Simpul Tor-tor di Tanah Malaya (dimuat di Suara Merdeka edisi 8 Juli 2012)

Simpul Tor-tor di Tanah Malaya


Ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu lalui, tari Tor-tor dan alat musik Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) dari Mandailing, Sumatera Utara, diklaim sebagai salah satu warisan budaya negara Malaysia. Sebagaimana diwartakan Suara Merdeka (18/6/2012), kantor berita Bernama di Malaysia menyebutkan, Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Datuk Seri Rais Yatim berencana mendaftarkan kedua budaya masyarakat Sumatera Utara itu dalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005.
Polemik warisan budaya dua negara bukanlah pertama kali terjadi. Sebelumnya, kontroversi yang sama juga muncul saat Pemerintah Malaysia menyatakan bahwa Reog Ponorogo, tari Pendet, Kuda Lumping dan lagu Rasa Sayange adalah warisan budaya negeri itu. Pertanyaannya kemudian, kenapa saat ini harus tari Tor-tor dan Gondang Sambilan? Adakah jejak-jejak garis simpul yang menghubungkan antara Malaysia dan Indonesia lewat kedua kesenian tersebut? Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana selama ini perhatian masyarakat setempat dan khususnya Pemerintah Indonesia terhadap dua kesenian itu?  

Satu Rumpun
Keberadaan Tor-tor dan Gondang Sambilan di Malaysia tak dapat dipisahkan dari kesamaan rumpun dengan Indonesia terutama etnis Melayu. Seperti di jelaskan Pengaduan Lubis (2008), peta perjalanan hijrahnya seni Indonesia ke Malaysia sebenarnya telah berlangsung lama. Terutama saat penjajahan Belanda berlangsung di etnis Mandailing, Sumatera Utara. Sebelum Belanda datang, beberapa tahun lamanya kaum Paderi telah menguasai wilayah Mandailing untuk menyebarkan agama Islam yang sebelumnya menganut animisme dinamisme. Peperangan perebutan wilayah antara Belanda dan kaum Paderi (perang paderi) terjadi sekitar awal tahun 1830-an. Hingga pertengahan tahun tersebut, peperangan masih berlangsung dan karena kekuatan Belanda lebih unggul, maka banyak di antara masyarakat Mandailing pengikut Paderi yang meninggalkan kampung halamannya. Invasi dilakukan untuk mencari tempat yang aman, banyak dari mereka yang sampai di Malaya (Malaysia) lalu menetap, turun temurun, beranak-pinak hingga saat ini.
Orang-orang Mandailing yang menetap di Malaya tersebut tidak secara otomatis menjadi masyarakat baru. Namun masih membawa pernak-pernik kebudayaan dari daerah asalnya. Pada konteks inilah mereka juga mencoba meneruskan benang tradisi dengan menempatkan kesenian sebagai medan luapan estetikanya. Tor-tor dan Gondang Sambilan menjadi salah satunya. Oleh karena itu, sejatinya masyarakat Malaysia saat ini yang intens menggunakan dua kesenian tersebut sebenarnya masih satu darah dan satu rumpun sejarah dengan Indonesia terutama pada etnis Mandailing. Terlebih ada satu konsep menarik pada orang Mandailing, di manapun mereka berpijak, konsep untuk menjadi suku Mandailing seutuhnya harus tetap dijaga dan dipertahankan sampai kapanpun (Nasution, 2005). Otomatis, dengan mencegah mereka menyajikan dua kesenian tersebut sama halnya dengan memasung kebebasan masyarakat Mandailing sendiri. Bahkan lewat kesenian itu pula Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Rais Yatim mencoba mengais dan menelusuri perjalanan jejak asal-usul sebagian masyarakatnya yang konon adalah orang-orang pribumi Indonesia.
Persoalannya yang muncul kemudian adalah saat Malaysia dengan lantang mengkultuskan dua kesenian tersebut sebagai warisan budayanya. Tidak salah memang, namun terkesan gegabah dengan tidak mempertimbangkan garis perjalanan sejarah peradaban yang ada. Alangkah indahnya jika pengakuan dan klaim didasarkan atas muara proses diskusi, seminar dan penelitian yang berjenjang, dengan mengikutsertakan budayawan atau ilmuwan (akademisi) Indonesia tentunya. Hal yang sama juga terjadi saat masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya mengkultuskan epos Ramayana dan Mahabarata sebagai warisan budayanya. Menjadi kitab utama dalam jagat pewayangan saat dipatenkannya wayang sebagai a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB UNESCO pada tahun 2003 lalu. Tak menimbulkan konflik dan kontroversi karena kita dengan jujur dan berani mengakui bahwa sumber asli dua cerita tersebut adalah dari India.  
Jika Malaysia melakukan hal yang sama, tentu klaim di atas bukanlah persoalan berarti. Masalahnya, Indonesia tidak pernah diajak untuk berembug dalam merumuskan identitas keMelayuan masing-masing negara. Seandainya hal tersebut digelar, peta kepemilikian dan persinggungan masing-masing kesenian dapat dirumuskan dengan baik tanpa adanya pusaran konflik. Walaupun demikian, hal yang patut untuk dipertanyakan kemudian adalah sejauh mana Indonesia telah membentengi dan menjaga aset-aset budayanya termasuk dua kesenian di atas? Ataukah selama ini kita menjadi bangsa yang latah, marah atas segala klaim dari bangsaa lain, namun teledor merawat dan menyemai aset berharga yang sejatinya telah diperebutkan itu.

Tor-tor dan Gondang Sambilan
Tor-tor adalah nama tari tradisional yang cukup erat kaitannya dengan sistem religius masyarakat Mandailing (Si Pelegebu). Hal ini ditunjukkan dengan adanya satu ungkapan tradisional (istilah) dari masyarakat setempat, yaitu “somba do mulo ni tortor”, yang arti harafiahnya “asal-mula tortor adalah sembah”. Dalam hal ini, somba (sembah) atau persembahan ditujukan kepada roh-roh leluhur yang dipercayai memiliki kekuatan gaib dan berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan mereka seperti perkawinan, kematian, kelahiran anak dan meminta hujan. Tari ini ada sebelum Islam masuk ke wilayah Mandailing dan karakternya masih dipertahankan hingga saat ini. Usianya yang telah purbawi menjadikan kesenian ini teruji oleh waktu dan sarat akan beban kultural.
Begitupun Gondang Sambilan (sembilan gendang). Bagi orang Mandailing terutama di masa lalu, Gondang Sambilan merupakan alat musik sakral yang terpenting. Gondang Sambilan dipandang magis karena dipercaya mempunyai kekuatan gaib untuk memanggil roh nenek moyang. Mampu memberi pertolongan melalui medium atau shaman (Sibaso) yang trance (kesurupan arwah leluhur). Tujuannya hampir sama dengan tari Tor-tor untuk meminta petunjuk maupun menyelesaikan masalah sepeti terjangkitnya wabah penyakit. Begitu sakral dan mistisnya instrumen ini hingga ditempatkan pada ruang khusus yang disebut Bagas Gondang (Rumah Besar) di dekat kediaman Raja. Saat Islam masuk, Gondang Sambilan dibunyikan pula pada perayaan Idul Fitri sebagai wujud syukur dan pesta keagamaan terbesar di daerah itu.
Ironisnya, dua kesenian di atas justru semakin bangkrut tergusur waktu di negerinya sendiri. Tak mampu menunjukkan detak hidupnya secara lebih terbuka. Kalah bersaing dengan seni-seni populer yang lebih glamor dan gemerlap. Bahkan Kompas pada 3 Juli 2001 mengetengahkan bahwa kesenian tersebut semakin langka dan mendekati punah. Tak banyak masyarakat saat ini yang mau menghadirkannya. Ibnu Avena Matondang (2008) menjelaskan bahwa sebenarnya kesenian Gondang Sambilan dan Tor-tor telah mencoba bercengkrama dengan zaman, ditandai dengan fleksibelitas ruang pentas dengan mendekonstruksi formatnya, tak harus melulu ritual. Bisa pula digunakan untuk menyambut tamu-tamu penting seperti pejabat, perayaan kemerdekaan Indonesia dan hari besar lain seperti Idul fitri. Namun hal tersebut tak dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat Mandailing. Otomatis, nafas hidup Tor-tor dan Gondang Sambilan semakin tak tentu arah. Jika tak dipikirkan dengan bijak dan dibiarkan berlarut-larut, kehadirannya hanya akan menjadi mitos dan goresan sejarah masa lalu belaka.   
Klaim Malaysia atas dua kesenian tersebut seolah kembali menampar wajah kebudayaan Indonesia, terutama pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli dan menjaga segala aset yang dimilikinya. Tidak semata terhenyak, galak dan marah saat diklaim negara lain, tapi ompong dan alpha dalam tanggung jawab merawat dan melestarikannya.

 Aris Setiawan
Etnomusikolog, Pengajar di ISI Solo

Tidak ada komentar:

Pengikut