya asesoris baju dan media interaksi dalam berbagai kalangan. Jangan heran kemudian jika di Barat, untuk menonton musik klasik, mereka harus menggunakan jas berdasi dan bersepatu resmi. Musik adalah prestise. Musik menyuarakan harga diri. Musik adalah gaya hidup. Oleh karena itu, ia harus dipoles sedemikian rupa untuk mampu merepresentasikan kekuatan prestise itu. Dualisme stereotip tentang musik juga pernah berkembang di tanah air, dangdut kadang dianggap sebagai musik desa, sementara pop dengan lantang dianggap mewakili gaya perkotaan. Bahkan Majalah Aktuil pada tahun 1970-an juga pernah menganggat isu prestise dalam musik, antara dangdut dan rock. Polemik antara Rhoma Irama dan Ucok AKA mencuatkan wacana bahwa dangdut musik kampungan dan rock musik setan. Artinya, musik tak dapat diceraikan dari kekangan persoalan konteks yang mengitarinya.
Begitupun Lady Gaga, menikmatinya tak cukup dengan hanya memanjakan telinga, namun juga mata dan tubuh. Panggung, koreografi, dan tata busana yang digarap serius adalah menu hidangan yang menggiurkan bagi penonton. Sayangnya, kadang menikmati musik tak cukup berbekal telinga dan ketubuhan semata, masyarakat penonton masih terpenjara dalam atribut yang melekat dalam dirinya. Mereka masih berseragam agama, membawa ideologi, kepercayaan dan budaya. Musik tak mampu dilepaskan dari putaran bingkai-bingkai kebudayaan, tak ada musik yang tak bebas nilai, semua terkungkung.
Otomatis, kebebasan dalam menentukan citra estetika tak sepenuhnya nyata, masih tertaut dengan berbagai atribut budaya. Soekarno misalnya, presiden pertama Republik Indonesia itu dengan lugas membendung banjir musik pop Barat dengan menyebutnya sebagai ‘ngak-ngik-ngok’, merusak moral dan telinga masyarakat dunia timur. Eksesnya, hanya lagu-lagu  sepaham dari Asia dan terutama India yang boleh menyerang industri musik tanah air. Sementara di sisi lain, tak jarang grup band maupun musisi musik harus dicekal, dipenjarakan, diboikot karena melantunkan lagu-lagu pop dari Barat.
Dengan beralihnya rezim ke orde baru dan demokrasi, apakah kebebasan dalam menikmati musik bisa diterapkan? Walaupun kran liberalisasi musik dibuka kencang, ditandai dengan masuknya musik-musik pop Barat, namun sekali lagi tak sepenuhnya musik tersebut nihil nilai. Persoalan musik memang menjadi persoalan krusial di setiap rezim. Wisnu Mintargo (2008) menjelaskan bagaimana perjalanan musik juga menjadi sejarah peradaban kehidupan manusia. Detail bunyi mencerminkan sebuah detail waktu. Oleh karena itu wajar jika kita mengenal sebuah “era” dalam musik. Era di mana musik tak hanya dikenang lewat syahdu dan merdu nadanya. Namun makna yang melekat di dalamnya. John Lennon, Bob Marley, El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals adalah beberapa contohnya. Iwan Fals harus berulangkali dicekal dan menjadi bulan-bulanan polisi karena lewat lirik musiknya dianggap merendahkan rezim orba yang saat itu berkuasa.
Di zaman milenia kini, Lady Gaga contoh idealnya. Benturan kebudayaaan terjadi antara Timur dan Barat. Lirik-liriknya dianggap mencerminkan illuminati, pemujaan terhadap setan, sementara atribut baju dan gerakan tubuhnya dianggap menarasikan misi erotika. Bahkan dengan bangganya ia menyebut dirinya sebagai Mother Monsters (ibu dari para monster) dan penggemarnya sebagai Little Monsters (monster kecil). Tentu saja semua sah dalam ruang ekpresi kebebasan. Sama halnya begitu bangganya kita memuja Setan Merah (the Red Devil) yang tak lain adalah salah satu klub sepak bola di Inggris. Persoalannya kemudian, setiap budaya mempunyai rentang perbedaan dalam menyikapi persoalan estetika dan artistik bunyi. Lady Gaga gagal dalam mengkomunikasikan musiknya di Indonesia. Atau sebaliknya, beberapa masyarakat Indonesia telah gagal dalam memilah antara kuasa produk budaya dan kuatnya kekangan ideologi. Sebagai sebuah produk, musik Lady Gaga mengingatkan benang merah sejarah saat Soekarno menjamahnya sebagai hasil budaya ‘ngak-ngik-ngok’.

Terjajah
Apa yang dapat dilihat dalam perdebatan musik Lady Gaga adalah gejala yang nampak pula dalam musik dangdut. Jika berbicara misi erotika, panggung-panggung dangdut tanah air justru lebih berani menampakkannya secara vulgar. Lewat aksi ketubuhan, pakaian bahkan diksi liriknya. Sesekali harus dibumbuhi juga dengan budaya sawer (suwel) yang terselipkan di antara dua buah dada penyanyinya. Sementara dalam spektrum lirik Gaga yang dianggap sebagai pemuja setan, panggung musik Indonesiapun tak kalah keras. Bagaimana dengan lirik wanita racun dunia, tali kutang, keong racun, belah duren dan lain sebagainya. Justru lebih realis penggambarannya.
Masalahnya kemudian, kita telah menjadi bangsa yang gamang dalam menentukan poros pilihan estetika. Segala yang glamor dan gemerlap kita terima dengan lapang dan suka cita. Yang tampan dan lincah layaknya boy band Korea mampu menghipnotis ribuan mata daripada campur sari Jawa yang dianggap ketinggalan zaman. Tarian dan riasan Lady Gaga mampu membuat jutaan masyarakat Indonesia menangis histeris dari pada syahdunya keroncong ala Waljinah. Fondasi kultural bangsa yang goyah menjadikannya lahan empuk untuk dijajah, dikontrol dan dikuasai. Korea Selatan dan Amerika Serikat sukses besar dalam hal ini.
Hanya faktor musik semata? Tentu saja tidak. Musik hanya katalisator yang menghubungkan keterjajahan dalam domain ekonomi, budaya bahkan politik. Lihatlah, berapa keuntungan dan kerugian yang dipetik saat konser (akan) berlangsung, bagaimana isu ideologi yang berkembang, masalah keamanan (hukum) yang memayungi, perdebatan politik yang menyertainya, hingga masalah prestise –harga diri- nama baik sebuah negara di  mata dunia. Semua dipertaruhkan hanya lewat seorang Lady Gaga. Indonesia terjajah lewat musik.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Mempertanyakan Manfaat AMI (dimuat di Koran Joglosemar edisi 10 Juli 2012)

Mempertanyakan Manfaat AMI 



Anugerah Musik Indonesia (AMI) beberapa hari lalu telah usai diberlangsungkan (4 Juli 2012). Berbagai penghargaan mulai dari artis solo terbaik hingga band dan album terbaik dicetuskan. Namun demikian menjadi menarik untuk kita pertanyakan pula, sejauh mana AMI turut serta dalam membangun percaturan musik Indonesia dewasa ini? Sumbangan apa yang diberikan sehingga musik Indonesia mampu berproses dengan lebih baik ke depan? Atau justru sebaliknya, AMI hanyalah representasi dari acara-acara serupa di negeri impian ‘ala Hollywood’ dengan hanya mengandalkan sisi glamour yang tak mampu memberi sentuhan mendalam akan bingkai keindonesiaan

Transformasi Bunyi
Tak dipungkiri, sama dengan fashion, musik kini menjadi gaya hidup. Memilih jalur musik tertentu berarti mengafirmasi kuasa atas status, prestise dan harga diri seseorang. Tak ingin dianggap ketinggalan zaman, pengaruh budaya bunyi yang dianggap lebih ‘moderen’ menyeruak kepermukaan sebagai satu pilihan yang absolud. Benturan-benturan kebudayaan yang selama ini terjadi antara Barat dan Timur menjadikan Indonesia harus rela menepikan kebudayaan bunyinya sebagai satu ruang yang sub-dominan. Gemerlap bunyi pop ala Eropa atau Amerika dianggapnya sebagai satu kebudayaan maju-moderen yang layak menjadi panutan jika tidak ingin disebut kuno atau katrok.
Sementara bunyi-bunyi yang selama ini mencoba mewakili warna keindonesiaan semakin terkikis dalam pertarungan kebudayaan yang sengit itu. Muncullah kemudian budaya simulakra, meniru tanpa mampu memberi satu pewacanaan yang baru. Lahirlah biduan-biduan imitasi ala Madonna, Britney Spears, Justin Bibber, Shakira, Adele atau menjamurnya boy band Korea rekaan baru yang kadang tiada mampu mempertimbangkan kualitas, hanya sebatas kulit luar alias aksesoris semata. Mau dikata apalagi, konstruksi kebudayaan yang demikian memang sengaja digelar untuk meraih ambisi keuntungan yang sesak pamrih.
Ironisnya, saat terdapat musisi yang dengan teguh menziarahkan kelindan bunyinya untuk Indonesia seperti gamelan, sasando, calung, sapek, saluang atau bahkan yang tradisi kontemporer sekalipun, masyarakat yang konon mengkultuskan dirinya sebagai yang ‘moderen’ itupun lantas senyum penuh sinis. Heran dan penuh pertanyaan, memandang bahwa musik-musik seperti itu masih saja menjadi karya pilihan di zaman moderen ini.
Transformasi bunyi telah terjadi, sekaligus menjadi palang pintu bukti transformasi kebudayaan. Merubah banyak tatanan pemikiran. Menjadikan manusia menapaki lajur kehidupan yang semakin kehilangan identitas karena menjadi seragam, serupa dan tak lagi unik. Musik tiada mampu lagi dapat mewacanakan siapa, apa dan di mana aku.

 Untuk Indonesia?
Di situlah letak pangkal persoalannya, jika berkaca dari peritiwa kemarin, AMI ternyata lebih khusyuk membidik jalur yang dirasa lebih populis, menggairahkan karena pasar. Sedangkan forum-forum yang selama ini dianggap memberi torehan bagi kehidupan denyut nadi musik Indonesia seperti Yogyakarta Gamelan Festival, Art Summit, Solo International Ethnic Music, Surabaya Full Music, Bukan Musik Biasa telah luput dari bidikan dan jepretan lensanya. Siapa yang saat ini kenal Rahayu Supanggah? Musisi gamelan Jawa yang kini namanya begitu mendunia. Sementara gaungnya sepi dan sayup-sayup di Indonesia. Ia dalam beberapa tahun terakhir menjadi perbincangan hangat di antero benua karena kepiawaiannya merajut bunyi kontemporer beralaskan tradisi gamelan Jawa yang pekat. Menghias nama Indonesia dengan manis lewat bunyi-bunyian. Begitu dihargai hingga beberapa kali meraih penghargaan internasional seperti komposer terbaik dalam Festival Film Asia Pasific dan Asia Film Award serta Leonardo New Horizon Award’dari International Society for Art, Sciences, and Technology USA. Pertanyaannya kemudian, apa yang didapatnya lewat AMI?
Tentu, tiada maksud dan tendesi dalam tulisan ini agar musisi jenius tersebut diberi penghargaan. Toh saya yakin ia juga tidak sedikitpun berfikir untuk itu. Karena berjuang untuk musik Indonesia bukan berarti harus ikut larut dalam harapan meraih tanda jasa, toh dunia pasti mengenangnya. Namun, menjadi semacam medan kritik bagi kita agar musik-musik keindonesiaan dapat diperhatikan, diangkat, diolah dan diperkenalkan kembali. Siapa lagi yang mampu mewacanakan hal itu pada publik secara lebih luas kalau bukan forum-forum sekelas AMI yang selama ini lebih dekat dan menguasai sorotan kamera media.
Sayangnya lewat AMI, selama ini tidak mampu dijumpai tawaran alternatif bunyi yang membuka prospek dan horizon pemikiran problematik akan musik Indonesia di masa kini dan yang akan datang. Sebagai sebuah forum, AMI tentu bukan wadah yang menarik jika konsepnya hanya berpangkal pada simulakra terhadap peristiwa serupa lainnya, tapi mampu menarasikan pemikiran baru akan musik Indonesia. Hal ini menjadi penting dalam mewacakan kepada masyarakat, bahwa detak AMI tidak hanya sebatas pesta yang dibuat untuk meramaikan pasar, namun benar-benar menjadi satu anugerah bagi musik Indonesia, musik-musik yang membuncahkan warna keindonesian, bukan Indonesia-Indonesiaan.
Walaupun musik-musik yang ditampilkan dapat saja berasal dari aneka ragam penjuru, golongan dan gaya, namun AMI mau tidak mau telah menjadikan dirinya sebagai sebuah peristiwa kesenian yang bersejarah, layaknya FFI (Festival Film Indonesia) jika dalam dunia film. Apabila Indonesia selama ini dikenal kuat lewat entitasnya yang lokal tak terkecuali musik, rumah, makanan dan bangunan tradisi. Maka tak berlebihan kiranya bahwa AMI juga selayaknya menunjukkan sifat-sifat kepeloporan akan kebangsaan musiknya. Hal demikian setidaknya sudah dipelopori terlebih dahulu dalam FFI yang banyak menganggkat akan sisi-sisi episentrum visualisasi keindonesiaan.
Tentu menarik, terlebih bagi suatu negara seperti Indonesia yang masih ingin terus maju, berproses, bergaul dengan negara-negara lain di dunia. Akan sangat membanggakan jika dalam forum itu kita dapat melihat suatu kenyataan lain bahwa musik-musik tradisi juga turut andil, menjadi bagian dari sebuah tujuan yang mulia, (walaupun toh awalnya dalam kapasitas yang mungkin sangat terbatas). Memberi satu harapan besar dan pelajaran berharga bahwa musik-musik kita sendiri sesungguhnya masih punya taring, ditempatkan dalam ruang yang sepantasnya. Memacu loncatan baru, merubah paradigma lama, bahwa musik Indonesia mampu menunjukkan detak hidupnya secara lebih terbuka, diterima dan dihargai.
Sebagai titik peristiwa yang masih akan berkelanjutan dalam perjalanan musik ke depan, AMI mengguratkan harapan besar bagi kemajuan musik Indonesia. Penggunaan nama Indonesia dalam tema besarnya tak hanya berhenti dalam domain diskursus semata, namun mampu menjadi pelopor terdepan dalam menggores cita rasa kenusantaraan bunyi yang sesungguhnya. Semoga..

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Simpul Tor-tor di Tanah Malaya (dimuat di Suara Merdeka edisi 8 Juli 2012)

Simpul Tor-tor di Tanah Malaya


Ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu lalui, tari Tor-tor dan alat musik Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) dari Mandailing, Sumatera Utara, diklaim sebagai salah satu warisan budaya negara Malaysia. Sebagaimana diwartakan Suara Merdeka (18/6/2012), kantor berita Bernama di Malaysia menyebutkan, Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Datuk Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan kedua budaya masyarakat Sumatera Utara itu dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005.
Polemik warisan budaya dua negara bukanlah pertama kali terjadi. Sebelumnya, kontroversi yang sama juga muncul saat Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa Reog Ponorogo, tari Pendet, Kuda Lumping dan lagu Rasa Sayange adalah warisan budaya negeri itu. Pertanyaannya kemudian, kenapa saat ini harus tari Tor-tor dan Gondang Sambilan? Adakah jejak-jejak garis simpul yang menghubungkan antara Malaysia dan Indonesia lewat kedua kesenian tersebut? Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana selama ini perhatian masyarakat setempat dan khususnya Pemerintah Indonesia terhadap dua kesenian itu?  

Satu Rumpun
Keberadaan Tor-tor dan Gondang Sambilan di Malaysia tak dapat dipisahkan dari kesamaan rumpun dengan Indonesia terutama etnis Melayu. Seperti di jelaskan Pengaduan Lubis (2008), peta perjalanan hijrahnya seni Indonesia ke Malaysia sebenarnya telah berlangsung lama. Terutama saat penjajahan Belanda berlangsung di etnis Mandailing, Sumatera Utara. Sebelum Belanda datang, beberapa tahun lamanya kaum Paderi telah menguasai wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama Islam yang sebelumnya menganut animisme dinamisme. Peperangan perebutan wilayah antara Belanda dan kaum Paderi (perang paderi) terjadi sekitar awal tahun 1830-an. Hingga pertengahan tahun tersebut, peperangan masih berlangsung dan karena kekuatan Belanda lebih unggul, maka banyak di antara masyarakat Mandailing pengikut Paderi yang meninggalkan kampung halamannya. Invasi dilakukan untuk mencari tempat yang aman, banyak dari mereka yang sampai di Malaya (Malaysia) lalu menetap, turun temurun, beranak-pinak hingga saat ini.
Orang-orang Mandailing yang menetap di Malaya tersebut tidak secara otomatis menjadi masyarakat baru. Namun masih membawa pernak-pernik kebudayaan dari daerah asalnya. Pada konteks inilah mereka juga mencoba meneruskan benang tradisi dengan menempatkan kesenian sebagai medan luapan estetikanya. Tor-tor dan Gondang Sambilan menjadi salah satunya. Oleh karena itu, sejatinya masyarakat Malaysia saat ini yang intens menggunakan dua kesenian tersebut sebenarnya masih satu darah dan satu rumpun sejarah dengan Indonesia terutama pada etnis Mandailing. Terlebih ada satu konsep menarik pada orang Mandailing, di manapun mereka berpijak, konsep untuk menjadi suku Mandailing seutuhnya harus tetap dijaga dan dipertahankan sampai kapanpun (Nasution, 2005). Otomatis, dengan mencegah mereka menyajikan dua kesenian tersebut sama halnya dengan memasung kebebasan masyarakat Mandailing sendiri. Bahkan lewat kesenian itu pula Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Rais Yatim mencoba mengais dan menelusuri perjalanan jejak asal-usul sebagian masyarakatnya yang konon adalah orang-orang pribumi Indonesia.
Persoalannya yang muncul kemudian adalah saat Malaysia dengan lantang mengkultuskan dua kesenian tersebut sebagai warisan budayanya. Tidak salah memang, namun terkesan gegabah dengan tidak mempertimbangkan garis perjalanan sejarah peradaban yang ada. Alangkah indahnya jika pengakuan dan klaim didasarkan atas muara proses diskusi, seminar dan penelitian yang berjenjang, dengan mengikutsertakan budayawan atau ilmuwan (akademisi) Indonesia tentunya. Hal yang sama juga terjadi saat masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya mengkultuskan epos Ramayana dan Mahabarata sebagai warisan budayanya. Menjadi kitab utama dalam jagat pewayangan saat dipatenkannya wayang sebagai a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB UNESCO pada tahun 2003 lalu. Tak menimbulkan konflik dan kontroversi karena kita dengan jujur dan berani mengakui bahwa sumber asli dua cerita tersebut adalah dari India.  
Jika Malaysia melakukan hal yang sama, tentu klaim di atas bukanlah persoalan berarti. Masalahnya, Indonesia tidak pernah diajak untuk berembug dalam merumuskan identitas keMelayuan masing-masing negara. Seandainya hal tersebut digelar, peta kepemilikian dan persinggungan masing-masing kesenian dapat dirumuskan dengan baik tanpa adanya pusaran konflik. Walaupun demikian, hal yang patut untuk dipertanyakan kemudian adalah sejauh mana Indonesia telah membentengi dan menjaga aset-aset budayanya termasuk dua kesenian di atas? Ataukah selama ini kita menjadi bangsa yang latah, marah atas segala klaim dari bangsaa lain, namun teledor merawat dan menyemai aset berharga yang sejatinya telah diperebutkan itu.

Tor-tor dan Gondang Sambilan
Tor-tor adalah nama tari tradisional yang cukup erat kaitannya dengan sistem religius masyarakat Mandailing (Si Pelegebu). Hal ini ditunjukkan dengan adanya satu ungkapan tradisional (istilah) dari masyarakat setempat, yaitu “somba do mulo ni tortor”, yang arti harafiahnya “asal-mula tortor adalah sembah”. Dalam hal ini, somba (sembah) atau persembahan ditujukan kepada roh-roh leluhur yang dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan mereka seperti perkawinan, kematian, kelahiran anak dan meminta hujan. Tari ini ada sebelum Islam masuk ke wilayah Mandailing dan karakternya masih dipertahankan hingga saat ini. Usianya yang telah purbawi menjadikan kesenian ini teruji oleh waktu dan sarat akan beban kultural.
Begitupun Gondang Sambilan (sembilan gendang). Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gondang Sambilan merupakan alat musik sakral yang terpenting. Gondang Sambilan dipandang magis karena dipercaya mempunyai kekuatan gaib untuk memanggil roh nenek moyang. Mampu memberi pertolongan melalui medium atau shaman (Sibaso) yang trance (kesurupan arwah leluhur). Tujuannya hampir sama dengan tari Tor-tor untuk meminta petunjuk maupun menyelesaikan masalah sepeti terjangkitnya wabah penyakit. Begitu sakral dan mistisnya instrumen ini hingga ditempatkan pada ruang khusus yang disebut Bagas Gondang (Rumah Besar) di dekat kediaman Raja. Saat Islam masuk, Gondang Sambilan dibunyikan pula pada perayaan Idul Fitri sebagai wujud syukur dan pesta keagamaan terbesar di daerah itu.
Ironisnya, dua kesenian di atas justru semakin bangkrut tergusur waktu di negerinya sendiri. Tak mampu menunjukkan detak hidupnya secara lebih terbuka. Kalah bersaing dengan seni-seni populer yang lebih glamor dan gemerlap. Bahkan Kompas pada 3 Juli 2001 mengetengahkan bahwa kesenian tersebut semakin langka dan mendekati punah. Tak banyak masyarakat saat ini yang mau menghadirkannya. Ibnu Avena Matondang (2008) menjelaskan bahwa sebenarnya kesenian Gondang Sambilan dan Tor-tor telah mencoba bercengkrama dengan zaman, ditandai dengan fleksibelitas ruang pentas dengan mendekonstruksi formatnya, tak harus melulu ritual. Bisa pula digunakan untuk menyambut tamu-tamu penting seperti pejabat, perayaan kemerdekaan Indonesia dan hari besar lain seperti Idul fitri. Namun hal tersebut tak dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat Mandailing. Otomatis, nafas hidup Tor-tor dan Gondang Sambilan semakin tak tentu arah. Jika tak dipikirkan dengan bijak dan dibiarkan berlarut-larut, kehadirannya hanya akan menjadi mitos dan goresan sejarah masa lalu belaka.   
Klaim Malaysia atas dua kesenian tersebut seolah kembali menampar wajah kebudayaan Indonesia, terutama pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli dan menjaga segala aset yang dimilikinya. Tidak semata terhenyak, galak dan marah saat diklaim negara lain, tapi ompong dan alpha dalam tanggung jawab merawat dan melestarikannya.

 Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI Solo

Pengikut