Indonesia Terjajah Lewat Musik
Judul
di atas disadur dari pernyataan salah seorang wakil ormas Islam
Indonesia saat debat berlangsung dalam sebuah acara Indonesia Lawyers
Club dengan tema FPI versus Lady Gaga di TV One (16 Mei 2012)
lalu. Kata terjajah tentu saja menunjuk pada sebuah pemaknaan yang tak
lain adalah budak, kaum lemah, terkontrol dan terkuasai. Uniknya, dari
kalimat judul di atas berusaha menjelaskan bahwa Indonesia jusru tak
terkuasai dalam makna kebendaan atau ketubuhan (tangible) layaknya zaman kolonial (perjuangan kemerdekaan) dan perang seperti dahulu kala, namun lewat bunyi-bunyian.
Hal
tersebut berkait dengan tema hangat dalam beberapa pekan ini. Selain
persoalan hiruk pikuk politik dan ekonomi, ternyata juga menyisakan
persoalan musik. Lady Gaga adalah trending topicnya. Ia menjadi hot news
di berbagai media baik cetak maupun elektronik tertaut pembatalan
konser yang sebelumnya dipanaskan dengan kontrovensi perizinan. Pada
konteks ini, saya tidak berniat mengulas lebih dalam tentang
undang-undang atau aturan hukum yang mengekang pada penyelenggaraan
konser tersebut. Saya justru lebih tertarik memusatkan perhatian pada
kuatnya daya pengaruh musik, bunyi atau suara.
Musik ternyata
bukanlah persoalan rangkaian nada dan harmoni semata. Lebih dari itu,
musik mampu berbicara banyak dalam memberikan narasi adab budaya sebuah
negara. Musik mampu mencerminkan kualitas sebuah peradaban. Selain medan
estetika, musik banyak bertolak menjadi sebuah alat, katalisator dalam
varian persoalan tak terkecuali politik, sosial, hukum, dan ekonomi.
Lihatlah berkembanganya isu konser Lady Gaga, tak hanya berhenti dalam
dentum estetika dan artistik semata. Namun menyangkut ideologi, politik
bahkan tak jarang menjurus wacana kekerasan.
Lady Gaga(l) dan Ngak-Ngik-Ngok.
Berbicara
musik tak cukup dengan hanya meletakkan dikotomi dalam dualisme nada
dan tak bernada atau bunyi dan tak bunyi. Persoalannya kemudian musik
adalah ‘ruang imajiner’. Laboratorium bergumulnya berbagai medan
estetika seni. Dengan demikian menikmati musik tak terhenti dalam domain
auditif semata, namun menyangkut persoalan visual. Melihat musik
berarti melihat gemulainya gerak, menikmati gemerlapnya panggung,
glamornya asesoris baju dan media interaksi dalam berbagai kalangan.
Jangan heran kemudian jika di Barat, untuk menonton musik klasik, mereka
harus menggunakan jas berdasi dan bersepatu resmi. Musik adalah
prestise. Musik menyuarakan harga diri. Musik adalah gaya hidup. Oleh
karena itu, ia harus dipoles sedemikian rupa untuk mampu
merepresentasikan kekuatan prestise itu. Dualisme stereotip tentang
musik juga pernah berkembang di tanah air, dangdut kadang dianggap
sebagai musik desa, sementara pop dengan lantang dianggap mewakili gaya
perkotaan. Bahkan Majalah Aktuil pada tahun 1970-an juga pernah
menganggat isu prestise dalam musik, antara dangdut dan rock. Polemik
antara Rhoma Irama dan Ucok AKA mencuatkan wacana bahwa dangdut musik
kampungan dan rock musik setan. Artinya, musik tak dapat diceraikan dari
kekangan persoalan konteks yang mengitarinya.
Begitupun Lady
Gaga, menikmatinya tak cukup dengan hanya memanjakan telinga, namun juga
mata dan tubuh. Panggung, koreografi, dan tata busana yang digarap
serius adalah menu hidangan yang menggiurkan bagi penonton. Sayangnya,
kadang menikmati musik tak cukup berbekal telinga dan ketubuhan semata,
masyarakat penonton masih terpenjara dalam atribut yang melekat dalam
dirinya. Mereka masih berseragam agama, membawa ideologi, kepercayaan
dan budaya. Musik tak mampu dilepaskan dari putaran bingkai-bingkai
kebudayaan, tak ada musik yang tak bebas nilai, semua terkungkung.
Otomatis,
kebebasan dalam menentukan citra estetika tak sepenuhnya nyata, masih
tertaut dengan berbagai atribut budaya. Soekarno misalnya, presiden
pertama Republik Indonesia itu dengan lugas membendung banjir musik pop
Barat dengan menyebutnya sebagai ‘ngak-ngik-ngok’, merusak moral dan
telinga masyarakat dunia timur. Eksesnya, hanya lagu-lagu sepaham dari
Asia dan terutama India yang boleh menyerang industri musik tanah air.
Sementara di sisi lain, tak jarang grup band maupun musisi musik harus
dicekal, dipenjarakan, diboikot karena melantunkan lagu-lagu pop dari
Barat.
Dengan beralihnya rezim ke orde baru dan demokrasi, apakah
kebebasan dalam menikmati musik bisa diterapkan? Walaupun kran
liberalisasi musik dibuka kencang, ditandai dengan masuknya musik-musik
pop Barat, namun sekali lagi tak sepenuhnya musik tersebut nihil nilai.
Persoalan musik memang menjadi persoalan krusial di setiap rezim. Wisnu
Mintargo (2008) menjelaskan bagaimana perjalanan musik juga menjadi
sejarah peradaban kehidupan manusia. Detail bunyi mencerminkan sebuah
detail waktu. Oleh karena itu wajar jika kita mengenal sebuah “era”
dalam musik. Era di mana musik tak hanya dikenang lewat syahdu dan merdu
nadanya. Namun makna yang melekat di dalamnya. John Lennon, Bob Marley,
El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals adalah beberapa contohnya. Iwan Fals
harus berulangkali dicekal dan menjadi bulan-bulanan polisi karena lewat
lirik musiknya dianggap merendahkan rezim orba yang saat itu berkuasa.
Di
zaman milenia kini, Lady Gaga contoh idealnya. Benturan kebudayaaan
terjadi antara Timur dan Barat. Lirik-liriknya dianggap mencerminkan
illuminati, pemujaan terhadap setan, sementara atribut baju dan gerakan
tubuhnya dianggap menarasikan misi erotika. Bahkan dengan bangganya ia
menyebut dirinya sebagai Mother Monsters (ibu dari para monster) dan penggemarnya sebagai Little Monsters (monster kecil). Tentu saja semua sah dalam ruang ekpresi kebebasan. Sama halnya begitu bangganya kita memuja Setan Merah (the Red Devil)
yang tak lain adalah salah satu klub sepak bola di Inggris.
Persoalannya kemudian, setiap budaya mempunyai rentang perbedaan dalam
menyikapi persoalan estetika dan artistik bunyi. Lady Gaga gagal dalam
mengkomunikasikan musiknya di Indonesia. Atau sebaliknya, beberapa
masyarakat Indonesia telah gagal dalam memilah antara kuasa produk
budaya dan kuatnya kekangan ideologi. Sebagai sebuah produk, musik Lady
Gaga mengingatkan benang merah sejarah saat Soekarno menjamahnya sebagai
hasil budaya ‘ngak-ngik-ngok’.
Terjajah
Apa
yang dapat dilihat dalam perdebatan musik Lady Gaga adalah gejala yang
nampak pula dalam musik dangdut. Jika berbicara misi erotika,
panggung-panggung dangdut tanah air justru lebih berani menampakkannya
secara vulgar. Lewat aksi ketubuhan, pakaian bahkan diksi liriknya.
Sesekali harus dibumbuhi juga dengan budaya sawer (suwel) yang
terselipkan di antara dua buah dada penyanyinya. Sementara dalam
spektrum lirik Gaga yang dianggap sebagai pemuja setan, panggung musik
Indonesiapun tak kalah keras. Bagaimana dengan lirik wanita racun dunia, tali kutang, keong racun, belah duren dan lain sebagainya. Justru lebih realis penggambarannya.
Masalahnya
kemudian, kita telah menjadi bangsa yang gamang dalam menentukan poros
pilihan estetika. Segala yang glamor dan gemerlap kita terima dengan
lapang dan suka cita. Yang tampan dan lincah layaknya boy band
Korea mampu menghipnotis ribuan mata daripada campur sari Jawa yang
dianggap ketinggalan zaman. Tarian dan riasan Lady Gaga mampu membuat
jutaan masyarakat Indonesia menangis histeris dari pada syahdunya
keroncong ala Waljinah. Fondasi kultural bangsa yang goyah menjadikannya
lahan empuk untuk dijajah, dikontrol dan dikuasai. Korea Selatan dan
Amerika Serikat sukses besar dalam hal ini.
Hanya faktor musik
semata? Tentu saja tidak. Musik hanya katalisator yang menghubungkan
keterjajahan dalam domain ekonomi, budaya bahkan politik. Lihatlah,
berapa keuntungan dan kerugian yang dipetik saat konser (akan)
berlangsung, bagaimana isu ideologi yang berkembang, masalah keamanan
(hukum) yang memayungi, perdebatan politik yang menyertainya, hingga
masalah prestise –harga diri- nama baik sebuah negara di mata dunia.
Semua dipertaruhkan hanya lewat seorang Lady Gaga. Indonesia terjajah
lewat musik.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar