Indonesia Terjajah Lewat Musik (dimuat di Solopos edisi 29 Mei 2012)

Indonesia Terjajah Lewat Musik


Judul di atas disadur dari pernyataan salah seorang wakil ormas Islam Indonesia saat debat berlangsung dalam sebuah acara Indonesia Lawyers Club dengan tema FPI versus Lady Gaga di TV One (16 Mei 2012) lalu. Kata terjajah tentu saja menunjuk pada sebuah pemaknaan yang tak lain adalah budak, kaum lemah, terkontrol dan terkuasai. Uniknya, dari kalimat judul di atas berusaha menjelaskan bahwa Indonesia jusru tak terkuasai dalam makna kebendaan atau ketubuhan (tangible) layaknya zaman kolonial (perjuangan kemerdekaan) dan perang seperti dahulu kala, namun lewat bunyi-bunyian.
Hal tersebut berkait dengan tema hangat dalam beberapa pekan ini. Selain persoalan hiruk pikuk politik dan ekonomi, ternyata juga menyisakan persoalan musik. Lady Gaga adalah trending topicnya. Ia menjadi hot news di berbagai media baik cetak maupun elektronik tertaut pembatalan konser yang sebelumnya dipanaskan dengan kontrovensi perizinan. Pada konteks ini, saya tidak berniat mengulas lebih dalam tentang undang-undang atau aturan hukum yang mengekang pada penyelenggaraan konser tersebut. Saya justru lebih tertarik memusatkan perhatian pada kuatnya daya pengaruh musik, bunyi atau suara.
Musik ternyata bukanlah persoalan rangkaian nada dan harmoni semata. Lebih dari itu, musik mampu berbicara banyak dalam memberikan narasi adab budaya sebuah negara. Musik mampu mencerminkan kualitas sebuah peradaban. Selain medan estetika, musik banyak bertolak menjadi sebuah alat, katalisator dalam varian persoalan tak terkecuali politik, sosial, hukum, dan ekonomi. Lihatlah berkembanganya isu konser Lady Gaga, tak hanya berhenti dalam dentum estetika dan artistik semata. Namun menyangkut ideologi, politik bahkan tak jarang menjurus wacana kekerasan.

Lady Gaga(l) dan Ngak-Ngik-Ngok.
Berbicara musik tak cukup dengan hanya meletakkan dikotomi dalam dualisme nada dan tak bernada atau bunyi dan tak bunyi. Persoalannya kemudian musik adalah ‘ruang imajiner’. Laboratorium bergumulnya berbagai medan estetika seni. Dengan demikian menikmati musik tak terhenti dalam domain auditif semata, namun menyangkut persoalan visual. Melihat musik berarti melihat gemulainya gerak, menikmati gemerlapnya panggung, glamornya asesoris baju dan media interaksi dalam berbagai kalangan. Jangan heran kemudian jika di Barat, untuk menonton musik klasik, mereka harus menggunakan jas berdasi dan bersepatu resmi. Musik adalah prestise. Musik menyuarakan harga diri. Musik adalah gaya hidup. Oleh karena itu, ia harus dipoles sedemikian rupa untuk mampu merepresentasikan kekuatan prestise itu. Dualisme stereotip tentang musik juga pernah berkembang di tanah air, dangdut kadang dianggap sebagai musik desa, sementara pop dengan lantang dianggap mewakili gaya perkotaan. Bahkan Majalah Aktuil pada tahun 1970-an juga pernah menganggat isu prestise dalam musik, antara dangdut dan rock. Polemik antara Rhoma Irama dan Ucok AKA mencuatkan wacana bahwa dangdut musik kampungan dan rock musik setan. Artinya, musik tak dapat diceraikan dari kekangan persoalan konteks yang mengitarinya.
Begitupun Lady Gaga, menikmatinya tak cukup dengan hanya memanjakan telinga, namun juga mata dan tubuh. Panggung, koreografi, dan tata busana yang digarap serius adalah menu hidangan yang menggiurkan bagi penonton. Sayangnya, kadang menikmati musik tak cukup berbekal telinga dan ketubuhan semata, masyarakat penonton masih terpenjara dalam atribut yang melekat dalam dirinya. Mereka masih berseragam agama, membawa ideologi, kepercayaan dan budaya. Musik tak mampu dilepaskan dari putaran bingkai-bingkai kebudayaan, tak ada musik yang tak bebas nilai, semua terkungkung.
Otomatis, kebebasan dalam menentukan citra estetika tak sepenuhnya nyata, masih tertaut dengan berbagai atribut budaya. Soekarno misalnya, presiden pertama Republik Indonesia itu dengan lugas membendung banjir musik pop Barat dengan menyebutnya sebagai ‘ngak-ngik-ngok’, merusak moral dan telinga masyarakat dunia timur. Eksesnya, hanya lagu-lagu  sepaham dari Asia dan terutama India yang boleh menyerang industri musik tanah air. Sementara di sisi lain, tak jarang grup band maupun musisi musik harus dicekal, dipenjarakan, diboikot karena melantunkan lagu-lagu pop dari Barat.
Dengan beralihnya rezim ke orde baru dan demokrasi, apakah kebebasan dalam menikmati musik bisa diterapkan? Walaupun kran liberalisasi musik dibuka kencang, ditandai dengan masuknya musik-musik pop Barat, namun sekali lagi tak sepenuhnya musik tersebut nihil nilai. Persoalan musik memang menjadi persoalan krusial di setiap rezim. Wisnu Mintargo (2008) menjelaskan bagaimana perjalanan musik juga menjadi sejarah peradaban kehidupan manusia. Detail bunyi mencerminkan sebuah detail waktu. Oleh karena itu wajar jika kita mengenal sebuah “era” dalam musik. Era di mana musik tak hanya dikenang lewat syahdu dan merdu nadanya. Namun makna yang melekat di dalamnya. John Lennon, Bob Marley, El Pamas, Sex Pistol, Iwan Fals adalah beberapa contohnya. Iwan Fals harus berulangkali dicekal dan menjadi bulan-bulanan polisi karena lewat lirik musiknya dianggap merendahkan rezim orba yang saat itu berkuasa.
Di zaman milenia kini, Lady Gaga contoh idealnya. Benturan kebudayaaan terjadi antara Timur dan Barat. Lirik-liriknya dianggap mencerminkan illuminati, pemujaan terhadap setan, sementara atribut baju dan gerakan tubuhnya dianggap menarasikan misi erotika. Bahkan dengan bangganya ia menyebut dirinya sebagai Mother Monsters (ibu dari para monster) dan penggemarnya sebagai Little Monsters (monster kecil). Tentu saja semua sah dalam ruang ekpresi kebebasan. Sama halnya begitu bangganya kita memuja Setan Merah (the Red Devil) yang tak lain adalah salah satu klub sepak bola di Inggris. Persoalannya kemudian, setiap budaya mempunyai rentang perbedaan dalam menyikapi persoalan estetika dan artistik bunyi. Lady Gaga gagal dalam mengkomunikasikan musiknya di Indonesia. Atau sebaliknya, beberapa masyarakat Indonesia telah gagal dalam memilah antara kuasa produk budaya dan kuatnya kekangan ideologi. Sebagai sebuah produk, musik Lady Gaga mengingatkan benang merah sejarah saat Soekarno menjamahnya sebagai hasil budaya ‘ngak-ngik-ngok’.

Terjajah
Apa yang dapat dilihat dalam perdebatan musik Lady Gaga adalah gejala yang nampak pula dalam musik dangdut. Jika berbicara misi erotika, panggung-panggung dangdut tanah air justru lebih berani menampakkannya secara vulgar. Lewat aksi ketubuhan, pakaian bahkan diksi liriknya. Sesekali harus dibumbuhi juga dengan budaya sawer (suwel) yang terselipkan di antara dua buah dada penyanyinya. Sementara dalam spektrum lirik Gaga yang dianggap sebagai pemuja setan, panggung musik Indonesiapun tak kalah keras. Bagaimana dengan lirik wanita racun dunia, tali kutang, keong racun, belah duren dan lain sebagainya. Justru lebih realis penggambarannya.
Masalahnya kemudian, kita telah menjadi bangsa yang gamang dalam menentukan poros pilihan estetika. Segala yang glamor dan gemerlap kita terima dengan lapang dan suka cita. Yang tampan dan lincah layaknya boy band Korea mampu menghipnotis ribuan mata daripada campur sari Jawa yang dianggap ketinggalan zaman. Tarian dan riasan Lady Gaga mampu membuat jutaan masyarakat Indonesia menangis histeris dari pada syahdunya keroncong ala Waljinah. Fondasi kultural bangsa yang goyah menjadikannya lahan empuk untuk dijajah, dikontrol dan dikuasai. Korea Selatan dan Amerika Serikat sukses besar dalam hal ini.
Hanya faktor musik semata? Tentu saja tidak. Musik hanya katalisator yang menghubungkan keterjajahan dalam domain ekonomi, budaya bahkan politik. Lihatlah, berapa keuntungan dan kerugian yang dipetik saat konser (akan) berlangsung, bagaimana isu ideologi yang berkembang, masalah keamanan (hukum) yang memayungi, perdebatan politik yang menyertainya, hingga masalah prestise –harga diri- nama baik sebuah negara di  mata dunia. Semua dipertaruhkan hanya lewat seorang Lady Gaga. Indonesia terjajah lewat musik.

Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta

Tidak ada komentar:

Pengikut