Simpul Tor-tor di Tanah Malaya
Ramai
diperbincangkan dalam beberapa waktu lalui, tari Tor-tor dan alat musik
Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) dari Mandailing, Sumatera Utara,
diklaim sebagai salah satu warisan budaya negara Malaysia. Sebagaimana
diwartakan Suara Merdeka (18/6/2012), kantor berita Bernama di
Malaysia menyebutkan, Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Datuk
Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan kedua budaya masyarakat Sumatera
Utara itu dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005.
Polemik
warisan budaya dua negara bukanlah pertama kali terjadi. Sebelumnya,
kontroversi yang sama juga muncul saat Pemerintah Malaysia menyatakan
bahwa Reog Ponorogo, tari Pendet, Kuda Lumping dan lagu Rasa Sayange
adalah warisan budaya negeri itu. Pertanyaannya kemudian, kenapa saat
ini harus tari Tor-tor dan Gondang Sambilan? Adakah jejak-jejak garis
simpul yang menghubungkan antara Malaysia dan Indonesia lewat kedua
kesenian tersebut? Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana selama
ini perhatian masyarakat setempat dan khususnya Pemerintah Indonesia
terhadap dua kesenian itu?
Satu Rumpun
Keberadaan
Tor-tor dan Gondang Sambilan di Malaysia tak dapat dipisahkan dari
kesamaan rumpun dengan Indonesia terutama etnis Melayu. Seperti di
jelaskan Pengaduan Lubis (2008), peta perjalanan hijrahnya seni
Indonesia ke Malaysia sebenarnya telah berlangsung lama. Terutama saat
penjajahan Belanda berlangsung di etnis Mandailing, Sumatera Utara.
Sebelum Belanda datang, beberapa tahun lamanya kaum Paderi telah
menguasai wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama Islam yang
sebelumnya menganut animisme dinamisme. Peperangan perebutan wilayah
antara Belanda dan kaum Paderi (perang paderi) terjadi sekitar awal
tahun 1830-an. Hingga pertengahan tahun tersebut, peperangan masih
berlangsung dan karena kekuatan Belanda lebih unggul, maka banyak di
antara masyarakat Mandailing pengikut Paderi yang meninggalkan kampung
halamannya. Invasi dilakukan untuk mencari tempat yang aman, banyak dari
mereka yang sampai di Malaya (Malaysia) lalu menetap, turun temurun,
beranak-pinak hingga saat ini.
Orang-orang Mandailing yang menetap
di Malaya tersebut tidak secara otomatis menjadi masyarakat baru. Namun
masih membawa pernak-pernik kebudayaan dari daerah asalnya. Pada
konteks inilah mereka juga mencoba meneruskan benang tradisi dengan
menempatkan kesenian sebagai medan luapan estetikanya. Tor-tor dan
Gondang Sambilan menjadi salah satunya. Oleh karena itu, sejatinya
masyarakat Malaysia saat ini yang intens menggunakan dua kesenian
tersebut sebenarnya masih satu darah dan satu rumpun sejarah dengan
Indonesia terutama pada etnis Mandailing. Terlebih ada satu konsep
menarik pada orang Mandailing, di manapun mereka berpijak, konsep untuk
menjadi suku Mandailing seutuhnya harus tetap dijaga dan dipertahankan
sampai kapanpun (Nasution, 2005). Otomatis, dengan mencegah mereka
menyajikan dua kesenian tersebut sama halnya dengan memasung kebebasan
masyarakat Mandailing sendiri. Bahkan lewat kesenian itu pula Menteri
Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Rais Yatim
mencoba mengais dan menelusuri perjalanan jejak asal-usul sebagian
masyarakatnya yang konon adalah orang-orang pribumi Indonesia.
Persoalannya
yang muncul kemudian adalah saat Malaysia dengan lantang mengkultuskan
dua kesenian tersebut sebagai warisan budayanya. Tidak salah memang,
namun terkesan gegabah dengan tidak mempertimbangkan garis perjalanan
sejarah peradaban yang ada. Alangkah indahnya jika pengakuan dan klaim
didasarkan atas muara proses diskusi, seminar dan penelitian yang
berjenjang, dengan mengikutsertakan budayawan atau ilmuwan (akademisi)
Indonesia tentunya. Hal yang sama juga terjadi saat masyarakat Jawa dan
Indonesia pada umumnya mengkultuskan epos Ramayana dan Mahabarata
sebagai warisan budayanya. Menjadi kitab utama dalam jagat pewayangan
saat dipatenkannya wayang sebagai a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity
oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB UNESCO
pada tahun 2003 lalu. Tak menimbulkan konflik dan kontroversi karena
kita dengan jujur dan berani mengakui bahwa sumber asli dua cerita
tersebut adalah dari India.
Jika Malaysia melakukan hal yang
sama, tentu klaim di atas bukanlah persoalan berarti. Masalahnya,
Indonesia tidak pernah diajak untuk berembug dalam merumuskan identitas
keMelayuan masing-masing negara. Seandainya hal tersebut digelar, peta
kepemilikian dan persinggungan masing-masing kesenian dapat dirumuskan
dengan baik tanpa adanya pusaran konflik. Walaupun demikian, hal yang
patut untuk dipertanyakan kemudian adalah sejauh mana Indonesia telah
membentengi dan menjaga aset-aset budayanya termasuk dua kesenian di
atas? Ataukah selama ini kita menjadi bangsa yang latah, marah atas
segala klaim dari bangsaa lain, namun teledor merawat dan menyemai aset
berharga yang sejatinya telah diperebutkan itu.
Tor-tor dan Gondang Sambilan
Tor-tor adalah nama tari tradisional yang cukup erat kaitannya dengan sistem religius masyarakat Mandailing (Si Pelegebu). Hal ini ditunjukkan dengan adanya satu ungkapan tradisional (istilah) dari masyarakat setempat, yaitu “somba do mulo ni tortor”, yang arti harafiahnya “asal-mula tortor adalah sembah”. Dalam hal ini, somba
(sembah) atau persembahan ditujukan kepada roh-roh leluhur yang
dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap
berbagai aspek kehidupan mereka seperti perkawinan, kematian, kelahiran
anak dan meminta hujan. Tari ini ada sebelum Islam masuk ke wilayah
Mandailing dan karakternya masih dipertahankan hingga saat ini. Usianya
yang telah purbawi menjadikan kesenian ini teruji oleh waktu dan sarat
akan beban kultural.
Begitupun Gondang Sambilan (sembilan
gendang). Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gondang Sambilan
merupakan alat musik sakral yang terpenting. Gondang Sambilan dipandang
magis karena dipercaya mempunyai kekuatan gaib untuk memanggil roh nenek
moyang. Mampu memberi pertolongan melalui medium atau shaman (Sibaso) yang trance
(kesurupan arwah leluhur). Tujuannya hampir sama dengan tari Tor-tor
untuk meminta petunjuk maupun menyelesaikan masalah sepeti terjangkitnya
wabah penyakit. Begitu sakral dan mistisnya instrumen ini hingga
ditempatkan pada ruang khusus yang disebut Bagas Gondang (Rumah
Besar) di dekat kediaman Raja. Saat Islam masuk, Gondang Sambilan
dibunyikan pula pada perayaan Idul Fitri sebagai wujud syukur dan pesta
keagamaan terbesar di daerah itu.
Ironisnya, dua kesenian di atas
justru semakin bangkrut tergusur waktu di negerinya sendiri. Tak mampu
menunjukkan detak hidupnya secara lebih terbuka. Kalah bersaing dengan
seni-seni populer yang lebih glamor dan gemerlap. Bahkan Kompas pada 3
Juli 2001 mengetengahkan bahwa kesenian tersebut semakin langka dan
mendekati punah. Tak banyak masyarakat saat ini yang mau
menghadirkannya. Ibnu Avena Matondang (2008) menjelaskan bahwa
sebenarnya kesenian Gondang Sambilan dan Tor-tor telah mencoba
bercengkrama dengan zaman, ditandai dengan fleksibelitas ruang pentas
dengan mendekonstruksi formatnya, tak harus melulu ritual. Bisa pula
digunakan untuk menyambut tamu-tamu penting seperti pejabat, perayaan
kemerdekaan Indonesia dan hari besar lain seperti Idul fitri. Namun hal
tersebut tak dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat Mandailing.
Otomatis, nafas hidup Tor-tor dan Gondang Sambilan semakin tak tentu
arah. Jika tak dipikirkan dengan bijak dan dibiarkan berlarut-larut,
kehadirannya hanya akan menjadi mitos dan goresan sejarah masa lalu
belaka.
Klaim Malaysia atas dua kesenian tersebut seolah
kembali menampar wajah kebudayaan Indonesia, terutama pemerintah dan
masyarakat untuk lebih peduli dan menjaga segala aset yang dimilikinya.
Tidak semata terhenyak, galak dan marah saat diklaim negara lain, tapi
ompong dan alpha dalam tanggung jawab merawat dan melestarikannya.
Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar